ANDROMEDA

De ssebeuntinn

223K 36.9K 15.7K

• T E L A H T E R B I T • Andromeda? Andromeda... nama galaksi? Atau nama seorang putri dalam mitologi... Mai multe

Intro
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 01
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 02
[Jovi] Antara Singgah atau Pergi - 03
[Aksa] Pameran Motor - 01
[Aksa] Pameran Motor - 02
[Aksa] Pameran Motor - 03
[Mario] Polaroid - 01
[Mario] Polaroid - 02
[Mario] Polaroid - 03
[Ardika] Seirios - 01
[Ardika] Seirios - 02
[Ardika] Seirios - 03
[Zidan] Dua Puluh November - 01
[Zidan] Dua Puluh November - 02
[Zidan] Dua Puluh November - 03
[Juna] Kaca Potret - 01
[Juna] Kaca Potret - 02
[Juna] Kaca Potret - 03
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 01
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 02
[Chandra] Rumah Tanpa Tuan - 03
[Bastian] Sebuah Batas - 01
[Bastian] Sebuah Batas - 02
[Bastian] Sebuah Batas - 03
EDISI ROOM TOUR
[Bayu] Distraksi - 01
[Bayu] Distraksi - 03
[Delvin] Garis Akhir - 01
[Delvin] Garis Akhir - 02
[Delvin] Garis Akhir - 03
[Ardanu] Bait Aksara - 01
[Ardanu] Bait Aksara - 02
[Ardanu] Bait Aksara - 03
[Haikal] Satu Sisi - 01
[Haikal] Satu Sisi - 02
[Haikal] Satu Sisi - 03
[Joshua] Enigma - 01
[Joshua] Enigma - 02
[Joshua] Enigma - 03
[+] Lintas Jejak; Retak
[+] Lintas Jejak; Kontradiksi
[+] Lintas Jejak; Memori
Epilog; Jovi
Epilog; Aksa
Epilog; Mario
Epilog; Ardika
Epilog; Zidan
Epilog; Juna
Epilog; Chandra
Epilog; Bastian
PEMBERITAHUAN
VOTING COVER
PRA-PESAN NOVEL ANDROMEDA

[Bayu] Distraksi - 02

2.6K 554 318
De ssebeuntinn



Huru-hara para mahasiswa selalu saja terjadi setiap hari tanpa batas. Entah karena populasi mereka paling banyak di kontrakan atau bagaimana, yang jelas ramainya kontrakan dominan diisi mereka doang. Sepinya kontrakan juga kalau gak ada mereka, entah karena ditinggal pergi ke kampus atau pulang. Mendadak kontrakan jadi rumah damai, seolah-olah setannya pada kabur semua. Makanan aman, air bak mandi selalu tersedia dan jejak-jejak sialan bekas sepatu gak pernah terlihat mengotori lantai, pun dengan tali jemuran yang kosong karena gak harus berdesakan gantung cucian basah.

Lagi-lagi, entah sudah ke berapa kali, Haikal jadi masalah utama teman-temannya yang lain suka membantin. Dia oknum yang suka sekali pinjam barang teman, tapi pas dikembalikan kadang suka lenyap atau kondisinya dalam keadaan kurang baik. Pagi ini, Bayu jadi sasaran empuk sebab si Mawan, vespa kebanggaanya, bagian pantatnya kesenggol mobil pick up dan menyebabkan plat nomornya bengkok setengah.

"Kayaknya gobloknya orang-orang lo ambil semua jatahnya, deh. Makanya tololnya gak kira-kira."

Telunjuk Bayu menuding Haikal dengan segurat ekspresi marah. Suaranya menggema di garasi bersahutan dengan suara denting perkakas yang dikeluarkan dari kotak reparasi. Yang dimarahi tentu saja cengengesan, pura-pura bantu dengan pegang-pegang plat nomor motor padahal juga gak tahu solusinya harus diapakan.

"Kecelakaan, Yu. Astagfirullah, tanyain gue gimana kek malah Mawan mulu yang dirawatin."

"Cicilan belum habis ini, masih sisa setahun setengah," Bayu bersungut-sungut sambil mencari palu yang tenggelam di dalam kotak reparasi. "Belum buat bonceng bini udah lo cacatin duluan."

"Busi motor gue waktunya ganti, tapi duit gue habis kemarin buat beliin anak-anak kado karena ranking satu semua, njir. Bangga sih bangga, tapi auto melarat gue gak diizinin pulang waktu ngajar les kalau gak ada hadiah."

Di tengah otaknya yang masih mendidih, Bayu dapat ilham mendadak buat kasih wejangan gratis. "Makanya lebih gampang ngurusin cewek daripada bocah. Kasih cinta aja udah klepek-klepek setengah mampus sampai bucin."

Haikal mendecih keras. Dia bukan teman main yang pas kalau lagi bahas soal perempuan. "Cinta gak bikin kenyang," katanya, yang semula jongkok kini beralih duduk di atas lantai garasi, gak ngapa-ngapain selain mengoceh. "Capek malah. Iya kalau cinta buat lo dikejar, tapi kalau mengejar?"

"Susah dari sananya, sih. Kalau muka lo pas-pasan memang begitu kok. Sadar diri aja."

Kalau saja palu yang katanya ada di dalam kotak reparasi ditemukan, enaknya buat getok kepala Bayu biar otaknya sedikit sehat dan mulutnya bisa bicara benar. Sayangnya yang ditemukan hanyalah obeng untuk buka mur dan baut pada tempat plat nomor motor. Kini Bayu menghadap ke arah motornya, hendak membuka papan tersebut terlebih dahulu sebelum membetulkan platnya yang bengkok. Kembali dia berbicara singkat sebelum mendapat sanggahan dari Haikal. "Bang Aksa simpen palunya di mana?"

"Palunya rusak, Yu."

"Hah? Masa?"

"Gagang sama kepalanya pisah karena gue buat benerin tali cucian yang putus kemarin. Temboknya alot, pakunya gak bisa masuk terus palunya malahan yang patah."

"Jan guoblok, eh." Jadi gemas kan Bayu sama Haikal. Ada gitu manusia yang sukanya kelewat banget rusakin barang orang, tapi masih sempat ketawa tanpa dosa dan tanpa rasa bersalah?

"Gue pinjemin ke Pak Bima dulu, deh, tunggu bentar."

Dengan sigap Bayu menahan tangan Haikal sebelum sempat berdiri. Si empunya tangan menoleh. Belum terheran-heran, tapi kaget sedikit. "Jam berapa ini?" tanya Bayu. Di garasi gak ada jam hidup, jadi dia sungguhan tanya.

"Jam sembilan kayaknya?"

"Oke, gue aja yang pinjem. Lo diem sini jagain Mawan."

"Eh?" Sesaat Haikal mulai bertanya-tanya. "Giliran gue tanggung jawab lo nyegah. Gue kabur entar ditolol-tololin."

"Gue sekalian mau bicara sama Pak Bima urusan bisnis."

Haikal mengerutkan kening. Di matanya Bayu gak ada tampilan seperti orang pebisnis sama sekali. Ditambah sekarang yang Bayu pakai hanyalah kaos kesukaannya sepanjang masaㅡkaos sangsang dibalut dengan kemeja lusuh yang mungkin habis dipakai buat tidur tadi malam. Sewaktu Bayu berdiri, yang justru pemuda itu lakukan ialah pergi ke wastafel di sudut garasi, membasuh rambut dan mukanya sedikit lalu mengaitkan kancing kemejanya hingga kaos sangsangnya tertutupi.

"Lo mau daftar jadi penjaga toko sarungnya Pak Bima di Pasar Minggu apa gimana?" Haikal menolak untuk tetap diam, jadi dia ikut berdiri dan menempatkan helm yang belum dia lepas sejak tadi di rak besi sebelah wastafel. "Anak-anak pada takut didatengin Pak Bima, nah lo malah nyamperin. Kerjaannya dia kan cuman nagih tagihan sama marah-marah kalau pada bawain cewek masuk pagar."

"Jadi kepo gak bakalan bikin lo masuk surga," tukas Bayu. Kini dia sudah siap pergi dengan modal tampang muka yang sudah sedikit segar karena tertolong air. Dia juga sedikit menurunkan celana pendek yang dipakainya supaya bisa pas tingginya di area lutut. Bahkan Bayu juga ganti sandal selop karet yang ada logonya punya Zidan yang ada di pojok ruangan, lalu menempatkan sandal jepitnya sendiri yang warnanya sudah pudar di dekat Mawan. "Tunggu di sini, Kal. Tanggung jawab lo udah bikin Mawan penyok di bagian pantat."

"Eh, Yu, sekalian dong."

Bayu mencium bau-bau mencurigakan. Dia berbalik sebelum melanjutkan langkah keluar. "Mau titip salam lo sama Teteh?"

"Hih, Teteh Alina mah bukan tipe gue. Ketuaan."

Njir, sok tajir amat?

Tua katanya... padahal baru dua enam juga.

"Yang tua lebih sedap, lebih matang."

Haikal jadi cengo. Dia gak paham.

"Yu, titip tanyain si Bapak, jambu air depan rumahnya boleh dimintain gak? Mubazir udah merah-merah tapi gak ada yang petik. Panggil gue kalau boleh entar gue bantu sodokin pakai galah, oke?"

Aduh. Sebenarnya untuk masalah itu Bayu juga pingin karena pohon jambu di halaman depan rumah Pak Bima memang godaannya dahsyat luar biasa. Sering diambilin sama bocah-bocah tetangga pakai cara klasik; dilemparin pakai sendal, tapi Pak Bima gak pernah marah. Kalau penghuni kontrakan gak punya malu jelas terobos saja, sayangnya mereka takut diusir karena nanti dianggap gak punya tata krama. Mau minta, tapi nanti malah diinterogasi siapa saja penghuni yang sering bawa cewek tanpa sepengetahuan Pak Bima sendiri. Kalau gak gitu diajak main catur sambil didongengin kisah masa muda beliau yang katanya pernah jadi atlet judo sampai luar negeri tapi ujung-ujungnya mentok malah jadi guru.

Iya kalau habis ngobrol dikasih jambu sekantong, yang ada malah disuruh manjat dan bantu bungkusin bakal buah jambu pakai plastik bening. Pulangnya bentol-bentol bikin gatal karena kena bulu ulat.

Tapi, gak apa-apa. Latihan jadi calon mantu. Kata Bayu sih begitu. Sebab kalau ada apa-apa dia yang selalu maju dan menghadap Pak Bima langsung. Biar gak ketahuan kalau sering ajak ajak cewek masuk buat pamer ke teman-temannya.

"Takut disuruh manjat lagi gue, Kal. Terakhir kali gue ke sana malah disuruh bantu benerin pipa air tempat cuci piring sama kamar mandi."

"Lo masuk rumah si Bapak sampai dapur?"

"Kenapa emang?"

"Gak apa-apa, sih," Haikal mulai cengar-cengir. "Takut gue kalau Teteh Alina malah lo intipin. Lo beneran gak ada niat jahat, kan?"

Beginilah kalau orang sudah dicap jelek, maka akan seterusnya dikaitkan sama hal-hal jelek pula. "Gue gak kepikiran sampai sana sebelum lo bilang begitu, tapi boleh lah... ide bagus, sih."

"Sumpah, woi! Jangan ngadi-ngadi lo, Yu. Akhlak lo dulu ikutan dikebiri, ya, jadinya ikutan hilang?"

Bayu mengangkat tangan dan berbalik, mengabaikan Haikal yang bersungut-sungut di dekat rak besi. "Dah, lah. Bukan gue yang kasih saran. Diem-diem lo piktor juga ternyata."

Bayu menyambut sinar matahari pagi itu dengan hoki dan senyum yang mengembang. Rumput di halaman masih basah, sisa hujan semalam berupa genangan air masih tersisa di jalanan depan kontrakan. Akhir pekan yang cukup menyenangkan karena kuliah libur dan habis ini jadwal pulang kampung tiba, meskipun kalau dirasa-rasa gak sebegitu menyenangkan juga karena Mawan penyok sedikit habis dibawa Haikal cari sarapan.

Pagar kontrakan terbuka saat ini seperti biasa, dilakukan demi memudahkan para penghuninya yang keluar-masuk lebih sering untuk melakukan rutinitas. Jam segini masih banyak ibu-ibu tetangga berlalu-lalang. Ada yang belanja di mamang sayuran, ada yang ajak anaknya jalan-jalan sambil suapin makan, ada juga yang sudah duduk di teras sambil pegang sapu padahal kumpulan sampah dedaunan di halaman belum diangkut.

Jelas Bayu mendapat perhatian karena keluar kontrakan sambil tebar pesona. Ibu-ibu menyapanya dengan hangat, entah sekadar memanggil nama atau memujinya dengan singkat. Memang, ya, pujian itu selalu membuat senang bukan kepalang apalagi yang dipuji memang punya sifat sok tampan.

Yang Bayu pertama temui di halaman depan rumah Pak Bima adalah orangnya sendiri. Kebetulan beliau lagi sakit, makanya gak pergi mengajar dulu untuk sementara. Namanya juga bapak-bapak, walaupun sakit hewan peliharaan tetap yang utama. Beliau sedang memberi makan ikan-ikan sambil memakai jaket tebal. Mukanya masih pucat dan sesekali batuk-batuk ringan.

"Bapak, assalamualaikum." Kalau begini baru sopannya seorang Bayu keluar. "Dah sehat belum, Pak?"

"Kamu lihat ini gimana?"

Jutek sangat, njir. Sensi padahal masih pagi.

"Jawab salam, Pak. Biar barokah."

"Waalaikumussalam." Pak Bima hanya berdeham gak jelas. Tenggorokannya mungkin masih gatal. "Kenapa kamu? Mau minta jambu?"

"Teteh mana, Pak?" Bayu balik bertanya.

Pak Bima mendelik tajam. Arah pandangnya gak lepas dari Bayu yang masuk setelah buka pagar besi sambil celingak-celinguk. "Ke pasar sama ibunya." Ketus nada bicara Pak Bima. "Lagian kenapa kamu kemari? Belum waktunya bayar. Kenapa juga tanya Alina, kamu ada urusan dengan anak saya apa gimana?"

"Bapak masih sakit, makanya saya cari si Teteh mau pinjam palu biar diambilin di gudang. Suudzonnya loh masih aja gak pernah hilang sama saya."

Pak Bima memajukan dagunya. "Mukamu itu yang bikin saya gak nyaman."

"Ganteng gini, Pak."

"Ganteng iya, tapi ekspresi kamu seperti anak muda yang mesum."

Bayu mendengkus keras, tapi dia gak bisa marah karena Pak Bima memang suka mengatainya seperti itu untuk bahan candaan. Beliau malah mengulurkan stoples isi makanan ikan pada Bayu yang secara gak langsung merupakan perintah supaya Bayu juga ikut kasih makan ikan-ikan.

"Bapak boleh katain saya kayak gitu kalau lagi sepi gini, tapi jangan pas ada si Teteh. Martabat saya turun, Pak."

"Yu, saya mau nanya nih, tapi jawab jujur."

Mendadak suasana jadi serius. Bayu menelan ludahnya kasar seiring tangannya yang menabur makanan ikan di kolam. "Apaan, Pak? Serius amat."

"Serius memang."

Sudah gak karuan sekarang, perasaan sama tubuh Bayu jadi tegang. Sudah lupa mau pinjam palu apalagi eksistensi Haikal yang masih ada di garasi bareng sama Mawan.

"Tanya saja, Pak. Jangan setengah-setengah."

"Anu... itu..." Pak Bima pun terlihat seperti sulit mengungkapkan buah pikirannya. "Nak Danu sudah punya pacar belum, ya?"

Ambyar.

Mohon maap, ini jalan keluar di mana ya? Mendadak gue gak lihat pagar depan ada di mana.

Ngomong-ngomong, semua penghuni kontrakan sudah sadar kalau penghuni kesukaan Pak Bima di Andromeda itu ada dua; Aksa dan Danu. Beliau kalau lagi bucin sama anak-anak kelihatan banget, sukanya panggil mereka pakai sebutan 'nak' di depan lalu diikuti nama panggilan. Sedangkan yang dipanggil 'nak' cuman dua orang saja dari dulu.

"Mana saya tahu, Pak, saya gak pernah sensus anak lain terus tanya udah ada cewek belum." Pingin nangis rasanya si Bayu. Dipaksa mundur padahal maju selangkah pun belum. "Kalau saya belum punya sih, Pak."

Sudah saatnya mempromosikan diri sendiri.

"Belum punya sepuluh gitu?" Kan... mampus sendiri si Bayu. "Saya gak tanya kamu ya, tanyanya Nak Danu."

Tantangan utama Bayu jadi berubah haluan sekarang. Deketin bapaknya dulu, baru anaknya. Restu bapaknya dulu, baru cinta anaknya.

"Curiga saya ini ada kaitannya sama Teteh Alina," tukas Bayu. Karena sedikit sebal, jadinya dia menaburkan makanan ikan seenak jidat sebelum stoplesnya diambil alih oleh Pak Bima.

"Nak Danu tipe bapak sekali soalnya, Yu. Sepertinya bagus kalau diambil jadi mantu."

Kalau dibilang karma, sepertinya ini masih pemanasan. Ada retak yang gak terlihat. Ada sesak yang coba ditahan. Bayu mendesis samar, menatap kolam ikan dengan muka datar. Ungkapan Pak Bima jadi bumerang baginya sekarang, karena dugaannya kini sepenuhnya fakta. Ada sisi lain dari Danu yang gak bisa dia kalahkan walaupun keduanya sama-sama punya paras yang rupawan. Bayu bukan orang jahat, dia hanya terlihat lebih buruk dibandingkan dengan Danu yang terkesan seperti pemuda dengan sejuta pesona. Keduanya sama-sama mudah mendapat perhatian, pun dengan pujian. Namun, Bayu tampaknya gak memanfaatkan hal itu dengan benar karena dia justru menggunakannya sebagai media bersenang-senang, bukannya menyaring mana saja yang mau dipilah.

Bayu suka sekali teralihkan dari satu hal ke hal lainnya. Itulah mengapa dia suka gonta-ganti perempuan karena cepat bosan. Selain hal yang berhubungan dengan seni, Bayu gak bisa bertahan lama melakukan hobi lain.

Pantas saja Pak Bima gak pernah mendambakannya jadi kandidat menantu. Karena nyatanya Bayu hanya memikat para wanita, bukan calon mertua.

Dia masih belum lulus dalam kriteria tertentu.

"Gak mau gitu rekrut saya jadi kecengan Teteh Alina, Pak?"

"Kamu bagus juga," tukas Pak Bima yang entah kenapa malah meladeni ucapan Bayu yang masih melantur. "Tapi anak saya memang naksir tipikal seperti Danu. Terus tipe yang paling dia hindarin itu kayak kamu."

Meraung-raung hati Bayu sekarang. Sudah lawannya kuat dari sananya, nah kini dia justru sama sekali gak punya pendukung siapa-siapa. "Kenapa saya kebagian yang jelek mulu, dah."

"Kata Alina, anak ganteng terus bawaannya vespa, biasanya suka pamer muka saja."

"Wah, parah si Teteh. Mana ada pakai stigma begitu buat menyamaratakan kaum lelaki, Pak?"

Kalau begini ceritanya, Bayu jadi pingin ganti nama vespa saja supaya gak dikata-katain sama anaknya Pak Bima. Bisa mampus kalau kepanjangan Mawan bocor sampai ke sini dan menyebabkan bertambahnya anggapan buruk tentang dirinya sendiri. Tapi susah sepertinya, sebab Mawan sudah melekat erat dan susah buat dicari nama pengganti yang pas. Seolah nama itu sudah satu paket dengan kendaraan Bayu yang satu itu.

Iya, bisa ditebak.

Mawan kependekan dari Idaman Wanita.

Pinginnya ganti jadi MalinㅡIdaman Alina, tapi sayang yang punya nama belum tentu mau sama dia.

Sungguh tipikal penamaan ala-ala Bayu yang punya nilai simbolik.

Bayu dengan pelan bertanya lagi. Kali ini dengan topik yang lebih berani. "Teteh mau dijodohin apa gimana, Pak?"

"Enggak. Bapak cuman mau mencoba saja, Yu. Barangkali Nak Danu ada sinyal-sinyal begitu."

"Sinyal saya nih, Pak, kenceng banget tapi gak sampai-sampai."

Pak Bima terkekeh-kekeh. "Masih kecil kamu, Yuㅡ"

"Loh, Bapak... saya sama Danu itu gak beda jauh kali. Pilih kasih amat. Danu diberi kesempatan, saya gak sama sekali."

"Heh, kamu pikir saya buka sayembara cari jodoh apa?" Pak Bima berjalan mendekat ke arah kursi di teras untuk menempatkan stoples makanan ikan yang sedari tadi dia pegang. Kemudian beliau duduk dengan kaki dinaikkan. "Saya gak pernah maksa Alina buat mau dijodohin. Dia sudah besar dan bisa ambil keputusan sendiri. Bapak sudah kerasa kok, Yu. Kamu ada anu, kan, sama anak saya?"

Bayu memutar tubuh, tapi dia tetap berada di sisi kolam ikan. Gak bersuara pula.

"Matamu itu, le... kelihatan. Tiap ke sini selalu fokus ke arah lain. Apa-apaan ngajakin Bapak nongkrong sambil makan kacang, dikira gak sadar sebenernya kamu cuman pingin lewatin Alina doang."

... kalau gitu kenapa gak langsung direstuin saja, wahai bapak kontrakan?

"Hah! Pantas aja Bapak mah selalu nyuruh Teteh pulang cepat kalau ada saya di kontrakan. Semenit baru buka pagar sudah dipanggil pulang."

Walaupun kini motif Bayu sudah terbongkar total, tapi dia masih gak mengerti sisi mana dari dirinya yang masih enggan diterima oleh Pak Bima. Bukan untuk masalah dekat sama anaknya, tapi lebih ke arah pandangan apa yang sekiranya Pak Bima tanamkan pada presensi si Bayu.

"Kamu naksir sama Alina lewat tatapan mata saja, gak lebih, dan itu belum bisa dipertanggung jawabkan."

Bayu mulai mendekat ke arah kursi setelah Pak Bima menunjuk kursi di sebelahnya, menandakan ada ungkapan gak langsung kalau Bayu disuruh duduk di sana. Kali ini gak pakai acara main catur-caturan segala. Makin pusing Bayu kalau diajak tanding sedangkan pikirannya fokus sama yang lain.

Mulut Bayu lantas memberikan sanggahan. "Kan dari mata turun ke hati, Pak," tukasnya, seolah Pak Bima temannya yang bisa diajak bercanda.

"Alina pernah bilang sama Bapak, kalau anak kontrakan itu masih lugu. Lucu-lucu katanya meskipun Bapak gak tahu lucunya modelan kayak kamu itu di mananya. Kecuali Aksa, mungkin karena dia penghuni paling dewasa di sana."

Bayu gak paham pembicaraan ini akan mengarah ke mana, jadi dia diam dengan bersedekap.

"Anak saya suka sekali dipanggil teteh sama kalian. Karena anak laki-laki saya ada di ponpes dan gak tiap minggu pulang, jadi Alina suka punya adik-adik banyak yang bisa dia sodorin makanan. Sekarang saja dia ada di dapur, bikin kue bolu kukus buat nanti sore dibagiin sama kalian."

"Tadi bilangnya ikut ke pasar buat jualan..."

"Lagi mau goda kamu saja, coba salah tingkah apa endak."

Alih-alih takut ketahuan obrolan akan terdengar oleh si pemilik nama yang tadi disebut, Bayu lebih fokus sama apa yang barusan Pak Bima bilang. Dari sekian banyak zone yang ada di dalam suatu hubungan, adek-kakak zone juga salah satunya. Ini bukan rasa yang bertepuk sebelah tangan, tapi rasa yang dipaksa untuk dihilangkan sebelum sempat diucapkan.

Apalagi yang bilang secara langsung adalah bapaknya sendiri. Makin memperjelas batas yang gak bisa diabaikan.

"Abah, obatnya sudahㅡlah, ada Mas Bayu."

Percuma kau panggil aku pakai sebutan mas, Teh, kalau ujung-ujungnya hanya dianggap sebagai pengganti adek sendiri yang lagi di ponpes.

"Teh, celemeknya bagus banget, ih. Cantik bener warnanya." Sahutan Bayu mendapat tatapan intens dari Pak Bima yang langsung menusuk walaupun Bayu sendiri gak lihat. "Nyapa doang, Bapak, gak bakalan saya bawa kawin lari, astaga. Gitu amat natap saya," lanjutnya kemudian disusul senyuman paksa.

"Bapak sudah minum obat tadi. Kenapa kamu malah keluar pas ada Bayu?"

"Memang Mas Bayu mau ngapain ke sini?"

"Pinjam palu, Teh. Palu kontrakan dibuntungin sama Haikal." Cepat Bayu menanggapi pertanyaan yang dilontarkan Alina. Perempuan itu berdiri di ambang pintu dekat Bayu, membuat Bayu bisa mencium aroma wangi dari bahan-bahan kue yang melekat di baju perempuan itu. "Katanya lagi bikin kue buat anak-anak, Teh?"

"Iya, Mas, tapi cetakannya habis padahal adonannya masih sisa seperampat. Ini mau beli duluㅡ"

"Beli ke mana?" Pak Bima menginterupsi. "Apa di toko yang kemarin?"

"Iya, Abah. Di sini pada kosong, jadi gak ada. Alina mau pesan mamang ojol dulu karena ban motor di garasi bocor."

Pucuk dicinta, ulam pun tiba.

Bayu menatap Pak Bima tanpa maksud apa-apa, tapi Pak Bima justru balik menanyakan sesuatu yang gak pernah Bayu duga. "Kenapa kamu natap saya kayak gitu? Kamu laki, kan?"

"Lah, ya memang kan, Pak? Nih, saya punya jakun gede begini apa gak kelihatan?"

"Ya sudah, anterin anak saya pakai vespa butut kamu itu sama ganti celana panjang dulu."

Bayu membulatkan mata gak percaya. Apa-apaan... kenapa Pak Bima jadi kayak anak perawan yang suka ngaduk-ngaduk perasaan?

"Saya yang anterin Teteh, gitu tah?"

"Jangan kesenengan. Kalau bannya gak bocor sudah bapak tendang kamu karena ajakin anak bapak jalan."

Alina ikut bersuara. "Tolong ya, Mas Bayu. Gak jauh kok tokonya."

Jauh pun gak masalah. Serius.

"O-oke, Teh. Bentar ya mau ganti baju dulu, nanti saya ke sini. Teteh ada helm, kan? Pakai jaket juga, Teh, soalnya panas."

"Diminta anter doang, Yu, bukan diminta perhatian."

"Ehehe. Maaf, Pak, kelepasan ini."

Masalah palu dan Haikal udah gak lagi jadi kepentingan Bayu sekarang. Dengan cepat Bayu setengah berlari ke arah kontrakan dan ganti baju, ambil helm terus bawa Mawan keluar garasi dengan terburu-buru. Meninggalkan Haikal yang teriak-teriak karena merasa diberi harapan palsu, sudah ditungguh tapi malah gak jadi dibenerin, apalagi bawa bingkisan jambu.

Akhirnya bisa bonceng Teteh pakai Mawan. Sumpah, untuk pertama kalinya Mawan didudukin sama orang yang gue kira gak akan pernah mau gue ajak naik barengan.

Dengan keadaan plat nomor motor setengah penyok, Bayu berhasil mengajak si Teteh pergi berdua walaupun kondisi cuaca mulai terik dan tempat tujuannya yang sama sekali gak elit.

Untuk seseorang yang berada di posisi kakak-adik ketemu gede, Bayu harusnya jadi lebih bersyukur dan harus lebih hati-hati. Nyetirnya jadi kurang fokus karena cengengesan terus.

ㅡㅡㅡ


Penghuni kontrakan ke-14.
Si Mawan. Motor vespa yang jadi saingan kerennya moge-nya Aksa.

Continuă lectura

O să-ți placă și

170K 35.8K 22
[Sudah Terbit] 𝐃𝐢𝐬𝐢𝐧𝐢𝐥𝐚𝐡 𝐚𝐰𝐚𝐥 𝐥𝐚𝐡𝐢𝐫𝐧𝐲𝐚 𝐤𝐞𝐦𝐚𝐭𝐢𝐚𝐧 𝐣𝐢𝐰𝐚, 𝐬𝐞𝐫𝐭𝐚 𝐦𝐞𝐧𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚𝐥𝐧𝐲𝐚 𝐦𝐚𝐬𝐚 𝐥𝐚𝐥𝐮 𝐲𝐚𝐧𝐠...
182K 8.9K 29
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
30.7K 7.4K 34
Pada tahun 2800, wilayah kekuasaan terakhir manusia terbagi menjadi lima klan utama untuk mempertahankan bumi mereka yang terjajah.
21.3K 4.7K 34
❝Saling merangkul jiwa yang pandai berpura-pura pada semesta.❞ Buana itu dunia, dan ini hanya sedikit cerita tentang bagaimana dunia penuh cinta dan...