Sew The Heartmade (akan terbi...

teru_teru_bozu tarafından

435K 44.7K 3.1K

JLEB! Kamu beneran yakin nih, akan menjalin hubungan serius dengan pria kayak Berlyn? Bukannya dia orang ane... Daha Fazla

prolog
Two: The Story Behind Us
Three: The Things That You Want To Say
Four: The Silent Question
Five: Bitter Candy
Six: Madame Boss
Seven: Unseen Distance
Eight: Reality Sucks!
Nine: Side Matters in The Bedroom
Ten: Couple Layout Design (a)
Ten: Couple Layout Design (b)
Eleven: Verified Caller ID
Twelve: In The Name of Kindness
Thirteen: Psycho War
Fourteen: Valent
Fifteen: Cold Anger
Sixteen: It's Just That ...
Orin's World
Seventeen: Two Path
Eighteen: Count Me! (a)
Eighteen: Count Me! (b)
Nineteen: Sweet Revenge (a)
sweet revenge (b)
add. Tough Love in Memory
sepik-sepik
OPEN SPECIAL ORDER
Novella : You and I
special part : the reason why

One: All Hail The Singles!

20.1K 2K 120
teru_teru_bozu tarafından


Untuk pertama kalinya, Orin merasa iri pada para jomlo. Yang hidupnya bisa bebas semaunya tanpa dibebani berbagai pertimbangan gara-gara kehadiran pasangan.

Diliriknya pria yang sedang mengemudi di sebelahnya itu. Pagi ini semua dia lalui sama seperti pagi-pagi yang lain sejak kedatangan Berlyn dari Belanda. Orin bukannya tidak menghargai usaha pria itu yang sebisa mungkin menyempatkan diri untuk menjemputnya, agar mereka bisa berangkat bersama-sama ke kantor. Tetapi keberadaannya di dalam Odyssey warna hitam yang mencolok mata ini membuatnya tidak nyaman.

"Sebenernya kamu mending parkir aja di gedung kamu. Ntar aku yang jalan kaki sendiri ke gedung aku, Bee," kata Orin entah untuk keberapa kalinya. Bee adalah panggilan yang akhirnya dia gunakan bagi pria itu setelah Orin pusing sendiri untuk menentukan apa yang pantas baginya.

"Emang kenapa kalau aku antar kamu sampai ke gedung hydro—divisi hydro—?" tanya Berlyn kalem. "Kurang ganteng?"

"Idih! Aku ngomong serius, bukan bercanda!"

"Aku juga serius, Sayang. Serius gantengnya!"

Dan Orin tahu kalau dia tidak akan menang melawan Berlyn dengan cara begini. Jadi dengan sabar dia menunggu sampai pria itu membelokkan kendaraannya di pintu gerbang gedung hydro, memarkirnya di sebelah Nissan Terrano milik Pak Dhani, atasan Orin.

Kalau dipikir-pikir, menjalin hubungan denga Berlyn memang seolah mengencani atasan sendiri. Pak Dhani selevel dengan Berlyn, karena pria itu adalah kepala di divisi bisnis energi yang baru diresmikan dalam pesta perusahaan minggu lalu. Dan sekilas dari perkataan Berlyn, bulan depan pria itu sudah harus berkeliling Indonesia untuk mengunjungi lokasi proyek mini hydro power plant yang tersebar di beberapa pulau.

"Di antar sampai sini aja, ya. Nggak usah sampai atas," kata Orin sambil cepat-cepat membuka pintu.

"Tapi aku udah janji mau ketemu bos kamu, Rin. Masa iya aku harus jalan sendiri. Kalau aku ilang gimana?"

"Lebay! Aku kasih GPS deh, biar gampang ketemu kalau hilang."

Tetapi Berlyn hanya tertawa menyeringai. Dengan cepat keluar dari mobil dan segera menyusul Orin yang sudah berjalan lebih dulu. "Aku nggak butuh GPS. Cuma butuh dibarengi aja kayak gini," katanya sambil berjalan dengan tenang di sebelah Orin.

Dan itu akan jadi masalah besar bagi Orin. Sekuriti yang menyambut kehadiran mereka dengan tawa lebar. Berlyn menanggapinya dengan tawa jail tak tahu malu. Sedang Orin hanya sanggup tersenyum tipis sambil mengangguk singkat.

"Kamu bisa langsung ke kantor Pak Dhani dari arah situ ya, biar aku lewat lift ini aja," Orin akhirnya tidak tahan ketika beberapa pasang mata yang lain menyaksikan kehadiran mereka dengan tatapan penasaran. Dengan cepat gadis itu kabur menuju pintu khusus karyawan yang untuk mengaksesnya dia harus memindai kartu karyawannya pada detektor di sebelah lift.

Bukan tanpa alasan kalau dia berusaha menghindar dari pda—personal display of affection—ala Berlyn ini. Sejak kemunculannya mendampingi pria itu pada acara resmi perusahaan, tiba-tiba dunianya tidak lagi sama. Dengan menyesal dia menyalahkan diri sendiri yang terlambat mengantisipasi konsekuensi yang harus dia terima sebagai orang dekat pria seperti Berlyn. Yang salah satunya adalah harus menerima perhatian melebihi kapasitas yang bisa ditoleransinya.

Semua bermuara pada sosok Berlyn. Selalu saja Berlyn. Dengan muram Orin membayangkan hari-hari kerjanya di kantor ini yang perlahan mulai terusik.

Suasana ruang kerjanya masih sepi ketika Orin berjalan cepat menuju ke kubikelnya. Hanya terlihat Faruq dan Reza yang sedang tekun di depan layar komputer mereka. Kedua cowok tersebut masuk ke perusahaan ini bersamaan dengannya. Sekarang mereka juga berada di tim yang sama. Tim analis hidrologi yang digunakan untuk menyuplai kebutuhan data desain untuk proyek-proyek pembangkit listrik yang pelaksanaannya dihendel oleh Berlyn dan anak buahnya.

Sayangnya berkebalikan dengan bidang garapan Berlyn yang menjadi mesin uang perusahaan, divisi hidro dikenal sebagai divisi paling kering dan menyedihkan. Anak tiri yang kurang diperhatikan, kecuali sebagai tempat parkir karyawan-karyawan buangan yang tidak terangkut oleh mekanisme promosi perusahaan.

Orin salah satunya. Setelah kembali dari lapangan, satu-satunya tempat yang bisa menerimanya adalah tempat yang dipimpin oleh Pak Dhani ini. Dan Orin belum bergeser dari posisi itu sejak hampir tiga tahun yang lalu.

"Eh, Orin sudah datang!" sapa Mei yang tiba-tiba saja sudah muncul di depannya.

"Pagi, Mei!" balas Orin santai sambil membuka blazernya yang berwarna biru muda dan menyampirkannya di punggung kursi kerja.

Pagi ini Orin terlihat segar dan energik dengan bawahan jeans warna biru tua dan kemeja yang memiliki warna satu tingkat lebih tua dari warna celananya.

"Tumben nongol di sini," lanjut Orin sambil mengikat rambut sebahunya dengan sebuah scrunchie bermotif bunga kecil-kecil yang lucu dan juga berwarna biru, yang sebelumnya melingkar di pergelangan tangannya.

"Tadi gue lihat laki lo di kantor Pak Dhani. Pasti deh lo udah datang juga. Makanya gue samperin ke sini buat temen ngobrol," kata Mei sambil duduk di salah satu kursi kosong yang ada di kubikel sebelah Orin. "Jam kerja masih beberapa menit lagi.

"Oh," hanya itu balasan Orin sambil berharap ruangan segera terisi penuh.

Aneh banget sih kemunculan cewek ini. Dan Orin sedang tidak ingin menanggapi basa-basi ala Mei yang dia tahu kalau fake banget. Mungkin kalau dirinya bukan pacarnya Berlyn, jangan harap dia akan mau ngobrol dengannya. Posisinya sebagai asisten Pak Dhani membuat gadis itu memiliki sifat bossy yang menyebalkan.

"Ngomong-ngomong, kok lo masih betah di hydro?" tanya Mei memulai aksinya. "Lo udah lebih dua tahun kan, di sini?"

"Kok lo tahu?"

"Ya tahu lah. Gue sempat lihat berkas lo di kantor HRD."

Demi apa nih cewek usilnya kebangetan! Hanya orang aneh seperti Mei yang rela ngulik-ngulik data pribadinya hanya untuk tahu masa kerjanya! "Emang apa salahnya tetap di hydro?" Orin balas bertanya, sambil menyalakan komputernya sebagai upaya mempertahankan ketenangannya.

"Lo gitu lho, Rin. Kenapa nggak cari divisi yang lebih bagus dan keren aja sih?"

Duh, kuntilanak satu ini maunya apa sih? "Emangnya segampang itu pindah divisi? Dipromosikan aja belum."

"Lah, pacar lo kan Pak Berlyn?"

What? "Maksud lo?"

"Lo kan tinggal minta aja sama pacar lo buat dipindahin ke divisi yang lebih bergengsi. Bisa kan? Masa sih nggak diturutin? Pasangan baru gitu loh? Minta bukti dong kalau Pak Berlyn betulan sayang sama lo?"

Orin speechless. Nih orang sadar nggak sih dengan apa yang dia omongin? "Ya nggak gitu juga, kali!" bantah Orin yang tiba-tiba jadi emosi. "Lo gitu banget kalau bicara."

Mei mengerutkan kening melihat Orin yang terlihat mau marah. Lalu tertawa mengejek. "Halah, becanda doang. Kok ditanggepin serius sih? Baperan amat."

Sumpah! Mei memang menyebalkan! Maunya apa sih?

"Jangan sensi gitu deh sama omongan orang! Ntar ketahuan lagi kalau Pak Berlyn sebenernya kurang perhatian sama lo. Wajar, pacar lo bos yang sibuk. Gue cuma ngingetin aja sih, biar lo siap-siap makan hati karena pacaran sama orang ganteng yang ngetop kayak laki lo itu!"

Pintu ruangan terbuka, diiringi oleh kehadiran sebagian besar karyawan teman kerja Orin yang seperti biasa baru kembali dari kantin untuk sarapan pagi. Privilege yang sudah tidak lagi dilakukan olehnya akhir-akhir ini sejak Berlyn kembali dari Belanda. Karena sekarang Orin sarapan pagi bersama pria itu.

Tetapi yang menarik perhatian adalah pintu di ujung satunya yang juga terbuka. Tempat Pak Dhani muncul bersama Berlyn. Mereka sedang berbicara dengan sangat serius. Membuat beberapa pasang mata mengamati keduanya tanpa sengaja.

Ekspresi wajah Berlyn seketika berubah ketika melihat ke arah Orin. Dengan senyum lebar pria itu berjalan menuju ke tempat gadis itu berada. Meninggalkan Pak Dhani yang mengambil arah berbeda.

"Wah, di sini ada Mei juga ternyata," sapa Berlyn begitu mendekat. "Halo Mei, cerah banget warna bibir kamu pagi ini! Bikin ruangan terang benderang kayak gini. Hemat listrik dong!"

Mei tersenyum tersipu-sipu. "Pak Berlyn bisa aja."

"Geser dong, Mei. Gantian. Lo udah kelar kan, ngobrol sama Orin?" tanyanya. "Ruangan Pak Dhani jadi surem tuh, karena bibir kamu nggak ada di sono."

Hanya Berlyn yang tahu cara ngusir orang dengan cara segombal itu. Dan Mei pun lagi-lagi tertawa mirip kuntilanak sambil bangit dan meninggalkan mereka berdua.

"Ada apa?" tanya Orin setelah mereka hanya berdua.

"Ntar siang aku ada meeting di kantor pusat. Kamu makan siang sendiri aja, ya."

"Oke. Kan bisa japri aja."

"Eits! I'm not texting anymore. I'm calling!" canda Berlyn sambil mengedipkan mata.

Ketika akhirnya Berlyn pergi, Orin mengawasi punggung pria itu sambil bertanya dalam hati, bagaimana seseorang bisa memiliki karakter seperti Berlyn. Sangat popular. Bergaul dan berbicara dengan siapa pun terlihat begitu mudah bagi pria itu. Menggoda siapa saja yang dia temui, memanggil setiap perempuan dengan panggilan sayang seolah sudah otomatis keluar dari bibirnya.

Lagi-lagi Orin menyesal karena tidak memikirkan masak-masak segala hal yang mungkin terjadi setelah dia menjalani hubungan ini. Komentar Mei adalah salah satunya. Tahu nggak sih kalau komentar yang katanya "halah, becanda doang" itu bisa sangat menyakitkan bila diterima oleh orang seperti Orin? Karena nggak ada satu pun orang waras yang mau menerima komentar negatif, apa pun bentuknya. Rasanya menyakitkan, sumpah!

Dan nggak semua orang bisa tetap mempertahankan sikap positif dengan menganggap candaan itu tanpa baper. Karena setelah ditinggalkan sendiri baik oleh Mei maupun Berlyn, Orin yang sedang berusaha berkonsentrasi pada pekerjaan, tetap tidak bisa mengenyahkan rasa sakit hatinya. Bahkan, bukannya semakin tenang, gadis itu semakin muram.

Harusnya Orin memang tidak segegabah itu menanggapi Berlyn, dan mengangguk mantap tanpa ragu ketika beberapa hari setelah kepulangannya ke tanah air, dia meminta kesediaannya untuk menjalin hubungan yang lebih serius.

Harusnya Orin meminta waktu dan berpikir berulang kali untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi.

Harusnya Orin memastikan kembali kepada Berlyn apa yang membuat pria itu tertarik kepadanya. Benarkah benar-benar tertarik? Atau—

Andai semua itu dia lakukan, mungkin Orin tidak akan menyalahkan diri sendiri yang merasa tidak cukup baik menjadi pasangan Berlyn dan tidak bisa diterima orang lain.

***

Acara Berlyn hari itu sepertinya akan berlangsung hingga malam. Orin tersenyum mendengar permintaan maafnya melalui telepon, karena kali ini gadis itu harus pulang sendiri.

Oh, tak tahukah Berlyn kalau saat ini Orin justru ingin sendiri? Sebentar saja. Melepas lelah dari aneka pikiran yang membuatnya kehabisan energi ini.

Dengan suka cita Orin cepat-cepat meninggalkan meja kerjanya saat jam kerja berakhir. Tak sabar ingin segera tiba di paviliun milik keluarga Luna yang disewanya sebagai tempat tinggalnya sekarang. Cukup luas, membuatnya bisa menyimpan segala harta bendanya dengan baik. Dan memiliki teras sendiri. Yang menurut Berlyn tempat paling ideal karena dia bisa datang berkunjung sewaktu-waktu tanpa khawatir mengganggu para penyewa lain yang tinggal bersama-sama di bangunan induk yang ada di sebelahnya.

Hingga jauh malam, Orin asyik di depan mesin jahitnya. Mesin jahit merk Bernina yang dibelikan Berlyn ketika pria itu melancong ke Jerman. Tepat seperti yang dia impikan. Dengan fitur lengkap yang seolah tidak ada habisnya untuk dieksplorasi. Seperti kali ini. Tanpa sadar Orin telah menyelesaikan sebuah bucket hat dari bahan washed canvas berwarna hitam, dengan inner linen motif hounstooth yang juga berwarna hitam.

Topi ini akan terlihat cakep sekali kalau nanti dipakai oleh Berlyn. Bukankah dia akan segera berangkat ke lapangan?

Bunyi ponsel mengejutkan Orin. Berlyn!

"Sayang, kamu belum tidur kan? Suara mesinmu kedengaran dari luar nih. Buka pintu dong!"

Eh? Berlyn sudah di depan pintu.

"Ini udah jam sembilan malam. Dan aku yakin kamu lupa makan malam. Nih aku juga bawa makanan. Tadi sengaja skip dinner di tempat acar biar bisa cepat pulang ketemu kamu."

Orin membanting HP-nya dan menghambur ke arah pintu. Mei sialan! Umpatnya kesal pada orang yang sudah merusak harinya ini.


noted

Baru bab awal. Belum panas ya?

Oh ya, cerita ini adalah sekuel dari tulisanku yang terbit tahun 2015 berjudul Tough Love yang terbit di elexmedia. Bagi yang belum baca bagaimana kisah Orin dan Berlyn ini, aku sedang mengusahakan agar novel itu bisa didapatkan kembali. 

Wish me luck ya...

Ditunggu aja ya kabar baiknya.



Okumaya devam et

Bunları da Beğeneceksin

25.5K 2.1K 15
Kisah pertemuan pertama antara gadis bernama [Name] dan juga anggota muda Tapops. [Name] ditugaskan ke markas utama untuk membantu komandan Kokoci un...
62.6K 14.3K 38
Di hidupnya, Jenar tinggal punya Darla. Dia menjadikan Darla pusat dunia Jenar, seperti Darla yang membutuhkan Jenar setelah semua kehilangan yang ia...
3.2M 35.7K 17
Terbit Maret 2023 - Metropop Gramedia Pustaka Utama Wattys2018 winner The Contemporary Everyone deserves second chance But not for the same mistake
466K 67.7K 46
Ketika lara akhirnya mempertemukan pada cinta yang dinanti. Kala akhirnya terkuak sang tabir misteri. Apakah hidup akan memberikan kebahagiaan yang h...