Andai

159 3 0
                                    

Andai

Rangkaian nada cinta terputus ilalang

Terkatung-katung lalu digantung

Biar dipendam dalam diam

Kukubur dalam sepi

Ilalang menar-nari dan nada cinta terbelenggu diri sendiri

            Kugoreskan kata-kata bodoh itu dalam buku catatan kecil sebesar telapak tanganku, setelah puas memandangi tulisanku yang tak rapi itu, kualihkan pandanganku ke jalan sembari  memasukkan buku itu ke dalam tas di pangkuanku.

            Kumainkan jemari tanganku, kuketuk-ketukkan di atas tas, berusaha mengusir sepi. Sudah hampir gelap dan aku belum mendapatkan bus untuk pulang. Sendiri di halte yang penuh cerita mistik, kuharap tak ada yang mengira bahwa aku hantunya. Sorot lampu motor mendadak menyilaukan mataku. Deru motor berhenti , kuturunkan lengan tanganku yang kugunakan untuk menepis silau cahaya tadi.

            “Butuh tumpangan Hanna?”

Aku berpegang pada pundaknya ketika di mulai memacu gas motor ninjanya, melaju dalam keremangan petang, melewati jalanan sepi ketika kami telah keluar dari jalan raya antar provinsi dan masuk jalan kabupaten. Aku masih belum bisa mengatur perasaanku  meski aku telah berponcengan dengannya hampir sepuluh menit.

            Apakah ini nyata? Dia Jun? Arjuna Pradika? Teman lama yang bertahun - tahun tak tersenyum dan bertegur sapa denganku? Dia tiba-tiba muncul dan memberiku tumpangan. Aku seperti disodori senampan kue madu ketika dia membuka kaca helm dan tersenyum manis padaku. Senyuman yang sama dengan saat aku dan dia baru belajar A, B,C,D. senyuman yang kurindukan.

Aku menyesali hari pertama dia kembali menjadi Jun yang baik padaku. Aku mengutuk hari-hariku bersamanya selama dua bulan ini dan sudah kuputuskan untuk menjauh darinya, melupakan rencanaku untuk membuat sebuah buku tentang Arjuna Pradika si pemain teater muda berbakat. Aku tidak mau melakukan itu lagi, mengikuti semua kegiatannya, mulai dari latihannya di kampusnya hingga pentas-pentas besar serta pentas pinggirannya dengan teman-teman  satu sanggarnya.

            Jujur aku bahagia karena berhasil dekat dan berkawan lagi dengan Jun, sahabat kecil, teman bermainku sejak kami lahir di dunia ini. Aku bahagia bisa melihat senyuman dan sinar matanya yang menawan dan teduh. Hingga muncul sebuah ide untuk membuat sebuah buku fiksi tentang kehidupan para pemain teater seperti Jun  yang tetap pentas di pinggiran  meskipun dia telah tiga kali unjuk gigi di Belanda. Perjuangan dia dan kawan - kawannya di Sanggar Teater Pelangi. Tapi tak kusangka, sebuah rencana oleh seorang penulis yang baru memunculkan dua novel abal-abal sepertiku ternyata justru menimbulkan polemik cinta dan tuduhan menyakitkan bagiku.

            “Aku tahu kau mendekatinya! Kau menyukainyakan Han? Dasar gadis tidak tahu malu! Kau mengikutinya kemana pun dia pergi, berboncengan seminggu sekali datang dan pulang dari dan ke kota busuk penuh mimpi cintamu untuk Jun.seharusnya aku menyadari hal ini sejak pertama kali Jun memperkenalkanmu padaku sebagai temannya. Kau mengikutinya , seharusnya sudah kusadari sejak dulu bahwa aku harus berhati-hati bahwa suatu hari nanti kau akan jatuh hati padanya, merebutnya perlahan-lahan dariku,”

            Kalimat Audrey yang dia sampaikan di depan teman-teman ku kemarin sangat menyakitkan. Tiba-tiba saja gadis yang telah berstatus sebagai kekasih Jun sejak dua tahun yang lalu itu datang menemuiku di kampus dan berbicara seenaknya sendiri, semudah dan seringan pita suara yang tergantung di tenggorokkannya.

            Dia salah besar! Aku sama sekali tak berniat untuk merebut Jun darinya. Kuakui aku memang menaruh hati , menyimpan satu kata cinta dalam diriku untuk Jun, tapi dia salah tentang suatu hari nanti aku akan jatuh hati pada Jun dan merebutnya darinya. Aku menyayangi Jun dan menyimpan cinta yang kusadarai sejak lebih dari empat tahun yang lalu.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 20, 2013 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

AndaiWhere stories live. Discover now