BAB DUA PULUH SEMBILAN JEANNETTE

15 3 0
                                    

Sejak pertemuan itu, Yogi benar-benar tak bisa tidur, tak bisa makan dengan nikmat, tak bisa berjalan dengan sempurna, seolah semuanya bergoyang dan tak menentu, rasanya seperti mendapat sesuatu yang berbahaya, sesuatu yang akan mendatangkan penyelesaian masalahnya, entahlah, pokoknya seperti itu rasanya, ada suka, ada takut, ada senang, ada sedih dan ada khawatir. Pertanyaannya kemudian, pantaskah apa yang dia lakukan? Sesuaikah dengan ajaran agamanya? Atau inikah jalan yang diberikan Tuhan untuk menyelesaikan masalahnya?
Lalu bagaimana dengan Marini? Bagaimana perasaannya? Akankah memberikan izin pada suaminya untuk menikah walau hanya sesaat? Lalu bagaimana kalau Marini tahu  bahwa ada perempuan lain hamil oleh suaminya? Meski itu dilakukan dengan halal? Apakah Marini akan menerimanya? Atau mau menerima karena itu semua menghasilkan uang yang sangat dibutuhkan? Kalau bukan karena uang, akankah Marini memberi izin hanya dengan kata ‘menolong teman?’
Yogi tak dapat menerka-nerka. Ini masalah paling sulit dipecahkan, sekaligus sulit di bicarakan, mana ada seorang lelaki yang berstatus seorang suami dibayar untuk mengawini seorang perempuan yang juga istri orang lain, dibayar untuk menghamilinya? Bukankah ini sesuatu yang ganjil dan tidak umum? Kemudian istri yang dinikahinya itu bagaimana perasaannya? Bagaimana rasanya perempuan itu dijadikan objek oleh suaminya sendiri? Apakah karena cinta? Apapun alasannya, hal itu tetap bukan sesuatu yang dapat dikatakan tindakan menolong!
Hidup Yogi, mengajarkannya sebuah kegagalan yang dialaminya berkali-kali, hidup membuat Yogi harus selalu berdiri tegak, meski begitu berat beban yang menggantung di pundaknya, beban itu semakin berat tatkala tak ada satu manusia pun yang dapat dimintai pertolongan. Kemudian salah satu manusia itu datang dan ingin menolongnya, hanya dia menggantungkan beban yang lebih berat dipundaknya, meski mungkin beban itu hanya sementara, tapi beban itu mungkin juga akan muncul dikemudian hari dan mempertanyakan hal yang sudah diperbuatnya.
Rasanya Yogi tak bisa membicarakan ini dengan Marini, Yogi tak sanggup, tak mungkin hal ini dibicarakan. Maka ditelannya kata-kata yang sudah disusun ketika Yogi beranjak tidur dan melihat Marini dengan wajah lelah.

0

Sekali saja Yogi melihat perempuan bernama Jeanette membuat Yogi merasa kelilipan dan merasa bergetar dibuatnya. Jeannette adalah perempuan yang dibilang bule asli, darah pribumi nya hanya didapat dari neneknya yang orang Indonesia. Anehnya Jeannette pintar berbahasa Indonesia dengan lancar, karena lama ikut neneknya dan tinggal di Indonesia cukup lama sampai dia lulus SMA. Berambut pirang bukan buatan, bermata biru, berbibir tipis seperti Nicole Kidman, giginya rata dan bersih, kulitnya tidak menjijikan, darah pribuminya menolong kulitnya untuk tidak menggunakan matahari guna membuat coklat kulitnya.
Lembar-lembar rambutnya tersibak angin siang yang menghembus disela-sela pohon asri di halaman rumahnya yang indah. Yogi merasa sungkan ketika Jeannette berdiri, tingginya tak sebanding dengan Yogi. Namun begitu, Jeannette sangat menerima Yogi dengan terbuka.
Mungkin Jeannette melihat Yogi tak begitu mengecewakan. Dan betul kata Hans, bahwa Yogi hampir mirip suaminya, entah dari segi mananya, yang pasti ada guratan antara Hans dan Yogi yang membuatnya seperti mirip, mungkin senyumnya kali atau apalah, yang pasti kalau dilihat secara detail memang keduanya tidak begitu, namun sekilas akan mirip jika dalam sekilas melihatnya. Maka Jeannette dengan mudah menerima Yogi.
“Aku datang ke sini bukan untuk menerima tawaran kalian….”
Yogi menatap Hans dan Jeannette yang senyam-senyum tanpa sedikit pun merasa hilang harapan atas kata-kata Yogi.
“Aku hanya ingin memastikan, bahwa apa yang akan kalian rencanakan itu, apakah tidak membuat kalian takut?”
“Yogi, kita sudah membahas ini, sekali lagi jangan tanya soal kami, kalau kami semua sudah kami pikirkan dan sudah kami rencanakan dengan detail, jadi tak ada yang luput dari rencana kami…”
“Berapa kalian akan membayar saya untuk rencana gila ini?”
Hans dan Jeannette saling pandang dan menyalami Yogi, mengatakan bahwa mereka akan melunasi hutang Yogi dan memberikan uang untuk modal usaha sebanyak yang dibutuhkan dan sebanyak yang Yogi perlukan, tak perlu khawatir, setiap bulannya nanti Yogi akan mendapat biaya lain-lain sebagai tanda terima kasih, asal Yogi tidak bertanya, mereka tinggal dimana dan dimana mereka berada, itu rahasia. Satu hal lagi, jangan berusaha mencarinya atau berusaha menemuinya walau untuk sekedar melihat tampang bayinya kelak.
Perjanjian disetujui, meski tak menyebut berapa pasti jumlah rupiah yang akan diterima oleh Yogi, yang pasti Hans tahu berapa kebutuhan Yogi setiap bulan dan berapa banyak hutang yang harus dia bayar. Diberikannya nomor rekening Yogi dan alamat rumahnya dengan lengkap.
Yogi tak dapat terus beradu argumen dengan Hans hanya untuk menerima tawaran Hans. Jadi dari pada capek dan tak ada jalan keluar untuk menyelesaikan masalah hutang-hutangnya lebih baik Yogi menerimanya, ke istrinya Yogi akan bersandiwara seperti apa yang dikatakan Hans.

0

“Berapa lama skedulnya mas?”
“Empat bulan…”
“Terus kamu tinggal dimana?”
“Di Mess…”
“Proyek apa sih?”
“Explorasi…”
Marini tak meneruskan apa-apa lagi, soal jenis pekerjaan yang diterima Yogi, bukan hanya itu, Marini tak mau banyak tanya karena ditangannya digenggam uang sebesar sepuluh juta untuk bekal selama Yogi tak di rumah, Yogi berjanji, nanti akan diusahakan dikirim lagi setiap bulan ketika terima gaji, bukan hanya itu, Yogi pun akan berusaha pulang kalau ada waktu.
Marini mengangguk dan meminta Yogi untuk memberi penjelasan pada anak-anaknya.
Catra dan Cinta mengerti, meski mereka meneteskan air mata, mereka tahu bahwa bapaknya begitu harus berjuang untuk mereka. Namun ketika air mata kedua anaknya jatuh, ada sesuatu yang tak dapat ditutupi Yogi, seolah kebohongan itu adalah sesuatu yang memang harus dia lakukan, Yogi harus melakukan kebohongan itu, semua demi keluarganya,  semua demi untuk menahan kehidupannya agar terus berlanjut, meski dirinya dengan seribu kenestapaan dan keterpaksaan akan melakukan hal yang tak dapat diterima oleh siapa pun, kecuali dirinya.
Inikah yang disebut pengorbanan? Atau inikah namanya keterpaksaan? Pengkhianatan? Atau apalah namanya? Di sudut hatinya yang kurang ajar, Yogi akan menikmati seorang perempuan dengan wajah bule, bermata biru, berambut pirang dengan kulit halus dan tubuh menggiurkan? Kapan lagi dia bisa menikmati perempuan secantik itu? Selagi bisa kenapa tak dapat dia nikmati?
Tidak! Bukan itu!
Tak pernah terbetik sedikitpun menyakiti Marini dengan cara seperti itu, jangankan menikahi dengan cara sah, dengan cara selingkuh pun Yogi tak pernah berpikir, baginya cukup Marini-lah perempuan yang mencuri hatinya. Yogi bukan tipe lelaki aji mumpung, mentang-mentang dia tampan dan banyak perempuan suka, maka dihajarlah siapa saja perempuan yang dia mau. Kalau bukan karena uang, kalau bukan karena hutang, kalau bukan karena menganggur, tak akan pernah Yogi menerima tawaran gila macam ini.
Diciumi anaknya satu per satu, lalu dipeluknya dan diusapnya air mata mereka. Cinta yang lebih dekat dengan bapaknya menangis tersendu-sendu seolah dia akan ditinggal bapaknya ke medan perang. Yogi tahu bahwa Cinta memang terlalu dekat dengan dirinya. Setiap hari jika mau berangkat sekolah, Cinta selalu minta disisir rambutnya oleh Yogi, jadi bisa dibayangkan bagaimana dengan rambutnya jika tidak ada bapaknya? Apakah rambut itu akan tetap tak disisir? Tak tahulah, Yogi harus bisa meyakinkan Cinta bahwa dia bapaknya akan segera kembali dan membawa boneka yang bisa makan, yang diinginkannya.
Dengan berat hati dan dengan segala resiko yang telah disetujui, pergilah Yogi menuju tempat dimana Hans dan Jeannette akan menjemputnya. Dengan rasa yang tak dapat diungkapkan, Yogi masih bertanya-tanya, bagaimana Hans mempersiapkan semua ini?  Yogi akan pergi ke suatu tempat, suatu kota yang tak seorang pun tahu dan tak seorang pun paham. Yogi hanya diminta membawa perlengkapan secukupnya, karena untuk keperluan sehari-hari Hans sudah menanggungnya dan akan menanggungnya.
Rencana ini sungguh matang dipersiapkan Hans, detailnya sudah diatur sedemikian rupa. Hanya satu yang Hans tak pernah kasih tahu, dimanakah semua ini akan dilaksanakan? Hans dan Jeannette tak memberitahu sama sekali. Tak mengapa bagi Yogi, toh baginya sudah meninggalkan keluarganya dengan uang sepuluh juta sudah membuatnya tenang.
Meski agak lama, akhirnya seorang bertampang gondrong dengan wajah seperti dikejar-kejar hutang, berbibir hitam dengan pakaian yang tidak pada tempatnya. Bagaimana tidak? Seorang lelaki, siang hari begini, dengan matahari seolah marah memakai sweater tebal lalu rompi berbahan jin serta topi wol yang menutupi rambutnya yang gondes alias gondrong desa . ya heranlah Yogi.
“Bapak bernama. Pak Yogi?”
“Iya..”
“Mari pak, mobilnya di sana, Pak Hans dan Ibu Jenet menyuruh saya untuk jemput bapak…”
“Oh iya…dimana mereka?”
“Bapak Han dan Ibu Jenet di mobil lain pak…Mari pak…!”
Dengan mobil standar Yogi ikut saja menuju kemana si sopir yang berbaju tebal ini akan membawanya, yang Yogi tahu Hans kirim sms bahwa semua sudah diatur, Yogi tinggal ikuti saja.


Lelaki Dititik NadirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang