Prologue

87.3K 3.3K 216
                                    


"Gue suka sama lo," laki-laki berseragam yang ada di depan perempuan itu berkata dengan wajah serius. Teman-teman mereka pun bersorak, suasana jadi riuh. Laki laki itu berdeham, membasahi tenggorokan, sekaligus membuat atmosfer kelas menjadi sunyi dan menegangkan. Ekspresi di wajah laki-laki itu menegang, namun sedetik kemudian ia tersenyum lembut.

Jantung Keiza berdegup kencang, bingung ingin berekspresi seperti apa. Ia berusaha menutup mata, namun sebaliknya, matanya justru enggan menutup. Seakan tak membiarkan sedikitpun kejadian terlewat dari pandangannya. Entahlah, Keiza juga tidak mengerti apa yang harus diperbuat. Ia menggenggam erat ujung kemeja sekolahnya di antara khalayak ramai.

Tiba-tiba saja, laki laki di depan itu berjalan mendekat. Keiza hanya bisa diam, membisu, kaku. Peluh mulai menghiasi dahi. Mulutnya terkatup. Matanya sama sekali tidak mengubah fokus. Hanya tertuju pada satu orang yang ada di depan, laki laki itu.

Laki-laki itu kembali bersuara, membuat dada Keiza sesak seketika. Riuh teriakan di sekitar pun semakin menjadi-jadi. Matanya lurus ke depan, melihat laki-laki itu berlutut. Keiza menelan ludah sendiri, gugup.

"Mau nggak, jadi pacar gue?"

Ia menjentikkan jari, menahan turunnya air mata. Seluruh fokusnya hilang.

Laki-laki itu berlutut sambil tersenyum manis, tepat di hadapan sahabat Keiza. Ya, bukan di hadapan Keiza, tapi sahabat Keiza!

Kenapa harus dia? Kenapa harus sahabatku? Kenapa bukan perempuan lain yang nggak gue kenal? Kata Keiza dalam hati.

Dengan langkah mundur, ia mulai meninggalkan mereka. Ia tidak lagi mempedulikan sekitar. Yang harus dilakukannya saat ini adalah pergi menjauh dari suasana yang menyakitkan ini. Ia ingin meluapkan tangis yang dari tadi tertahan. Ia ingin meredam rasa sakit hatinya, sendirian, tanpa harus membaginya dengan orang lain.

Setelah menutup pintu gudang dengan rapat, ia terduduk, merasakan sesak yang mendera. Tanpa bisa dicegah, air mata yang sedari tadi tertahan pun mengalir deras dari pelupuk mata.

"Salsha?" Suara seorang laki-laki terdengar di balik pintu gudang.

Salsha? Kenapa ada orang yang kembali memanggil gue dengan panggilan itu? Batin Keiza, masih sembari menangis.

Laki-laki itu memanggilnya dengan nada yang lembut, seakan tahu bahwa Keiza sedang menangis di balik pintu ini.

Setelahnya, laki laki itu langsung membuka pintu gudang. Celah pintu memberikan sedikit cahaya kehidupan bagi ruang gudang yang bahkan membuat semua orang sesak di dalamnya. Laki laki itu masuk ke dalam, berdiri tepat di depannya.

Wajah laki-laki itu tidak terihat walau Keiza mendongak dan berusaha mengenalinya. Wajahnya menutupi arah cahaya, hanya hitam yang menyelimutinya.

Sepersekian detik kemudian, Keiza menghembuskan napas. Beranjak duduk dan menyibakkan selimut. Ia memijit-mijit kepalanya yang pening.

Oh, mimpi? Ia menghembuskan napas sekali lagi. Lampu kamar dimatikan, menyisakan sedikit cahaya dari jendela kamar. Lantas, ia menatap pemandangan di luar jendela. Hanya tersisa bunyi khas malam dan cahaya penerangan di pinggir jalan.

Dadanya sesak, entah karena apa. Tangannya bergerak ke wajah, hendak mengucek mata hingga ia sadar akan sesuatu.

Pipinya basah.

Air mata?

Caramel MacchiatoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang