Orang Ketiga

54 1 0
                                    

Pada awalnya, aku lega dan bahagia bisa terlepas darimu. Kalau boleh mendefinisikan bagaimana rasanya, rasanya tidak jauh beda dengan saat kamu menerima cintaku dulu sekali. Malah bisa dibilang aku jauh jauh jauh—satu kata "jauh" tidak akan cukup menggambarkan betapa aku—lebih bahagia.

Pikirku saat itu, akhirnya aku bisa kembali pada teman-temanku. Tampaknya dua abad telah berlalu sejak terakhir kali aku jalan bersama mereka. Pikirku, akhirnya aku bisa lebih lama bercengkerama dengan keluargaku. Semenjak pacaran denganmu, kita berdua tahu, aku jadi jarang berada di rumah. Dikit-dikit kamu telepon minta ditemenin: ke mall-lah, ke bioskop-lah, makan malam-lah, dan seterusnya. Dikit-dikit kamu nangis—kebanyakan karena hal sepele semisal kuku patah—dan minta aku dengar curhatanmu yang sepanjang jalur pantura.

Dan yang lebih aku syukuri lagi, akhirnya aku bisa bicara dengan siapa saja, terutama orang yang mungkin menyukaiku, dengan leluasa tanpa membuat dirinya, dan terutama aku, merasa risih dengan bahasa tubuhmu yang terang-terangan meneriakkan kecemburuan dan keposesifanmu. Beban berat yang selama ini membebaniku, membuatku bungkuk seperti padi yang siap dipanen, akhirnya bisa kutanggalkan.

Aku sudah siap menyambut kembali kehidupan lamaku yang lebih ceria, nyaman, tenteram dan jauh dari tekanan.

Tapi ternyata aku salah besar.

Aku terlalu cepat menarik napas lega.

Aku terlalu cepat mengklaim kemerdekaanku.

Dengan atau tanpa kerelaanku, kamu tetap melaksanakan praktek kolonialismemu. Menjajah fisik, hati dan pikiranku.

Meski kita secara teknis telah putus, kamu tidak pernah mau meninggalkanku. Kamu terus saja menempel padaku. Kamu membuntutiku kemana-mana seakan-akan kamu pengawal pribadiku. Seolah-olah aku ini magnet dan kamu besi. Besi yang tak ingin kutarik, kalau boleh kutambahkan.

"Tapi aku sudah berjanji untuk selamanya bersamamu. Baik senang maupun duka. Aku tidak mungkin mengingkarinya."

Begitulah jawabmu tiap kali aku mengingatkanmu bahwa kita tidak punya hubungan apa-apa lagi. Bahwa aku bukan milikmu lagi.

Kalau pun kamu masih mau menjalin hubungan denganku, sebab aku tidak, kita masih bisa menjadi teman.

Hanya teman.

Bukan pacar.

Bukan kekasih.

Bukan objek keposesifanmu.

"Iya deh, hanya teman..."

Aku nyaris bersorak ketika kamu mengatakan itu. Akhirnya kamu menyerah juga! Tapi lagi-lagi, aku terlalu cepat menyimpulkan. Kalimatmu belum selesai, masih ada sambungannya.

"... teman tapi mesra."

Kemudian kamu tertawa terbahak-bahak. Seolah kamu baru saja melontarkan lelucon paling lucu sedunia. Tapi kali itu, untuk pertama kalinya, aku tidak tertawa bersamamu. Tenggorokanku susah payah berusaha menelan pahitnya kekecewaan yang mencoba naik ke permukaan.

Tapi aku tidak mau menyerah begitu saja. Aku kembali mengungkit soal janjimu.

Dalam kondisi normal, aku mungkin berpikir berulang kali sebelum mengambil tindakan ini. Tapi demi damainya kehidupanku, juga lingkungan sekitarku, tanpa mengulur banyak waktu, tanpa banyak berpikir dan pertimbangan, aku harus memintamu mengingkari janjimu.

Kedua matamu sontak membulat, memancarkan keterkejutan, dan mulutmu meloloskan kalimat panjang yang, entah bagaimana, aku ingat betul hingga ke detail-detailnya. Mungkin sifat Ratu Dramamu menyebabkan sosokmu, juga kata-kata yang meluncur dari bibirmu, susah untuk dilupakan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 30, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Orang KetigaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang