Part 4-I'll Protect You

16.6K 716 6
                                    

Ada pepatah mengatakan bahwa jangan pernah kalian para kaum Adam membuat kaum Hawa emosi, karena, mereka tidak akan segan-segan menghancurkan dunia. Entah siapa yang membuat perumpamaan demikian, tetapi, Harlan dengan sangat senang hati akan mengakui kebenarannya. Penjelasan dosen saat ini sama sekali tidak diperhatikan olehnya. Pikirannya melayang ke kejadian beberapa jam yang lalu. Mungkin, sekitar setengah jam yang lalu lebih tepatnya. Sesekali, Harlan akan melirik Ine yang duduk di sudut kelas di belakang. Gadis itu menopang dagunya dengan sebelah tangan sementara tangannya yang lain memutar-mutar bolpoin yang dipegangnya. Tatapan matanya mengarah pada buku yang berada di atas meja namun Harlan sangat yakin kalau gadis itu sama sekali tidak membacanya. Gadis itu sedang melamun.

            “Harlan, bisa berhenti melamun dan memperhatikan penjelasan saya sebentar?”

            Pertanyaan bernada dingin dari dosen di depannya membuat Harlan menoleh dan tersenyum menyesal. Laki-laki itu mengucapkan kata maaf dan memutuskan untuk memperhatikan beliau sekarang. Meskipun tak dapat dipungkiri, otaknya masih melayang kepada Ine.

            Dia memang bersalah. Ya, Harlan tahu akan hal itu. Pipi kanannya pun masih terasa sedikit nyeri akibat tamparan keras Ine. Bagaimana tidak? Dia sudah mencium bibir gadis itu. Melumat dan melahap bibirnya dengan rakus, tanpa memberikan Ine kesempatan untuk menghindar maupun mengambil napas. Sebelah tangannya menahan pinggang Ine sedangkan sebelah tangannya yang lain menahan tengkuk Ine. Dia bisa merasakan tubuh gadis itu berontak dan sekuat tenaga melepaskan diri dari ciuman panas Harlan. Sampai kemudian, Harlan lah yang melepaskan gadis itu. Laki-laki itu bahkan tidak peduli dengan kedua mata Ine yang memerah dan berkaca-kaca, juga tidak peduli dengan keterperangahan Mitha maupun orang-orang yang menatap ke arahnya.

            “Kenapa?” tanya Harlan saat itu sambil tersenyum sinis dan melipat kedua tangannya di depan dada. “Mau protes? Mau nangis? Siapa yang nyuruh lo buat terlalu dekat sama cowok lain? Lupa kalau status lo sekarang itu tunangan gue? Hebat banget di depan mata gue lo berani selingkuh!”

            Airmata itu bergulir turun dari kedua mata Ine. Lalu, dengan satu gerakan cepat, Ine menampar keras pipi Harlan hingga kepala laki-laki itu menoleh ke samping. Mitha yang melihat hal itu hanya bisa diam dan memalingkan wajahnya. Untuk saat ini, dia setuju dengan perbuatan Ine pada sahabatnya. Sahabatnya itu memang sudah keterlaluan.

            Mendapat perlakuan seperti itu dari Ine membuat Harlan menahan emosinya kuat-kuat. Dia memegang pipinya yang terkena tamparan Ine lalu menatap wajah gadis itu dengan tatapan santai. Dia bahkan tersenyum tipis saat melihat Ine menangis dan berusaha mengontrol emosinya yang sudah membuncah. Terlihat dari gerakan dada dan bahu Ine yang naik-turun secara tidak beraturan.

            “Elo benar-benar jahat, Lan....” Suara Ine terdengar serak dan bergetar, membuat Harlan terdiam dan senyum itupun menghilang dari wajahnya. Dia mungkin tersenyum di depan, tetapi jauh didalam lubuk hatinya, dia menyesali perbuatannya. Sangat menyesal. Sejujurnya saat ini, Harlan sangat ingin memeluk tubuh gemetar Ine dan mengucapkan maaf sebanyak-banyaknya. Tapi, dia terlalu gengsi untuk melakukan hal itu.

            “Loh? Kenapa jahat? Gue berhak ngelakuin apapun yang gue inginkan sama lo, Ne... lo itu calon isteri gue. Kita udah dijodohin, ingat?” alih-alih meminta maaf, Harlan justru mengucapkan kalimat menyakitkan tadi dengan nada mencemooh. Hal yang langsung dia sesali didalam hatinya. Tapi lagi-lagi, egonya melarang keras untuk meminta maaf.

            “Gue. Benci. Sama. Lo. Harlan.” Ine menatap Harlan tepat di manik mata dengan bara meletup yang begitu besar. “GUE BENCI SAMA LO!”

            Dan begitulah. Harlan sama sekali tidak berusaha mengejar Ine yang berlari seperti kesetanan sambil terus mengusap wajahnya yang berurai airmata. Harlan hanya membeku di tempatnya, menatap punggung Ine dan tidak berbuat apa-apa. Laki-laki itu hanya terus memegang pipinya.

BEAT IT!Where stories live. Discover now