Morality : A Prince's Tale ✔️

By emaknyarenjun

63.2K 9.8K 417

[Fantasy, kingdom, minor romance] Demi mencegah perebutan kekuasaan, sebuah kerajaan yang tersembunyi dari ma... More

Prolog
01. Sepasang Pengacau
02. Urusan Kerajaan
03. Rencana Cadangan
04. Petualangan Kecil
05. Tentang Rose
06. Negeri Zimzalabim
07. Teler Berat
08. (Mungkin) Sebuah Solusi
09. Tebak-tebakan
10. Api
11. Raja Sejati
12. Hutang Masa Lalu
13. Reuni Keluarga
15. Kalau Kita Selamat
16. Hadiah Yang Berarti
17. Sebuah Rencana Dan Maaf
18. Hubungan Darah
19. Sesama Anak Kedua
20. Goyah
21. Pertukaran
22. Keributan Kecil
23. Di Antara 2 Pihak
24. Sulitnya Menjadi Orang Jahat
25. Gen Hobi Tidur
26. Pagi Di 2 Tempat
27. Racun
28. Langit Pun Berduka
Epilog

14. Ayo Memetik Bunga

1.5K 279 6
By emaknyarenjun

Jung Jaehyun menunduk, menatap busur panah di tangannya.

Sudah sejam sejak Johnny dan Doyoung pergi, dengan puluhan nasehat yang didengarkan dengan serius oleh Rose, dan sebaliknya, didengarkan sambil melamun oleh Jaehyun. Mereka berdua (lebih sering Johnny) bicara seolah Jaehyun akan berangkat berperang dan tidak akan kembali. Sungguh sebuah pengingat yang bagus bahwa dia bisa saja bertemu paman yang tidak pernah ia temui seumur hidup dan bertingkah mirip penyihir jahat dalam buku cerita anak-anak.

"Hindari kontak sekecil apapun. Kalau situasinya tidak memungkinkan, mundur."

"Kawan, kau masih punya hutang 26 ribu won padaku, jangan mati dulu sebelum melunasinya."

"Kalau tertangkap, berbohonglah. Karang cerita apa saja. Mereka akan membiarkanmu hidup jika mereka pikir kau punya rahasia yang berguna. Jangan gunakan panah itu, Jaehyun. Apapun alasannya."

Kalimat terakhir sebenarnya tidak perlu Johnny ucapkan karena setelah pengalaman pertama yang membuatnya jatuh gedebuk seperti sekarung beras, Jaehyun berharap ia tidak harus berurusan dengan panah ini lagi. Ada banyak hal ajaib di sini, mendapat penglihatan tentang leluhurmu yang sudah lama mati pastilah salah satunya, tapi berubah menjadi orang haus darah karena sebuah senjata, Jaehyun rasa kelewatan.

Pikiran-pikiran gelap itu, perasaan bahwa ia mampu menghabisi siapapun, Jaehyun tidak menyukainya.

"Mau buah beri?"

Rose muncul, memasukkan 1 buah bulat kecil berwarna ungu ke mulutnya. Di tangannya, ada buah serupa yang dia tawarkan pada Jaehyun.

"Dari mana kau mendapatkannya?"

Sejam pula ditinggal bersama gadis itu, Jaehyun telah melihatnya mondar-mandir mencari makanan dan makan dengan selera makan yang membuatnya jadi semacam keajaiban karena tetap kurus. Fakta tentang Rose : dia cinta makanan. Sangat.

Rose mendudukkan dirinya di samping Jaehyun. "Banyak tumbuh di sekitar sini."

Keduanya belum beranjak dari tepi sungai, belum berangkat karena menurut Johnny, lebih aman bergerak di malam hari. Kegelapan akan menyembunyikan mereka dengan lebih baik, jadi mereka masih punya sedikit waktu sebelum acara memetik bunga.

Atau mati.

Jaehyun benar-benar harus belajar untuk menyingkirkan pikiran negatifnya.

Dengan bibir yang tertular warna ungu beri yang ia makan, Rose kembali bicara, "Boleh aku bertanya sesuatu?"

Jaehyun melemparkan 1 beri ke udara dan berusaha menangkapnya dengan mulut. "Tanya saja."

Usahanya gagal, tapi berhasil membuat Rose tersenyum, menyaksikan si buah beri menggelinding dan jatuh ke air. "Siapa Dalnim?"

"Kau penasaran?"

Wajah Rose merona. "Maaf kalau aku terlalu blak-blakan. Aku ingin tahu karena Miyeon dan Doyoung membicarakannya."

Karena tak ingin menyia-nyiakan beri lain, Jaehyun makan dengan cara yang normal. "Kurasa kau sudah bisa menebak Dalnim adalah pacarnya Doyoung?" Rose mengangguk. "Dia sama denganmu."

"Apa?"

Jaehyun berdeham. "Sama-sama berdarah campuran. Doyoung tidak sering bercerita, tapi dia bilang Dalnim meninggal dalam sebuah konflik dengan Seelie. Teman-temannya pergi, lebih memilih kabur daripada menolongnya."

Rose terbukti adalah pendengar yang baik karena dia diam menyimak, tidak menyela atau bertanya.

Jaehyun fokus pada matanya, titik-titik gelap di matanya yang biru, sehingga terlihat bagai laut dalam dengan beberapa batu karang. Laut yang ganas, hidup, bukan tidak mungkin menenggelamkannya. "Sepertinya raja yang lama tidak menganggap Dalnim penting. Dia tidak mengindahkan protes Doyoung yang ingin mereka yang tidak menolong Dalnim dihukum. Dia bahkan meminta Doyoung tidak balas dendam karena itu akan memperpanjang masalah."

"Dia keluar dari kerajaan karena itu?"

"Ya," jawab Jaehyun. "Tapi aku tidak tahu soal masalah bunuh-membunuh. Aku tidak mengira dia akan melakukan sesuatu seperti itu. Dia selalu santai."

Rose menyelonjorkan kakinya ke air, membiarkan betisnya separuh terendam. "Cinta memang mengerikan. Bisa mengubah seseorang sampai ke tingkat yang drastis."

"Anehnya kita tidak kapok jatuh cinta."

"Menurutmu kenapa?"

"Karena kita bodoh?" Jaehyun nyaris tidak berhenti mengunyah beri hingga tanpa sadar, ia sudah menghabiskannya. "Kau pernah jatuh cinta?"

Alis Rose bertaut. "Itu bukan prioritasku."

Menghindar, pertanda ada cerita yang tersembunyi. Jaehyun ingat kutipan sebuah film yang berkata, "A woman's heart is a deep ocean of secrets", dan Jaehyun ingin tahu, seberapa dalam samudera milik Rose? "Pernah atau tidak?"

Raut wajah Rose berubah seperti orang yang diberi kertas ujian matematika yang sulit. "Aku tidak yakin. Kurasa aku pernah mengagumi beberapa orang. Tapi jatuh cinta?" Dia menggeleng dengan cara yang membuat jatuh cinta terkesan menggelikan. "Selama ini aku lebih fokus mencari jati diri dan tempat untukku."

"Sudah menemukannya?"

Rose mengedarkan pandangan ke seluruh hutan sejauh yang bisa dijangkau matanya. "Ya. Ini rumahku."

Tidak punya beri lagi, Jaehyun beralih mencabuti rumput di bawah tangannya. "Boleh aku gantian bertanya?"

"Kuharap itu bukan pertanyaan konyol yang membuatku ingin mendorongmu ke sungai."

Jaehyun tertawa terbahak-bahak. "Bukan, sungguh. Tapi ini pertanyaan yang ... konyol."

Rose memiringkan kepalanya dengan gerakan sedemikian rupa yang sangat anggun sampai-sampai Jaehyun menahan napas. "Tanya saja."

Bibir Jaehyun mendadak terasa kering dan ia harus membasahinya lebih dulu. "Kau tahu sendiri kalau aku ... bisa saja aku ... bukan berarti aku setuju, tapi ... kau tahu maksudku kan?"

Rose menatapnya dengan wajah datar. "Kenapa laki-laki hobi berbasa-basi?"

Jaehyun menarik kakinya dari air dan merebahkan diri untuk menatap hamparan langit. "Tentang menjadi raja." Dia merinci kata-katanya tanpa memandang gadis itu. "Aku tidak ingin mengisi posisi itu, tapi kalau一hanya kalau一aku terpaksa melakukannya, apa kau akan ... bertahan?"

"Maksudmu apa aku akan tinggal kalau kau yang jadi rajanya?"

"Konyol kan?" Jaehyun ingin meninju dirinya sendiri karena berani mengajukan pertanyaan tolol ini. "Sudahlah, lupakan saja. Lagipula sejak lahir aku tak lebih dari rencana cadangan."

Sorot mata Rose menunjukkan ketidaksetujuan, sorot yang sama saat ia akan mengajak berdebat dengan segenap sikap keras kepalanya. "Kau harus menghentikan itu."

"Apa? Melihat langit?"

Tangan Rose terulur merebut busur hanya untuk memukulkannya ke kepala Jaehyun. "Bukan, tapi bicara seakan dirimu tidak berarti. Itu sama sekali tidak benar."

Jaehyun meringis, tapi tidak berniat menjauh. "Kurasa itu tidak mudah untuk orang yang dibuang di hari kelahirannya."

"Mereka tidak punya pilihan, Jaehyun."

"Tetap saja menyebalkan." Jaehyun tahu dia harus berhenti bicara, menyumpal mulutnya dengan rokok agar tidak semakin melantur dan mengungkap terlalu banyak perasaan pribadi. Namun ia tidak punya rokok dan tiba-tiba kehilangan kendali atas lidahnya. "Kadang-kadang aku iri padanya."

"Kakakmu?"

Sepotong awan berbentuk mirip beruang melintas, dan Jaehyun mengangguk. "Itulah sebabnya aku sering bersikap ketus. Aku sering memakinya, padahal dia hanya ingin dijelaskan tentang kuliah atau apa saja yang dipelajari manusia di kampus. Setiap kali bertemu, aku hampir pasti jadi orang yang pergi lebih dulu."

Lega rasanya karena tidak mendapati penghakiman di mata Rose. Tidak ada penilaian sepihak, atau tuduhan. Mata Rose masih selembut biasanya, bahkan, ada pengertian di sana. "Itukah yang kerap kalian bahas?"

"Beragam." Sekarang setelah mengingat itu, Jaehyun tidak bisa tidak tertawa. "Dia sangat tertarik pada manusia. Ada saat dia jadi orang dungu karena tidak mengerti teknologi. Di sisi dunia yang lain, aku tahu lebih banyak hal dibanding dia. Tidak jarang juga kami berdiskusi."

"Kedengarannya seru. Menyangkut apa?"

"Menyangkut apa saja."

Menurutku, masalah raksasa di dunia manusia adalah uang. Banyak orang jadi sinting karena selembar kertas.

Itu kan alat pembayaran. Walaupun suka topiknya, Jaehyun selalu menahan diri agar tidak banyak mengoceh.

Alat pembayaran yang menyusahkan. Di rumah, tidak ada yang seperti itu. Makanan tersedia dimana-mana. Kami saling membantu.

Kalau sudah begitu, Jaehyun akan membantah dengan melemparkan daftar keburukan fairy yang ia tahu, dan kakaknya tidak bosan-bosannya berucap, jangan mengira dirimu berbeda, atau, astaga, kau perhatian sekali pada kaum kita, ya? Aku tidak keberatan kau menggantikanku jadi raja.

Kejadian selanjutnya, tentu saja, perdebatan membosankan.

Jaehyun tidak menyangka sedikitpun bahwa candaan kecil mereka akan jadi semacam ramalan masa depan. Dia ditawari lagi gelar itu di masa genting, dan orang yang ia duga sangat kuat, mengerikan, serta tidak terkalahkan, ternyata bisa tumbang juga.

Jaehyun menutup matanya yang kembali terasa tidak nyaman dengan lengannya. "Kau pasti berpendapat aku adik yang buruk, ya? Aku lebih memilih toko bukuku daripada dia. Aku tidak peduli padanya."

"Tapi kau peduli." Rose mengulang ucapannya sejam yang lalu. "Kutebak awalnya kau tidak mau ikut karena kau kira keadaannya tidak buruk? Kau marah saat tahu peran Rim. Kau bisa saja tidak ikut tapi kau pasrah digiring kemari. Itu jadi bukti bahwa kau bukannya tidak peduli."

Tanpa membuka matanya, Jaehyun tersenyum. Angin yang membelai kulit dan rambutnya membuatnya mengantuk. "Kau penganalisis yang hebat, Holmes."

"Itulah caranya aku tahu," ujar Rose bangga. "Selain itu, di hari kita ke Moon Young, Woori kedatangan tamu dan tamu itu memanggilnya Nyonya Jung. Aku jadi penasaran kenapa dia tidak menyebut marganya di depanku."

"Akting Ibuku bagus kan?"

Jaehyun memperoleh kesan Rose sedang memutar bola matanya. "Kalian sama saja. Tapi..."

"Ya?"

"Bagaimana rasanya dibesarkan sebagai manusia?"

Pertanyaan ini cukup untuk membuat Jaehyun membuka mata yang sudah setengah terlelap dan menurunkan lengan. Dia melirik Rose, menggodanya dengan tidak segera menjawab. "Rasanya seperti..."

"Hm?"

Mata membulat. Alis yang terangkat. Rose benar-benar menarik untuk diamati dan merupakan salah satu hal paling mudah untuk mengundang senyumnya. "Rasanya menyenangkan. Ibu selalu memberiku perlakuan istimewa. Dia mengajakku ke taman hiburan lebih sering daripada anak lain. Memberikanku pakaian-pakaian terbaik. Dia merawatku dengan telaten ketika aku sakit bukannya membuangku. Aku menyayanginya."

"Dasar anak manja," ujar Rose, tapi ada sekelumit rasa iri dalam suaranya. "Baguslah, setidaknya salah satu dari kalian punya hidup yang menyenangkan."

Jaehyun memejamkan mata lagi. Dia tidak mau membayangkan bagaimana rasanya dilukai hanya untuk melatih kemampuan menyembuhkannya. Rata-rata kaum mereka bisa sembuh dengan cepat, jadi luka yang meninggalkan bekas pastilah amat parah. Dia tahu kakaknya punya bekas luka di bahunya, tapi ia tidak tahu bahwa makhluk bodoh itu punya banyak.

Tidak heran dia sering bergurau tentang bertukar posisi.

Mungkin, itu bukan sekedar gurauan, tapi merupakan keinginan terpendam karena dia lelah, karena dia sudah cukup menderita.

Kenapa dia tidak bercerita?

Lalu Jaehyun sadar jawabannya adalah karena dirinya sering memotong saat itu terjadi. Dia tidak mau mendengar apapun tentang kerajaan dan tidak pernah bertanya apa dia punya keluarga lain. Dia menilai dirinya yang paling mengenaskan sementara kakaknya bahagia berkat duduk di singgasana. Tak pernah sekalipun, Jaehyun berpikir bahwa kakaknya menderita.

Jaehyun mengusap wajahnya, merasakan perasaan bersalah yang hampir tak terbendung.

Pada awan-awan, pada langit hijau cerah, dia berjanji, "Akan kubawakan Higanbana untuknya. Aku harus mendapat bunga itu一meski terpaksa berurusan dengan Paman berengsek yang pantas dihajar."

Rose menoleh padanya, tertawa kecil. "Itu baru namanya semangat."

Kemudian mereka diam.

Duduk di hutan yang asing bagi Jaehyun, mendengarkan suara aliran air, di bawah pohon yang memberi keteduhan, Jaehyun merasa damai. Masih ada kekhawatiran di hatinya tapi kini, emosi itu jauh, tidak bisa menyentuhnya. Suasananya sangat nyaman sampai-sampai mata Jaehyun terasa berat dan ia sedikit demi sedikit meluncur ke alam mimpi.

Ditambah lagi, Rose一entah sengaja atau tidak一bernyanyi dengan suaranya yang merdu, seperti memberi lullaby yang mempermudah proses tidurnya.

"Sangat cantik namun tampak seperti iblis
Aku selalu jatuh bangun,
Namun kau terus mempermainkanku
Menghancurkan akal sehatku
Menyala seperti api, aku mencintaimu hingga terbakar..."

"Lagu apa itu?"

Sahutan Rose terdengar samar-samar. "Oh, hanya lagu yang diciptakan manusia untuk kita. Dulu sekali."

"Iblis, eh?" Jaehyun tergelak, setelah itu dia tertidur diiringi nyanyian Rose yang bercerita tentang kegilaan manusia yang mencintai fairy. "Aku setuju."

Jaehyun pasti tertidur lama.

Karena saat Rose mengguncang-guncang bahunya, dia tidak melihat cahaya matahari dan bulan penuh bersinar di langit. Seorang dewi menjentikkan jari di depan wajahnya dan berkata, "Bangun, Jaehyun. Sudah gelap. Waktunya berpetualang."

Jaehyun malah nyengir. "Kau cantik sekali."

Sosok Rose menghilang. Tidak lama, hanya beberapa detik, tapi saat kembali, dia membawa sehelai daun basah yang ia kibaskan ke matanya layaknya kipas.

"Apa一hei. Rose, hentikan!"

"Kau sudah bangun sepenuhnya?"

Jaehyun memberengut. "Ya. Jauhkan itu."

Rose menarik tangannya dan membuang daun jauh-jauh. Gadis itu berdiri, membuat suara bergemeretak saat meregangkan jari-jarinya. Dia menelengkan kepala ke kiri dan ke kanan, menyelipkan pisaunya ke saku dan pisau yang dipinjamkan Johnny ke celah kecil di sepatunya.

Lebih santai, Jaehyun mencuci wajah. Dia sendiri punya pisau dari Doyoung dan panah yang tidak boleh ia gunakan. Johnny mengizinkan dia membawa panah itu karena Jaehyun bilang punya rencana dengannya seandainya ketahuan.

"Apa tempatnya jauh?"

Sang dewi yang memiliki cara kreatif membangunkan orang menggeleng. "Ada hutan pinus di sana. Kita tinggal melewati hutan itu, untuk tiba di ladang Higanbana."

"Apa ada ... penjagaan?"

Tawa Rose memecah keheningan malam. "Tidak. Mereka yang bukan anggota kerajaan biasanya enggan jalan-jalan ke wilayah Unseelie."

"Jadi sektor pariwisata kalian lemah?" Jaehyun berdiri, mendorong poninya yang basah ke belakang. Kalungnya terjulur keluar dan ia memegangnya sesaat sebelum menyelipkan benda itu ke balik kaus. "Ayo kita berangkat. Aku yakin Pamanku merindukanku."

Rose mengigit bibir. "Mari berharap kita tidak bertemu dia. Kau ingat kata Johnny kan?"

Sebuah pertanda buruk, Jaehyun melihat rasa takut manakala Johnny yang berkelahi seperti orang tak berperasaan, berbicara mengenai Rim, "Jangan coba-coba menghadapinya atau sok jadi pahlawan. Kalau kalian bertemu Rim, kalian hanya punya satu pilihan, yaitu lari secepat mungkin."

Note : lirik di atas itu dari lagu oh my God punya g idle, salah satu lagu yang sering gua dengerin pas nulis wkwkwkwk 😳

Semoga suka sama part yang (menurut gua) uwu ini ya

Continue Reading

You'll Also Like

16.1K 2K 38
Semua orang tahu bahwa lucid dream itu adalah mimpi yang terasa nyata. Hal yang sama juga dialami oleh Winter, seorang pemimpi, oh bukan, lebih tepat...
79.3K 9.2K 39
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...
17.9K 3K 43
Tentang Gaver si pemburu monster, putra terbuang dewa Hades dan pertemuannya dengan Lara sang nimfa putri dari dewi Aphrodite yang diam-diam telah me...
53K 6.4K 24
❝And i told you right from the start, I'll find my way back home❞ Sequel from 'a-way | Kim Doyoung' ⓛⓐⓓⓨ-ⓝⓤⓣ ; 2020