Chapter 1 | Red Shoes

623 50 4
                                    

"Jadi nggak ada penetrasi?" tanya Lala

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jadi nggak ada penetrasi?" tanya Lala.

Btari menggeleng. Peristiwa yang sudah lewat seminggu lalu itu kembali terngiang di benaknya.

"Ciuman?" tanya Lala lagi.

Lagi-lagi Btari menggeleng. "Menurut lo, gue nggak menarik, ya?"

Lala menarik gelasnya yang hampir penuh dari vending machine otomatis di depannya. Uap panas dari kopi menguar, bergerak-gerak di udara sebelum menghilang. "Gue udah bilang, lo itu bukan tipe dia, Ri! Lo kan tau, selain karena selektif make cewe, rumor yang bilang Pak Bara itu menghindari perawan kayaknya bener, dia nggak suka cewek yang belum pengalaman."

Btari memutar bola matanya. "But he fingering me, and the first time of my life, gue kelojotan karena enak banget. Sialan! Gue mesum banget."

"Fingering engga berarti dia mau ngewe sama lo, lagian kan lo yang minta. Tapi pikirin lagi deh, emang lo benar-benar mau kasih pertama lo sama orang yang sama sekali not into relationship, just casual sex kayak dia? Ayolah, Ri. Lo berharga anjir." Lala mendengkus putus asa.

"Gue suka sama dia, dan cepat atau lambat gue juga bakal ngelepas pertama gue. Tapi gue pengennya emang sama Bara Hardidjaya. Sorry, i really really have crush on him."

Bunyi telepon menyela konversasi mereka. Btari mengambil benda itu di sakunya. "Bara, La!" katanya sambil menunjukkan layar ponsel.

"Ya udah angkat, baru juga lima menit lo ke pantry udah heboh nelponin kayak kehilangan pacar."

Btari mengembalikan perhatian pada benda di genggamannya. "Nggak gitu, Anjir. Dia ada jadwal pagi ini visit ke proyek yang di Angke, berkasnya sama gue. Bentar, gue angkat dulu. Kayaknya gue mau nyoba lagi deh."

"Good luck, deh!"

"Baik, Pak Bara. Saya segera kesana."

Lala menggeleng sambil mengamati punggung Btari yang semakin menjauh, kemudian menghilang di pintu masuk pantry.

***

Ini terdengar sangat fiksi, tapi pertemuan pertama dirinya dengan Bara Hardidjaya memang mirip seperti sebuah dongeng. Ya, Cinderella, namun bukan dengan sepatu kaca melainkan sepatu merah.

Malam itu Btari ketinggalan busway terakhir di sebuah shelter yang berada di antara selatan dan pusat Jakarta-karena memang sudah lewat tengah malam. Kenapa pulang larut? Ia diminta lembur oleh atasannya, ingin menolak tapi ia hanya seorang pegawai purchasing biasa, dan ini merupakan pekerjaan pertamanya di Jakarta.

Sialnya, si bos mesum menggodanya, membujuk Btari agar mau melakukan hal tak senonoh. Ia tentu enggan, namun pria itu tetap memaksa dengan sebuah ancaman. Untung saja gadis itu bisa lolos, walau terbirit-birit hingga meninggalkan tas dan sepatunya begitu saja.

Btari lemas, ia memutuskan naik angkutan umum. Tapi setelah dilihat-lihat, kopaja sama menyeramkannya bahkan lebih parah jika tengah malam. Ia sempat terduduk di pinggir jalan, menangis sesenggukan sebab merasa cupu di tengah kejamnya ibukota. Akhirnya ia memutuskan menunggu pagi di sebuah warung kecil dua puluh empat jam pinggir jalan.

Pemilik warung mengerjap heran. "Lah, Neng. Kenapa atuh sendirian jam segini, jalan kaki sambil sesenggukan? Mana nyeker lagi. Kamu dijahati orang? Ini minum dulu." Wanita itu kira-kira berumur seperti ibunya. Ia menyodorkan sebuah air mineral kemasan yang langsung Btari terima dan habiskan dengan sekali sedot.

Ia tersengal. "Makasih Bu, minumnya." Btari mengusap bibir dengan punggung tangan. "Saya tadi lembur, engga taunya ternyata bos di tempat saya bekerja kurang ajar. Dia ngajakin saya begituan, Bu. Saya nggak mau, eh dia maksa. Saya lari, terus tas sama sepatu saya, saya tinggal di sana. Nggak sempet bawa, Bu. Udah nggak mikirin apa-apaan lagi selain nyelametin diri. Saya nggak mau balik ke sana lagi, kayaknya saya mau pulang kampung aja. Hidup di Jakarta ternyata susah."

Ternyata ada seseorang yang tidak sengaja mendengar ceritanya. Seorang pria bersetelan rapi dan formal yang merokok di belakang sana. Ia tahu pria itu tadi memperhatikan dirinya dari atas sampai bawah. Btari bahkan harus menumpangkan satu kaki yang tak beralas ke kaki lainnya karena malu. Mungkin pria itu berpikir ia orang gila.

Btari mengawasi pria asing itu pergi setelah menghabiskan rokoknya, ia hanya mengedikkan bahu dan memutar badan untuk meraih segelas air mineral lagi.

"Pake ini, untuk ongkos taksi." Ternyata pria tadi kembali dengan sepasang sepatu berwarna merah cantik dan ia letakkan di samping kaki mungil Btari. Setelahnya, pria itu kembali pergi tanpa berkata apapun lagi.

Btari masih terdiam sambil mengamati dua lembar uang merah di telapak tangannya, serta sebuah kartu nama bertuliskan GPH. Sembara A. Hardidjaya.

Mulai saat itu, ia tahu hatinya telah ia letakkan pada seseorang. Seseorang yang sangat ia kagumi hingga sekarang, yang kini sedang berada di depannya. Dialah Bara Hardidjaya.

"Btari, berkas pengembangannya mana? Disini cuma ada tiga dokumen!"

Btari masih menatap wajah dingin namun luar biasa tampan itu tanpa berkedip-mengagumi hasil ciptaan Tuhan yang nyaris sempurna.

"Embun Btari?" ulang Bara sedikit kencang.

Ingatan tentang tiga tahun lalu buyar begitu saja. Btari mengerjap gugup. "Ah, ya Pak Bara?"

"Berkas pengembangan?" Bara menekan intonasi di setiap akhir kata yang ia ucapkan

"Sebentar Pak, saya ambil." Btari gelagapan, ia berlari ke ruangannya dan kembali dengan sebuah dokumen yang segera ia letakkan di depan Bara.

"Oke, terima kasih. Kamu bisa kembali ke ruangan kamu," perintah pria itu.

Btari berdiri canggung di seberang bosnya, ia ingin mengatakan sesuatu, namun masih menahannya karena malu. Ia berdeham. "Say-saya menyukai apa yang kita lakukan seminggu lalu saat di basement, Pak. Malam ini saya free, jika anda ingin." Ia berkeringat, betapa tak tahu malu dirinya. Menawarkan sesuatu layaknya seorang pro.

Jemari Bara yang sedang menggenggam pena terdiam sebentar. Ia menaikkan kedua alis, tak menyangka gadis itu kembali menawarkan hal kelewat nakal melebihi sekedar blow job. Ia menengadah. "Terima kasih Btari, tapi saya tidak sex dengan sekertaris saya."

He is a liar Rumor yang ia dengar, pria itu bahkan berpacaran dengan sekertaris sebelumnya. Dan mengenai servis yang ia berikan minggu lalu, bukankah itu disebut sex juga?

Wajah Btari merona merah, ia malu sekali sampai ingin mengubur diri. "Oh, itu maafkan saya ... saya tidak bermaksud, Pak Bara." Gadis itu buru-buru mengumpulkan berkas yang ia bawa tadi, sambil sesekali melirik pada pria pujaannya tersebut.

"Jangan salah faham dengan yang kemarin, itu pure karena kesalahan semata, saya sedikit banyak pikiran. Maka lupain aja dan jangan diingat lagi, Mulai sekarang saya minta jika di lingkungan kerja jangan membahas masalah pribadi," kata Bara tanpa melihat pada sekertarisnya.

Btari mengangguk, kemudian langsung keluar dari sana dengan wajah malu luar biasa. "Btari tolol!" makinya pada diri sendiri, terus merutuk hingga hampir menabrak seorang wanita yang ingin masuk ke ruangan Bara. Kali ini wanita berbeda lagi dengan sebelumnya. Ia menurunkan pandangannya dan mendapatkan bahwa wanita itu juga memakai sepasang sepatu merah.

Blur red line Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang