19 - Timezone

1.1K 185 39
                                    

"Kita sedang bermain di atas tanah Tuhan. Dia punya aturan untuk tiap pemainnya. Sebagai pemain harus tahu bagaimana cara menyelesaikan permainan tanpa melanggar aturan. Tak harus jadi pemenang, cukup bermain dengan riang tanpa melukai lawan."

- Arnav dan Lautan -
.
.
.
.
.

- Arnav dan Lautan -

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

.
.
.
.
.

Jika ditanya apakah menyesal telah dilahirkan ke dunia, maka jawaban Irham adalah tidak. Tapi, jika diberi pilihan lain maka Irham akan memilih tidak pernah menghirup udara dunia. Setiap kali oksigen itu masuk ke paru-paru Irham, rasanya begitu menyesakkan.

Banyak sekali hal yang seolah tak berpihak padanya. Keluarganya membuang dirinya begitu saja. Di sekolah ia jadi bahan hinaan guru dan teman-teman sebab tak memiliki orang tua dan hanya hidup di panti. Irham juga selalu dipandang sebelah mata saat ia harus bekerja di jalanan demi sesuap nasi. Sudah begitu, satu tubuh ringkihnya ini sering kali tak mampu diajak untuk bekerja sama menghadapi candaan semesta.

Lantas di saat Irham di puncak lelah dengan segala hal yang ia hadapi sendiri, Tuhan menghadirkan sosok Arnav dalam hidupnya. Pria baik yang dengan tulus menganggapnya sebagai saudara kandung sendiri.

Memandangi kucing-kucing yang tengah lahap menghabiskan makan siang, laki-laki bertubuh jangkung itu tersenyum sumir. Ternyata bukan dirinya saja yang diasuh oleh Arnav, kucing-kucing terlantar ini pun juga Arnav rawat. Sekarang jumlah hewan manis itu sudah lebih banyak, kalau dihitung total sudah ada sepuluh kucing yang Arnav rawat di kosan.

“Makan yang banyak, ya. Kalau pada kurus nanti Bang Zu marahnya sama Irham,” ucap Irham seraya mengelus punggung-punggung hewan karnivora tersebut.

Tak lama dari itu, motor Vixion hitam berhenti di depan kamar kos. Di kemudinya sudah tergantung plastik putih berisi nasi padang. Bibir Irham melengkung indah melihat sosok yang baru saja ia pikirkan muncul di hadapan dengan makanan favoritnya.

“Kok Bang Zu nggak ke cafe?” tanya Irham seraya menyingkir dari ambang pintu.

“Dua hari ini cafe tutup, Chio bilang mau renovasi bagian depan sama lantai atas.” Jawab Arnav lantas melepas sepatunya. Irham hanya ber-oh ria kemudian membuntuti Arnav yang mulai masuk.

Kini keduanya tengah menikmati makan siang dengan ditemani serial film India di salah satu channel televisi. Padahal Irham tadi sudah makan soto di depan sekolah, tapi sebungkus nasi padang habis juga ia lahap.

“Abang mau main, kamu mau ikut nggak?” tanya Arnav seraya meremas kertas makan.

“Hayyuk lah, gas. Irham juga bosen di rumah mulu,” jawab Irham.

“Kalau gitu sekarang bantuin Abang mandiin mereka.” Ucap Arnav seraya mengedikkan dagu ke arah Amel bersaudara lantas bangkit menuju dapur.

“Ta-pi... Aishh,” Irham menghela napas panjang.

Arnav dan Lautan | Haechan [END]Where stories live. Discover now