4 - SEBUAH TRAUMA

6.2K 846 43
                                    


Tidak akan ada hujan jika tidak ada mendung, mungkin kalimat itu cukup tepat menggambarkan rasa insecure yang dialami oleh Hana. Dulu, ketika Hana masih berusaha lima tahun, lebih tepatnya saat duduk di bangku TK kelas B, Hana termasuk gadis yang ceria, aktif dan suka maju di depan kelas.

Bahkan, ketika acara pentas seni perpisahan TK, Hana ditunjuk untuk bernyanyi sendiri di atas pentas untuk membawakan lagu 'becak-bacak'. Hana sangat menikmati dan menyukai ketika orang-orang memperhatikannya dan memujinya.

Namun semua rasa percaya diri Hana itu langsung sirna dalam sekejap ketika Hana duduk di bangku kelas empat sekolah dasar ketika keluarga Hana mengalami bangkrut dan Hana harus pindah sekolah. Kala itu, Hana mengalami banyak kesusahan bahkan di sekolah barunya Hana sama sekali tidak memiliki teman. Karena hal itu membuat rasa takut, cemas dan tidak percayaan diri seorang Hana mulai muncul dan semakin mendominasi dirinya.

Tanpa Hana sadari, semua sikap itu seolah menjadi parasit di tubuh Hana hingga Hana menginjak remaja.

*****

Hana turun dari bus kemudian berjalan ke rumahnya. Jarak dari halte bus ke rumah Hana sekitar lima belas menit. Hana sudah terbiasa berjalan jauh. Sejak kehidupan keluarganya berubah dalam sekejap banyak yang Hana korbankan. Terutama mimpinya sejak kecil yang ingin menjadi seorang Dokter.

Namun, Hana tidak pernah menyerah. Sejak SMP hingga masuk kuliah, Hana berhasil mendapatkan beasiswa. Hana selalu mempertahankan peringkatnya di lima besar.

Setidaknya Hana tetap bisa kuliah, meskipun bukan di Kedokteran. Hana memilih jurusan Teknik Sipil dengan alasan, lowongan pekerjaan dan gajinya yang menarik jika Hana sudah lulus.

*****

Hana akhirnya sampai di rumahnya, ia melihat Ibunya tengah beres-beres di warung sebelah rumah. Untuk menghidupi kehidupan keluarga, Ibu Hana berjualan nasi pecel dan gorengan. Semua itu sudah dilakukan sejak Hana duduk di bangku SMP. Dan, Hana tidak pernah merasa malu dengan keadaan keluarganya sekarang.

"Bu, biar Hana bantu." Hana buru-buru mendekati sang Ibu dan membantu mengambil piring-piring kotor.

"Nggak usah Han. Tinggal dikit lagi. Kamu pasti capek habis kuliah," tolak Rita, Ibu Hana.

"Hana nggak capek, Bu," elak Hana.

"Masuk saja Han. Ibu bisa sendiri."

Hana menggeleng, bersikeras untuk membantu Ibunya.

"Hana malah capek kalau nggak ngapa-apain Bu. Serius deh."

Rita terkekeh mendengar balasan putrinya. Rita merasa beruntung memiliki Hana, sang penguatnya selama ini. Kadang, Rita merasa bersalah dengan Hana. Tidak bisa melengkapi kebutuhan Hana dengan layak.

"Ibu tadi masak telur mata sapi kesukaan kamu."

"Nggak ada kuning telurnya, kan, Bu?"

"Iya, kuning telurnya sudah Ibu ambil."

"Yang kering juga kan telur mata sapinya?"

"Iya yang kering sampai kelihatan mau gosong," seru Rita.

"Asik. Makasih Ibu Rita."

Rita geleng-geleng.

"Kayaknya cuma kamu Han yang suka telur mata sapi nggak pakai kuningnya dan harus kering banget sampai kelihatan kayak telur gosong! Aneh memang kamu ini," heran Rita.

HI AWANWhere stories live. Discover now