6. Afeksi Adrian

1.8K 365 38
                                    

Aku kembali ke paviliun jelek itu dan mengurung diri di sana sambil rebahan di kasur. Sebenarnya merajuk seperti ini pada sistem tidak akan membuahkan hasil apa pun. Tapi tetap saja, disiksa Cain itu menyakitkan! Dia, walau masih bocah--sebenarnya berada di masa remaja awal--memiliki kekuatan yang lebih kuat dariku sehingga saat dia menyiksaku secara sepihak, rasanya seolah aku tengah benar-benar dianiaya sampai tak berdaya.

Mungkin untuk kompensasi poin, itu meningkat dua kali lipat dari kompensasi poin biasanya. Tapi aku agak tidak puas dengan stat afeksi yang sistem berikan padaku.

Karena sudah pernah bermain otome game, aku jadi tahu kalau menaikkan stat afeksi itu memang sulit. Tapi jika aku disiksa seperti ini, aku merasa agak tidak adil saat mendapatkan kompensasi yang tidak setara.

Lalu, tok, tok.

Pintu paviliun kecil ini diketuk. Siapa? Aku mengerutkan dahi.

Jika itu Ezekiel atau Cain, mereka pasti akan langsung mendobrak pintu masuk tanpa harus mengetuk. Dan jika harus mengetuk, itu pasti Charlotte. Apa dia menyusulku kemari?

Sebenarnya aku males banget menghadapi Charlotte saat ini. Jadi, aku akan pura-pura tidak tahu ada tamu dan akan mengabaikannya.

Tapi ternyata pintu paviliun ini malah dibuka tanpa izin! Dan saat melihat orangnya, loh, bukan Charlotte, toh, melainkan Adrian!

"Arthevian?"

Aku buru-buru bangkit dari posisi rebahanku dan keluar dari ranjang.

"Adrian? Kenapa kamu di sini?" tanyaku.

Adrian tersenyum, menutup pintu paviliun, lalu menghampiriku.

Saat aku melihat layar biru melayang di atas kepala Adrian, aku mengangkat sebelah alis.

[Afeksi: 6%]

Loh, jadi 6%?

"Arthevian, maafkan sikap Cain yang sudah sangat kasar padamu," ujar Adrian, dia memiliki sorot simpati di kedua matanya yang berwarna biru.

Aku hanya mengedikkan bahu. "Bukan apa-apa, lagipula yang bersalah adalah Cain, kamu seharusnya tidak perlu meminta maaf untuknya."

Aku tersentak saat merasakan sentuhan Adrian di pipiku, itu adalah bekas tampolannya Cain. Dan saat disentuh, itu menimbulkan rasa perih hingga aku agak meringis.

Si pemeran utama pria kedua itu, kekuatannya padaku tidak main-main. Padahal usia asli Arthevian saja baru delapan tahun, dasar gila!

"Apakah ini terasa sakit?" tanya Adrian.

Buta matamu, ya?! Jelas-jelas tadi aku meringis. Tapi lain dengan hati, lain dengan ekspresiku, aku memamerkan senyuman lemah.

"Tidak apa-apa, ini akan pulih nanti," balasku.

"Aku memang belum menguasai ini dengan mahir, tapi setidaknya aku tahu sesuatu. Maaf jika lukanya semakin terasa sakit."

Aku menatap Adrian dengan aneh. Tapi Adrian hanya menutup kedua matanya, dan aku merasa energi Adrian tiba-tiba terpancar dan berfokus pada telapak tangannya di pipiku.

Tidak seperti yang Adrian katakan padaku bahwa ini akan terasa menyakitkan, energi yang ada di telapak tangannya terasa hangat, menyentuh pipiku, membuat lukanya tidak lagi terasa perih.

Tak lama kemudian, energi itu memudar. Adrian kembali membuka matanya dan melepaskan pipiku. Dia lalu tersenyum kecil ketika melihat luka di pipiku susah pulih sepenuhnya.

"Apa masih terasa sakit?"

Aku meraba pipiku, lalu merasakan bahwa pipi itu kembali mulus. Tidak ada rasa perih atau sakit lagi setelah ditampar Cain. Bahkan aku merasa bahwa kedua pipiku makin halus dan kenyal?

Anak Buangan DukeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang