BAGIAN 8

1.4K 31 4
                                    

Kevin menunjuk ke langit, di saat ia sudah membawa Marla untuk menikmati suasana di pegunungan. "Liat, Marla... langit masih biru, 'kan...", kata Kevin.

"Iya, kalo 'gak mendung...", sahut Marla dengan wajah yang masih saja terselaput kabut. "Kalo mendung, awannya pasti ge,-"

"Liat, tuh!!!", Kevin memotong buru-buru, sambil menunjuk ke arah taman bunga yang menghampar tak jauh dari tempatnya duduk-duduk santai bersama Marla. "Bagus, 'kan... lagi mekar..."

"Ya... kalo layu... 'gak akan bagus la,-"

"Tuh!!!" Kevin cepat-cepat menunjuk ke atas. Sekelompok burung sedang terbang bergerombol di langit. "Meriah, 'kan...", kata Kevin.

"Semoga aja 'gak ada pemburu sadis yang ban,-"

"Marla!" Kevin sudah memasang wajahnya yang menekuk masam. "Coba liat sisi baiknya..."

Marla menggeleng. "Lalu terkejut dengan kejutan buruknya?" Ia menyahuti.

"Marla..." Kevin melengos. Ia mereguk bandrek panasnya setelah meniup-niupnya lebih dahulu. Lalu membuka mulutnya lagi, "Nikmatin, Marla... kamu coba nikmatin aja... apa yang keliatan baik dan jangan pikirin yang buruk-buruk..."

Marla terdiam. Ia baru saja hendak menganggukkan kepalanya, ketika sebuah lagu melantun keluar dari salah satu mobil yang terparkir tak jauh dari kedai kecil tempat ia dan Kevin duduk...

"Jangan simpan lagi..."

Mata Marla membelalak. "Apa kamu denger yang aku denger barusan?", tanya Marla sambil merapatkan mantelnya. Rambutnya tergerai dan tertiup angin sepoi-sepoi.

Kevin memicingkan matanya. "Denger apa?"

"Lagu barusan?"

"Marla..." Kevin sudah menggelengkan kepalanya dan mendecak. Lalu melengos dan bersuara lagi, "Itu cuma... lagu!" Nada suaranya mulai meninggi. Ia menemplak keningnya dan menggeleng-gelengkan kepalanya lagi.

"Kevin..." Marla menelan ludahnya sebelum meneruskan, "Aku denger beberapa kata yang sama. Simpan, permata, rahasia, semua tahu, mengaku, pen,-" Marla mendadak kehabisan nafas. Ia menarik nafasnya dalam-dalam dan meneruskan, "Aku terus mendengar kata-kata yang sama secara serempak dari berbagai sumber dan 'gak ngerti kenapa. Sampai aku menghafalnya dan mulai berpikir kalo aku ditu,-"

"Marla...", potong Kevin. "Itu kata-kata umum yang bisa dipakai untuk apaaaaa aja!", sambungnya tandas. "Gak selalu ditujukan ke kamu! Kenapa kamu selalu berpikir, semua hal buruk diarahkan ke kamu?"

"Tapi tapi tapi... akhir-akhir ini, aku denger dan li,-"

"Akhir-akhir ini, kamu tambah parno! Itu aja! Mungkin karena aku terlalu sibuk. Tapi kamu harus mengatasi itu, Marla..." Kevin sudah meregangkan otot-otot lengannya dengan merentangkannya ke atas dan bergerak seperti menggeliat. Lalu memiringkan kepalanya ke kiri. Kemudian ke kanan.

Marla terdiam.

"hhhhh..." Kevin melenguh. "Kayaknya... di sini pun, kamu 'gak bisa enjoy. Di rumah, kamu parno. Di mana-mana, kamu ketakutan... alasannya juga sangat sangat sangat konyol..."

"Tapi tapi tapi..."

"Berhenti ngulang ngulang ngulang kalimat yang sama!", sentak Kevin sambil bangkit berdiri dan menyangkutkan kedua tangannya di pinggang, menyibakkan jaketnya sedikit ke belakang. "Aku mulai cape dengan sikap kamu, Marla..."

"Kenapa aku selalu salah?" Marla menatap lurus, menengadahkan wajahnya ke arah Kevin. Sementara Kevin enggan menatap balik. Ia hanya merundukkan wajahnya dan menggumam kecil, "Kenapa aku harus selalu ngerti'in keadaan kamu?" Kini, ia melayangkan tatapannya pada Marla.

TAK TERBAYANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang