17 Agustus 1997 (2)

1.2K 13 1
                                    

Pagi ini kesel banget ma Ibu yang kelupaan beli sapu lidi baru buat di bawa ke sekolah.

"Pakai yang ada aja kenapa si, Ning?" ibu cuman bisa memelas.

"Ya, Bu, disuruhnya juga beli. Nanti kalau disuruh ditinggal di sekolah, Ibu jadi ga punya sapu lidi lagi, lo!" gue tetap maksa.

"Ya, biarin! Nanti punya ibu aja sapu lidi yang baru." Ibu ngeles dengan tenangnya.

Beliau masih sibuk merapikan kunciran 2 di kepalaku sambil bersenandung kecil lagu anak, "Abdi gaduh hiji boneka ... sakinten saena sareng lucuna ... kuabdi dierokan ...."[1] Terus berulang-ulang membuat gue bête.

"Ibu apaan sih? Nyanyinya ga ada lagu yang agak mature ya?"

Ibu tertawa, "Kan emang ibu punya boneka satu yang cantiknya kaya gini." Sambil mengacak-acak rambut gue.

"Ah ... jangan dong, Bu!" gue berlari menghindar kesal.

Ibu dan Bapak memang selalu memanjakan gue, seakan-akan gue tidak akan pernak dewasa. Menurut gue sih kadang sikap mereka berlebihan, misalnya gue tidak bisa ambil les di luar rumah, mereka lebih memilih gue pulang sekolah langsung ke rumah dan memanggil guru privat dari rumah. Gue juga jarang banget main keluar dengan anak-anak tetangga, habisnya mereka bête sih, kalau main bersama pasti Ibu atau Bapak ikutan nongkrong bersama kami.

Kalau gue protes alasannya klasik, "Kamu kan anak satu-satunya, Bening! Ga ada gantinya lagi kalau hilang."

Setelah gue duduk di SMA sekarang, gue mau bikin proposal ma mereka untuk membebaskan hidup gue. Kata orang masa SMA kan masa paling tak terlupakan seumur hidup. Masa iya, orang tua masih ikut campur juga menentukan masa yang harusnya jadi paling manis ini dalam hidup gue.

Meski akhirnya, proposal itu kandas di hari pertama masuk sekolah.

"Ngapain sih ada penataran P4 segala? Hanya buat ajang nyusahin anak-anak baru." Ibu malah ngedumel sini pas sarapan.

"Tapi kan seru, Bu. Nanti aku bisa ngeceng kakak kelas yang super cool dan ga langsung belajar yang susah-susah. Refreshing lah, Bu!" bela gue

"Bapak antar kamu sekolah ya, Bening." pinta ibu.

"Plis deh, Bu. Tempoh hari kakak kelasnya bilang akan dapat hukuman kalau ketahuan kita diantarin ma orang tua ke sekolah."

"Biar aja, siapa sih yang berani hokum kamu kalau di depan bapaknya." Bapak malah setali tiga uang dengan Ibu.

Emangnya Bapak siapa sih? Pemuka adat bukan, pimpinan Pemda juga bukan. Beliau memang kerja di pemerintahan kodya Bandung sih, hanya sebagai Kepala Dinas biasa saja. Gajinya tampak pas untuk kehidupan kami secukupnya, ada rumah, mobil merk lawas dan sekolahku di SMA negeri. Tidak ada liburan mewah apalagi keluar negeri.

Benar saja permintaan Bapak Ibu tak pernah bisa kulawan, secara nomer saja sudah kalah, 2 lawan 1. Jadinya hari ini gue pergi dengan mood yang amburadul.

Saking amburadulnya, gue baru sadar di mobil kalau kelupaan pake sepatu.

"Oh MY GOD! Gue lupa pake sepatu. Sandal swallow rumah bertengger manis di kedua kakiku yang berkaos kaki putih bersih."

Gue tahan diri sekuatnya agar tidak berteriak, tapi gue rasa hawa panas di bagian pipi, memerah rasanya karena kesal. Hari ini semua rusak!

Gue memilih tetap diam, karena kalau tidak, Bapak akan mengomel dan mengajak pulang balik. Akhirnya gue akan telat dan akan kena hukuman juga. Sekalian saja lah sekarang kena hukuman tapi bisa ikut upacara dari awal hingga selesai. Tumben kali ini upacara bendera yang aku tunggu-tunggu, biasanya sih malas.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 29, 2015 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Suami-suami GilaWhere stories live. Discover now