20. Semoga baik-baik saja

382 67 3
                                    

Alvin dan Elisa akhirnya pulang pada malam harinya. Dava yang sudah menunggu mereka lama sampai tertidur di sofa dengan posisi tak nyaman.

"Bangunkan Dava, Rey," ucap Elisa, lantas langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan yang dia beli di luar tadi.

Alvin mendekati Dava dan duduk di sebelahnya. Dilihatnya wajah yang tengah memejam itu lamat membuat rasa bersalah kembali hadir di benaknya. Ia mengulurkan tangan, menepuk pundak Dava pelan hingga Dava terusik dan akhirnya bangun dari tidurnya.

"Rey!" Dava berseru kaget saat melihat adiknya itu. Alvin hanya tersenyum lembut. "Lo gapapa? Lo darimana aja?" tanya Dava cemas.

"Maaf buat khawatir. Gue gapapa, kok."

Dava mengulurkan tangan ke dahi Alvin untuk mengecek suhu tubuhnya. "Lo udah gak sakit?"

Alvin mengangguk. "Maaf soal tadi pagi. Gue ngeracau gak jelas dan mungkin ... buat lo sakit hati."

"Gak masalah. Gue ngerti." Dava tersenyum tulus. Ia lega.

Alvin terkekeh hambar. Ucapannya tadi pagi memang keterlaluan. Namun, ia tak menyesali sama sekali. Sejujurnya Alvin masih berharap Dava pergi saja dari rumah ini sebelum Dava tahu siapa Alvin sebenarnya. Ia sungguh tak siap jika itu terjadi.

"Mama beli makanan tadi. Ayo makan bareng!" ajak Alvin, bangkit dan mengulurkan tangannya pada Dava.

"Kalian berdua aja." Dava berdiri tanpa membalas uluran tangan Alvin. Raut wajahnya berubah, kini menatap adiknya itu dengan tatapan yang berbeda. "Itupun kalau lo mau makan bareng pembunuh," tambah Dava dengan penekanan. Sengaja menaikkan intonasi bicaranya.

Tangan Alvin jatuh dengan lemas. Mendengar ucapan Dava hatinya terasa seperti diremas. Itu kesalahpahaman. Semua itu hanya kebohongan mamanya. Namun, Alvin tentu tak bisa mengatakan apa-apa pada Dava. Ia tak berani mengunggap fakta sebenarnya.

Elisa yang mendengar ucapan Dava dari dapur mencengkram piring yang dia pegang. Ia tertunduk, menelan ludah, merasa hatinya tertusuk ratusan duri secara bersamaan. Hal itu memang sebuah kebohongan besar, tapi Elisa tidak menyesal. Ia justru lega. Memang jauh lebih baik seperti ini.

***

Alvin kembali mengambil absen setelah hari dimana dia kabur. Rasanya ia masih terlalu lelah untuk memulai hari dengan normal kembali.

Jadi dia baru masuk kembali esok harinya, setelah empat hari absen tanpa keterangan apa-apa. Itupun atas paksaan Dava dan Elisa, karena sejujurnya Alvin merasa enggan bertemu dengan orang-orang setelah tahu siapa dirinya yang sebenarnya.

Elisa bilang Alvin harus bersikap seperti biasanya. Namun, sejujurnya kini Alvin justru bingung bagaimana caranya. Rasanya ia seolah telah kehilangan jati dirinya sendiri.

Teman-teman sekelasnya menyambut Alvin dengan gembira saat melihat pemuda itu kembali masuk sekolah. Mereka menanyai kabarnya, mencecarnya dengan berbagai pertanyaan soal alasan ketidakhadirannya. Akan tetapi Alvin sama sekali tak membalas kegembiraan mereka dan hanya memberikan senyuman tipis tanpa ucapan atau tingkah aneh yang biasanya dia tunjukkan.

Tentu saja hal itu membuat mereka merasa asing padanya. Seharusnya Alvin tak boleh begitu, tapi sungguh batinnya sedang lelah sekali hanya untuk sekedar tertawa bersama mereka. Ia tak bisa mengendalikan ekspresinya saat ini. Aura ceria yang melekat padanya mendadak sirna dan berganti dengan aura suram.

Hanya satu kalimat yang dia lontarkan sebagai balasan kepada teman-temannya, "Tolong biarin gue sendiri dulu." Setelah itu dia segera ke kursinya dan menenggelamkan kepala di lipatan tangan.

DARKSIDEWhere stories live. Discover now