Bab 4 Pria Beraroma Senja

62.3K 4.5K 281
                                    


Aku hanya tahu tentang email yang masuk ke akun Papa, dan aku tidak mengerti apa alasan tim forensic kepolisian mengatakan bahwa ledakan itu bukan karena dinamit atau bom rakitan, tapi karena korsleting listrik. Aku cukup pintar membedakan bagaimana kerusakan yang ditimbulkan oleh ledakan dan kebakaran.

Yang lebih membingungkan lagi, santri-santri di sini diam dan tidak ada yang membicarakan insiden seminggu lalu. Semua begitu tenang, seperti air yang mengalir. Ini nggak manusiawi, pikirku sambil menggaruk tengkuk. Aku melihat beberapa kawanku yang sudah tertidur. Setelah bangunan rusak, khusus santri yang semula tinggal di lantai 3 dialokasikan ke lantai pertama dengan penambahan jumlah penghuni kamar. jika sebelumnya, kamar dihuni maksimal 4 orang, sekarang minimal dihuni 8 orang. Meskipun begitu, kamar masih belum tercukupi. Aku dan lima orang anak diletakkan di rumah kyai pengasuh.

Sebut saja, aku tinggal di rumah Harris. Fix, ini membuatku tambah stress. Bayangkan, setiap hari aku selalu berpapasan dengannya, dan aku akan pura-pura tidak melihat atau ketika aku mau menyapanya, Harris tidak menatapku.

Menyebalkan memang dia.

Aku sudah menurunkan harga diri, tapi dia nggak peka. Terkadang, aku ingin membedah perut Harris kemudian mengambil hatinya agar aku tahu apa yang tersimpan di sana. Aku juga ingin tahu apakah yang dikatakan Yoga kemarin benar.

"Seluruh santri putra ngebicarain kamu seolah kamu bidadari yang tersesat dalam hiruk-pikuk dunia." Yoga tersenyum sebentar, "oke, aku akui kamu cantik dan ada sesuatu dalam dirimu yang nggak bisa ditolak oleh orang lain. Sebut aja itu sebuah pesona."

Tengkukku merinding. Aku melirik kanan kiri, nggak enak dengan beberapa orang yang melihat kami.

"Kamu cantik dan mempesona, apalagi kalau kamu mau kucium."

Aku memasang tatapan kematian, seolah bisa mengirim Yoga ke alam barzah hanya dengan sekali kedipan.

"Beneran, bibir kamu itu godaan paling besar. Tapi kamu tenang aja, aku nggak akan ngelakuin itu ke kamu sebab kamu udah nolong Ratih. Ah, biar aku luruskan lagi, aku akan menciummu kalau kamu mengijinkan."

"Jangan buang waktu berharga milikku." Aku kayaknya udah mulai berubah, nggak lagi gunain lo-gue.

"Thanks Nawaila, dengan rasa terima kasih yang sungguh-sungguh. Sebelum ini aku nggak pernah mengatakan terima kasih."

"Sombong amat," celaku, "bahkan kamu mungkin juga lupa cara berterima kasih ke Allah."

"Itu bukan terima kasih," sangkalnya, memberiku senyum kecil, "tapi syukur."

"Bagus, deh kalau kamu tahu bedanya." Aku menyahut malas-malasan.

"Yang terjadi pas Pramuka minggu lalu itu sebenarnya rencanaku. Aku meminta Pembina Pramuka agar menghukummu untuk tahu reaksi Harris. Dan feelingku benar, kamu adalah orang yang bikin Harris menanggalkan impiannya di Jakarta."

Nggak hanya Yoga yang bilang kayak gitu, Kintan juga. "Maksud kamu apa?"

Yoga hanya mengedip kemudian berlalu dari depanku. Aku nggak mungkin ngejar dia. Jadi, aku harus punya rencana lain, misal mengiterogasi Papa-tapi, nggak mungkin. Papa tipe orang yang peka, alih-alih membongkar rahasia, justru aku akan termakan sendiri oleh jebakan Papa.

Mungkin, aku bisa memanfaatkan hutang budi ke Kintan. Aku akan memanfaatkan fakta bahwa aku pernah menolongnya dan meminta Kintan menceritakan apa yang udah terjadi pada Harris, impian Harris, tepatnya.

"Belum tidur?" Kintan bertanya dengan suara serak.

Kesempatan!

"Belum. Kamu sendiri?"

Luka yang Kau Tinggal Senja Tadi (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang