31.1

4.2K 660 75
                                    

“Katakan ada siapa saja di rumahmu?” Berjalan mengitari swalayan, Tsana melihat ke kiri dan kanan tanpa menunjukkan ketertarikan pada barang-barang yang dijual. Sementara di belakang Noa mengikuti dengan mendorong troli sesekali memeriksa jam.

Sesuai arahan Lengkara, Noa menghalangi Tsana mengganggu rencana piknik sang tuan dan istrinya. Semula tidak ada masalah. Noa berhasil menggantikan sopir Tsana dan bermaksud mengirim gadis itu ke pusat perbelanjaan untuk menghabiskan waktu di sana. Namun, yang terjadi Tsana justru memaksa ingin bermain di rumah Noa. Jika tidak dipenuhi, ia akan tetap mendatangi Rengkah.

“Nona, tidak ada yang menyenangkan di rumah saya. Mengapa tidak ke tempat lain saja? Bagaimana jika ke taman di utara kota? Saya dengar ada pameran bunga langka di sana.”

Berbalik badan selagi bersedekap dada, Tsana mendekati Noa. Mendongakkan kepala karena Noa lebih tinggi darinya, Tsana berdecih tidak suka. “Mencoba memerintahku?”

“Tidak begitu, Nona. Hanya saja—”

“Jadi, siapa saja yang ada di rumahmu?”

“Nona, tolong jangan menyulitkan saya.”

“Katakan atau aku akan memesan taksi dan pergi menemui mereka sekarang juga!” Gadis dengan atasan hitam dipadukan rok pendek plaid itu sengaja memelototkan mata.

“Hanya Ibu dan kakak saya saja.” Menghela napas panjang, Noa mau tidak mau menjawab Tsana. Bagaimanapun, jauh lebih berbahaya jika Tsana melakukan sebagaimana yang dikatakannya.

Tersenyum puas, Tsana menghampiri etalase kue. “Lalu apa yang mereka suka? Apa kue di sini cocok dengan selera kakak dan ibumu? Atau, haruskah kita ke toko kue di seberang swalayan. Kudengar mereka memiliki koki dengan Michelin Star.”

Pusing menghadapi tingkah Tsana, Noa memasang wajah pasrah. “Pilih saja sesuai dengan yang Nona suka. Mereka tidak memiliki preferensi khusus.”

“Baiklah.”

***

Perjalanan menuju pantai memakan waktu seperempat jam. Tidak banyak kendaraan yang berlalu-lalang menimbang tengah terjadi pembatasan kegiatan di luar ruangan. Sejumlah destinasi wisata dijaga ketat dan hanya bisa diakses segelintir orang dengan mematuhi beragam persyaratan. Lengkara bahkan perlu waktu dua hari untuk berkoordinasi dengan pihak yang bertanggung jawab sebelum menerima izin piknik di pantai.

Memasuki area pantai, mobil melewati rimbunnya pohon pinus di kiri dan kanan jalan. Dari kejauhan mulai tampak bibir pantai dengan hamparan pasir putih yang membentang panjang. Sementara Lengkara fokus menyetir, Rengkah bersenandung riang menyantap potongan semangka yang sengaja suaminya siapkan.

“Lengkara.”

“Iya, Sayang?”

“Buka mulutmu.”

Mematuhi perintah Rengkah, Lengkara membuka mulutnya. Wanita itu menyuapinya dengan sepotong kecil semangka, lantas bertanya, “Manis?”

Menoleh sebentar, Lengkara tersenyum lebar dan mengangguk. “Sangat manis. Terima kasih.”

“Lebih manis aku atau semangka ini?”

Tidak ada jawaban dari Lengkara. Memalingkan muka, Rengkah menyesali pertanyaan sembrononya. Tanpa menyangka Lengkara yang baru saja selesai memarkirkan mobil tiba-tiba mencondongkan badan ke arah dirinya. Begitu sang istri berbalik, ia dengan lembut berkata, “Biar aku coba.”

Lengkung tipis merah mudah Lengkara dengan ramah menyentuh lengkung tipis merah mudah Rengkah. Sedikit aroma semangka tertinggal begitu keduanya tertaut mesra. Rengkah mendelikkan mata, tetapi tidak mencoba menolak tindakan agresif Lengkara.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 06 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Rengkah LengkaraWhere stories live. Discover now