3

706 54 16
                                    

"Ya Allah, Mbak sadar!" Alan berusaha melepaskan diri, dengan mengelak dari serangan gadis di hadapannya.

Alan tidak melihat dengan terlalu jelas wajah Anara, karena rambut gadis itu berantakan menutupi hampir seluruh wajahnya.

"Mbak, aduh sakit." Alan menjauhkan wajahnya, namun justru kepalanya ditarik. Kini Anara beralih menjambak rambut Alan, seraya mengutarakan sumpah serapah akan kebenciannya terhadap mahkluk Allah yang bernama laki-laki.

Alan tadinya hanya ingin membantu Anara karena ia merasa kasihan. Bagaimanapun sesama manusia harus membantu. Apalagi tadi, Alan pikir Anara ingin mengakhiri hidup.

"Ya Allah, kenapa petugas RSJ sangat lalai, membiarkan pasien berkeliaran," batin Alan.

Tangan Alan meraba saku baju gamisnya, ia kesulitan mencari benda yang dia ingin keluarkan. Hingga beberapa saat, ia berhasil menemukan sebuah sapu tangan putih.

"Udah, Mbak!" Alan mencengkram tangan Anara di rambutnya, setelah dilapisi oleh sapu tangan.

Alan bisa melihat darah di kuku Anara, entah itu darah dari gadis itu sendiri atau mungkin darah dari wajahnya. Itu semua bukanlah hal yang penting untuk Alan saat ini, karena dia harus menenangkan Anara terlebih dahulu.

Anara tidak luluh dengan begitu mudahnya, ia memberontak ingin kembali mencakar wajah tampan milik Alan.

Entah kenapa, wajah Alan di mata Anara adalah wajah Rano mantannya. Hal itu membuatnya ingin menjambak lagi dan lagi.

"Astagfirullahalazim. Allahu laa ilaaha illaa huwal hayyul qoyyuum, laa ta khudzuhuu sinatuw walaa naum–"

"Lo kira gue kesurupan?!" dengus Anara tersadar dengan lantunan yang dibacakan. Ia tidak terima. Dia menarik tangan dari genggaman Alan.

Alan yang sedang melantunkan ayat kursi terhenti, karena dipotong oleh Anara.

Alan memundurkan langkah. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal, tidak tahu apa yang harus ia lakukan di saat kondisi seperti ini.

Namun, Alan dapat memastikan sesuatu, jika gadis yang ada di hadapannya tidak gila maupun kesurupan. Tentu hal itu membuat Alan digerogoti rasa bersalah.

"Afwan ya Mbak," kata Alan.

Anara menghirup udara sebanyak mungkin, lalu menghembuskannya perlahan. Ia merapikan sedikit anak rambut yang menjutai ke wajahnya.

Tidak disadari oleh Anara, di detik yang sama tubuh Alan menegang, tapi hanya bertahan beberapa detik. Alan ingat betul, jika gadis itu adalah orang yang sama yang ia temui di bandara beberapa waktu lalu.

Alan memperhatikan penampilan Anara, dari pinggang sampai sepatu. "Dia tidak melepaskan sorban yang yang menutupi auratnya." Tanpa sadar terbit senyum simpul di bibir Alan.

Anara yang memang loading lama dalam mengingat, memutar ingatan saat melihat mata Alan yang terasa familiar.

Anara mengangkat telunjuk di depan wajah Alan. "Lo? Lo kan yang tadi di bandara. Si cowok masker hitam."

Dengan sedikit paksaan, Alan menerbitkan senyum. "Iya, Mbak."

"Aggrrtt!" Tangan Anara kembali melancarkan aksinya, ia menjambak Alan dengan makin bruntal.

"Sstt..." Tidak bisa berbohong, Alan mengakui jika serangan Anara itu sangat sakit. Namun, raut wajah Alan masih biasa saja.

"Lo juga yang jadi alasan gue badmood hari ini! Emang ya semoga cowok sama aja!" maki Anara.

Tidak ingin diam lagi, Alan kembali melapisi tangannya dengan sapu tangan dan menghentikan aksi Anara.

"Tenang Mbak... sadar, astagfirullahalazim. Buka mata, Mbak, jelaskan saya salah apa?" tutur Alan dengan sangat sabar dan tenang, mungkin benar dia banyak salah pada gadis itu. Namun, Alan sendiri bahkan tidak mengenal Anara.

Anara mendengus kasar, lalu melepaskan Alan dengan begitu saja.

"Dengar Mba, saya ke sini tidak ingin mencari masalah. Saya hanya ingin membantu, karena Mbak terlihat sangat kacau sekali," jelas Alan dengan penuh kewibawaan.

Anara terdiam, ia mencoba untuk berfikir jernih. "Nara, lo jangan kek orang gila. Dia itu bukan Rano, so jangan lampiasin ke dia," batinnya.

Anara kembali naik ke atas pembatas jambatan. Ia mengibaskan tangannya, sebagai sebuah kode. "Lo bisa pergi sekarang."

"Baiklah saya akan pergi, tapi Mbak janji, jangan bunuh diri ya. Dosa tauk Mbak," ujar Alan.

Anara menatap wajah damai Alan, dalam beberapa waktu ia terpaku. Pandangannya beralih pada kedua telapak tangan.

"Apa gue tadi udah ngerusak ciptaan Allah yang berwajah sempurna itu?" gumam Anara.Tadi saat ia mencakar dan menjambak Anara tidak terlalu melihat object sasaran, karena dia menutup mata.

"Itu pasti sakit," kata Anara pada Alan. Ia melihat sebuah goresan cakaran di pipi Alan yang berdarah.

Alan meraba wajahnya, lalu tersenyum tipis. "Anggap saja bukti saya sedang melakukan amal."

Alan menyodorkan sapu tangan putih pada Anara. "Gunakan ini, jika ingin marah, sedih, dan segala macam, angis saja jangan mencakar orang." Alan tersenyum simpul, karena Anara mengambil benda yang dia sodorkan.

"Jika Mbaknya muslim, maka sebaiknya mengadu pada Allah." Alan menujuk masjid yang berada tidak jauh dari mereka sekarang.

Anara mengarahkan pandangannya pada sebuah bangunan yang sangat damai.

"Idih siapa lu, jangan sok-sokan jadi ustadz," kata Anara. Sungguh, dia tertampar dengan perkataan Alan. Namun, ia tidak ingin memperlihatkan itu.

Bukannya sakit hati, Alan justru semakin melebarkan senyum. Dia sudah terbiasa dikatakan seperti itu. "Baiklah saya pergi dulu." Tidak menunggu respon dari Anara, Alan sudah terlebih dahulu hengkang pergi.

Anara memandang punggung Alan yang semakin menjauh darinya dan menghilang. Anara tidak tahu apa yang dia rasakan saat ini, karena baginya semua laki-laki sama saja, hanya bisa menyakiti wanita. Kebetulan saja, Alan datang kepadanya. Ya jangan salah jika menjadi pelampiasan.

"Hm tapi dia ganteng banget," kata Anara. Dia seakan menyadari ketampanan Alan, padahal dari mata saja laki-laki sudah terlihat ketampanannya.

Anara menatap sapu tangan putih dan sorban yang masih dia pakai. "Ini semua milik cowok ganteng itu?"

Dengan tergesa-gesa, Anara membuka kain yang melilit pinggangnya. "Gue harus kembaliin."

Anara tadi melihat Alan berjalan ke arah masjid, dengan tanpa pikir panjang dia menju ke tempat itu. Sesampainya di tempat tujuan, Anara justru tidak mendapatkan orang yang tengah dia cari.

"Apa dia di dalam?"

Anara berdiri di teras masjid hendak masuk, tapi sebelum itu ia terlebih dahulu melepaskan sepatunya.

Tidak membuang waktu lama lagi, langsung saja Anara melangkah masuk ke rumah Allah tanpa salam ataupun doa.

Sontak saja, semua orang yang ada di dalam masjid mengalihkan pandang ke arah Anara. Mereka semua dibuat terkejut olehnya. Bayangkan saja, Anara langsung melangkah ke tempat bagian ikhwan dengan penampilan yang sangat tidak bisa dikatakan baik, bajunya kekurangan bahan.

"Astagfirullahalazim."

"Siapa itu?"

"Apakah dia tersesat?"

Semua orang-orang mulai berbisik-bisik, sedangkan Anara masih berdiri seakan tanpa dosa di tempatnya. Ia tersenyum kaku, lalu menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Apa ada yang salah, kenapa mereka ngeliatin gue sebegitunya?" batin Anara. "Ya emang sih gue cantik. Hahaha."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 14, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Pesona Gus TampanWhere stories live. Discover now