11 Mencoba memaafkan

9K 583 3
                                    

Tok.. Tok... Tok. "Assallamuallaikum" . Hanifa datang ke kamarku selang 30 menit setelah Mas Langit keluar ruangan.

"Kamu kenapa sih La, bisa sampai hipotermia sama dehidrasi?" Tanya Hanifa yang langsung duduk di ranjangku. Wajah cantiknya mengguratkan kekhawatiran tentang kondisiku.

Aku mengalihkan pandangan ketika mendengar pertanyaan Hanifa. Pemandangan di luar jendela menerutku lebih menarik ketimbang menjawab pertanyaan itu. Aku tahu aku mengabaikan Hanifa. Tapi untuk saat ini, aku hanya ingin sendiri. Tanpa Hanifa, Raka, maupun Mas langit.

"Kenapa? Kamu berenang tengah malam? Hujan-hujanan?" Tanyanya lagi.

"Fa, kapan aku boleh pulang?"potongku tanpa menjawab pertanyaan Hanifa.

Aku ingin pulang. Aku tidak suka berada di rumah sakit. Meskipun aku sakit hati dan kecewa dengan perselingkuhan Mas Langit, tetapi aku tetap ingin pulang ke rumahnya.

"Sebenarnya kamu udah boleh pulang. Tidak perlu rawat inap" Terang Hanifa.

Aku menatap mata Hanifa. Bingung dengan ucapannya. Jika aku diperbolehkan pulang kenapa harus dirawat inap?

Sepertinya hanifa menangkap kebingunganku.

"Mas Langit" jedanya menghela nafas "Kemarin Mas Langit panik ketika kamu pingsan. Dia memaksa Dokter kalau kamu membutuhkan rawat inap. Dia takut kamu kenapa-kenapa lagi kalau hanya rawat jalan. Kalau kamu dirawat di rumah sakit akan ada dokter yang menjaga 24 jam" jelasnya.

"Fa, tolong lepas infusku. Aku ingin pulang sekarang" pintaku pada Hanifa. Aku hanya butuh banyak istirahat di rumah pasti aku akan segera pulih.

"Aku akan tanya ke Mas Langit terlebih dulu. Tunggu ya" Hanifa beranjak dari ranjang tapi aku langsung menahan tangannya.

"Tidak perlu Fa. Ini badanku. Aku yang memutuskan. Kondisiku sekarang baik-baik saja. Aku janji akan banyak istirahat sepulang dari sini. Jadi tidak perlu tanya ke Mas Langit" bujukku pada Hanifa.

Hanifa menghela nafas. Lalu dia mengambil perlengkapan medis untuk melepas infusku.

"La" panggilnya lembut sambil bekerja melepas infusku.

"hmm" balasku lesu.

"Jangan menyiksa tubuhmu seperti ini. Allah ga senang raga yang dititipkan ke kamu tidak dijaga dengan baik." Aku menunduk mendengar ucapan dari Hanifa. Merasa tertampar karena aku sudah kelewatan sampai mengabaikan kondisi tubuhku hanya karena aku marah dan kecewa dengan Mas Langit.

"Aku tahu kamu sedang tidak baik-baik saja. Aku akan mendengarkan jika kamu ingin cerita" Hanifa sangat tahu sifatku. Aku tidak mungkin bercerita jika tidak ditanya.

"Bagaimana kabar Indah? Aku sangat rindu dengan dia. Rasanya ingin berkunjung ke panti. Sudah lama aku tidak menemuinya" Hanifa tahu kalau aku sedang mengalihkan topik pembicaraan dan dia cukup tahu tindakan apa yang selanjutnya akan aku ambil.

"Kabar Indah baik. Kemarin aku berkunjung ke panti" Hanifa telah selesai dengan pekerjaannya lalu ia memasang plester di tanganku.

"Dan sebaiknya kamu tidak kabur ke panti untuk menghindar dari masalahmu. Tidak baik mendiamkan suami dan keluar rumah tanpa ada ijin darinya" Ucapnya bijak menasehati.

Aku ragu ingin memulai cerita kondisi rumah tangggaku kepada Hanifa. Tapi aku sadari, aku bisa saja meledak sewaktu-waktu jika terus menyimpan masalah ini sendiri. Aku butuh teman bicara. Hanya Hanifa yang aku punya sekarang. Setidaknya berkeluh kesah dengan Hanifa bisa meringankan beban masalahku. Meskipun aku tidak akan menceritakan semua masalahku.

"Mas Langit tidak mencintaiku Fa. Dia menikahiku karena aku pilihan bunda Eriyana. Bunda sedang sakit parah waktu itu. Jadi Mas Langit tidak punya pilihan untuk menolak" ucapku.

Aku berusaha tegar saat mengatakan itu di depan sahabatku. Aku berusaha untuk tidak menangis karena aku tidak suka dikasihani.

"Menurutku tidak begitu" Ucap Hanifa mencoba menenangkan hatiku.

"Jika kamu tahu betapa paniknya Mas Langit saat membawamu ke IGD, pasti kamu tidak akan berpikiran seperti itu" Hanifa menambahkan.

Aku terdiam mendengar penuturan Hanifa. Andaikan saja kamu tahu fa. Mas Langit lebih memilih tidur di ruang kerjanya yang tidak nyaman di bandingkan ranjang yang sangat nyaman di kamarnya. 

Andaikan saja kamu tahu Fa. Mas Langit lebih memilih tidur di ranjang wanita yang tidak halal baginya dibandingkan tidur dengan istri sahnya secara agama dan negara. Entah apa yang mereka lakukan. Sejauh apa hubungan mereka-pun aku tidak ingin mencari tahu. Aku takut akan menemui sesuatu yang lebih menyakitkan dari ini. Aku takut menjadi gila karena perselingkuhan Mas Langit dan Mbak Caca.

Fa, Andaikan kamu jadi aku. Apa yang akan kamu lakukan? Berjuang dan bertahan? Atau menyerah dan pergi meninggalkan?

Aku tidak bisa menceritakan semuanya ke kamu fa. Karena ini aib rumah tanggaku. Aku harus menjaga marwah suamiku meskipun itu sangat menyiksaku.

-----------------------------

Siang ini aku sudah kembali ke rumah. Rumah yang selalu membuatku nyaman meskipun banyak luka hati yang akan terkenang.

Aku merebahkan tubuhku di tempat tidur. Mencoba mengistirahatkan tubuhku yang belum sepenuhnya pulih.

Sedangkan Mas Langit duduk di kursi sofa yang ada di kamar ini. Dia berkutat dengan setumpuk berkas dan laptop yang menyala di atas meja. Aku tahu jika dia tidak berangkat bekerja karena ingin menjagaku. Maaf mas jika aku merepotkanmu tapi untuk saat ini tolong maklumilah.

Sekilas aku mencuri pandang wajahnya. Tercetak jelas gurat lelah di wajah tampan itu. Lingkaran hitam di area mata dan jambang halus yang belum dicukur membuatnya terlihat tampan namun agak berantakan.

Mbok Nem mengetuk pintu meminta ijin masuk ke dalam kamar untuk mengantarkan semangkuk bubur dan segelas susu. Diletakkan nampan itu di atas nakas samping tempat tidur kami.

Aku segera memejamkan mata berpura-pura tidur ketika Mas Langit beranjak dari tempat duduknya lalu berjalan ke arahku. Ranjang di sisi sampingku bergoyang menandakan dia duduk di sampingku.

"La, bangun sebentar gih. Makan dan minum obat dulu" pintanya lembut.

Aku membuka mata. Hal pertama yang aku lihat adalah tatapan teduh mata suamiku.

Ada sejumput rasa tidak percaya bahwa laki-laki di depanku ini menyelingkuhiku. Tapi kenyataannya memang seperti itu, aku tidak bisa mengubah sesuatu yang sudah terjadi.

Mas Langit membantuku duduk dengan bersandar pada headborb tempat tidur. Mas Langit meniup bubur yang mengepul dan dengan telaten menyuapiku bubur. Perhatiannya ini membuatku sedikit luluh meskipun rasa nyeri di dada masih terasa

Memaafkan, salah satu cara untuk mempertahankan pernikahan ini. Membangun kedekatan dan intens berkomunikasi merupakan salah satu cara untuk mendapatkan perhatian dan cintanya.

Tapi ternyata teori tak segampang mengimplementasikannya. Buktinya, aku masih irit bicara ketika suamiku dengan telaten menyuapiku bubur. Mungkin aku hanya butuh sedikit lagi waktu untuk menyembuhkan luka ini.

Mas Langit bersabarlah dengan sikapku. Maafkan aku yang terlalu mengabaikanmu. Tolong biarkan luka ini mengering terlebih dahulu dan jangan tambah luka ini lebih dalam lagi.

Istri Pilihan Bunda (End)Where stories live. Discover now