Anargya | Jaeyong & Nomin [✓]

Von shnaxxya

2.1M 324K 307K

[ DIBUKUKAN - PART TIDAK LENGKAP ] "...anargya berarti tak terhingga nilainya, namun bagi mereka aku bahkan t... Mehr

jendral anargya,
01 : dunia kecil jendral
02 : kalian ngapain?!
03 : Berulah terus
04 : 2 kebohongan 1 kejujuran
05 : Sehat selalu ya bunda..
06 : Tegakkan dagumu, Jendral
07 : Bunda.. telinga jendral sakit...
08 : Ayah minta maaf, nak
09 : Bara Bagaspati
10 : Rindangku telah datang memelukku
11 : Nasi goreng
12 : Bunda, aku kira kau berubah..
14 : Naresh dan lingkungannya
15 : Naresh yang meresahkan
16 : Menghindari kamu!
17 : Bunda, anakmu sedang tidak baik-baik saja...
18 : Wiloka dan si bocah kesepian
19 : Ini semua karena jidat Ica!
20 : Denyutan jantungmu, aku ingin mendengarnya lebih lama...
21 : Kamu meresahkan, tapi aku suka
22 : Aku marah, jika ada yang membuat bundaku terluka
23 : Sagara Abimanyu dan semesta terpendamnya
What if Jendral Naresh jadian.
PDF ANARGYA
ANARGYA BOOK VERSION

13 : Seperti tulang yang patah

66.9K 13.6K 13.2K
Von shnaxxya

"mmm-mwah(◕દ◕)"

***

"Ngapain sih pulang hari ini?"

Tanaka menggeram kesal. Bersandar di meja, ia menyilangkan kedua tangannya angkuh menatap sang putra tengah yang menunduk dalam penuh penyesalan. Sementara disampingnya berdiri Bara dan juga Jaka yang sudah akan meluapkan amarahnya semenjak kepergian teman-teman Tanaka petang tadi.

"Gawaras, ini anakmu! Gak ada rasa ibanya kamu Jendral masuk ke rumah sakit?!"

"Masih hidup kan? Yaudah, lagian dia juga udah sembuh! Kenapa sih kamu selalu ribet dan memperpanjang masalah?!"

Tapi hati Jendral tak pernah sembuh kala bunda mengabaikanku..

"Sadar Tanaka, dia itu anakmu! Dia lahir dari darah dagingmu sendiri! Mas harus bagaimana biar kamu itu sadar kalau Jendral itu anak kamu hah?!"

"Semoga dia mati aja."

Deg!

Tadi bunda bilang apa?

Tidak, ini pasti jendral salah dengar..

Hearing aid jendral kan baru, pasti jendral butuh beradaptasi untuk mendengar suara..

Ya, pasti telinga jendral yang salah..

"TANAKA!" - Jaka menyentak sang istri, namun tak membuat Tanaka merasa takut sedikit pun. Sebaliknya, sang istri justru semakin menjadi. Menatap Jendral seolah anak itu hanyalah sampah menjijikkan yang tak sengaja ia tampung kehidupannya di rumah.

"Kamu," Tanaka menunjuk Jendral tanpa ragu, "kenapa gak mati aja?"

"Bunda!" Bara kini yang mulai bersuara. Ia menutup telinga Jendral supaya sang adik tak mendengar kata-kata menyakitkan yang keluar dari bibir sang ibunda.

Kak..

Percuma kau menutup telingaku...

Aku tetap bisa mendengar bagaimana bunda membenciku..

Dilihat dari raut wajahnya saja sudah menggambarkan dengan jelas..

Dia benci kehadiranku..

"Bunda ini kenapa sih? Jendral itu anak bunda!" Bara berusaha berkata, tak ingin menaikkan nada bicara karena ia masih ingat bahwa seseorang dihadapannya itu adalah orang yang telah melahirkannya.

"Sejak kapan kamu jadi pembangkang kayak gini Bara? Apa gara-gara otak kamu udah di doktrin sama anak cacat ini?"

PLAK!

Sebuah tamparan keras dilayangkan Jaka pada sang istri. Ia sebenarnya tidak ingin, sungguh. Jaka sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak main tangan lagi. Namun sepertinya-menghentikan Tanaka dengan kata-kata tak akan cukup selain membuat sang istri diam tak berkutik dengan tamparannya.

Tanaka menggertak. Merasakan kebas di rahang kirinya yang terlihat memerah.

"Ini terakhir kali mas ingetin kamu Tanaka, kalau kamu masih tetep seperti ini.."

".. mas gak akan mikir dua kali buat ceraikan kamu."

Tidak bunda..

Tidak ayah..

Berhenti mempertaruhkan rumah tangga kalian yang terbangun sejak lama hanya karena anak tak berguna sepertiku..

"Kha lau i thu ke ing i nan bun dha, se mo gha che pat ter ka bhul, a ghar bun dha ti dhak men dhe ri tha lha gi. Se mho gha tu han meng nga bhul kan ke ingin kan bun dha." [Kalau itu keinginan bunda, semoga cepat terkabul, agar bunda tidak menderita lagi. Semoga Tuhan mengabulkan keinginan bunda]

Bara serasa hilang nyawanya mendengar penuturan sang adik. Cepat-cepat ia tuntun tubuh jendral yang masih lemah untuk pergi dari sana dengan masih menutup telinga sang adik-sudah cukup Jendral mendengar kalimat menjijikkan yang terlontar dari bibir sang bunda, Bara tak ingin hati Jendral dikecewakan lebih.

Jendral dan Bara pergi, menyisakan Jaka dan Tanaka yang saling beradu tatap sengit.

"Puas kamu hah?! Bahkan anakmu sendiri udah pasrah hidupnya mau berjalan seperti apa karena dilahirkan dari ibu brengsek kayak kamu!"

"Iyalah pasrah! Lagian kalo dia hidup pun menaruh keuntungan apa dia ke kita?! Udah baik aku doain dia cepat mati!"

"Jendral itu anugrah! Kalo dia bisa milih, dia juga gak akan mau terlahir tuli! Kamu bisa gak sih berubah dan menerima kekurangan anakmu hah?!"

"Salahin aku aja terus! Emang ini semua salah aku! Salahku karena ngelahirin manusia cacat kayak dia!"

"Kamu yang cacat!" Jaka menimpali. "Mas gak main-main sama ucapan mas. Sekali lagi kamu kasarin Jendral, mas akan ceraikan kamu dan bawa anak-anak sama aku! Dan soal penyakit kamu.. mas udah gak bakal peduli lagi! Persetan dengan semua itu! Kamu gak ada berubahnya sama sekali! "

Jaka pergi kemudian, melangkahkan kakinya penuh amarah meninggalkan sang istri di ruang tamu sendirian.

Diam-diam Tanaka mengepalkan tangannya sendiri. Maniknya mulai bergerak gelisah tiba-tiba.

Aku tidak boleh menjadi ibu yang gagal..

Penderitaan mereka tak sebanding dengan penderitaan ku...

***

"Udah, lo disini aja ya?"

Jendral duduk di pinggiran ranjang di dalam kamarnya yang diterangi lampu tidur temaram. Siapa lagi yang berbicara kalau bukan Bara, menenangkan sang adik dengan kalimat penenangnya.

"Gue tau lo sakit hati sama omongan bunda, jangan dimasukin ke hati ya? Lo sempurna kok, jangan bilang aneh-aneh demi nurutin pikiran tolol bunda. Dia masih tersesat, gak tau mana yang benar dan enggak."

Jendral terdiam. Tak ada senyuman di bibirnya. Wajahnya murung, dirinya memeluk selimut yang tersampir di badannya.

Jendral tidak marah, tapi..

Jendral hanya tidak percaya saja, kalimat itu bisa terlontar dari bibir bundaku sendiri...

"Jen, udah jangan dipikir. Lo masih belum pulih, mending lo istirahat aja. Lo mau dibeliin bubur di depan komplek? Lo belum makan kan?"

Jendral menggeleng dengan wajah kosongnya.

"Nasi goreng? Biar gue go-food in."

"Jen drlal su dhah ke nyang." [Jendral sudah kenyang]

"Emang lo makan apa?"

"Me mha kan dho a bun dha yang bher ha rap jen drlal ma thi." [Memakan doa bunda yang berharap Jendral mati]

Bara memejamkan mata-tahan, ia tak ingin terlihat lemah dihadapan sang adik. Dirinya adalah perisai sekarang, tak boleh ia ubah wujud bajanya menjadi kapas hanya karena ucapan Jendral. Tak akan ia biarkan dirinya terlihat sedih dihadapan sang adik.

"Jen, udah. Udah ya? Udah kecewanya, gue tau lo sakit hati tapi-hanya karena lo gak berarti buat seseorang, lo jadi menganggap dunia nggak menganggap kehadiran lo."

Bara menepuk pundak sang adik, "jangan sedih. Bunda nanti bakal minta maaf ke lo, akan ada masanya kok."

Tapi kapan kak?

Setiap hari aku selalu menciptakan sebuah mimpi dimana bunda datang dan memelukku ....

Skizofrenia tanpa sadar, menganggap semua mimpi yang Jendral rangkai bisa tercipta nyata ...

"Iyh yha." [Iya]

Bara tersenyum, lega mendengar ucapan sang adik yang menyetujui pernyataannya. "Kalo gitu tunggu gue ya, gue beliin lo makan."

"Thi dhak u sha." [Tidak usah] Jendral cepat-cepat menahan lengan Bara yang berniat pergi, "Jen drlal mau is ti ra hat." [Jendral mau istirahat]

"Lo yakin nggak laper?"

Jendral menggeleng.

"Yaudah kalo gitu, lo tidur aja ya?"

"Iyh ha." [Iya]

Menyadari bahwa adiknya sedang tidak ingin diajak berbicara, Bara pun memilih pergi pada akhirnya. Keluar dari kamar sang anak tengah, meninggalkan Jendral sendirian.

Tak bohong, Jendral ingin menangis rasanya. Namun-ia sudah lupa, lupa bagaimana cara menyuarakan luka tak berbahasa yang biasa manusia lakukan tatkala mereka lemah. Jendral terlalu keji, ia sering membohongi orang-orang terutama dirinya sendiri, menutupi segumpal kesedihan dengan gempalan kebohongan yang menutup erat.

Bunda..

Aku ingin mendengarmu memanggil namaku..

Sungguh..














TOK TOK TOK TOK!















Jendral terperanjat. Mendapati suara kaca balkonnya yang tertutup tiba-tiba diketuk dari luar. Ia terkejut bukan main, hingga tanpa sadar Jendral terbangun dari posisi berdirinya. Tak dapat Jendral lihat dengan jelas siapa itu-hanya ada samar-samar bayangan.

Sang anak tengah berjalan perlahan, dengan wajahnya yang masih terlihat kusut ia menyamarkan langkah kakinya, meminimalisir suara langkah kaki agar tak terdengar oleh orang di luar sana.

TOK TOK TOK!

Ketukan kedua terdengar lagi. Jendral sudah dalam posisi memegang kusen jendela balkonnya-berniat membuka dan melihat siapa yang ada di luar sana..

TOK TOK-

.. "Na resh?!"

Jendral mendapati pemuda ajaib itu berdiri di balkon kamarnya. Tersenyum seperti orang bodoh dan melambai ke arahnya.

Jantung Jendral tak bisa bekerja dengan normal. Ia masih tak bisa berpikir dengan jernih. Bagaimana bisa bocah ini naik ke balkon kamarnya?!

"Halo bang!"

Jendral bernafas gusar, matanya melotot tak percaya, "ghi ma nha bhi sa kha mu man njhat?!" [Gimana bisa kamu manjat?!]

"Lah? Si abang lupa ya? Gue kan atlit hiking." Ucap Naresh-melangkahkan kakinya masuk tanpa permisi dari sang tuan pemilik kamar, seketika mengedarkan pandang menatap desain interior kamar Jendral dan bersiul takjub.

"Kamar orang kaya beda ya," ucapnya sembari berjalan menuju meja belajar Jendral-mendapati sebuah bingkai berisikan foto seorang anak kecil, itu Jendral.

"Gila mata lo dari kecil emang udah di program cuman segaris ya bang? Persis dah kek benang kasur ibu gue." Naresh mengambil bingkai itu, menatapi lamat-lamat foto Jendral yang tersenyum lugu.

Melupakan bahwa Jendral masih terpatung di tempatnya berdiri. Kesadaran sempat hilang dari diri seorang Jendral, sebelum kemudian ia membuyarkan lamunannya dan cepat-cepat berlari ke arah pintu kamar, menguncinya dari dalam supaya kakaknya dan sang ayah tak masuk sembarangan.

"Kha mu ghi man nha bhi sha ke shi ni? Shi a pha yang ka sih tha u ka mhu al la mhat u mah sa yha?" [Kamu gimana bisa kesini? Siapa yang kasih tau kamu alamat rumah saya?]

"Tukang bubur depan komplek. Katanya rumah abang yang ini, eh dianya tadi nganterin sekalian pulang jualan. Kita ngobrol lah sambil bantuin dia dorong gerobak. Pas nyampe depan rumah lo, dia ngasih tau kalo biasanya lo suka pesan bubur ke abangnya dari balkon kamar."

"Yha tha phi kan adh dha pin thu-" [Ya tapi kan ada pintu-]

"Udah malem, gak sopan bertamu lewat pintu."

"Naresh-"

"Shh! Gue gak mau denger omelan lo." Naresh kemudian meletakkan bingkisan kantung plastik hitam yang dari tadi ia bawa, meletakkannya kemudian di atas meja belajar sang remaja, "ini gue bawain bubur. Di makan ya, biar lo cepat sembuh."

"Oh iya, lo katanya demam ya?" Naresh beralih menempelkan punggung tangannya di kening Jendral hingga membuat sang pemuda membeku dengan wajah bodohnya, "mana? Kok gak panas? Bohong ini anak."

"Sha ya shu dha sembuh." [Saya sudah sembuh]

"Oh gitu ya? Yaudah deh," Naresh berbicara tak acuh, kemudian duduk di ranjang king size milik Jendral. "Kasur orang kaya beda ya. Kasur gue kapuknya udah pada keluar."

"Ah~" Naresh membanting tubuhnya sendiri ke atas ranjang, membuat dirinya seketika berbaring nyaman, memejamkan matanya tentram disertai senyumannya. "Gila, tidur seratus tahun juga gue jabanin kalo kasurnya empuk gini."

Jendral yang kalang kabut takut ketahuan segera menarik lengan Naresh, membuat pemuda itu terpaksa berdiri.

"Kha mhu phu lang sha ja." [Kamu pulang saja]

"Males, nginep sini aja. Rumah gue ilang."

"Na.."

"Bilang aja gue cicak di kamar lo yang tetiba berubah jadi manusia kalo misal lo ke gep sama ortu lo."

Cicak pantatmu rapat!

"Na ayh ho, ka mhu phu lang sa jha." [Na ayo, kamu pulang saja]

"Nanti aja bang.."

"Nan thi kha mu ke tha u an-" [ Nanti kamu ketauan-]




















"Puas kamu hah?! Bahkan anakmu sendiri udah pasrah hidupnya mau berjalan seperti apa karena dilahirkan dari ibu brengsek kayak kamu!"

"Iyalah pasrah! Lagian kalo dia hidup pun menaruh keuntungan apa dia ke kita?! Udah baik aku doain dia cepat mati!"

"Jendral itu anugrah! Kalo dia bisa milih, dia juga gak akan mau terlahir tuli! Kamu bisa gak sih berubah dan menerima kekurangan anakmu hah?!"

"Salahin aku aja terus! Emang ini semua salah aku! Salahku karena ngelahirin manusia cacat kayak dia!"















Suara ribut terdengar sampai di kamar. Membuat dua adam itu terdiam di tempatnya berada. Jendral perlahan melepas cengkraman tangannya dari lengan Naresh-wajahnya tampak kosong, berbeda dengan Naresh yang termenung mendengar suara keributan di luar baru saja.

Naresh tidak bodoh. Ia dengan jelas mendengar nama Jendral disebut di atas kalimat-kalimat kurang mengenakkan yang terdengar di telinganya.

Manik Naresh seketika menatap bagaimana wajah Jendral terlihat linglung. Salah tingkah, malu, sedih, takut, perasaan yang bercampur aduk namun Naresh bisa menggambarkannya.

"Le bhi bha ik ka mhu phu lang sa jha." [Lebih baik kamu pulang saja]

Jendral menghindari kontak mata dengan Naresh-sejak tadi ia menunduk, sejak dimana suara keributan itu terdengar jelas sampai ke kamarnya.

"G-gue tau gue salah karena gue udah masuk ke kamar lo tanpa izin. J-jadi, gue minta maaf.."

"Thi dhak ap pha." [Tidak apa]

Lihat bagaimana mata itu tetap terlihat tegar..

Walau baru saja telinga mu menangkap suara dimana kau baru saja disumpahi agar mati..

"Bang.."

"Hm?"

"Jadi 2 lies 1 truth yang lo maksud itu ini?"

Jendral mengambil nafas pasrah lantas mengangguk.

Aku melihatnya..

Melihat bagaimana mata itu tampak sok kuat membendung air matanya...

"Kalo gue jadi lo sih gue bakal nangis." Ucap Naresh.

"Sha yha lu pha cha ra nya me nang ngis." [Saya lupa caranya menangis]

"Sebentar.." Naresh melepas denim yang ia pakai, berjinjit untuk kemudian menelungkupkannya di kepala Jendral, menutupi kepala sang remaja rapat-rapat.

"Gue kalo gabisa nangis, selalu pakai cara ampuh ini." Naresh memegangi ujung denim yang satu dengan ujungnya yang lain, menutupi wajah jendral.

"Nangis aja bang, gapapa kalo lo dikata cengeng. Air mata kecipta buat cowok ya biar dia bisa nangis bukan buat cebok."

Bunda..

Maaf aku lemah..

Tapi ucapan bunda membuat Jendral ingin sekali menangis..

Untuk kali ini saja ya? Jendral ingin melepaskan topeng Jendral..







Suara isakan segera terdengar. Tubuh yang lebih tinggi dari Naresh itu perlahan bergetar. Naresh bisa merasakan, ia bisa merasakan bahwa Jendral menangis terisak didalam kerubungan denimnya. Segera saja ia menepuk pundak Jendral pelan seraya mengatakan sesuatu di sana..

"Bukan salah lo kalo dunia nggak menginginkan lo. Ini hanya salah dunia saja, mereka terlalu banyak menampung orang-orang yang punya pemikiran dimana yang sempurna, yang bisa menghirup nafas lega."

***

Tbc!

Weiterlesen

Das wird dir gefallen

66.5K 5.6K 63
[Novel Terjemahan] Si Kecil Cantik Hamil Dengan Anak Orang Tua Judul asli : 小漂亮怀了老男人的崽 Author : 宋九音 Gu Yanzhen adalah seorang penjelajah buku. Bertra...
106K 20.4K 38
[Completed] "Kengeriannya, ketakutannya, depresinya. Bahkan aku seolah-olah bisa mendengar pekikan ngilu kawanan mereka, begitu nyaring. Serta tusuka...
776 46 4
Menceritakan kisah cinta seseorang . . . . . . . . udah di baca aja dari pada penasaran tapi jan lupa vote ya makasihh
69K 3.3K 8
meskipun kau mantan kekasih ibuku Lisa😸 (GirlxFuta)🔞+++