Prolog

1.4K 136 61
                                    

Happy reading

Hidup selalu punya kejutan. Manusia selalu punya cerita. Kejutan dan cerita adalah bagian dari hidup manusia. Sering kali kita dihadapkan dengan situasi rumit yang diberi pemakluman dengan nama 'hidup memang soal menerima' pada kenyataannya, kita tidak selalu siap untuk menerima beberapa hal yang datang pada kita.

Sorai, gadis berusia 35 tahun. Yang bekerja di sebuah panti jompo, adalah bentuk dari bagaimana manusia ikhlas menjalani segala takdir yang ditetapkan.

Sorai selalu berpikir. Hidupnya akan datar dan hambar tanpa ada cinta yang masuk untuknya. Namun, pada satu tahun yang lalu. Seorang laki-laki datang padanya dan mengajaknya berkenalan hingga sampai pada pelabuhan terakhir.

Tepat di usia 35 tahun, Sorai menikah dengan Masalam Han Nuraga. Dia punya pabrik sepatu. Usianya sudah 38 tahun. Punya anak 2 dari istri pertama. Ya, Masalam memang duda. Sorai tahu itu.

***

"Hidup itu punya aturan Jaksa. Kamu nggak bisa berbuat semaumu. Hidup berjalan seperti mau mu? Tidak bisa. Kamu sudah semester 1. Pintar-pintar lah bicara. Apalagi sama istri Ayah."

Sorai menunduk mana kala Masalam menyebut namanya ketika menasehati Jaksa di meja makan.

Jaksa Han Nuraga adalah putra pertama yang sekarang usianya sudah 17 tahun, dan sudah masuk semester 1 di perkuliahan.

"Jaksa nggak suka sama istri Ayah. Itu wajar. Semua orang juga butuh waktu untuk menerima orang baru. Apalagi riwayat hidup orang baru itu tidak jelas. Sama saja Ayah membawa orang asing ke rumah ini. Identitasnya tidak jelas. Keluarganya tidak ada. Apa Jaksa tidak berhak menuduh kalau Sorai hanya mau harta Ayah? Dan lama kelamaan dia yang akan mengusir kita dari rumah kita sendiri."

Masalam meletakkan sendok serta garpunya di atas piring. Beralih menatap Jaksa dengan tatapan tajam yang terlihat ada gemuruh amarah di sana.

"Penjajah lahir dari bangsa sendiri. Begitu juga pengkhianat. Pengkhianat lahir dari orang terdekat kita. Ayah nggak bisa nutup mata sama telinga hanya karena ayah cinta sama dia," sambung Jaksa lagi.

Dan itu semakin membuat Masalam marah. Sorai menahan tangan Masalam yang hendak naik.

"Kita nggak bisa mengontrol mulut manusia, Masalam. Kita hanya bisa mengontrol telinga kita. Mana yang harus didengar, mana yang harus diangggap angin lalu. Namanya juga anak-anak."

Jaksa kesal sendiri mendengar ucapan Sorai. Dia berdiri. Sarapannya belum habis. Kakinya terdengar menendang kursi mana kala pergi dari sana.

"Jangan bawa mobil, Jaksa. Naik angkot saja. Ayah larang kamu bawa mobil seminggu kedepan. Itu hukuman!" peringat Masalam.

Jaksa berdecak kesal. Dia lempar kunci mobil ke lantai dan keluar dari rumah itu dengan langkah jengkel.

"Aku minta maaf, Sorai."

"Eh enggak. Ngapain minta maaf. Satu bulan nikah sama kamu, udah cukup buat aku memaklumi sifat Jaksa."

Masalam tersenyum lantas mencium kening Sorai cukup lama. Menurut Masalam, Sorai adalah cahaya baru yang terbit dari arah yang paling sunyi di hidupnya.

***

"Apakah ibu keluarga dekatnya Pasien?"

"Saya Mamanya," jawab Sorai.

Dokter tersebut lantas tersenyum dan melipat kedua tangannya di atas meja.

"Jadi begini, Buk. Saya ini sudah satu tahun lebih menjadi dokternya Javas. Dia selalu datang sendiri ke saya selama 1 tahun lebih. Mungkin, ini saatnya ibu tahu dan ikut andil dalam penyembuhan Javas."

Sorai StoryWhere stories live. Discover now