Trapped (Terbit) ✓

By Isarsta

4.7M 346K 4.4K

[Pemenang Wattys Award 2020 Kategori Romance] #Highest Rank 1 in Chicklit (01-01-2020) #Highest Rank 1 in Met... More

[Blurb]
Prolog
01. He's Devil
02. Banyak Maunya!
03. Produk Gagal Move On
04. Nightmare
05. Crazy Morning
06. Meet Old Friend
07. Hadiah
08. Pertunangan Yuki
09. Masalah Ari
10. Meet Daniel
11. Bolos Ngantor
12. Chicken Wings dan Siluman Tikus Got
13. Jika Waktu Dapat diputar Kembali
14. Gosip
15. Anniversary Daniel's Parents
16. Berdebar (lagi)
17. H-1
18. Ayu Birthday
19. Enplane
21. Bali (B)
22. Bali (C); Pesta
23. Bali (D); Pantai
24. Pulang
25. Bandung
26. Bandung (2); Hug
27. Kentjan?
28. Gagal ke Monas?
29. Little Kiss
30. Resign
31. Hurting
32. Curhat
33. Menghindar
34. Bertemu
35. Penjelasan
36. Keputusan
37. Haruskah?
38. I'm Sorry
39. Tentang Pitaloka
40. Tentang Pitaloka (2)
41. First Meet
42. Gimana Bisa?
43. Trapped (End)
Epilog
Hello🌻
Chapter Tambahan (1)
Chapter Tambahan (2)
Thank You🌻
Weekend Sale, lagi!

20. Bali

80.9K 7K 46
By Isarsta

Subjek pertama yang aku lihat saat pertama kali membuka mata ialah Dewa yang menatapku garang seraya bersedekap di sofa. Dengan perlahan aku mencoba bangun untuk duduk, tapi sakit kepala yang menusuk membuatku kembali ambruk. Aku meringis seraya memijit pelipis kiri pelan agar rasa sakitnya berkurang.

Dewa bangkit dari sofa, kemudian mendekat ke arahku dan membantuku duduk bersandar di kepala ranjang. “Sebaiknya kamu segera makan dan minum obat!” perintah Dewa.

By the way, sekarang jam berapa, ya, Mas?” tanyaku lirih.

Dewa menatapku datar. “Jam tujuh malam.”

Aku melotot. “Serius?” tanyaku. Namun melihat Dewa yang menatapku datar dan langit malam sudah berubah warna menjadi hitam, sepertinya bosku itu memang tidak berbohong.

Aku berdeham pelan. “Tadi di bandara saya pingsan, ya, Mas?” tanyaku memastikan. Karena setelah muntah aku tidak mengingat apa-apa lagi selain hangatnya jari-jari Dewa di tengkukku. Ah, mengingat itu membuat jantungku berulah lagi.

“Gimana nggak pingsan? Dokter bilang isi perut kamu alkohol semua, Pitaloka. Lain kali, kalo memang nggak kuat minum nggak usah sok-sokan mabok. Kalo kamu sakit gini semua orang jadi repot, kan,” ujar Dewa datar.

Kenapa hati gue sakit pas Dewa ngerasa direpotin gara-gara merawat gue, ya? Itu tandanya pria itu nggak ikhlas, ‘kan?

Aku menggeleng cepat. Ck! Lo mikir apa, sih, Pitaloka? Harusnya lo bersyukur karena Dewa cuma ceramah panjang lebar. Coba kalo bos lo mami monster? Fix sekarang lo udah jadi gembel pengangguran di Bali. Alias dipecat tanpa pesangon! Sekali lagi aku menggeleng, baru membayangkannya saja aku sudah merinding!

Aku mengigit bibir bawahku. “Maaf, Mas, karena saya udah bikin Mas Dewa susah. Padahal harusnya saya ngebantuin kerjaan Mas Dewa bukannya nambah beban. Maaf juga karena saya udah ngerepotin Mas Dewa, walau seharusnya kalo Mas Dewa nggak ikh—ck—maksud saya, saya tau saya emang nggak profesional. Saya benar-benar minta maaf. Saya janji ini terkahir kali saya ngerepotin Mas Dewa,” ujarku penuh penyesalan. Sial, hampir aja gue keceplosan!

Dewa menatapku lama, sepertinya pria itu ingin mengatakan sesuatu tapi ditahannya. Alhasil Dewa hanya mengangguk lalu segera pamit untuk kembali ke kamarnya, setelah sekali lagi ia mengingatkanku untuk makan dan minum obat sebelum tidur.

Aku langsung menghela napas panjang begitu Dewa meninggalkan kamar. Entah kenapa aku merasa kesal saat memikirkan jika Dewa merawatku karena terpaksa.

Namun aku lebih kesal pada reaksiku yang berlebihan ini. Astaga Pitaloka memangnya apa yang kamu harapkan? Lo udah gila?!

Aku menepuk pipiku dua kali, kemudian mulai memakan sup ayam yang tersedia di nakas. Mungkin memberi asupan pada tubuh akan membuat otakku—yang mulai tidak waras—kembali bisa berpikiran logis.

Selesai makan aku langsung minum obat, lalu aku menyalakan ponselku yang sejak tadi mati. Puluhan notifikasi pun langsung menyerbu. Termasuk sembilan panggilan tak terjawab dari mama dan Gita—adikku.

Aku yakin dua perempuan tersayangku itu saat ini sedang khawatir, karena kemarin aku berjanji akan langsung menghubungi mereka saat pesawatku mendarat di bandara Ngurah Rai. Tetapi aku malah molor empat jam memberi kabar.

Dengan segera aku menghubungi nomor Gita karena nomor mama tidak aktif. Tak menunggu lama teleponku langsung dijawab.

Halo! Ka Pita udah nyampe di Bali, Ka?” tanya Gita to the point.

Aku tersenyum terkulum. “Udah dari tadi, Git.”

Ish, terus kenapa baru telepon sekarang? Bikin khawatir orang aja, deh!”

“Maaf. Tadi, Kakak Jetlag jadi sampai hotel langsung tidur.” Tentu saja aku berbohong. Tidak mungkin aku jujur kalo aku baru saja pingsan di bandara akibat hangover, yang ada mama dan Gita bisa kena serangan jantung.

Tapi Ka Pita beneran nggak papa, ‘kan?”

“Iya, nggak papa, kok! Cuma masih pusing aja. Oh, ya, Mama mana, Git?”

Mama lagi mandi, Ka.”

Aku terkekeh pelan. “Pantesan aja tadi nggak jawab telepon. Kemarin Kakak udah ngirim uang kuliah sama uang jajan ke rekening kamu. Udah masuk, ‘kan?”

Udah kok, Ka! Makasih banyak, ya!”

“Iya sama-sama. Btw, gimana kuliah?”

Bikin pusing tujuh keliling~ Tugas numpuk, kek, sampah di Bantar Gebang,” canda Gita.

Aku terbahak. “Nikmatin aja, sist! Kakak juga pernah merasakan, kok! Tapi harus tetap disyukuri, oke? Karena kamu tahu, ‘kan? Kuliah bagi sebagian orang adalah kemewahan yang nggak bisa di dapat dengan mudah. Ada yang banting tulang bertahun-tahun dulu baru bisa kuliah. Ada juga yang belajar mati-matian biar dapet beasiswa karena ekonomi nggak mendukung buat kuliah. Jadi, nikmatin aja walau bikin pusing tujuh keliling~” Aku mengikuti perkataan adikku.

Siap paduka! Hamba pasti akan kuliah dengan benar! Btw, Mama udah ada, nih. Mau ngomong sekarang?”

“Iya! Mana?”

Oke bentar!”

Gita memberikan telepon pada mama dan aku dapat mendengar ada keributan kecil di sana. Ah, aku jadi rindu rumah. Mungkin setelah pulang dari sini aku bisa mengambil jatah cutiku untuk pulang ke Bandung.

Halo, Assalamualaikum.” Mama menyapa.

“Wa’alaikumsalam, Ma. Ma, aku—“

Mau jadi Malin Kundang versi cewek kamu, hah? Pergi keluar kota, kok, nggak ngasih kabar!” potong mama.

Aku tertawa kecil. “Maaf, Ma, tadi aku jet—“

Kena jetlag, kan, lo? Kampungan, sih!”

“Mama serius bilang aku kampungan?” tanyaku pura-pura marah.

Bercanda dong Pita Sayang. Gimana udah nemu bule ganteng bin macho belum?”

“Ish, Mama! Bukannya nanya keadaanku gimana malah nanyain bule!”

Mama tau kamu baik-baik aja. Karena nggak ada berita kecelakaan Jakarta-Bali di TV,” ujar mama santai.

“Astaga Mama! Tega banget, sih, jadiin kecelakaan pesawat jadi patokan!”

Ya nggaklah cuma bercanda. Mama tau kamu baik-baik aja, karena Mama selalu minta itu ke Tuhan.”

Aku begitu terharu saat mendengar penuturan mama dan aku dapat merasakan dadaku menghangat. “Love you, Mom.”

Iya udah tau. Tapi seriusan jangan lupa kenalan sama bule di sana, oke? Kata Mpok Eli bule di Bali ganteng-ganteng.”

“Mpok Eli suka bohong, Ma.”

Emang, udah tukang bohong nyinyir mulu pula! Tapi nggak ada salahnya mencoba, ‘kan? Walau nanti akhirnya gagal.”

Aku mendesah keras. Please, jangan bahas ini lagi. “Ma, aku sama sekali nggak benci kaum adam. Aku cuma—“

Mama tau Sayang. Mama tau. Mama juga nggak kepengen kamu buru-buru nikah atau apa. Cuma, coba nikmati hidup kamu. Jatuh cintalah! Kalau akhirnya gagal kaya sebelumnya, itu sama sekali nggak masalah. Buang rasa takut kamu, nggak semua pria berengsek kaya Pradana atau pun mantan kamu itu. Saatnya membuka diri dan Mama punya feeling bagus soal Bali.”

Aku menggigit bibir bawahku menahan isak tangis. Serapat apa pun aku menyembunyikan sesuatu dari Mama, pasti akhirnya akan terbongkar juga. Mungkin benar ikatan ibu dan anak memang sangat kuat. Mama selalu tahu kegelisahanku, termasuk aku yang saat ini begitu takut jatuh cinta. Sebab aku kehilangan rasa percaya diri dan trauma. Aku pernah mencoba sekali tapi malah dijatuhkan sampai rasanya mau mati.

Andai bekas menjijikkan itu tidak pernah ada.

Aku menghela napas panjang. “Akan kucoba, Ma.”

“Nice choice, tapi jangan dipaksakan. Segala yang dipaksa pasti berakhir nggak bagus. Mama tunggu oleh-oleh bulenya, tapi kalo nggak bule juga nggak papa.”

Aku menghapus air mataku, kemudian terkekeh pelan. “Siap, ibunda ratu!”

Udah malem. Sebaiknya kamu tidur. Kalo ada apa-apa jangan lupa hubungin Mama. Jangan lupa makan yang cukup dan minum vitamin. Jaga kesehatan, itu yang paling penting.”

“Iya, Ma. Love you.”

Love you too, honey.”

Setelah itu mama mematikan telepon. Mungkin karena baru bangun tidur,  sekarang aku tidak mengantuk sama sekali dan sepanjang malam aku terus memikirkan ucapan mama. Apa sekarang memang waktunya jatuh cinta lagi?

***

Continue Reading

You'll Also Like

1.5M 149K 39
Bianca Dhanakitri tidak banyak bermimpi untuk menemukan pasangan yang sempurna di umurnya yang ketiga puluh empat. Apalagi menjadi pasangan seorang p...
904K 43.2K 20
Follow me before read. Diprivat acak. Kamu tahu betapa menyedihkan rasanya ketika kamu tidak bisa memanggil kekasihmu dengan sebutan "Sayang" di dep...
482K 59.9K 39
"Iis daripada ngekos sendiri, tinggal bareng kita aja, gimana?" Mendengar tawaran Bimo yang terdengar tercela itu, semua kepala kontan menoleh. "Dan...
941K 76.9K 53
❝ She wears short skirt, I wear t-shirt ❞ Mungkin lirik itulah yang pas untuk membedakan Arianne dengan Cinderella yang kita kenal selama ini. Hidup...