LIMERENCE; hyunjin ft. felix...

De amaryleteal

19.6K 2.2K 681

👑 Semesta mereka masing-masing berputar; Felix dan segala presensinya adalah suatu estetika bagi Hyunjin. At... Mais

Limerence-00
Limerence-01
Limerence-02
Limerence-03
Limerence-05
Limerence-06
Limerence-07
Limerence-08
Limerence-09

Limerence-04

1.6K 214 39
De amaryleteal

👑 Selesai makan malam, Felix memutar langkah untuk tidak langsung menuju kamarnya. Ia menitahkan para pelayan untuk membiarkannya sendiri. Gadis itu berjalan menuju koridor megah yang menjembatani dua menara tertinggi kastil itu. Tepatnya berada di sisi timur istana; tempat yang paling terang kala matahari terbit di pagi hari. Para penjaga yang berdiri di mulut koridor membungkuk hormat saat mendapati kehadiran Felix di sana. Gadis itu mengangguk tanpa tambahan ekspresi yang berarti. Lentera-lentara yang menggantung di pilar-pilar koridor tak berdinding itu menuntun langkah Felix menjauh.


Malam itu sama gulitanya dengan malam-malam sebelumnya. Bertabur gemintang yang mengantuk dengan sinar redup mereka. Saat gadis itu mengadah, pemandangan langit malam terserap pada irisnya, seolah di mata gadis itu juga penuh dengan kerlip konstelasi.

Felix kerasan untuk mengadah. Ia berpikir tentang banyak hal namun selalu berakhir dengan hela nafas panjang. Terakhir, ia mendesah pasrah ketika mengingat dirinya yang sesenggukan di dalam pelukan Hyunjin tempo hari. Felix lebih meninggikan kepalanya dan kini memandangi kanopi yang penuh ukiran rumit, terbayang betapa kacau dirinya saat itu.

Terlalu banyak hal yang telah terjadi. Dan Felix tidak memutuskan untuk percaya bahwa ini semua suatu kebetulan. Orang-orang bilang jika Hyunjin adalah seorang Pangeran terbuang dan kini lelaki itu telah kembali menetap di istana. Felix mengakui jujur ia senang dengan hal itu. Meski dengan cara ayah dan ibunya yang telah pergi seolah membawa Hyunjin kembali, tapi Felix tetap tidak keberatan jika merasa bahwa itu adalah suatu keajaiban. Yah, bisa dibilang takdir memang punya ceritanya sendiri.

"Sedang apa kau di sini?" satu suara dari arah yang tidak jauh dari tempatnya berdiri membuat Felix terlonjak dan refleks menghadap ke sumbernya. Gadis itu memandang satu objek tinggi dengan tatapan kaget.

"Kau..." detak jantung gadis itu meliar, ia menjilat bibirnya sekilas. "Selamat malam."

Hyunjin tak bereaksi apa-apa. Cukup terkejut dengan formalitas yang disuguhkan Felix. Matanya hanya menyorot lurus pada Felix yang menunduk anggun. Lagi, ada sesuatu yang janggal terasa mengusili diafragma pemuda itu.

"Kenapa kau belum kembali ke kamarmu?" Hyunjin bertanya lagi. Felix menegakkan lagi badannya namun tidak dengan matanya. Kelihatan sekali jika Felix tidak ingin pandangannya terikat dengan lelaki di depannya.

"Aku hanya berjalan-jalan sebentar." jawabnya pelan.

"Kau paham jika kau sendirian maka akan lebih berbahaya untukmu?"

Felix mengangguk, menangkap dengan pasti akan maksud Hyunjin yang menyinggung nihilnya keberadaan pelayan di sekitarnya.

"Kau tidak mengantuk?"

"Kenapa sih kau terus bertanya?" Felix melayangkan tatapan dingin pada Hyunjin.

Lelaki itu berdehem singkat, "tentu saja karena aku ingin tahu." ujarnya defensif. Felix tak menyahut apapun lagi setelah itu. Jenuh.

Hyunjin balik mengadah hanya untuk menikmati keindahan yang disuguhkan alam gulita kepadanya. Pria itu terpesona pada keramaian rasi bintang yang berjejer di langit malam, berpendar lemah namun tetap indah terlihat. Di bawah koridor itu terdapat satu kolam berisi beberapa bunga teratai dan ikan hias, hingga titik-titik bercahaya itu terpantul pada permukaan air yang tenang. Karena letak istana ini di ketinggian, memungkinkan untuk melihat bintang lebih jelas dari tempat ia biasa melihat di balkon kamarnya dulu. Tapi saat ini ia sedang tidak sendiri. Bersisian dengannya, terdapat seorang gadis yang terpaut jarak selangkah. Jujur, bagi Hyunjin, entah itu pantulan kilau bintang ataupun rona dari bunga musim panas di kebun-kebun istana, maka segala keelokannya akan terpatahkan jika berdampingan dengan Felix.

Keduanya berdiam diri cukup lama. Angin dari ketinggian merayu anak-anak rambut mereka dalam kesejukan. Hyunjin adalah yang pertama melirik ke arah Felix sedangkan gadis itu tak terusik sama sekali.

"Aku selalu ingin melihatmu dari dekat. Seperti ini." ucap Hyunjin tiba-tiba. Alis Felix terangkat, agak kaget mendengarnya.

Itu adalah pengakuan jujur Hyunjin. Mungkin malam hari memiliki magis tersendiri yang bisa membuat perasaan lebih nyaman untuk mengutarakan sesuatu namun juga sedikit misterius. Hyunjin sendiri tidak mengerti kenapa ia secara gamblang mengucapkan potongan kalimat barusan. Hanya, ia merasa jika Felix pantas tahu. Itu saja. Tentang Hyunjin yang selama ini gelisah memikirkan tumbuh kembang adiknya yang ia tinggalkan belasan tahun.

Tapi Felix masih bisu. Raganya membatu dalam keheningan malam. Deheman ringan yang ia keluarkan bahkan lebih lembut dari sapuan pawana.

"Kau bahkan sudah menatapku lebih dekat dari ini," Felix memeluk sebelah lengannya yang polos, merasakan tenggorokannya hampa dan kering, "kita pernah... berdansa."

Hyunjin tersenyum ringan. "Maaf telah membuatmu berdansa denganku malam itu,"

Felix menangkas cepat. "Yang ingin kuketahui adalah kenapa kau melakukannya,"

Hyunjin ikut menghadap lurus gadis itu setelah Felix lebih dulu melakukan hal serupa. Kali ini Felix menatap matanya tanpa ada getaran canggung yang berarti. Semua fokus yang menghalangi telah gadis itu singkirkan secara sempurna. Ia telah memikirkan banyak hal, dan ia pun butuh kepastian. Kini, di matanya hanya ada penampakan Hyunjin yang terefleksi.

"Aku... juga tidak tahu." Hyunjin menelan ludahnya berat. Mungkin ia sudah sakit mata lantaran melihat ada secuil raut kecewa menyambangi paras elok gadis itu. Hyunjin berdetak liar, jemarinya mengepal kuat.

"Aku sudah menduganya. Meski begitu, kenapa aku tetap merasa sedih?" Felix menghela napas gusar, "apa... apa karena aku sudah terlanjur merasa jadi istimewa," kemudian gadis itu menyentuh pelipisnya dan menekannya kuat. "Dan lagi, kenapa aku sangat senang ketika bersamamu?"

Felix sangat kentara, raut wajahnya begitu menuntut Hyunjin. Dia baru saja mencurahkan isi hatinya tapi itu terkesan memojokkan Hyunjin. Tatapan terluka Felix malah berimbas balik menyakiti hati pemuda itu. Hyunjin terpekur sejenak, dia membalas tatapan gadis itu. Pandangannya benar-benar menyerap seluruh atensi Hyunjin. Bagi lelaki itu, segala pengakuan Felix tadi terasa amat berat dan membebani pundaknya.

Hyunjin mengambil satu langkah ke depan, memangkas jarak di antara mereka. Akibatnya kini wajah Felix nyaris membentur dada atas lelaki itu. Tapi gadis itu tetap bergeming. Tak mengelak barang selangkah mundur. Felix baru tergemap ketika tangan Hyunjin melingkari pinggangnya, mendekapnya. Belum lagi keterkejutannya hilang, sebelah tangan Hyunjin yang bebas menangkup rahangnya lembut.

"Kau salah. Kau memang selalu istimewa di mataku." Bisik Hyunjin rendah, namun jelas tertangkap rungu Felix.

Felix tak merespon apapun, hanya berkedip linglung. Dengan itu, Hyunjin menunduk. Menjatuhkan tangannya ke bahu sang gadis. "Kau merampas segala fokus akan diriku," Hyunjin menghembuskan napas di perpotongan leher gadis itu. Felix tak tahu harus menyikapi bagaimana. Hyunjin membenamkan wajahnya, matanya tetap tajam, tapi pandangannya berkabut. Untuk sesaat aroma gadis itu menenggelamkan kesadarannya pada titik paling kelam. Hyunjin merasa kewarasannya lepas begitu jemari Felix menelusuri lengannya dengan gugup. Hyunjin menduga jika gadis itu kini tengah terpejam cemas, gelisah, tapi Hyunjin lanjut mengecup lehernya dengan bumbu keraguan.

Felix mencengkram lengannya kuat. Mendesis resah. Tapi tidak bergerak menjauh.

Hyunjin bisa merasakan jika tubuh gadis itu menegang sekaligus bergetar. Pemuda itu masih merengkuhnya erat tapi tidak ada tanda-tanda jika Felix akan melepaskan diri. Hyunjin kembali membubuhkan kecupan di sana. Kali ini tanpa perasaan ragu. Sekali, dua kali, tiga kali, lagi dan lagi. Tangannya berganti dari bahu menuju punggung gadis itu yang tidak tertutupi apa-apa. Mengusapnya dengan gelora baru, dan Felix nyaris menjerit karena sensasi itu.

Desahan kecil keluar begitu saja dari bibir Felix saat ciuman Hyunjin terasa lebih basah. Ketika lidahnya ikut ambil peran memulas ringan permukaan kulit pundaknya. Hyunjin mendengarnya dengan jelas. Gadis itu menelusupkan kedua tangannya ke punggung lebar Hyunjin seraya meremasnya. Felix sungguh ingin tahu kenapa ia sama sekali tidak bisa menolak mengenai hal ini. Terbesit rasa 'murah' dalam dirinya dan ini juga merupakan suatu kesalahan. Felix tak mengerti kenapa ia begitu mudah menyerahkan diri kepada Hyunjin. Sebatang tubuhnya kaku saat tangan Hyunjin melingkari pinggangnya.

Hyunjin menyudahi aksinya dengan menekankan bibirnya lebih dalam, dahi Felix sedikit berkerut bersamaan matanya yang terpejam, erangannya tertahan. Hyunjin menghirup udara dalam-dalam. Ia melepaskan dekapannya dan beralih menghadapkan wajahnya dengan gadis itu yang masih terpejam. Pemandangan itu memercikan api dalam diri Hyunjin. Punggung jari telunjuk Hyunjin menyusuri tulang pipi gadis itu ringan, bintik-bintik di wajahnya benar-benar indah, sebab itu Felix membuka matanya pelan-pelan. Keduanya berpandangan dengan tatapan yang sama-sama bergetar. Felix sedikit terengah dan bibir bawahnya lebih memerah. Hyunjin agak terbakar membayangkan gadis itu yang menggigit bibirnya sendiri sedari tadi untuk meredam suara. Tapi Hyunjin memutuskan untuk menahan naluri gelap itu,

"Aku... i-ini... Maaf," ucapan Hyunjin terbata, berantakan. Tangannya buru-buru meraih pergelangan Felix tapi gadis itu lebih dulu menepisnya. Tanpa berkata apapun lagi, Felix segera berderap cepat melewati Hyunjin. Sampai di ujung koridor, para penjaga yang bertugas kembali memberinya salam hormat yang ia abaikan begitu saja. Pikirannya mendadak sumpek dan dadanya terasa sesak. Kali ini Felix sungguh-sungguh berniat untuk pergi ke kamarnya.

Hyunjin memandang langit-langit kamarnya yang berkelir krem cerah. Ukiran dengan bentuk dinamis yang terdapat di sana tak sedikitpun mampu mengalihkan pikiran Hyunjin. Ini sekitar satu jam lewat tengah malam, namun kesadaran Hyunjin masih layaknya energi tengah hari. Pemuda itu tak sedikitpun merasa kelopak matanya memberat apalagi tubuh yang letih.

Mata Hyunjin nyalang menatapi langit-langitnya dengan kedua lengan terlipat di bawah kepala. Otaknya memutar kejadian beberapa waktu lalu saat kesadarannya sungguhan hilang. Lebih dari dua puluh tahun hidupnya dan Hyunjin belum pernah merasa kehilangan akal segila tadi. Bahkan dia tidak punya niat bermain dengan wanita manapun selama ini, jadi atas dasar apa dia berani menyentuh adiknya dengan hasrat yang hina?

Felix memang cantik. Begitu cantik. Dia bisa dibilang adalah pusat perhatian seluruh kerajaan Amethyst. Bahkan, gadis itu juga terkenal ke beberapa kerajaan luar. Hyunjin mengetahuinya sebab seringkali mendapati para pelayan membawakan hadiah mewah yang katanya dari petinggi luar negeri ke kamar Felix. Gen mendiang Ratu memang turun lebih banyak padanya mengingat ibu mereka pun adalah wanita paling cantik saat itu. Tapi tetap agak berlebihan jika mengasumsikan bahwa Felix terlalu menarik hati Hyunjin.

(("...hanya saja kau lebih indah."))

Hyunjin teringat sepenggal kata-kata bibinya ketika memuji Felix saat itu. Lebih indah. Ya. Hyunjin juga akan mengakuinya jika ditanya perihal itu. Tapi tetap saja...

Apa lagi kenyataan yang harus ditepis Hyunjin? Dia harus menerima fakta bahwa dirinya betulan telah jatuh pada pesona Tuan Putri Amethyst yang baru berumur sembilan belas tahun. Semua orang terpesona akan figur jelitanya dan Hyunjin bukanlah pengecualian. Kenyataannya dia telah terpikat bahkan sejak pertemuan pertama setelah berpisah bertahun-tahun. Tatapan mematikan yang Felix berikan waktu itu bak merampok segalanya. Di istana ini terdapat seorang dewi kecantikan dan Hyunjin tanpa sadar memuja dalam hati dengan setia.

Tapi lagi, gadis itu adalah adiknya. Adik perempuannya dan Raja Chan. Hyunjin berani bertaruh jika Chan bahkan belum pernah melihat ataupun menyentuh Felix dengan percikan hasrat kelam seperti itu karena dia sadar betul bahwa hubungan mereka adalah saudara. Jadi di sini, Hyunjin lah yang tidak tahu diri, begitu?

Namun, Felix juga tidak menolak.

Itu bukan pembelaan Hyunjin.

Segala sensasi asing dirasakan Hyunjin ketika bertemu dengannya. Belasan tahun lalu yang ia tinggalkan baru seorang anak perempuan kecil dengan pipi gemuk dan jari-jari pendek. Dan kini anak itu telah berubah menjadi satu sosok semampai, dengan tubuh sempurna, serta tata krama yang terpelajar. Hyunjin tidak lupa akan desiran yang tadi ia rasakan saat telapak tangan Felix mengusap lengannya meski dibatasi selapis kain. Juga jemari lentiknya yang meremas otot pemuda itu. Segalanya begitu baru, begitu membuat penasaran. Tentang senyum kecil Felix yang ringan. Juga perihal matanya yang indah. Jangan lupakan juga bagian aroma gadis itu yang memabukkan. Ingatkan juga jika Felix telah dibuat mendesah olehnya.

"Aku pasti sudah gila." Hyunjin bergumam sendiri. Merutuki diri. Ia memejamkan mata lelah. Lelah dengan semua drama yang baru saja terjadi di hidupnya yang sebelum ini monoton.

Besok. Hyunjin memutuskan untuk minta maaf pada gadis itu saat bertemu besok. Hyunjin tidak akan komplain apapun jika Felix jadi benci padanya dan menyuruhnya meninggalkan istana. Yang penting adalah lelaki itu harus menyesal dengan harga diri dan menjelaskan apapun hal yang patut dijelaskan.

Tapi esoknya Felix tak terlihat di manapun. Begitupun lusa, tiga hari mendatang, juga hari-hari berikutnya.

Hal itu membuat Hyunjin berpikir untuk tidak menemui Felix. Ia malah berasumsi segalanya akan lebih baik jika seperti ini. Dengan begitu, intensitas keduanya bertemu akan berkurang dan keduanya bisa cepat melupakan hal-hal yang pernah terjadi. Memang seharusnya ia dapat mengartikan kondisi dengan lebih awal.

Namun, kini Hyunjin ada di sini. Ia menggigit bibirnya menatap tangga spiral yang tidak terlalu tinggi sebagai jembatan menuju sepasang pintu besar eboni yang berukir. Dilihat dari luar, desainnya serupa dengan kamar Hyunjin bahkan ukiran di tangga spiralnya juga. Yang membedakan adalah jika ruangan di depan sana dimiliki oleh Tuan Putri kastil ini.

Ini adalah kali kedua lelaki itu menyambangi ruangan tersebut. Namun rasanya masih sama mendebarkan. Hyunjin mengangguk saat para pelayan membungkuk hormat padanya. "Aku ingin bertemu Putri Felixia."

"Baik, Yang Mulia." satu di antara mereka masuk ke dalam. Selang beberapa waktu kemudian kembali dan membuka pintunya lebih lebar. "Tuan Putri mengizinkan. Silahkan masuk, Yang Mulia."


Felix berdiri menyandari meja besi di balkonnya, membelakangi bumi barat dengan wajah menghadap ke samping. Pancaran cahaya mentari senja terbias di setiap lekuk tubuhnya. Ia hanya mengenakan gaun putih sederhana, tampak bertabrakan dengan lazuardi jingga di belakangnya. Angin sore meniup tirai jendela sutra yang menggantung ringan, begitu pula surai pendeknya.

Beberapa saat yang lalu pelayannya mengatakan bahwa Hyunjin datang ingin menemuinya. Gadis itu memutuskan untuk memberi izin. Felix tak memiliki pilihan lain untuk mengelak. Lagipula, apa jadinya jika ia tidak mengizinkan kakaknya sendiri untuk datang mengunjungi? Apa yang akan dipikirkan para pelayan yang gemar bergosip itu?

Suara pintu yang terbuka lalu tertutup kembali spontan memacu degup di dadanya. Felix resah. Ia bahkan meremang hanya karena teringat hembusan napas lelaki itu. Tulang rusuknya terasa nyaris hancur akibat debuman jantung yang bertalu. Lalu samar-samar bunyi ketukan sepatu menggema penuhi ruangan.

Bayangan Hyunjin yang mendekat terlihat semakin besar seiring terkikisnya jarak mereka. Felix melirik dari ujung matanya. Lelaki itu berpakaian kasual dengan kemeja lengan panjang tanpa busana kerajaan yang baru-baru ini akrab dengan penampilannya. Tipikal dirinya sekali, Felix bergumam dalam hati. Namun ketika itu juga, diafragmanya gamang tiap kali berespirasi.

Hyunjin berhenti saat dirasanya jarak mereka tersisa cukup untuk saling bicara dengan jelas. Maniknya secara konstan menatap gadis di depannya. Sedangkan Felix tak merubah posisi, tapi wajahnya balik menghadap Hyunjin.

"Apa yang membawamu kemari?" Felix memecah hening duluan. Ia menjaga agar suaranya tetap stabil.

Hyunjin tak segera menjawab. Pandangannya mengunci Felix dalam kebimbangan. Ia ingin membenturkan kepalanya satu kali karena baru saja terlintas di otaknya kejadian malam itu. Sialan juga untuk Felix yang masih saja meresahkannya.

"Kuperhatikan kau jarang keluar kamar belakangan ini."

"Hm."

"Kenapa?"

"Sama sekali bukan urusanmu."

Hyunjin menghela napas, sepertinya ia akan terbiasa dengan segala ketusan yang gadis itu lontarkan. "Apapun tanggapanmu, biarkan aku untuk meminta maaf dengan benar dulu." Hyunjin menelan ludahnya pahit. "Aku serius minta maaf atas kesalahanku. Aku sama sekali tidak sadar dan malah memperlakukanmu dengan tidak pantas. Aku..."

Felix diam mendengarkan. Tidak ada niat sama sekali untuk menyela. Tapi gadis itu mendengus setelahnya.

"Kau tidak perlu minta maaf. Itu bukan salahmu. Kita sama tidak sadarnya waktu itu, jadi lupakan saja."

"Aku menyentuhmu. Tidakkah kau marah?" tangkas Hyunjin.

Felix masih mempertahankan ekspresinya yang minim. "Iya, kau memang menyentuhku. Tapi aku juga menerimanya. Jadi seperti yang kukatakan tadi, lupakanlah."

Hyunjin menggeram tak puas. "Aku akan pergi dari hadapanmu jika itu yang kau mau,"

Felix mengambil napas pendek. "Salah. Bukan kemauanku. Kau bisa pergi jika kau mau... aku... akan menerimanya."

Hyunjin tercengang. Segala lisannya seolah diputar-balikkan oleh gadis itu dan melemparnya kembali. Hyunjin penasaran sejak kapan Felix pandai membalikkan kata-kata seperti ini?

Baik Felix maupun Hyunjin sama-sama kehilangan selera untuk bicara setelah itu. Sama-sama kehilangan arah. Segalanya masih ambigu, masih mengambang. Mereka memilih menyelam dalam spekulasi masing-masing.

Tapi berikutnya, Felix melenggang sunyi menuju Hyunjin. Langkahnya stagnan dan terarah, tapi Hyunjin dapat melihat kehampaan pada irisnya. Hyunjin tetap berdiri pada titik semula, menunggu.

"Aku... sakit," Felix menyentuh ringan lengannya. Netra Hyunjin makin melebar. "Itulah kenapa... aku tidak pergi kemanapun."

Hyunjin menelan paksa salivanya yang terasa memekat. Suara Felix yang rendah terdengar agak serak dan berat. Hyunjin mendapati kejanggalan karena sebelum ini suaranya tak seperti itu. Tapi barusan Felix berkata jika dia sakit, namun wajahnya masih segar.

"Sakit?" suara Hyunjin tercekat.

Felix tak menatapnya, pandangannya tertanam pada susunan ubin.

"Hatiku," katanya. "Karena kau." sentuhan ringan yang sebelumnya dirasakan Hyunjin berganti dengan remasan kuat. Sungguhan kuat namun canggung.


Untuk buku ini, aku menggambarkan baik Hyunjin maupun Felix adalah karakter yang sama-sama kuat. Aku nggak terlalu suka karakter cewek yang polos-menyemenye-lugu ulalala soalnya jadi dimaklumi aja ya kalo felixia nya nggak manja :")

Terus, ini 2500+ words. Kepanjangan? Bosen? Ahahahah :'D /ketawamiris

Continue lendo

Você também vai gostar

202K 19.2K 71
Freen G!P/Futa • peringatan, banyak mengandung unsur dewasa (21+) harap bijak dalam memilih bacaan. Becky Armstrong, wanita berusia 23 tahun bekerja...
629K 30.4K 38
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
725K 60.6K 43
Menceritakan tentang kehidupan 7 Dokter yang bekerja di rumah sakit besar 'Kasih Setia', mulai dari pekerjaan, persahabatan, keluarga, dan hubungan p...
232K 19K 93
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...