-33- Rasa di Balik Tawanan

8.7K 959 219
                                    

Kita lihat saja nanti, jika semesta telah turun tangan dan ikut campur. Jiwa siapa yang akan diterkam oleh kepedihan dan juga neraka!

-Putri Zasha-

---•••---

Mas Harza
"Jangan pulang ke rumah malam ini, menginaplah di rumah Bu Siena. Soalnya aku ingin menyelesaikan beberapa masalah dengan Zasha tanpa gangguan siapa pun."

Ia menaruh benda pipih itu di atas meja, menelisik lelaki yang sekarang mulai teler di sofa. Dari tadi, sudah berapa kali tegukan ia meminum minuman haram yang sengaja Satya berikan padanya.

"Za ayo pulang, ini sudah malam."

"Ummm... Sat, aku kacau," Harza menunjuk lelaki yang tengah melipat lengan di hadapannya, sesekali telunjuk lelaki itu terayun bersama dengan gelak aneh yang terbentuk tak terarah. "Dia ingin membawa wanitaku."

"Apa yang kamu katakan? Bangun, ayo pulang," ucap Satya dengan tegas. Ia tarik lengan lelaki itu lalu ia kalungkan pada lehernya. Membawa Harza seperti membawa beban hidup, sangat amat berat. Sempoyongan mereka seolah sama-sama mabuk, pada kenyataannya cuma Harza yang separuh kesadarannya telah menghilang.

"Mau ke mana? Sat... Gempa, jalannya getar. Satya, berhenti dulu, kita cari tempat yang aman."

"Ya Tuhan," Satya mempererat dekapannya saat Harza mencoba lepas. Ia bahkan lelah dan susah sekadar menghirup udara yang masuk. "Jika bukan keinginan Zasha, aku tak akan membiarkan kamu mabuk begini, Za. Bukan kasian, tapi benar-benar menyebalkan."

"Tegakkan badanmu, sialan!"

"Zasha..." Harza tergelak tipis. "Dia wanita yang cantik."

"Katakan saja sesukamu, aku capek," ucap Satya yang masih menyeret Harza menuju mobilnya. Tinggal tahap akhir dari pekerjaannya, setelah ini ia membiarkan Harza bertemu dengan Zasha agar wanita itu bisa bertanya sesuka hati. Sebab, Harza selalu hilang kendali, aa maksudnya hilang akal kala sedang mabuk.

"Mau muntah."

"JANGAN DI MOBILKU, SIALAN!"

"Siapa yang berteriak?"

Lagi-lagi Satya meneguk kuat salivanya. Sial, beberapa kali ia mengumpat di dalam hati. Jika terburu-buru membawa mobil, Harza bisa saja muntah dan membuat kotor mobil yang baru saja ia bersihkan. Tapi jika berlama-lama di perjalanan, lelaki itu bisa tak sadarkan diri sampai di rumah.

Pening mulai meresap ke dalam otak Satya. Ia juga menekan kening menahan ngilu. Teringat lagi kata-kata kasar yang terlontar untuk bos gilanya, bagaimana jika Harza ingat, maka akan menjadi perang mulut lagi di antara mereka.

"Satya, mau membawaku ke mana? Satya... Ayo pulang, aku ingin melihat Zasha."

"Ini juga menuju rumah. Kamu pikir aku akan membuangmu ke laut?"

"Dia cantik."

"Iya. Dia cantik, dia menarik atau apalah namanya, terserahmu Harza-"

"Tapi pembunuh."

Satya menoleh sesaat, ia pandangi lagi Harza yang terkapar seraya menyandarkan kepalanya. Tampak sangat rapuh dan penuh sakit, lelehan air matanya juga menetes deras, bahkan, Harza enggan untuk mengusap mengeringkan.

"Aku mencintainya."

"Aku tahu," mau tak mau. Acuh tak acuh. Tetap saja Satya menjawab meski singkat.

"Sangat mencintainya," Satya mengangguk lagi. "Tapi benci juga."

Rasa di Balik TawananWhere stories live. Discover now