Bad Boy (Revisi)

TintaBiru26

2.6K 245 47

Gelar most wanted rasanya sangat pantas di sematkan untuk Raga dan ketiga temannya. Yaitu , Arkan, Galih dan... Еще

1. Hari pertama
2. Tokoh
3. Sahabat Raga
5. Nichol Datang
6. Raga kenapa?

4. Tak tau di untung

237 31 2
TintaBiru26

"Raga!"

"Ga!"

"Raga tungguin gue!"

"Raga!"

Senna berdecak sebal. Raga, definisi tembok di beri nyawa. Datar sekali. Senna sampai berfikir, apa Raga bukan ciptaan tuhan?

"Raga, Lo budek apa gimana si?"

"Raga, Lo gak punya telinga?"

"Raga, Lo manusia bukan?

"RAGA!"

Brukh!

Senna meringis saat dirinya tidak sengaja menabrak punggung Raga. Ah, salahkan saja Rasa. Mengapa lelaki itu berhenti mendadak.

"Aishh, sakit." ringis Senna seraya mengusap wajahnya.

Raga?  Lelaki itu hanya terdiam menatap lurus kedepan, dengan wajahnya yang datar.

"Lo kalo mau berhenti tuh bilang-bilang. Lo gak punya mulut? Sakit tau."

Raga tak merespon.

"Lo tuh---"

Senna terlihat meneguk salivanya saat Raga tiba-tiba saja menatapnya. Tatapan itu, tajam, namun indah. Ah--Senna jadi gugup.

"Ah, g-gua---gua mau bilang makasih."

Terlihat Raga menaikan sebelah alisnya.

"Kenapa? Lo nanya gua kenapa gua bilang makasih? Iya? Ya itu karena, Lo udah nyelametin gua."

Tetap, suara Raga tidak terdengar. Itu membuat Senna sedikit kesal.

"Tapi, gak seharusnya lo bersikap kayak gitu ke dia."

Senna menatap Raga yang kini sudah kembali seperti semula. Wajahnya terlihat tenang.

Senna menghela nafas.  "Iya, gua minta maaf.  Tapi, Lo gak papa kan?  Kepala lo gak kenapa-kenapa kan?  Ada yang sakit?  Apa perlu kita kerumah sakit?  Gua takut lo geger otak. " ucap Senna cepat. 

Raga sama sekali tidak menanggapi, membuat Senna berdecak pelan. Oh ya tuhan, dia manusia atau patung sih?

"Gua berasa lagi ngomong sama tembok," lirih Senna.

Raga sama sekali tak peduli, ia hendak melangkah. Namun Senna mencegahnya.

"Ihh Raga. Lo gak ngehargain gua banget sih? lo gak ada niatan jawab ucapan gua? Apa lo benar-benar manusia tem---"

"Penting buat gua ngejawab ucapan lo?" ucapan Raga berhasil membuat Senna mendelik. Apa setidak penting itu? Aish, Senna jadi menyesal berbicara seperti itu ke Raga. Seharusnya, sedari awal, Senna biarkan saja Raga.

"Lo tuh nyebelin ya!" Senna kesal, ia memukuli dada bidang Raga kencang.

"Lo tuh benar-benar nyebelin tingkat dewa!"

"Kok ada ya manusia kayak lo. Kalo gua jadi tuhan, gua gak akan nyiptain lo, asal lo tau!"

Pergerakan Senna terhenti saat tiba-tiba saja, Raga mencekal kedua tangannya. Lelaki itu mendekat-kan wajahnya ke wajah Senna, mampu membuat Senna menahan nafas.

"Dan Lo bukan, Tuhan." jawab Raga datar tanpa intonasi, setelah mengucap itu ia segera menjauhkan wajahnya dari wajah Senna. Berhasil membuat Senna mengeluarkan nafasnya lega. Namun tidak dengan hatinya, hatinya berdebar kencang entah itu karena perilaku Raga apa karena ucapan Raga. Senna pun tak tahu.

"Lepasin tangan gue, lo apa-apaan si?" Senna berusaha melepaskan cekalan Raga. Tapi semakin ia berusaha, semakin kencang pula cekalannya.

"Raga lepas, sakit." ringis Senna, sedikit memundurkan langkahnya.

"Raga Lepas!"

Brukh.

Ahh.

Senna terjatuh, otomatis Raga pun ikut terjatuh. Kini posisi keduanya, Senna di bawah, Raga di atas.

Glek.

Senna meneguk ludahnya kasar, wajah Raga begitu dekat. Bahkan, hidung lancip Raga sampai menyentuh hidungnya. Senna gugup, tentu saja.

Mereka terdiam, membiarkan posisi itu selama beberapa menit. Mata Senna terpejam, menikmati tiap hembusan nafas Raga yang terasa hangat di wajahnya.

"Ekhem!"

Ahh.

Senna refleks mendorong Raga, dan segera bangkit. Ia menepuk-nepuk rok nya. Tidak peduli dengan Raga yang kini tengah melakukan hal yang sama. Yaitu menepuk celana abu-nya, dengan wajah yang datar.

"Ngapain lo bedua?"

Senna menoleh ke arah sumber suara. Tidak dengan Raga. Tanpa menoleh, lelaki itu sudah tau, siapa orang itu. Siapa lagi kalau bukan Galih.

Senna benar-benar gugup, entah harus menjawab apa pertanyaan Galih. Sementara Raga, ia hanya terdiam tenang seolah-olah seperti tidak terjadi apa-apa.

Galih mengangkat sebelah alisnya. Fikiran laki-laki itu berkelana jauh.

"Lo berdua pasti lagi..." Galih menggerak kedua tangannya. Membuat Senna melotot melihat itu.

Plak.

Ah.

Galih meringis saat tangan Senna refleks memukul kepalanya.

"Senna, sakit ah!" Galih mengelus kepalanya yang terasa pening itu.

"S-sorry. Sorry, Gua gak sengaja. Habis, lo sih, pikirannya ngeres. Lagian, yang lo lihat tadi gak seperti yang lo bayangin."

Galih tertawa mendengar ucapan Senna. Menurutnya, nada bicara Senna begitu lucu. Antara gugup dan malu.

"Lo ngaku aja kali Sen. Ah, gua nyesal, kenapa gua gak video lo berdua ta---"

Plak.

Lagi, tangan Senna kembali melayang menggeplak kepala Galih. Membuat Galih kembali meringis.

"Udah gua bilang, gua gak ngapa-ngapain. Gua cuma jatuh, dan kebetulan si kanebo kering ikutan jatuh."

"Sshh, sakit tau Sen. Lagian gua cuma bercanda. Gak mungkin gua videoin lo sama Raga lagi begituan. Yang ada, sebelum videoin gua udah mati rasa duluan." Galih mengelus kepalanya pelan. Pukulan Senna ternyata sakit juga.

Senna mendengus, setelahnya menoleh ke arah Raga. Ah? Kemana lelaki itu pergi?

"Raga?"

"Ck, udah ngilang lagi tuh anak. Kebiasaan. Dia tuh manusia, bukan jelangkung. " gumam Galih.

***

"Gak seharusnya lo bersikap kaya gitu tadi ke Raffa. Gimana pun juga, dia kakak lo. Dia pasti lagi kesakitan sekarang. " Karel, lelaki itu mengangkat bicara setelah Raga duduk di sampingnya.

Raga sama sekali tidak merespon. Lelaki itu, malah merogoh saku seragamnya, mengeluarkan satu bungkus rokok serta pematik nya. Mengambil satu batang rokok dari bungkusnya, setelah itu mengapit satu batang rokok itu di antara belah kedua bibirnya. Asap mengepul begitu saja, menguar, menyatu dengan udara.

Arkan dan Karel yang melihat itu hanya menggeleng. Hingga sedetik kemudian, mengikuti cara Raga. Yaitu, merokok.

"Ga..."

Raga hanya menoleh sekejap, setelahnya pandangannya kembali lurus kedepan.

"Kasihan Raffa, dia pasti gak sengaja. Karena ulah lo, mungkin dia lagi nahan sakit."

Terlihat Raga menghela nafas. Apa mereka tidak berfikir? Dirinya juga terkena pukulan bola, tetapi kenapa mereka hanya menghawatirkan Raffa, bukan dirinya?

Plak.

Karel menggeplak kepala Arkan.

"Ah, sakit setan." Arkan balik menggeplak kepala Karel. Membuat Karel meringis. Akhirnya kedua lelaki itu saling menggeplak satu sama lain.

Raga tidak peduli. Lelaki itu hanya menatap lurus kedepan.  Melihat pemandangan di siang hari dari atas rooftop sekolah.  Dalam hati Raga tersenyum miring.  Saat mengingat perlakuan kedua orang tuanya.

Raga yang selalu di bedakan, Raga yang selalu di nomor duakan, Raga yang selalu di bandingkan, Raga yang selalu tak di anggap ada dan Raga yang selalu di pandang sebelah mata oleh kedua orang tuanya.  Tidak seperti kakaknya. 

***


"Mama, papa, abang.  Senna pulang." teriak Gadis itu seraya berlari kecil, memasuki rumahnya.

"Mam--" Senna menghentikan langkah saat melihat Kamila muncul dari dalam bilik kamar mandi.

"Assalamualaikum mama," serunya riang, ia menghampiri Kamila. Setelahnya, mengecup punggung tangan ibunya itu dengan lembut.

"Waalaikumsalam, anak gadis mama yang cantik ini sudah pulang ternyata.  Gimana sekolah nya?"

Senna tersenyum sambil manggut-manggut. "Lancar kok ma hehe,  oh ya abang mana?"

"Masih di kampus."

"Papa?"

"Di kantor,"

Terlihat, Senna menghela nafas pelan.
"Senna lapar, " lirihnya, seraya menatap Kamila dengan mata yang mengerejap polos. Membuat Kamila gemas sendiri melihat tingkah anaknya.

"Ganti baju, habis itu makan. Mama udah masakin makanan kesukaan kamu. "

Mata Senna berbinar.  "Serius? " Serunya antusias. Kamila mengangguk.

"Asikk, oke Senna ke kamar dulu ya ma.  Muaachh."

Sebelum benar-benar melangkah kan kakinya menuju kamar. Senna sempatkan, mencium pipi Kamila, satu paket. Kanan dan kiri.  Membuat Kamila tersenyum.

Disisi lain, Raga menghentikan langkahnya tepat di balik tembok penghalang antara ruang tamu dan ruang TV. Dapat Raga lihat, kakaknya tengah tertunduk di ruang Tv sana. Tidak jauh dari tempat kakak nya berada. Ada Reana, sang ibu.

"Ya allah sayang ini kenapa nak? Kok bisa seperti ini? Kamu berantem?" Tanya Reana khawatir, tangannya tidak berhenti mengusap puncak kepala Raffa.

"Raffa gak papa ko bunda. Tadi, Raffa main basket, terus gak sengaja bola basketnya melayang ke arah Raffa. Raffa engga bisa ngehindar, karena kejadiannya begitu cepat."

"Ya Allah, lain kali hati-hati. Kening kamu sampai merah gitu. Pasti ini sakit sekali, sudah di obati? Mau bun---" ucapan Reana terhenti, saat tiba-tiba suara benda jatuh terdengar.

Prank! 

Dapat Reana dan Raffa lihat, Raga tengah memunguti pecahan beling itu.

"Raga?"

Tak ada sahutan.

"Ngapain kamu disitu?"

Raga sama sekali tidak menyahut, ia malah berjalan santai menaiki satu persatu anak tangga.

"Raga, bunda mau bicara."

Raga menghentikan langkahnya. Tepat, di Salah satu anak tangga.

"Apa ini---" ucapan Reana terhenti.

"Seharus nya, lo bilang yang sejujurnya ke nyonya Reana, bahwa luka yang lo dapat itu di dapatkan dari manusia pembunuh kaya gua." Raga menatap Raffa dengan tatapan menghunus.

"Ga..." Raffa menatap tidak percaya ke arah Raga.

"Kenapa? Lo takut, kalo nyonya Reana dan tuan Herry nambah ngebenci gua? Haha, seharusnya lo senang."

"Raga berhenti, hentikan ucapan lo!"

"Kenapa?"

"A---" ucapan Raffa terhenti karena Reana memotong ucapannya.

"Kamu memang pembunuh. Kenapa? Mau marah? Mau ngelak? Memang seperti itu faktanya Raga!"

Deg.

Raffa melebarkan matanya. Tidak dengan Raga, lelaki itu hanya tersenyum tipis menatap Reana.

"Kalau saya mengelak apa anda akan percaya? Saya rasa tidak. Karena hati anda sudah tertutupi rasa benci." Raga berlalu setelah menyelesaikan bicaranya.

"Raga--"

Raffa mencekal lengan sang bunda, mencegahnya agar ia tetap di sini.

"Ini bukan salah Raga kok, ini salah Raffa. Raffa yang gak hati-hati main basketnya. "

Reana hanya terdiam menatapnya dengan tatapan teduh.  Tidak seperti ia menatap Raga tadi.

***


"Abang, bagi duit dong."

Rizky. Mata lelaki itu melebar.  Apa ia tak salah dengar?  Senna?  Memintanya uang?

"Buat apa?"

"Buat beli pembalut, Senna lagi dapet. Tapi pembalut Senna habis, mau minta uang ke mama enggak enak. Jadi, Senna minta aja ke Abang."

Rizky semakin membulatkan mata. Adiknya ini benar-benar laknat. Rizky tidak bekerja, ia masih kuliah, dan itu pun masih di biayai.

"Emang lo gak punya duit?"

"Ada sih,"

"Terus?"

"Sayang, nanti duit Senna habis."

"Kalo gak mau habis, gak usah di pake. Lo pajang aja, di kamar lo."

"Kalo Senna pajang uangnya di kamar, pasti Abang ambil. Abang kan, kehausan uang."

"Ck,"

Senna terkekeuh.

"Abang ayo lah, bagi duit nya ya.  Dikit kok cuma 500 ribu."

"500 ribu di bilang sedikit, Lo mau meres gue?"

"Ya elah bang, pelit banget sih sama adek sendiri.  Siapa lagi coba yang bakal peres abang kalo bukan Senna?"

Lagi-lagi Rizky melebarkan matanya.  Tak lama setelah itu ia merasa pundaknya di tepuk.

"Nih bang, Senna kasih tau.  Orang pelit itu kuburannya sempit.  Emang abang mau kalo abang mati nanti, kuburan abang sempit? Senna sih ogah."

"Lo ngedoain gue mati?"

"Gak ngedoain, cuma nyumpahin." ucap Senna seraya menyengir.

Pletak.!

"Ahh, sakit Bambang!"

"Gua Rizky. Kurang ajar!"

"Sakit Abang.." rengek gadis itu seraya mengerucutkan bibirnya.

"Bodo, punya adek ko nyebelin. Lama-lama gua mutilasi juga lu."

Rizky bangkit dari duduknya hingga sedetik kemudian berlalu pergi meninggalkan Senna seorang diri, di ruang Tv.

"Abang nyebelinnn..."

***

Raga, lelaki itu kini tengah terduduk di pinggiran ranjang miliknya.  Jari-jari tangannya menari di atas layar ponsel. Raga tersenyum, saat  melihat foto dirinya dengan sang oma.

"Oma, Raga kangen." lirih lelaki itu seraya mengusap layar ponsel. Setelah lama menatap foto sang Oma, lelaki itu kembali menggerakkan jarinya.

Matanya terfokus pada sebuah foto saat ia bersama teman-temannya di panti.  Ahh, rasanya ia merindukan suasana panti.

Raga bangkit, menyambar kunci motornya di atas nakas.  Setelahnya, melangkah keluar kamar sembari memakai jaket hitamnya.

"Mau kemana kamu? " tanya Reana.  Raga terus melangkah tanpa ada niat menyahut.

"Raga, bunda lagi bicara sama kamu. "

"Bukan urusan anda." jawab Raga santai.  Membuat Raffa menggeleng, mendengarnya.

"Sopan lo berbicara seperti itu ke bunda?"

"Menurut lo?

"Lo lama-lama ngelunjak ya, nyesel gue ngebujuk bunda sama ayah buat nerima lo di rumah ini lagi."

Raga menghentikan langkahnya, matanya menatap tajam ke arah Raffa.

"Gua lebih menyesal, kenapa gua harus lahir di tengah-tengah keluarga macam ini."

Reana membulatkan mata.  "Jaga ucapan kamu!"

"Loh emang benar kan?  Selama ini anda dan suami anda selalu berpihak ke Raffa.  Mau Raffa Salah atau pun benar, iya kan?"

Bugh.

Sebuah bogeman mendarat tepat di ujung bibir kiri Raga.  Darah segar mengalir di sana.

"Lo udah keterlaluan!"

Reana?  Wanita itu hanya terdiam menatap kedua putranya.

"Anak gak tau di untung!" ketus Reana.

Raga menatap ke arah Reana Dan Raffa secara bergantian hingga sedetik kemudian melenggang pergi.

***


Senna terus memutari mini market di dekat rumahnya. Tangannya dengan asyik mengambil cemilan yang ia suka.  Namun, matanya memandang fokus ke satu objek.

"Loh itu kan si muka tembok." gumam Senna pelan.

"Ngapain dia disini? Kerjain ah, kayaknya seru." gumam Senna seraya tertawa kecil.

Gadis itu menyerobot, saat Raga hendak memasuki area kasir. Setelahnya menyengir saat mendengar decakan keluar dari bibir Raga.

"Gua duluan yaa buru-buru," ucap Senna, membuat Raga memundurkan trolinya.

"Banyak banget belanjaannya," batin Senna setelah menatap trolly Raga yang begitu penuh.  Namun tatapannya terhenti tepat di ujung bibir Raga yang terluka.

Kenapa?

Senna ingin sekali bertanya. Namun, apa hak dia?

"Ini saja mbak?"

Senna di buat terkejut saat satu suara menginterupsi, segera ia menoleh ke arah kasir.  Senyumnya melebar. Kepalanya mengangguk.

"Iya mbak, "

Kasir itu tersenyum "Semuanya jadi 300 ribu mbak,"

Senna mengangguk.  "Sebentar."

Gadis itu merogoh tas slempangnya, perlahan namun pasti. Wajahnya seketika berubah.  Kantung celana, ia merogoh kantung celananya.  Tak ada, tak ada apa-apa disana.

Senna tampak panik, keningnya sedikit mengerut. Dompetnya dimana?

"Gimana mbak?" tanya kasir itu sesekali melirik ke antrian yang semakin panjang.

Senna bahkan Raga yang sedari tadi fokus terhadap ponselnya menoleh ke arah kasir.

"S-sebentar mbak,"

Kasir itu menghela nafas, namun bibirnya masih tersenyum. Walau dalam hati, ia merutuki Senna.

"Maaf mbak, sepertinya dompet saya tertinggal."

Demi apapun Senna malu. Benar-benar malu.

"Tidak apa-ap---"

"Biar saya yang bayar mbak, sekalian."

Baik Senna maupun sang kasir mereka menoleh ke arah Raga.  Yaa, lelaki itu mengangkat bicara. Tetap seperti biasa. Dingin tanpa nada.

"Baik,"

Senna di buat tertunduk. Ah, kenapa harus seperti ini? Senna jadi malu terhadap Raga. Seharusnya tadi, ia biarkan saja Raga terlebih dahulu.

---

"Thank," ucap Senna, saat keduanya sudah berapa di tempat parkir.

"Tapi, lo tenang aja.  Gua bakal ganti kok." Senna kembali mengangkat bicara seraya menatap Raga yang kini sedang menyusun belanjaannya.

"Gak usah, gua ikhlas."

"Gua bakal ganti."

"Gak usah."

"Tapi gua mau ganti, gua gak mau berhutang budi. "

"Gua gak ngehutangin, gua ikhlas."

"Tapi tetap gua mau ganti."

"KALO GUA BILANG GAK USAH YA GAK USAH!"

Senna tersentak,  ini baru kali pertama ia melihat Raga berbicara dengan nada membentak seperti itu.

"Bisa gak loh gak usah ngebentak.  Kalo gak niat buat bantu mending gak usah."

Raga, ekspresi lelaki itu kembali tenang. Wajahnya datar.

"Gua ikhlas bantuin lo."

"Tapi sayang, gua gak butuh bantuan lo."

Senna melemparkan jinjingan plastik cemilannya ke arah Raga.  Berhasil membuat Raga tersulut emosi. Rahang lelaki itu mengeras. Wajahnya merah padam.

"Cewek gak tau di untung!"

Deg!

"Cowok dingin, batu, patung hidup, brengsek."

Raga terdiam. Ia hendak menyahuti makian Senna namun ia urungkan.  Gak akan ada habisnya, lebih baik ia mengalah. 

Toh, tujuan awalnya kan panti, bukan berseteru dengan Senna.

Raga meraih tangan Senna menaruh jinjingan plastik itu di tangan Senna.

"Sekali lagi, gua ikhlas bantuin lo.  Tapi, kalo memang lo gak mau di bantu sama gua. Tinggal buang semua barang itu."

Raga menaiki motornya, membuat Senna terdiam.  Ini kali pertama, Raga bicara sepanjang itu terhadap dirinya.  Ada rasa senang tersendiri di dalam hati Senna.  Tanpa sepengetahuan Raga, Senna tersenyum.

Tapi, setelah mengingat ucapan Raga tadi. Senna merutuki Raga.  Buang?  Enak saja, beli ini pakai duit.  Bukan pakai daun. Pikir Senna.











       

Bersambung.....












Gimana-gimana?

Chapter ini bagaimana?

Makin gaje yaa wk.

Udah buat kalian penasaran belum?

Atau, kalian udah bisa nebak alurnya bakal seperti apa?

Btw, Vote dan komen nya jangan lupa ya. Biar aku semangat, menggarap cerita ini:)

Btw, typo tandai yaa:)

Продолжить чтение

Вам также понравится

semua dirayakan bunda tulisan semu

Короткий рассказ

674 59 6
hanya tentang bagaimana seseorang bertahan hidup, dengan seorang ibu yang menemaninya. update kalau author lagi stress aja
nana harem ajel

Разное

655K 12K 20
suka suka saya.
25.7K 2.3K 35
Cerita ini hanya tentang seorang anak yang menerima takdirnya sebagai seorang yang kehadirannya tidak pernah diharapkan siapapun kecuali Bundan dan k...
GREAT GIRL api 💥

Разное

1.7M 69.8K 44
"Setiap pertemuan pasti ada perpisahan." Tapi apa setelah perpisahan akan ada pertemuan kembali? ***** Ini cerita cinta. Namun bukan cerita yang bera...