Stranger Old Man

2K 53 8
                                    

"Lindsay! Kembali!" Teriakan Max menggelegar dari balik pintu besar yang terbuat dari kayu mahoni. Aku tidak mempedulikannya dan tetap meneruskan langkahku. Hati ini telah terluka! Dia mengkhianatiku dan sesuatu yang tertanam di dada kiri ini begitu sessak seperti membengkak melebihi ukuran normal dan mendesak-desak sesuatu yang lainnya yang berada dekat dengannya. Itu membuat seluruh raga ini begitu nyeri. 

'Max, bagaimana bisa kau setega itu mengkhianati cinta kita?' Gumamku dalam hati sambil terus berlari tanpa arah dan tujuan. 

Malam yang dingin di pertengahan musim gugur menambah pedih luka yang menganga akibat pengkhianatan Max. ketika aku telah merasakan lelah karena berlari, aku telah sampai di sebuah taman yang tidak jauh dari tempat kami tinggal. Aku berjalan pelan menelusuri taman. Dari kejauhan, aku melihat sebuah bangku kosong dan memutuskan sejenak menenangkan hatiku yang tercabik di bangku itu. 

Tanpa terasa air mata yang susah payah aku tahan akhirnya tumpah membasahi pipi. Kisah cinta yang kami bentuk dan berakhir pada sebuah pernikahan sacral kini berujung pada kehancuran hati. Max si pengusaha barang elektronik begitulah yang aku tahu hingga semuanya terbongkar hari ini adalah sosok pria yang pekerja keras, memiliki semangat hidup yang tinggi, dan yang paling aku sukai darinya adalah kekonyolan yang sering keluar dari mulutnya yang mempesona. Dia mampu menambatkan hatiku dan juga mampu membuatku menerima pinangannya. Itu dulu hingga semua yang dia sembunyikan terbongkar di depan mataku. Begitu pedih saat harus mengenang masa-masa indah dulu. 

'Mengapa dia harus membohongiku setelah sekian tahun aku menjadi istrinya? Apakah itu aib baginya? Aku istrinya yang telah mengucapkan janji setia menerima Max apa adanya! Mengapa dia menyembunyikan semua ini dariku? Pondasi dari sebuah keluarga bukankah saling mempercayai? Tapi apa yang telah dia perbuat kepadaku? Dengan bodohnya dia megatakan maaf. Jika maaf semudah itu menjadi penawar rasa sakit hati, maka tidak perlu dunia ini menghasilkan psikolog dan ahli jiwa lainnya!' Sekuat tenaga aku menahan emosi yang menggelegak bagai lava yang siap meletus dari gunung api yang aktif. 

"Boleh aku duduk?" Aku menoleh pada sumber suara yang mengganggu lamunanku. Seorang lelaki tua yang aku mengira sudah berusia lebih dari 60 tahunan. Rambutnya dipangkas rapi layaknya seorang tentara namun warna rambutnya tidak lagi hitam melainkan putih seutuhnya. Kulitnya hitam, yah, dia seorang negro dengan deretan gigi rapid an putih di sela senyumannya begitu kontras dengan wajah hitam itu. Dia terlihat ramah namun aku tidak akan lengah! Dia adalah orang asing dan aku harus berhati-hati. 

Tanpa menunggu balasan kata dariku, pak tua itu sudah duduk di sampingku. Jarak yang memisahkan kami hanya satu depa dan aku semakin waspada pada pak tua ini. 

"Masih ada sisa di ..." Ujarnya sambil menunjuk-nunjuk pipiku dan aku menyadarinya. Dengan sigap aku mengusap air mata yang tersisa dari pipi dan menatapnya lagi. 

"Berbahaya sekali bagi wanita seperti anda berkeliaran malam-malam seperti ini." Lanjutnya sambil meraih topi yang ada di saku dalam jas butut dan mengenakannya untuk menutupi telinga. Aku belum menjawabnya dan masih saja sibuk mengamati pak tua itu. Dia sama sekali tidak terganggu dengan tatapanku dan dia juga sibuk dengan urusannya merapatkan syal kumal berwarna - aku menduganya - biru tua untuk menepis hawa dingin yang memang begitu menusuk tulang. 

"Aku..." Sekilas aku ragu mengutarakan kesakitan hatiku pada pak tua ini. 

'Dia hanya orang asing, Lindsay! Apa yang kau harapkan?' Dan aku memilih untuk tidak meneruskan ucapanku. 

Aku mendengar pak tua itu mendengus menahan tawanya dan kedua alisku saling bertaut, bingung - dan tersinggung. 

"Melihat kau menangis seperti itu, aku boleh menebak?" Aku melihatnya masih dengan senyumannya. 

Stranger Old ManWhere stories live. Discover now