Chapter 3

205K 6.3K 92
                                    

Sekali lagi Junior menekan tombol Shutter, setelah mendapatkan titik yang pas pada canon-nya. Satu gelas minuman bersoda dengan titik-titik air di permukaan gelas itu kini menjadi fokusnya. Ketika orang-orang sibuk menikmati jamuan acara pembukaan cabang toko bunga milik ibunya, Junior sibuk mencari objek-objek yang menarik. Tentu saja setelah acara peresmian itu sudah selesai.

Tangannya menekan tombol menu display pada kameranya. Melihat-lihat kembali hasil potretnya. Kemudian dia berhenti pada sebuah foto yang sebenarnya Junior fokuskan pada sekumpulan bunga Lily putih di dalam pot kaca berleher tinggi dengan cahaya lilin di sampingnya. Foto yang manis, saat fokusnya beralih pada satu pinggang ramping berbalut gaun putih dengan satu tangan pria merangkum pinggang itu. Meski blur namun itu yang menjadikan foto itu jadi manis. Satu tangan dan pinggang milik orangtuanya yang tidak sengaja Junior dapatkan.

“Fotonya bagus. Bunga Lily-nya kelihatan tambah cantik,” komentar suara lembut itu dari belakang Junior.

Tidak perlu menoleh untuk tahu siapa pemilik suara itu yang saat ini menarik kursi di sampingnya lalu duduk berusaha untuk akrab. Junior segera menutup lensa kameranya, membiarkannya menggantung di leher.

“Kok udahan? Aku masih mau lihat juga. Hasil fotomu bagus-bagus. Tante Anna cerita, katanya kamu sering menang kontes ya? Keren parah,” tutur Raline dengan begitu semangat seperti obrolan yang dia ciptakan itu sangat menarik.

Sorry,” sahut Junior singkat.

“Kenapa?”

“Aku nggak suka diganggu,” jawab Junior akhirnya. Namun gadis itu mengulum senyum.

“Aku nggak ganggu kamu kok. Kamu itu nggak pernah berubah dari dulu waktu kecil. Pendiam. Makanya, aku ajak kamu bicara biar terbiasa,” ujar Raline sambil memperbaiki posisi duduknya.

“Kalau gitu aku yang pergi.”

“Aku ikut ya?”

Junior mengangkat tangannya, sebuah isyarat melarang Raline untuk mengikutinya. Membuat gadis itu kembali duduk sambil tertawa tak habis pikir.

“Hei, kaku banget sih kamu ternyata. Tapi aku sabar kok, ada masanya nanti kamu luluh.”

“Berhenti berharap!” tegas Junior mulai gerah.

“Kenapa harus berhenti? Semuanya butuh proses tahu? Dan proses nggak akan mengkhianati hasil,” jawabnya penuh percaya diri merasa sedikit tertantang.

Tidak ada yang perlu ditanggapi bagi Junior. Gadis itu sedang berusaha akrab dengannya demi menarik Junior untuk jatuh cinta. Lagi pula, mana ada orang yang akan berhenti begitu saja setelah berjuang lama, 16 tahun. Membiarkan semuanya sia-sia begitu saja? Ah, itu wacana konyol.

“Junior, tunggu!” panggil Raline melangkah tergesa berusaha mengejar Junior tidak peduli dengan larangan cowok tampan itu.

“Hei, kata Sujiwo Tedjo, jangan pergi agar dicari. Jangan berlari agar dikejar. Kamu cuma butuh menjaga sikap, agar kita bisa saling tatap kan?”

Lagi, gadis itu menyelipkan kuotes untuk Junior. Kali ini lewat mulutnya langsung. Bukan hanya kata-kata yang dia ketik seperti biasa. Sekalipun Junior tidak pernah menanggapi. Sekalinya menanggapi malah membuat Raline tersedak rasa sakit. Tapi, bukan perjuangan namanya kalau menyerah begitu saja.

“Junior!” panggil Raline lebih keras ketika Junior tidak menghentikan langkahnya. Malah, seperti sengaja duduk di samping ayahnya. Tidak ada yang bisa Raline lakukan selain membuang napas lewat mulut. Benar-benar tidak seperti cowok kebanyakan. Sangat sulit untuk didekati.

“Pada tapal batas yang tak terlihat, maka kamu harus menyadari kalau berjuang sendiri itu melelahkan.”

Raline terkesiap demi suara yang berbisik rendah di telinganya. Dia menoleh mendapati wanita dengan senyum lembutnya sambil mengusap bahunya.

ChocoLova [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang