why does it matter when my heart aches?

183 22 22
                                    

inspired by the caretaker's everywhere at the end of time; listen to the multimedia for a better (read: more aching) experience.


NATAL 2000


MEMORI MANUSIA, MENURUT ilmuwan, mulai berkembang sejak seseorang berumur dua atau tiga tahun. Jika diingat-ingat lagi saat dewasa, memori di masa-masa itu memang kabur sifatnya—perlu faktor-faktor pendorong, kayak cerita-cerita dari orangtua atau orang-orang lain di sekitar, melihat foto-foto masa kecil, atau bahkan tahu-tahu ingat karena sekelebat déjà vu, bagi kita untuk mengingat memori-memori awal tersebut. Aku sendiri nggak pernah terlalu mengkhawatirkan betapa sedikitnya yang bisa kita ingat dari masa-masa batita itu; toh, apa yang mau diingat saat kegiatanmu kebanyakan cuma berupa makan, nangis, dan ngompol?

Kendati demikian, memang ada memori awal yang nggak akan pernah kulupa seumur hidup. Memori tersebut adalah Natal pertama yang kuingat, saat usiaku tiga tahun, 25 Desember 2000. Saat kebanyakan anak-anak lain menghabiskan Natal mereka bareng keluarga, entah itu dengan ibadah di gereja mengenakan baju baru atau ngumpul di rumah sambil menikmati kastangel dan menonton Home Alone, aku termenung di sebuah kapel kecil, dua peti kayu panjang berjejeran di depan altar. Layaknya ibadah Natal pada umumnya, banyak yang datang. Bedanya, saat Natal seharusnya menjadi momen bahagia—dari foto-foto yang kulihat di album, kapel itu, layaknya gereja-gereja lain di Jakarta pada tanggal ini, dipenuhi dekorasi cerah nan ceria kayak pohon terang, slayer, dan miniatur Sinterklas—orang-orang di sekitarku entah kenapa menangis. Alih-alih mengenakan pakaian bernuansa merah, hijau, atau kuning, pakaian mereka serba hitam. Nggak ada baju baru.

Aku bertanya-tanya kedua orangtuaku ke mana. Tadi malam, mereka pergi ibadah Malam Natal, jadi aku dititipkan di rumah Mbah Tyas, yang nggak ikut karena sudah ibadah Malam Natal duluan. Mbah Tyas tinggal nggak jauh dari rumah kami, tapi dulu aku sering merengek tiap kali harus ke rumah Mbah Tyas karena lokasinya agak masuk gang. Biasanya kalau aku dititipkan di rumah Mbah Tyas sampai malam, besok paginya aku entah kenapa akan menemukan diriku terbangun di kamarku di rumah. Tadi pagi, aku terbangun dan mendapati diriku di salah satu kamar kosong di rumah Mbah Tyas. Lalu, tahu-tahu Mbah Tyas-lah yang mengajakku ibadah pagi, tapi kami nggak ke gereja.

Mendengar pertanyaanku, Mbah Tyas menjawab, "Nanti kamu juga ketemu Mama-Papa, kok." Nada bicaranya begitu tenang. Tapi tetap saja, aku versi tiga tahun nggak bisa tenang.

Saat itulah, aku menangis. Melihatku yang membuat gaduh kapel pagi itu, orang-orang dewasa berbaju hitam yang ada di sana langsung menghampiriku dan berusaha menghiburku. Beberapa dari mereka bilang kalau Mama dan Papa nggak ada, tapi aku nggak akan mengerti apa yang mereka maksud sampai beberapa tahun ke depan. 

NATAL 2012

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

NATAL 2012


Nggak cuma sekali aku jadi bahan perundungan di sekolah gara-gara nggak punya orangtua. Meski aku punya Mbah Tyas, tetap saja rasanya nggak sama. Masa muda Mbah Tyas sudah lama berlalu, sehingga ia nggak bisa mengajariku jadi cantik dan modis layaknya seorang ibu. Hampir semua bajuku longsoran dari om, tante, dan kakak-kakak sepupuku, sehingga nggak jarang aku sepuluh atau dua puluh tahun ketinggalan zaman. Mbah Tyas juga nggak bisa menggendongku saat aku terjatuh layaknya seorang ayah. Kedua lengannya lemah, dan akan semakin rapuh seiring berjalannya waktu. Mbah Tyas cuma sekolah sampai SD, jadi ia juga nggak bisa membantuku mengerjakan tugas sekolah.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 02, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

HeartachesWhere stories live. Discover now