Bab 5

1.7K 432 19
                                    

Beberapa kali Jana mencoba menetralisir tubuhnya dari rasa geram yang sedikit terpancing dengan sikap konyol Prasa, dengan batuk kecil. Tidak ada yang tahu bagaimana Jana berusaha bersikap tenang dan santai. Apalagi ketika laki-laki itu tetap pada pendirian, menunggu Jana untuk makan siang.

Kaki Jana melangkah mendekat. Sengaja, memasang wajah jutek dengan harapan Prasa berhenti sampai di sini. Sikap Prasa, bagi Jana bukan sikap seorang model yang ingin membangun chemistry. Baginya, bukan sekali dua kali dirinya berhadapan dengan model laki-laki. Di tahun pertama, DeGantium sering bekerja sama dengan majalah menjadi sponsor event model demi mendapatkan nama. Jana yang sering Darren korbankan untuk turut serta mewakili perusahaannya, berhadapan dengan model-model pria. Meski sebenarnya kurang tepat, namun tidak menjadi sebuah kesalahan. Toh pada akhirnya orang-orang mulai mengenal DeGantium.

Dia menarik napas setelah berpikir ulang. Mengurungkan niat untuk sikap juteknya. Sisi lain dirinya berkata tidak bagus. Apapun itu, tidak ada alasan baginya untuk bersikap tidak sopan di rumah sendiri.

"Gini, mungkin lain waktu aja kita lunch. Saya sedang meeting. Waktumu akan terbuang gitu aja. Lagipula bukannya kamu harus ke ... Apa tadi kamu bilang?"

"Dojang? Itu tempat latihan Taekwondo. Bisa diatur kok."

"Prasa...,"

"Nggak kasihan? Karyawanmu juga butuh lunch lho. Meetingnya kan bisa dilanjut nanti."

Gadis itu terdiam. Dari sudut mata, jelas terlihat senyum merekah dari para karyawannya. Sebenarnya pun Jana tidak akan setega itu. Melanjutkan meeting hanyalah alasan agar laki-laki itu segera meninggalkannya. Sebuah penolakan yang halus namun sayang tidak mendarat dengan mulus.

"Oke, 10 menit lagi," putus Jana, masih dengan harapan laki-laki itu akan menyerah. Membayangkan makan siang bersama Prasa, apa mungkin bisa menelan makanan dengan mudah? Rasa gugup yang selalu menyerang ketika berhadapan dengan laki-laki seperti Prasa menjadi pelengkap alasan enggan menerima ajakan makan siang Prasa. Mungkin akan berbeda jika Prasa tetap bersikap sewajarnya dalam artian tidak terlalu formal.

"Oke, aku tunggu dengan sabar. Di sini," katanya serius lengkap dengan senyum kemenangan.

Jana membuang napas keras lalu berbalik. Tidak lupa tangannya menutup pintu untuk kembali melanjutkan meeting meski keadaan sudah tidak lagi mendukung. Pikirannya tidak lagi fokus dan peserta meeting pun kompak menyunggingkan senyum. Mereka sama-sama sudah tidak fokus. Dari lubuk hati, Jana merutuki mengapa Tuhan menghadirkan sosok Prasa di tengah ketenangan hidupnya.

Tepat sepuluh menit kemudian, Jana menyerah dan menyudahi meetingnya. Laki-laki itu masih berdiri bersandar di dinding, di depan ruang meeting. Memang sepertinya Jana tidak perlu bereaksi lebih. Hanya sekedar makan siang kan? Sesaat ia menghela napas, berjalan keluar diikuti oleh Febi bersama map-map di tangannya.

"Kamu udah ada tujuan mau makan siang di mana?" tanya Jana di antara ketukan heels menyusuri koridor menuju ke lift yang akan mengantarnya menuju ke Lobi.

"Belum. Tapi biasanya wanita suka sushi."

Jana menoleh singkat. Tingkat rasa percaya diri yang sempat naik stabil, kini merosot begitu bertemu dengan manik mata coklat gelap itu. Dalam hatinya menyumpahi dirinya sendiri mengapa harus sampai menatap mata itu. Padahal sudah tahu betul bahwa Jana selalu gagal untuk mengalahkan rasa gugupnya. Segera ia berbatuk kecil agar Prasa tidak tahu. Bisa-bisa Prasa akan semakin berani.

"Nasi Padang!" putus Jana tanpa pikir ulang.

Sudut bibir Jana tersenyum samar melihat reaksi Prasa dalam hitungan detik. Laki-laki itu melebarkan matanya. Cukup terkejut dengan keputusan Jana. Dipikirnya mungkin sekelas Jana mana sudi menginjakkan kaki di rumah makan Padang? Menu makan berat sekali bagi wanita sekelas Jana.

Love Me If You Dare (TERSEDIA CETAK DAN E-BOOK) Where stories live. Discover now