DELUSIONS

By tanindamey

5.4K 1.5K 1.5K

Bagaimana rasanya memiliki suatu cela dalam hidup? Diasingkan, diacuhkan, ditindas, serbuan kalimat pedas. Ta... More

Prolog
Chapter 1- Pembendung
Chapter 2- Lilin lebah mencekam
Chapter 3 - Diluar terkaan
Chapter 4 - Menikam dipenghujung
Chapter 5 - Bunga tidur
Chapter 6 - Teror malam
Chapter 7- Goresan Luka
Chapter 8 - Kepelikan seseorang
Chapter 9-Tuturan Menyayat Hati
Chapter 10-Tumpahan Air Mata
Chapter 12 - Ancaman
Chapter 13 - Gamang
Chapter 14 - Dekapan
Chapter 15 - Sebuah Amaran
Chapter 16 - Tak Kuasa
Chapter 17 - Terungkap
Chapter 18 - Cela
Chapter 19 - Kelam
Chapter 20 - Sukar
Chapter 21 - Langka
Chapter 22 - Terjaga
Chapter 23 - Berbeda
Chapter 24 - Cendala
Chapter 25 - Berdebar
Chapter 26 - Jengah
Chapter 27 - Terlambat
Chapter 28 - Mulai Meragu
Chapter 29 - Terbelenggu
Chapter 30 - Bertekad
Chapter 31 - Pasrah
Chapter 32 - Kegetiran
Chapter 33 - Pengakuan
Chapter 34 - Jawaban
Chapter 35 - Telah Padu
Chapter 36 - Meradang
Chapter 37 - Kembali Melukai
Chapter 38 - Memerangi
Chapter 39 - Terdesak
Chapter 40 - Suatu Cela
Chapter 41 - Telah Renggang
Chapter 42 - Delusi
Chapter 43 - Kilah
Chapter 44 - Kalut
Chapter 45 - Berlaga [Ending]
Epilog

Chapter 11 - Terjebak dalam Gulita

98 43 23
By tanindamey

Terjebak Dalam Gulita

"Ardanu, tolong ubah semuanya. Gue butuh lo." - Stevlanka

Keesokan harinya Stevlanka memutuskan untuk bertemu dengan Caya. Bagaimanapun ia harus berbicara untuk menanyakan beberapa hal. Stevlanka tidak mengatakan apa pun pada Ardanu tentang rencananya yang akan mencari Caya hari ini. Setelah bertemu dengan Caya nanti, barulah ia akan memberi tahu. Sekarang Stevlanka menuju ke kelas Caya. Kelas XII IPS masih satu lantai dengan kelas IPA. Jadi, memudahkan bagi Stevlanka. Ia melihat kelas Caya dari luar. Di kelas hanya ada beberapa siswa yang sibuk mengerjakan sesuatu dan tidak ada Caya di dalam sana. Tepat setelah itu, ada salah satu anak yang keluar kelas.

"Ada Caya, nggak?" tanya Stevlanka.

"Caya?" ulang siswa laki-laki. Ia kembali menoleh ke dalam. "Nggak ada. Dia keluar mungkin, coba cari ke kantin aja."

Stevlanka mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Ia bejalan ke kantin. Mungkin akan sedikit susah. Di kantin pasti sedang ramai. Stevlanka tidak mungkin berkeliling melihat wajah yang ada di kantin satu per satu. Ia mencari kumpulan kelas Dua belas IPS. Hanya sekedar melewati, tetapi sama saja. Caya tidak ada di kumpulan itu.

Stevlanka menyerah. Lebih baik ia mencari di temat lain-mungkin di toilet. Ketika ia berjalan melewati belokan anak tangga, tatapannya tertuju pada Satya. Jaraknya tidak jauh darinya-hanya lima anak tangga. Masa skors Satya pasti sudah berakhir kemarin.

"Hai," sapa Satya tersenyum miring. "Long time no see."

Stevlanka berniat unruk tidak menanggapi. Ia melewati Satya begitu saja. Tetapi laki-laki itu menggeser langkahnya menghalangi Stevlanka.

"Lo nggak membalas sapaan gue?" tanya Satya membungkukkan tubuhnya menatap wajah Stevlanka yang seketika ia alihkan ke arah lain. "Lo kira masalah kita udah selesai? Belum kali."

"Gue nggak paham maksud lo," kata Stevlanka melewati laki-laki itu lagi.

"Eitss," Satya merentangkan tangannya. Laki-laki itu berjalan mendekati Stevlanka, menghimpitnya ke dinding yang membuat Stevlanka memundurkan langkahnya. Seharusnya ia tadi langsung lari saja.

"Kemarin aja lo sok-sokan sama gue, kenapa sekarang jadi takut?" tatapan mata Satya yang begitu tajam, membuat Stevlanka merinding seketika. Ia hanya bisa meremas ujung roknya.

"Jangan macam-macam atau gue-"

"Apa?" sela Satya. "Lo mau bunuh gue pake pembersih kaca kayak waktu itu?"

Stevlanka terdiam.

"Gila juga, ya, lo?" Satya menggelengkan kepalanya.

"Gue nggak gila, gue bisa aja dorong lo dari tangga ini kalo gue mau. Jadi, mending minggir dan biarin gue pergi." Stevlanka mendorong tubuh satya. Laki-laki itu masih menahannya. Mencengkram pergelangan tangan Stevlanka hingga gadis itu meringis kesakitan.

"Lepas!" rintih Stevlanka. Ia masih berusaha melawan. Karena Satya kesal, ia mendorong Stevlanka. Dan tepat ada seorang yang menahan tubuh Stevlanka. Stevlanka melihat gadis itu adalah Caya.

"Lo nggak papa?" tanya Caya. Gadis itu beralih menatap Satya. "Lo mau apain dia, Sat? Lo nggak jera, ya, padahal baru aja di-skors?"

Karena tak mau membuat masalah Satya pergi begitu saja. Sebelum berlalu ia menatap tajam Stevlanka. Stevlanka bisa bernapas lega sekarang. Ia duduk di tangga, seraya memegangi tangannya yang terlilit kain kassa. Caya juga ikut duduk di samping Stevlanka.

"Tangan lo sakit, ya?" tanya Caya.

Stevlanka menoleh gadis itu, menggeleng seraya tersenyum. Tuhan sangat membantunya. Sekarang orang yang ia cari ada di depannya. Stevlanka melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Sayang sekali, waktu istirahat tersisa lima belas menit.

"Satya emang gila. Dia sekelas sama gue. Oh, ya, lo anak baru yang ada masalah sama dia di toilet itu, kan?" tanya Caya memastikan.

"Iya." Stevlanka mengangguk. "Caya, gue mau ngomong sama lo."

Gadis itu memasang wajah terkejut. "Lo kenal gue?"

Stevlanka bangkit dan menarik tangan Caya mengajaknya ke lorong sekolah yang sepi. Ia harus menggunakan waktunya dengan baik. Caya masih kebingungan. Ditambah lagi saat Stevlanka menarik tangannya.

"Luka ini pasti karena masa lalu lo, kan?" Stevlanka bertanya hati-hati. "Ini juga." Sekarang Stevlanka menyibak rambut yang menutupi leher gadis itu. Caya terdiam sejenak. Lalu ia menepis tangan Stevlanka. Raut wajahnya berubah.

"Gue nggak ngerti maksud lo!"

"Caya gue tahu. Lo jujur aja sama gue, siapa dia? Dia udah banyak melukai lo. Lo nggak bisa diam aja. Atau jangan-jangan lo masih menjalin hubungan nggak sehat itu?" Stevlanka menggenggam tangan Caya. "Gue akan bantu lo."

"Lo ngarang cerita, ya? Gue nggak minat sama omong kosong lo." Lagi-lagi Caya menepis tangan Stevlanka.

"Gue ... yang pasti gue tahu itu adalah lo."

"Lo mau menyebarkan dan membuat gue malu, gitu? Dan gue akan terlihat menyedihkan karena cinta sama orang brengsek kaya dia," ujar Caya dengan kilatan kemarahan. Setiap ucapannya yang terucap penuh dengan penekanan. Stevlanka bisa melihata ada emosi yang terpendam pada sorot mata Caya.

"Bukan itu tujuan gue-"

"Apa?" sela Caya. "Udahlah. Gue nggak tahu lo dapat dari mana berita itu. Gue udah baik-baik aja sekarang. Dan jangan pernah mencampuri urusan orang lain. Karena ada orang yang nggak suka masa lalunya diusik. Kalau sampai itu tersebar itu artinya, lo adalah orangnya."

Stevlanka terdiam membiarkan Caya pergi. Ia menghela napasnya. Niat Stevlanka adalah untuk memperbaiki masa lalu yang belum selesai. Hanya itu saja. Stevlanka merasa telah menyinggug perasaan Caya. Ia bertanya-tanya, mengapa ia menyembunyikan orang yang telah menyakitinya.

Saat kembali ke kelas, ternyata sudah ada guru pengajar. Namun, Stevlanka mendapatkan keberuntungan, ia di bolehkan untuk mengikuti pelajaran. Saat ia menuju tempat duduknya, ia melihat Ardanu dengan wajah cemas.

"Lo habis dari mana, Vla?" tanya Cantika ketika Stevlanka sudah duduk di sampingnya.

"Dari perpustakaan, terus ke toilet," jawab Stevlanka seraya tersenyum.

"Gue khawatir tahu, nggak, sih? gue kira lo diculik Satya. Lo tahu, kan, kalau dia udah sekolah?" Cantika berbisik.

"Iya gue tahu, gue baik-baik aja, kok."

*****

Kelas telah berakhir. Stevlanka mengemasi barang-barangnya. Teman-temannya beranjak meninggalkan kelas.

"Bara," panggil Cantika.

"Apa?" Bara membalikkan tubuhnya, menjawab dengan sengit.

"Gue boleh nebeng, nggak?" Cantika setengah memohon.

"Nggak bisa gue ada turnamen basket sama Ardanu," tolak Bara.

"Nah, pas kalau gitu, gue ikut. Sekalian jadi suporter sekolah kita."

"Bilang aja lo mau bareng gue," cibir Bara.

"Rumah kita, kan, searah. Dari pada naik taksi, mending uangnya gue tabung buat beli liptint."

Stevlanka tersenyum menyimak obrolan Cantika dan Bara. Ardanu mendekati meja Stevlanka.

"Cewek langka, gue mau ngomong sama lo," kata Ardanu.

"Vla, gue duluan, ya, sama Bara."

"Iya hati-hati." Jawab Stevlanka. Kemudian Cantika menarik ransel Bara keluar dari kelas. Sekarang di kelas hanya ada Ardanu dan Stevlanka. Ardanu duduk di hadapan Stevlanka.

"Gue turnamen sore ini. Gue mohon sama lo, jangan punya niatan untuk ke gudang belakang sekolah. Hari ini adalah hari yang sama yang ada di mimpi gue. Tas lo, Rambut lo, sepatu lo, semuanya sama. Gue mohon banget jangan ke sana, ya," kata Ardanu serius. "Atau gue nggak ikut turnamen aja supaya bisa sama lo. Supaya kalo ada yang terjadi-"

"Enggak, Dan. Lo harus ikut. Tenang aja, gue nggak bakal ke sana, kok. Gue langsung pulang."

"Lo nggak bohong, kan?"

Stevlanka menggeleng seraya tersenyum.

"Awas aja kalo lo bohong sama gue. Gue berangkat sekarang. Inget, langsung pulang. Jangan ke mana-mana." Ardanu memperingatkan Stevlanka sekali lagi. Setelah berada di luar, mereka harus berpisah.

"Inget, langsung pulang." Ardanu mengangkat jari telunjuknya.

"Iya," kata Stevlanka kesal. Ardanu mengangguk, lalu berjalan menjauh.

"Ardanu," panggil Stevlanka membuat Ardanu membalikkan tubuhnya. "Semangat, ya!" Stevlanka tersenyum pada Ardanu. laki-laki itu terperanjat. Tersenyum senang mengangkat kedua ibu jarinya. Ia berjalan mundur karena tubuhnya masih menghadap Stevlanka. Hingga Stevlanka benar-benar tidak bisa melihat Ardanu.

Stevlanka berjalan gontai menyusuri koridor. Ia senang karena bisa merasakan bagaimana memiliki teman. Stevlanka sekarang memiliki alasan untuk menikmati setiap detik dalam hidupnya. Begitu berarti untuk dilewatkan. Bibirnya tidak berhenti tersenyum di sepanjang langkahnya.

Langkahnya membawa dirinya ke lantai bawah. Ternyata masih banyak siswa yang berkeliaran. Ah, benar. Stevlanka lupa jika mungkin saja mereka akan menjadi suporter basket yang akan turnamen nanti. Di antara siswa-siswa yang berlalu lalang, Stevlanka melihat Caya berjalan terburu-buru. Ia menuju ke arah belakang Sekolah. Kaki Stevlanka melangkah mengikuti gadis itu tanpa sadar.

Stevlanka tertinggal dengan langkah Caya. Sekarang Stevlanka sudah keluar dari pekarangan Sekolah. Tidak ada yang melewati daerah ini. Stevlanka melihat di sekitarnya, tetapi tidak melihat keberadaan Caya. Stevlanka yakin ia tidak salah lihat. Ia benar-benar melihat Caya berjalan ke arah sini. Stevlanka tidak menyerah, ia terus melanjutkan langkahnya. Namun, sama saja. Caya tidak terlihat.

Stevlanka tersadar jika ia tidak seharusnya berada di sini. Memutar tubuhnya, beranjak dari sana. Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti. Ia kembali menoleh ke belakang. Di ujung sana adalah letak gudang. Stevlanka menggigit bibir bawahnya. Ragu untuk menuju ke gudang itu atau tidak.

Atau jangan-jangan Caya ada di gudang itu?

Stevlanka mendekati gudang itu. Berpijak dengan hati-hati. Mengedarkan pandangan. Kondisi gudang itu jauh lebih buruk dari yang ia lihat di mimpinya. Wajar saja, mimpinya itu adalah keadaan dua tahun yang lalu. Stevlanka semakin yakin jika mimpinya itu adalah masa lalu bukan masa depan. Stevlanka sudah berada tepat di depan gudang itu. Ketika kakinya hendak melangkah ia mendengar, suara daun kering yang terinjak. Sontak membuat gadis itu menoleh ke belakang.

Ia tidak menghiraukan dan terus melangkah. Mencari tahu tentang gudang itu jauh lebih penting saat ini. Tangannya terulur membuka pintu yang ternyata tidak dikunci. Ada banyak hal buruk yang dapat Stevlanka pikirkan. Tetapi, ia tidak peduli.

Hingga kakinya melangkah melewati pintu, semuanya masih baik-baik saja. Ruangan itu cukup luas, tak ada barang-barang yang aneh. Beberapa tumpukan meja dan kursi patah serta sudah dihinggapi sarang laba-laba. Butiran debu yang tak terlihat, hanya terasa menyesaki indra penciuman. Stevlanka mengibaskan tangan di depan hidung.

Gimana kalau nggak ada Caya di sini? Stevlanka melangkah lebih dalam. Ia melebarkan matanya ketika melihat banyak botol alkohol. Debu tebal menempel pada sisi botol itu. Tiba-tiba sesuatu terjatuh dari sudut ruangan. Stevlanka sudah membatu di tempat. Ketika ia menoleh ternyata seekor tikus yang mundul dari tumpukan meja. Stevlanka panik karena tikus itu mendekatinya, ia tersungkur ke belakang hingga tak sengaja punggungnya menabrak sebuah lemari. Ia memandangnya dari atas hingga bawah.

Dengan tangan sedikit gemetar, Stevlanka membuka lemari itu-terlihat sudah lama, kayu-kayunya keropos. Engsel pintu lemari berderit bersamaan dengan pintu yang terbuka semakin lebar. Stevlanka memundurkan langkahnya saat itu juga. Ia membungkam mulutnya menahan pekikannya sendiri. Beberapa pisau-sekitar lima sampai enam. Dijajar begitu rapi. Dan yang mengerikan adalah banyak noda darah kering di setiap mata pisau.

Stevlanka terpaku. Jantungnya berdetak cepat. Telapak tangannya sudah berkeringat. Sekelebat ucapan Ardanu terlintas di benaknya. Stevlanka sadar ia melakukan kesalahan. Kepalanya menoleh bersamaan dengan pintu yang tertutup. Matanya semakin melebar.

Enggak, enggak mungkin.

"Tolong!" teriaknya sambil mencoba membuka pintu. Berkali-kali ia berteriak. Siapa yang akan mendengarkannya? Benar-benar tidak ada orang di sekitar gudang ini. "Sial!" Menyandarkan tubuhnya di balik pintu.

Stevlanka melihat kondisi di penjuru ruangan. Pasti tempat ini begitu mengerikan bagi Caya. Keheningan menyiksa Stevlanka. Tidak ada jendela atau apa pun yang bisa dibuka untuk jalan keluar. Lama ia terdiam. Ia seolah menunggu malam tiba.

"Tolong!" teriak Stevlanka yang kesekian kali. Bahkan suaranya hingga serak. Air matanya menetes tanpa ia sadari. Semakin lama dadanya terasa sesak. Sinar matahari sore yang menerobos sela-sela ventilasi telah menipis, tergantikan dengan remang-remang. Ia mencengkram dadanya. Helaan napasnya berat.

Gue dijebak? Seharusnya gue mendengarkan ucapan Ardanu.

"Tolong." Tubuhnya luruh di samping pintu. Stevlanka mencari ponselnya di dalam tas sekolahnya. Karena tangannya gemetar ia kesusahan mendapatkannya. Sementara kegelapan semakin menguar. Stevlanka menghentakkan tasnya kasar. Air matanya berjatuhan. Dadanya naik turun. Tidak bisa lagi bernapas melalui hidung. Teriakannya tertahan, mencengkram kepalanya.

Tubuh Stevlanka menegang ketika matanya melihat sosok menyeramkan memakai dress merah maroon. Sosok itu berada di samping lemari, berdiri dengan kepala menunduk. Rambutnya menutupi wajahnya. Stevlanka membungkam mulutnya. Napasnya sudah berada di tenggorokan. Ia meremas seragamnya ketakutan. Karena ia tidak bisa bernapas, dan kepalanya terasa sangat nyeri. Tak lama matanya memburam.

"Ar-ardanu, tolong ubah semuanya. Gue bu-butuh lo." Setelah Stevlanka mengatakan itu, ia tak sadarkan diri. Semuanya gelap.

*****

Thanks for reading!
Ketemu lagi kita :)


vote, komen, dan share ke temen-temen kalian, oke? I'll do my best!

Tanindamey
Rabu, 15 juli 2020
Revisi: Selasa, 24 Agustus 2021

Continue Reading

You'll Also Like

644K 53.4K 56
|FOLLOW DULU SEBELUM BACA, TITIK!!| Transmigrasi jadi tokoh utama? Sering! Transmigrasi jadi tokoh jahat? Biasa! Transmigrasi jadi tokoh figuran? Bas...
2.1M 88.1K 49
kecelakaan saat balapan yang ternyata sudah di rencana kan sejak awal oleh seseorang, membuat jiwa Elnara terlempar ke dalam tubuh Kinara yang ternya...
143K 13.3K 37
Teman SMA nya yang memiliki wangi feromon buah persik, Arion bertemu dengan Harris dan terus menggangunya hingga ia lulus SMA. Bertahun tahun tak ter...
1.1M 106K 32
Kaylan Saputra anak polos berumur 12 tahun yang tidak mengerti arti kasih sayang. Anak yang selalu menerima perlakuan kasar dari orangtuanya. Ia sel...