1

1.8K 74 1
                                    

"Mulai detik ini, kita putus!" kata Anara seakan tidak ingin dibantah. Tidak peduli, jika saat ini dia menjadi pusat perhatian.

Rano sebagai seorang laki-laki, ia merasa dipermalukan saat ini atas sikap sang kekasih. Namun, tangannya tak lekas melepas dari genggaman selingkuhan yang bernama Sofia.

"Nara, ngga bisa gitu dong. Kita ngga bisa putus hanya dengan sebelah pihak," bantah Rano.

Anara memutar bola matanya, menahan genangan air di bawah kelopak mata yang akan runtuh.

"Rano, sekarang lo milih gue atau cewek ini!?" teriak Anara dengan lantang. Gadis itu menahan getaran pada suaranya, ia tidak ingin terlihat lemah.

Rano, laki-laki bertubuh tegap itu hanya bisa terdiam. Ia memandang Anara yang tengah meluapkan amarahnya. Terlihat jelas pipi gadis itu merah padam.

"Ini ngga seperti yang lo pikirin," ungkap Rano. Ia sendiri tidak tahu harus menjelaskan apa, karena sudah jelas beberapa saat lalu ia tertangkap sedang selingkuh, bak kucing di dalam karung.

Anara menatap nyalang bergantian pada perempuan yang ada di sebelah Rano. Bibir Anara mengerucut, geram ingin mejambak perempuan itu, tapi dengan terpaksa ia tahan.

"Gue ke Bandara tadinya buat jemput lo, karena kita udah lama LDR. Gue pikir, ini akan jadi hari bahagia. Tapi gue salah." Anara memaksakan senyum di setiap ucapannya.

Berada di posisi Rano saat ini serba salah, jika ia memilih Anara maka ia akan kehilangan Sofia, sedangkan dia mencintai selingkuhannya itu. Namun, jika memilih Sofia, maka ia akan kehilangan ATM berjalan yang selama ini menjadi sumber penghasilannya.

"Nara, lo itu yang terlalu bodoh. Sudah jelas jika Rano itu lebih cinta ama gue, sadar dirilah!" Sofia yang tadinya hanya dia saja, kini angkat suara.

Anara adalah gadis cengeng, sangat mudah menitikkan air mata. Tidak salah jika saat ini, mutiara bening mengalir dengan begitu derasnya dari kelopak mata gadis itu. Anara mengepal kedua tangannya di setiap sisi tubuhnya.

"Oke, fine. Rano, lo camkan ini baik-baik. Jangan harap bisa balik lagi ama gue setelah ini." Anara berusaha menyeka air matanya.

"Dan selamat karena udah menemukan cewek yang tepat. Kalian serasi, sama-sama picik. Yang cewek nikung sahabat sendiri, yang cowoknya selingkuh ama sahabat pacar sendiri!"

Setelah mengatakan semua kalimat itu, Anara memutuskan hengkang dari pandangan dua orang manusia yang sudah menggoreskan luka pada hatinya.

"Semua cowok sama aja!"

"Hiks...jahat banget!"

Anara terus saja mengoceh di sepanjang jalannya. Tidak menyadari orang-orang di sekitar.

Seorang pria bertubuh tegap berjalan dengan santainya, tidak menyadari bahwa roda kopernya yang ia girit melindas kaki cantik Anara. Sontak saja, hal itu membuat sang empu terpekik sakit.

"Woy, jalan liat-liat dong. Mujidin!" teriak Anara yang kakinya menjadi korban laki-laki berbaju gamis putih dan kepala dililit sorban.

Sontak pemuda berpenampilan aneh bagi Anara itu berhenti melangkah dan  menoleh ke arah sumber suara. Ia mendapati seorang gadis tengah mencak-mencak berjalan ke arahnya.

Sayang sekali, Anara tidak bisa melihat langsung wajah pemuda itu, karena tertutupi oleh masker hitam.

"Afwan," ucap pemuda itu. Dia merunduk sedikit.

Anara mengerutkan keningnya. "Hah, kawan? Sejak kapan kita jadi kawan? Jangan mentang-mentang, Lo mau lari tanggung jawab, jadi ngaku-ngaku temen gue!" Anara terus saja menyerocos, membuat sang lawan bicara kicep, tidak tahu harus menanggapi seperti apa.

Alan, pemuda yang tadinya tanpa sengaja membuat celaka kaki gadis cerewet itu, ia merunduk. Jujur saja, penampilan Anara bisa saja mengundang syahwat. Ya, walaupun Alan sudah sering ia temui perempuan seperti itu.

Anara sangat fhasionble hari ini, karena tadinya ia akan bertemu dengan pacar yang selama ini mereka LDR. Anara menggunakan baju lengan pendek, dan rok yang jauh di atas lutut.

"Ngga sopan banget lo, bicara ama orang nunduk mulu." Anara menunjuk tepat pada wajah Alan, seakan ingin menusuk bola mata pemuda itu.

Alan menghembuskan napas pelannya. Perlahan, ia mendongak, memberanikan diri menatap langsung gadis di hadapannya.

Tangan kekar Alan terangkat ke atas kepalanya, lalu bergerak membuka sorban yang melilit di organ bagian itu. Alan merentangkan kain itu.

Athaya berjalan semakin mendekat ke arah Anara, membuat gadis itu menegang waspada.

"Lo mau ngapain?" tanya Anara. Matanya menelisik ke dalam kornea mata Alan yang berwarna biru laut.

"Ini pakai." Tanpa persetujuan dari Anara, Alan melilitkan kain sorban di pinggang gadis itu, hingga menutupi paha dan setengah betisnya. Alan melakukan itu, dalam kondisi mata terpejam.

"Ya Allah, hamba hanya niat membantu," batin Alan.

Tentu saat ini jarak tubuh Anara dan Alan bisa dikatakan cukup dekat. Hal itu membuat gadis labil bernama Anara, merasakan hal yang mengenjolak dalam dirinya. Gurat merah jambu tersirat pada pipi Anara.

Anara mengedarkan pandangannya, hingga mendapati dinding kaca tidak jauh darinya. Benar saja, pipinya memerah.

Anara meraba-raba wajahnya. "Apa ada yang salah ama wajah gue?"

Anara mendorong refleks tubuh Alan, agar menjauh darinya. "Cowok modus lo!"

"Saya mohon maaf, Mbak, sekali lagi." Alan kembali melanjutkan langkahnya, yang sempat terhenti. Tidak lupa juga, ia menyeret kopernya ikut serta.

"Heh! Kok manggil gue mbak? Justru lo yang harus gue panggil om-om!"

Anara yakin, jika umur pemuda tadi jauh di atasnya, atau mungkin sudah om-om. Nyatanya, sikap labil Anara masih sangat mencerminkan anak SMA. Hanya saja, Anara telah menginjak kelas 12.

Anara tetap saja mencak-mencak, walaupun ia tahu pemuda bergamis itu sudah tidak ada lagi di pandangannya.

Kembali membawa pandang pada kaca, Anara masih mencari-cari apakah yang salah pada wajahnya. Seperti biasa, kata cantik selalu mewakili wajahnya itu.

"Mama! Masa aku dipanggil mbak-mbak. Huaaa... aku mau ke salon setelah dari sini, gimanapun caranya!"

Anara berteriak seraya berlari tak tentu arah, membuatnya menjadi pusat perhatian seluruh pengunjung yang ada di bandara itu.

"Hei, kamu ini kenapa!?" tanya Heni.

Mama Anara yang berlari tergopoh-gopoh saat menyadari anaknya lah yang membuat ulah perhatian orang-orang.

Heni menarik badan Anara agar menjauh dari keramaian. "Kamu ini kenapa, hah!?"

"Ma, kita ke salon sekarang!" teriak histeris Anara. Gadis itu menarik tangan mamanya keluar dari wilayah bandar udara, hingga sekarang mereka berdiri di depan pintu keluar.

Heni yang kebingungan karena tangannya diseret begitu saja, ia menatap tajam ke arah gadisnya.

"Hellooo, kamu ini kenapa? Bukannya kamu yang nyuruh mama nemenin kamu ke sini, buat jemput yang katanya temen.  Lalu sekarang?" Heni menarik kembali tangannya.

Anara menatap lesu ke arah Heni, bibir ia tipis-tipiskan seakan membuat raut wajah dramatis.

Anara menggeleng. "Katanya dia nggak jadi pulang ke indo hari ini, tapi minggu depan. So, hari ini kita perawatan ke salon aja." Gadis itu menyengir untuk menutupi kebohongannya.

Pesona Gus TampanWhere stories live. Discover now