[COMPLETE] EVARIA - Memihak D...

De Desmesta

71.4K 11.2K 824

Evaria membangun benteng berduri dan sangat tinggi agar tidak ada yang bisa menyentuhnya. Di dalam benteng ta... Mai multe

Prolog | Evaria Dona
Bagian 01 | Pemeran Utama
Bagian 02 | Antagonis
Bagian 03 | Penjahat yang Mengaku Jahat
Bagian 04 | Semesta Mengelilingi Erina
Bagian 05 | Evaria Ingin Kalian Mendengar Ini
Bagian 06 | Satu dari Sepuluh
Bagian 07 | Progatagonis
Bagian 08 | Memihak Diri Sendiri
Bagian 09 | Apa Kabar, Va?
Bagian 10 | Kesempatan Kedua
Bagian 11 | Kemenangan Tapi Kehilangan
Bagian 12 | Yang (Tak) Bisa Dipercaya
Bagian 13 | Laki-laki Tanpa Sikap
Bagian 14 | Dikenal dan Dikenang Sebagai
Bagian 15 | Ditinggalkan dan Meninggalkan
Bagian 16 | Jaga Musuh Dari Dekat
Bagian 17 | Cerita ini Bukan Hanya Milik Evaria
Bagian 18 | Nanti Sembuh
Bagian 19 | Artinya Tak Berjodoh
Bagian 20 | Pesta Kejutan
Bagian 21 | Menjadi Seperti Evaria
Bagian 23 | Sikap Menyesuaikan Tujuan
Bagian 24 | Tak Ingin Melepaskan
Bagian 25 | Menyesal Tidak Boleh Dua Kali
Bagian 26 | Menjegal Sebelum Masuk Arena
Bagian 27 | Menangis Sendiri
Bagian 28 | Bahagia Sebentar Saja
Bagian 29 | Pagi Hari Menjelang Badai
Bagian 30 | Malam yang Kembali Dingin
Bagian 31 | Terperangkap Jebakan Masa Lalu
Bagian 32 | Benteng Runtuh, Pertahanan Lumpuh
Bagian 33 | Saling Melindungi
Bagian 34 | Melepaskan Beban
Bagian 35 | Pelukan Terbaik
Epilog

Bagian 22 | Jalan yang Dipilih Evaria

1.4K 255 5
De Desmesta

Pilihanmu hari ini adalah yang akan terjadi esok hari. Sekarang atau tidak sama sekali


Eva mematung di depan pintu kamar kostnya yang masih terkunci padahal ia hanya perlu memutar kunci sekali untuk membuatnya terbuka. Pulang harusnya menjadi tujuan melepas semua beban, sebelum menyandangnya lagi keesokan hari. Tetapi bagi Eva, pulang atau pergi sama saja. Sama-sama meresahkan.

Setiap hari ia berangkat kerja dengan keresahan, apa bisa ia menjual satu saja perangkat ponsel. Pulang pun ia tidak bisa beristirahat dengan tenang memikirkan bagaimana ia membayar sewa kamar sempit ini bulan depan?

"Kenapa nggak masuk?" Saga tahu-tahu sudah berdiri di belakangnya, lelaki berdecak karena Eva hanya memandanginya tanpa bergerak, ia pun menggeser tubuh Eva dan memutar kunci pintu.

Saga masuk ke kamar Eva lebih dulu, menghidupkan lampu dan membuka jendela, memberi ruang perputaran udara. Saga meletakkan kantong-kantong plastik makanan di lantai karena selain kasur lusuh, lemari papan tanpa cermin, dan satu meja untuk menaruh hampir semua barang, Eva tidak memiliki prabotan lain. Sebuah hiasan bunga palsu ditaruh di atas meja itu, sebuah usaha sia-sia untuk menghidupkan kamarnya.

Saga membuka makanan-makanan yang dibelinya sebelum ke sini, Saga berdalih tidak enak makan sendiri, makanya ia membungkus semuanya dan membawanya ke kost Eva. Dan itu membuat Eva malu, namun di sisi lain takut menyuruh Saga pergi. Karena kalau Saga pergi, ia tidak memiliki siapa-siapa lagi.

Eva mengganti seragamnya di kamar mandi dengan pakaian rumahan yang sudah dipakainya bertahun-tahun, ia duduk sedikit menjauhi Saga. "Kamu mau makan di atas kasur? Sini, nanti kalau berceceran jadi sarang semut."

Eva menatap punggung Saga. Ia beuntung memiliki teman sepertinya. "Terima kasih, Ga... lagi." Saga datang tepat saat Eva dicegat masuk oleh pemilik kost yang menagih sewa bulanan yang jatuh tempo tiga hari, dia memberi ultimatum sampai besok sore belum dibayar, Eva harus angkat kaki. Tanpa terduga Saga mengeluarkan sebagian uang dalam dompetnya dan pemilik kost itu pun diam. "Gajiku terlambat masuk, jadi aku belum pegang uang untuk bayar. Harusnya besok sudah masuk, aku akan langsung mengganti uangmu."

"Iya, jangan khawatirkan itu." Bagi Saga uang sejumlah itu tidak seberapa. Orangtuanya cukup kaya untuk memberinya jatah bulanan melebihi gaji karyawan biasa. "Kemarilah. Aku nggak malu punya teman pecandu narkoba, daripada pecandu mylanta."

Sering kali Eva hanya mengisi perutnya di siang hari atau kalau sangat kelaparan ia akan membeli makanan manis untuk dimakan malam hari. Tubuhnya makin kurus tanpa disadari. Seseorang bercanda postur tubuh Eva sangat cocok untuk jadi model. Padahal Eva tahu itu semata-mata hanya ejekan santun.

Setelah makan, mereka berbaring bersisihan berbantalkan pinggiran kasur, menatap langit-langit kamar Eva yang menguning dan ada bekas rembesan air ketika hujan deras. "Kapan ya aku bisa kaya?" gumam Eva.

"Jangan pikirkan kaya dulu, tapi kamu bisa apa untuk mendapatkan pekerjaan dengan gaji lebih besar."

"Aku nggak bisa apa-apa, nggak punya apa-apa, nggak punya siapa-siapa juga."

Saga hanya melirik Eva sekilas. "Jangan putus asa dulu. Pasti ada sesuatu yang bisa kamu lakukan."

Bagaimana Eva tidak putus asa. Ia hanya lulusan SMA tanpa memiliki keahlian tertentu, ia berhenti kuliah di tahun ke dua dengan nilai pas-pasan. "Satpam toko bilang, kalau mau cepat kaya ya main pesugihan, jadi koruptor, atau jadi artis. Katanya, dia punya tetangga yang baru beberapa bulan jadi penyanyi dangdut langsung bisa beli rumah dan segala macam. Apa aku jadi artis saja, ya?"

"Jadi artis seperti apa dulu?" tanya Saga bernada sangsi. "Penyanyi dangdut seperti orang itu, pelawak yang nggak perlu punya urat malu, atau apa?"

"Aku bisa jadi model." Hanya itu yang Eva pikirkan. "Kalau cuma jadi model foto, atau jalan di atas runaway apa susahnya? Aku dengar, sekali pekerjaan bayarannya cukup banyak."

Saga menambah bantalan kepalanya dengan lengannya, membuat posisi kepalanya lebih tinggi dari kepala Eva. Sekilas Saga melirik tubuh Eva dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Nggak segampang itu lah. Biarpun cuma jalan ditontonin banyak orang, itu juga ada ilmunya. Model foto juga begitu, kamu nggak asal pose di depan kamera."

Napas Eva terhela kasar, ia bangkit dari rebahannya. "Benar, kan? Memang nggak ada lagi yang bisa aku lakukan." Bahkan berharap dinikahi lelaki baik pun Eva tak berani, mana ada keluarga yang mau menerima orang seperti dirinya sebagai menantu.

Eva merasakan Saga merangkul pundaknya. "Setelah kupikir-pikir, segala sesuatu harus dicoba dulu. Aku bisa mengenalkanmu dengan seseorang yang sepertinya bisa membantumu."

Eva menatap Saga datar dan melepaskan rangkulan lelaki muda itu. "Jangan, aku nggak mau membuat kamu malu."

"Ya kalau begitu jangan melakukan hal memalukan." Saga meyakinkan Eva dengan mata berbinar. "Lakukan yang terbaik yang kamu bisa. Anggap ini adalah kesempatan terakhir dan jalan satu-satunya kamu bisa mengubah takdir. Keputusannya ada di kamu, mau berubah atau begini-begini saja?"

***

Berkat Saga, Eva memasuki dunia yang sepenuhnya baru untuknya. Saga mengenalkannya dengan seorang agen model yang ternyata berteman dengan mamanya Saga. Eva melakukan wawancara dan disuruh melakukan beberapa hal yang katanya adalah basic yang harus dikuasai seorang model. Dan Eva sukses, sukses membuat orang itu geleng-geleng putus asa.

Jika bukan karena Saga yang membawanya, Eva pasti diusir hari itu juga.

Di sana Eva dilatih bagaimana berjalan di atas catwalk, ia pun mulai membiasakan diri memakai sepatu hak tinggi yang sempat membuat kakinya terkilir di awal-awal, tapi lama-lama Eva justru merasa sepatu jenis itu adalah sepatu terbaik di dunia. Ia mengundurkan diri dari pekerjaan lamanya setelah job modelling yang diterimanya makin banyak.

Dari sana juga Eva diajari bagaimana untuk tidak pernah puas akan sesuatu, ia harus selalu merasa haus agar tergerak mencari sumber air. Eva mencoba peruntungan lain sebagai aktris. Beberapa kali ikut casting, ia suruh pulang dan datang lagi ketika kemampuannya sudah meningkat. Eva melakukan itu, hingga tak terhitung berapa kali casting ia ikuti. Sekalinya mendapat peran, itu hanya berupa peran figuran yang hanya muncuk beberapa detik.

Eva yang sekali lagi mendapat jawaban tidak duduk lemas di bangku tunggu yang ada di depan ruangan casting, ketika seorang lelaki berkumis duduk di sebelahnya. Eva menjadi peserta terakhir sehingga peserta lainnya sudah pergi. Eva mengenali orang itu, dia adalah salah satu orang yang mengcastingnya tadi. Buru-buru Eva menyapa dengan sopan.

"Kamu sebenarnya bagus," ujarnya tersenyum lembut. "Hanya saja ekspresimu masih terlalu kaku. Kami kesulitan membedakan ekspresi saat kamu marah, kasal, dan sedih. Saat kami minta kamu untuk memperagakan adegan saat kamu merasa paling bahagia, yang kamu lakukan tertawa. Padahal saat kamu terharu, itulah puncak kebahagiaan tidak terbendung."

Eva hanya bisa menundukkan kepala. Banyak artis di TV yang aktingnya buruk, Eva sangat tidak beruntung.

"Atau jangan-jangan kamu belum pernah bahagia, ya?" Eva mengangkat wajahnya dengan cepat, sutradara bernama Rizal Chandra itu tersenyum lebar melihat ekspresi Eva. "Nah, sekarang aku tahu kenapa ekspresimu kaku. Karena kamu belum pernah merasakannya. Biar kutebak, kamu hanya pernah merasa sangat marah, bisa jadi karena seseorang sudah mengkhianatimu. Kamu pernah ada di fase sangat sedih, mungkin kamu kehilangan orang yang kamu cintai. Sayangnya belum pernah ada yang membuatmu benar-benar bahagia, hingga kamu hanya tahu kalau orang bahagia ya pastinya dia banyak tertawa. Perasaanmu hanya berpusat di sana dan kamu nggak tahu cara memecahnya untuk mengekspresikan situasi-situasi turunannya."

Eva mengerejapkan matanya sangat lambat, apa karena sudah pernah mengcasting banyak orang Rizal Chandra jadi bisa membaca pikiran orang?

"Sejujurnya aku ingin kamu bergabung di filmku, casting hari ini sangat payah karena kami belum menemukan yang cocok." Rizal kemudian memberinya sebuah kartu nama. "Hubungi aku kalau kamu tertarik menjadi artis terkenal, kamu punya wajah sangat komersil yang sayang kalau disia-siakan."

***

Begitulah Eva mengenal Rizal Chandra, tokoh besar yang membuat Eva terkagum-kagum karena kebaikannya pada Eva yang bukan siapa-siapa. Rizal yang minta dipanggil Mas itu kerap memberi Eva saran-saran dan nasehat menyentuh, makin lama komunikasi mereka makin intens dan mereka jadi makin dekat.

"Kamu mau pergi?" Saga datang saat Eva sedang berdandan di kamarnya yang kini sudah memiliki banyak barang.

"Hi, Ga."

"Mau ke mana?"

"Mas Rizal sedang dalam perjalanan ke sini, aku mau pergi sama dia."

"Rizal Chandra lagi?" Saga menyandarkan tubuhnya di dinding. "Kalian punya hubungan apa, sih, sebenarnya?"

Eva berdiri di depan Saga. "Yang jelas bukan hubungan yang sedang kamu pikirkan."

"Tapi kamu harus tahu siapa dia, Va. Mana mungkin orang sekelas Rizal Chandra, nggak mungkin membantu orang seperti kamu tanpa alasan tertentu."

"Orang seperti aku?" Eva mengulangi ucapan Saga. "Memangnya aku orang seperti apa?

"Maksudku-"

Eva mengibaskan tangan tak mau mendengar Saga. "Sudahlah, Ga. Tadinya aku juga nggak percaya masih ada orang baik, tapi buktinya ada, Mas Rizal contohnya."

"Va-" Bertepatan dengan itu ponsel Eva berdering, Eva menjawab telepon dari Rizal yang memberitahu bahwa dia sudah di depan gang. Eva kemudian menyuruh Saga keluar karena ia harus pergi sekarang juga. "Kamu harus berhati-hati, Va."

Eva sama sekali tidak menghiraukan Saga, baginya Saga sudah tidak sesuportif sebelumnya.
"Kenapa kita ke sini, Mas?" Tanya Eva saat mobil yang dikemudikan Rizal memasuki sebuah hotel.

"Kita istirahat sebentar, ya? Kepala Mas sedikit pusing."

"Istirahat di rumah saja, Mas, kalau begitu." Eva khawatir. "Kita bisa batalkan pertemuan dengan orang Fame." Eva senang bukan main ketika Rizal menjanjikan akan membantu Eva masuk Fame Entertainment.

Siapa yang tidak tahu Fame Entertainment, rumahnya para artis kelas atas. Rizal mengatakan, jalan Eva akan mulus begitu bergabung di sana.

"Kamu nggak tahu orang sesibuk apa mereka, Va. Sangat sulit mengatur janji temu. Mas hanya butuh berbaring sebentar."

"Tapi... sayang sekali kalau harus sampai menyewa kamar hotel," gumam Eva merasa keputusan Rizal terlalu berlebihan.

Perasaan Eva mengatakan ada sesuatu yang salah ketika berjalan di sepanjang lorong menuju kamar, tangan Rizal merangkul pinggangnya. Merasa tak nyaman, Eva berusaha mengelak, tapi Rizal seolah tidak peka akan gestur tak nyaman Eva.

"Wah, bagus sekali pemandangannya." Eva memanfaatkan kesempatan itu untuk melepaskan diri dari rangkulan Rizal Chandra, ia berlari mendekati dinding kaca yang menampilkan landscape gedung pencakar langit ibukota.

"Kamu suka pemandangannya?"

Eva terkesiap saat tangan Rizal kembali memeluk pinggangnya dari belakang, Eva menggeliat minta dilepaskan, tapi itu malah membuat Rizal menaruh dagunya di pundak Eva. "Mas, aku kira Mas ke sini mau istirahat."

"Memang." Gumam Rizal tepat di telinga Eva. "Aku ke sini untuk istirahat, ditemani kamu."

Ini jelas tidak benar. Eva bukan orang lugu yang tidak bisa membaca situasi. "Mas, ini tidak benar. Tolong jangan- Mas!" Eva berjingkat kaget bukan main, Rizal makin kurang ajar dengan mencium tengkuknya.

Rizal mendekati Eva lagi, Eva terus mundur menghindari hingga punggungnya menyentuh tembok. "Jangan begini, Mas, aku mohon..."

"Mohon apa, Sayang?"

"Jangan begini, Mas."

"Aku, kan, belum melakukan apa-apa." Rizal terus memajukan wajahnya, mencari-cari celah untuk mendaratkan bibir di permukaan kulit Eva. Karena Eva terus menghindar, Rizal mendecakkan lidah kesal. "Kamu ini nggak punya apa-apa, nggak pantas kamu sok jual mahal."

Eva hanya bisa geleng-geleng sambil menangis ketakutan "Mas bilang ingin membantuku, kenapa sekarang Mas begini?"

"Ayolah, Eva. Jangan kira ada yang gratis di dunia ini. Seharusnya kamu sadar, untuk apa aku mendekati kamu padahal banyak yang lebih bertalenta daripada kamu memohon-mohon perhatianku." Rizal menangkap kedua tangan Eva, menyatukannya, dan menahannya di atas kepala. Rizal menciumi leher Eva dengan paksa.

"Jadi soal Fame, Mas membohongiku?"

Sejenak Rizal berhenti menciumi Eva untuk menatapnya. "Untuk yang satu itu, tergantung bagaimana sikapmu padaku sekarang."

Tubuh Eva gemetaran hebat, sementara sorot mata Rizal makin sayu dikuasai nafsu.

"Kamu harus sadar diri, ketika kamu nggak punya apa-apa untuk dijual, dan tidak punya uang untuk membayar. Satu-satunya yang bisa kamu tawarkan hanya tubuhmu."

Harga diri Eva terkoyak, belum pernah ada yang merendahkannya secara seksual separah ini. Selama ini ia belum ada lelaki yang berani menyentuhnya sejauh ini. Tiba-tiba Rizal mundur, menciptakan ruang jarak di antara mereka. Rizal setengah berbaring di ranjang, memandangi Eva dengan tatapan mata keranjang. "Pikirkan baik-baik, Evaria. Keputusanmu, menentukan nasibmu. Setidaknya aku masih baik karena masih memberimu pilihan, ya atau tidak."

"Ayolah." Rizal mengerang tak sabaran. "Tubuhmu bukan es krim yang kan habis jika dijilat. Manfaatkan selagi ada yang berselera, toh aku tidak memintanya cuma-cuma.

"...anggap ini adalah kesempatan terakhir dan jalan satu-satunya kamu bisa kaya. Keputusannya ada di kamu, mau berubah atau begini-begini saja?"

Sekelebat Eva teringat ucapan Saga. Bagaimana jika ternyata cuma ini satu-satunya jalan? Keputusannya tetap di tangan Eva. Ia bisa berkata tidak, dan bertahan di kubangan kemiskinan ini lebih lama. Dan berkata ya, untuk apa yang Rizal Chandra janjikan.

Eva akan menganggap ini sebagai kesempatan terakhir. Sekarang atau tidak sama sekali.

Continuă lectura

O să-ți placă și

5.4K 781 15
Litani itu cantik. Matanya hitam bak malam, tatapan teduh dan menyejukkan. Litani cantik. Senyumannya tak ubah bulan sabit, rambutnya bergelombang ke...
1K 88 20
Grisha merupakan seorang manager di sebuah galeri seni namun karir cemerlang yang di milikinya tak sejalan dengan kisah cintanya, hingga suatu ketika...
Under Nasa's Spell De marcel

Ficțiune adolescenți

14.7K 2K 40
Memiliki banyak tato tidak harus dicap sebagai anak nakal. Januar Wiranda adalah contohnya. Walaupun banyak tato yang menempel pada lengannya, sikap...
701K 65.7K 43
Menjadi wanita lajang dengan masa depan yang gak pasti membuat orang tua Arum gigit jari. Dari dulu ia tidak pernah mengenalkan seorang lelaki pada m...