Afterthought

Autorstwa firtr-asher

31.1K 806 94

OS FOR ADULT(S), KID(S)!! Więcej

Afterthought.

31.1K 806 94
Autorstwa firtr-asher

Cast;
Aime as Kiko Mizuhara
Diel as Ibrahim Irsyad

***

"Aku tidak pernah melihatmu berkencan atau tertarik pada lawan jenis, Ai."

Aku gelagapan mendengar pernyataan itu. Memaksa untuk tertawa, aku mengalihkan perhatianku dari Diel.

"Aku menyukai Evan, El," kataku refleks begitu melihat Evan sedang bersama Lucy. Yah, setidaknya, aku bisa beralasan kalau ditanya kenapa tidak kudekati Evan dengan tidak mungkin kan aku merebut Evan dari Lucy karena Lucy sahabatku.

Diel menghela napasnya. "Menyedihkan, bukan?"

Aku menatapnya bingung. Diel terkekeh dan mengusap kepalaku.

"Aku mencintai Lucy dan kamu menyukai Evan."

Aku meringis. Ingin sekali berteriak pada Diel bahwa aku mencintainya. Tapi, aku tahu bagaimana perjuangannya hingga bisa mengenal Lucy lebih dekat.

"Kamu tidak ada keinginan untuk mendekati Evan, Ai?"

Dulu. "Tidak," kataku menggelengkan kepalaku. "Aku bahagia melihatnya bahagia."

"Ah, kupikir kau tipe perempuan yang egois. Aku harus kecewa kalau begitu."

Aku terkekeh. Andai Diel mengatakan hal ini dulu, saat aku masih menyukai Evan, tentu aku akan berani sedikit menggoda Evan. Tapi keadaannya berbeda. Aku merelakan Evan karena kutahu dia lebih bahagia bersama Lucy. Lalu dengan bodohnya aku membiarkan hatiku terperangkap oleh kehangatan Diel, sahabatku, dan saat aku siap untuk mengutarakan perasaanku padanya, aku tahu Diel mencintai Lucy. Sialnya aku juga tahu kalau Lucy juga mencintai Diel. Untuk itu aku memilih diam berpura-pura tidak tahu.

Diel salah. Aku perempuan yang sangat egois.

"Bagaimana menurutmu kalau aku menyatakan perasaanku pada Lucy?"

Jangan! Tidak boleh!

Aku memejamkan mataku. Berharap bisa mengendalikan diriku, lalu aku memilih tersenyum. "Kalau itu baik menurutmu, lakukan saja."

Diel menatapku penuh arti membuatku menoleh untuk membalas tatapannya. "Apa?"

"Bantu aku, Ai."

Aku menggeleng. Tidak akan! Aku tidak akan membantunya untuk bisa bersatu dengan Lucy yang akan membuatku hancur.

Bukan karena aku tak ingin melihat Diel bahagia dengan pilihannya, tapi di mana perjuangan Diel kalau aku memberi-tahunya bahwa Lucy memiliki perasaan yang sama dengannya lalu mereka bersama begitu saja.

Oke, aku memang mencari alasan. Tapi biarlah aku dengan sedikit waktuku agar bisa di sisinya sedikit lebih lama. Aku tidak yakin akan memiliki perasaan besar seperti ini lagi selain pada Diel.

"Aku tidak mau. Berusahalah dengan keinginanmu, Diel."

Diel menatapku, mencibirku. "Tidak seru."

Aku mengangkat bahu tak peduli. Aku tak mau dengan mudahnya membiarkan diriku sakit hati. Aku pernah merasakannya, dan aku tak ingin lagi merasakan perasaan itu.

"Oh, sial, mereka datang."

Aku tersenyum miris. Pasti Lucy yang mengajak Evan untuk bergabung denganku dan Diel.

***

"Aku mencintainya, El!"

Aku mengurungkan niatku begitu akan membuka pintu di depanku ini.

"Aku mencintai Lucy, bagaimana bisa kamu bilang kalau kamu juga mencintainya?"

Aku tercekat. Lucy, lagi. Memang akan selalu Lucy, kan? Sial, apa yang kuharapkan sebenarnya.

"Aku tidak menghalangimu untuk mendekatinya. Tapi biarkan Lucy yang memilih."

Aku langsung terburu-buru pergi dari sana begitu mendengar seseorang dari mereka berjalan ke arah pintu.

Aku menghela napas. Menghalau air mata yang mungkin sangat ingin mengaliri pipiku.

Aku menatap kotak makan yang kubawa untuk Diel. Jadi Diel memutuskan untuk memperjuangkan perasaannya?

"Aime, kan?"

Aku menoleh menatap perempuan yang menatapku, menilaiku. Aku mengangguk. "Siapa, ya?"

"Ini aku Elsa, Ai. Si gadis cengeng?"

Aku mengangguk. "Astaga! Elsa, ya ampun, kamu cantik sekali sekarang!"

Elsa terkekeh. "Kamu masih tetap cantik dari dulu, ya? Apa masih galak juga seperti dulu?"

Aku menggeleng. "Kamu ini bisa saja. Ngomong-ngomong sejak kapan kamu kembali?"

Elsa menatap sekeliling dan menatap kotak makan yang kupegang. "Bagaimana kalau kita bicara di kafe? Kamu, tidak sibuk, kan?"

Aku ikut menatap kotak makanku. "Ah, tentu. Harusnya aku yang bertanya seperti itu."

"Aku memang ada urusan pekerjaan, tapi itu bisa menunggu." Elsa langsung menarik lenganku. "Jadi sedang ada yang jatuh cinta, eh?"

Aku menggeleng dan terkekeh. "Tidak. Kamu tahu sejak dulu aku memang sering membawa bekal, kan?"

Elsa mengangguk. "Kamu tidak pernah diet, kan? Aku lebih suka melihat badanmu seperti ini. Lebih berisi di beberapa bagian. Atau ada hal lain yang tidak kuketahui?" ucapnya sambil menaik-turunkan alisnya.

Aku mengabaikan godaannya. "Ya ampun, si cengeng sudah dewasa sekarang. Kamu yang harusnya bercerita padaku dengan pria-pria di sana, Sa."

Elsa terbahak. "Kamu sesekali harus ikut denganku, Ai."

Aku mengangguk saja. Mungkin liburan bersama Elsa bisa sedikit mengobati sakit di hatiku.

"Ayo kita liburan kalau begitu."

Elsa menatapku serius. "Kamu tidak bercanda?"

Aku mengangkat bahuku. "Aku sedang penat dan selama ini aku tak pernah mengambil jatah liburku. Satu minggu di tempatmu tidak buruk, kan?"

Elsa memekik senang. "Minggu depan kita berangkat, oke?"

Aku mengangguk.

***

Seminggu ini aku menghindari bertemu dengan Lucy, Diel, dan Evan. Aku menemani Elsa yang ternyata sedang ada pekerjaan di sini. Tak kusangka Elsa menjadi model padahal dulu dia sangat pemalu.

"Lelah?"

Elsa mengangguk. "Aku benci sekali dengan partnerku tadi."

Aku menggeleng mendengarnya mengeluh. "Memang siapa partnermu? Perempuan atau pria? Bukankah kamu bisa menggodanya kalau dia pria."

"Lucy Aleesya."

Lucy? Oh, kenapa dunia ini sempit sekali.

Aku hanya tersenyum saja membalas keluhan Elsa. Jujur saja, Lucy memang agak menyebalkan saat dia menjadi artis. 'Imej' menyebalkan harus selalu tersemat begitu yang aku tahu saat Lucy bercerita padaku saat dia lelah digunjing banyak orang.

"Loh, Ai? Ke mana saja kamu seminggu ini?"

Aku memutar tubuhku dan di sana Lucy menatapku bingung. Mungkin dia bertanya-tanya mengapa aku bisa bersama Elsa. Dan kuyakin Elsa juga bertanya-tanya kalau ternyata aku mengenal Lucy.

"Aku menemani Elsa, Lu," kataku tanpa menjelaskan ke mana aku seminggu ini juga hubunganku dengan Elsa begitupun sebaliknya. Biar saja mereka berspekulasi sendiri. Aku sedang malas menjelaskan.

"Diel mencarimu," kata Lucy agak ketus.

Aku mengernyit. Untuk apa Diel mencariku? Bukankah dengan tidak adanya aku dia bisa sepuasnya mendekati Lucy? Atau mungkin dia hanya ingin tahu reaksi Lucy saat dia menanyakan perempuan lain pada Lucy? Aku hampir menjambak rambutku dengan pikiran yang melintas itu.

"Aku sibuk," jawabku cepat.

Aku harap Lucy cepat pergi dari sini. Aku sedang tidak nyaman berdekatan dengan Lucy. Seperti rasanya aku sedang menyakitinya dengan mengkhianatinya. Hahaha, aku memang menyakitinya, kan? Dengan mengkhianatinya tidak memberi-tahu Diel bahwa dia mencintainya juga tidak memberi-tahu Lucy bahwa perasaannya berbalas.

Aku merasa sangat jahat sekarang.

"Lucy, ayo, pihak Pi Entertain sudah di tempatmu untuk sesi wawancaramu."

Aku bersyukur dengan kehadiran Teressa yang langsung menghampiri Lucy. Teressa menatapku terkejut mungkin karena melihat aku bersama Elsa, aku hanya membalas sapaan senyumnya. Teressa menunggu Lucy yang masih menatapku intens. Aku hanya tersenyum ditatap seperti itu.

"Baiklah, aku duluan, Ai," ucap Lucy akhirnya.

Aku mengangguk. "Hati-hati, Lu, Re."

Begitu mereka pergi, Elsa langsung membuka mulutnya.

"Kamu mengenalnya? Sial, aku habis menjelekannya dan kamu mengenalnya. Bagus sekali. Aku merasa dikhianati sekarang."

Aku terkekeh. "Kamu berpikir aku perempuan seperti itu, Sa?"

Elsa ikut terkekeh. "Tentu saja, tidak. Tapi siapa itu Diel?"

Aku mengangkat bahuku. "Tak penting."

Elsa memicingkan matanya. "Kenapa aku merasakan hal sebaliknya, ya?"

Aku mengangkat bahu lagi. Tak berniat menjawabnya. Biar saja Elsa dengan spekulasinya. Toh ujung-ujungnya nanti Elsa juga akan memaksaku untuk bercerita tentang Diel.

"Aku lapar," ucap Elsa dengan mendesah dilebih-lebihkan. Aku menggeleng. Aku tahu dia kesal padaku.

"Ayo kita makan. Aku juga lapar."

Elsa mendelik menatapku. "Aku juga lapar? Demi Tuhan, kamu mau kupukul? Sejak menungguku kamu hanya duduk diam dan memakan cemilanku, Ai!"

"Cemilan, bukan makan, Sa."

"Sial! Aku bisa cepat tua kalau terus berbicara denganmu. Kenapa tidak menjadi perempuan galak saja daripada perempuan menyebalkan, huh!"

"Ya sudah, ayo kita makan, Elsa. Sebelum kamu tumbuh tanduk," ucapku dengan nada polos untuk mengejeknya.

Elsa mencubit pipiku gemas membuatku berteriak. Tak peduli menjadi pusat perhatian, aku terus berteriak karena Elsa tidak melepas cubitannya pada pipiku.

"Hentikan, Ai! Kamu membuatku malu."

Aku mendesah dramatis. "Oh, akhirnya pipiku terbebas dari capitan beracun!"

"Sialan!" maki Elsa membuatku terbahak.

"Hey! Tidak boleh mengutuk, Sa! Ingat, banyak wartawan di sekitarmu!"

Elsa memilih memanggil Erica untuk menyiapkan mobilnya karena akan makan bersamaku. Aku tahu dia sangat ingin menjenggut rambutku.

Aku hanya terbahak melihat wajah betenya juga meminta maaf pada Erica karena menjadi sasaran kekesalan Elsa.

***

"Ah, siapa itu Diel?"

Aku mengernyit mendengar pertanyaan Elsa. Saat ini dia sedang mengantarku ke bandara untuk kembali pulang setelah seminggu ini libur. Kembali bekerja tiba-tiba membuatku tidak semangat. Tapi kembali dengan pertanyaan Elsa. Kenapa dia menanyakan Diel?

"Diel?" ucapku memastikan pertanyaannya tadi.

Elsa mengangguk. "Ya. Lucy mengatakan padamu kalau Diel mencarimu, kan? Jadi siapa Diel? Aku baru ingat akan menanyakan ini lagi padamu. Yang kemarin kamu tidak menjawabnya dengan jelas dan aku mengerti kamu sedang tidak dalam perasaan yang baik saat itu, jadi kamu aku lepaskan. Tapi tidak untuk sekarang, Ai."

"Yah, dia teman kami. Kenapa?"

"Apa dia Diel Alfonsus?"

Aku mengangguk.

"CEO otomotif itu? Diel yang itu?" Elsa melotot menatapku membuatku mengernyit.

"Iya. Kenapa? Kamu mengenalnya juga?"

Elsa kini menatapku serius. "Sejak kapan kamu berteman dengannya?"

Aku mengernyit. "Oke, Sa, sikapmu aneh. Beritahu aku saja apa yang kamu tahu tentang Diel?"

Elsa mendesah dan menggeleng, masih menatapku. "Jauhi saja dia."

"Ada apa, Elsa?"

"Dia tak sebaik penampilan luarnya, Ai."

"Apa yang kamu ketahui tentangnya, Elsa."

Elsa menggeleng. "Chris hanya memintaku untuk tidak berhubungan dengannya. Aku tak tahu ada apa dan apa yang terjadi. Tapi Chris pernah menjalin suatu kerja sama dengannya."

"Apa tidak berjalan baik?"

Elsa menghela napasnya. "Yang kutahu, beberapa anak buah Chris menghilang."

Aku mengernyit. Diel selalu bercerita apapun padaku. Tunggu, apa ini bisnis bawah tanahnya Chris?

"Transaksi senjata atau narkoba?"

Elsa menatapku menyesal. "Keduanya. Sejak itu, Chris selalu menjagaku dan mewanti-wanti agar tidak ada project kerja apapun dengan Diel. Bahkan dia juga mewanti-wanti Erica."

Aku mengangguk. Mengerti perasaan Chris yang begitu menyayangi Elsa, adiknya. Tapi, aku bertanya-tanya dengan apa yang telah dilakukan Diel. Chris tahu dan dia memilih untuk tidak memberi-tahu Elsa sebab Elsa memiliki Anxiety Disorder.

"Kamu tak perlu khawatir, Sa. Aku bersahabat dengannya sejak kuliah. Kamu tahu, kan, aku tipe orang yang menghindari masalah? Jadi kalau memang Diel mulai bermasalah, sudah pasti aku akan menjauhinya."

Melihat Elsa masih menatapku khawatir membuatku menggenggam tangannya. "Percaya padaku. Aku ini sahabatnya. Kalau memang dia ingin menghancurkanku, kami tidak mungkin bisa bersahabat sampai selama ini, bukan."

Elsa menghela napasnya. Masih tidak menerima ucapanku. "Kabari aku begitu kamu sampai, oke?"

Aku menatap sekeliling dan mengerti kami telah sampai di lobi bandara. Aku memang memintanya hanya mengantarku di lobi. Kalau tidak aku akan berat untuk pulang.

"Oke, kamu orang pertama yang aku hubungi. Aku pamit, ya? Aku tunggu undangan pertunanganmu dengan Mark."

Elsa tersipu mendengar ucapanku. "Sudah, sana!"

Aku hanya terbahak dan keluar dari mobilnya setelah pamit pada Erica.

Senyumku luntur begitu mobil Elsa tidak terlihat. Diel, apa yang sebenarnya telah kamu lakukan? Kenapa perasaanku ikut tidak tenang saat memikirkan perkataan Elsa. Chris tidak mungkin berbohong. Chris tidak suka cara licik dengan berbohong untuk mencapai tujuannya. Aku mengenal Chris dengan baik karena dulu kami berteman baik. Bisa dibilang bersahabat tapi aku kurang terbuka dengan Chris.

Sejujurnya aku ingin meminta kontak Chris yang sekarang dan bertanya langsung padanya. Tapi Elsa akan curiga, kan?

Hah, lebih baik aku memikirkan ini saat aku sudah pulang ke rumahku. Kepalaku begitu sakit memikirkan ini.

***

"Aime!"

Aku menoleh dan terkejut mendapati Diel berada di bandara. Aku yang berhenti melangkah dan menunggunya yang sedang menghampiriku.

"Ke mana saja kamu, gah?"

Aku tersenyum melihat wajahnya yang berusaha dia buat sekeras mungkin. "Aku habis liburan, El. Kamu mau ke mana?"

"Kamu menghindariku, Ai!"

Aku menghela napas dan memeluk lengannya. "Aku sedikit jet lag saat ini, El. Ayo kita ke apartemenmu. Aku ingin beristirahat."

Diel berdecak tapi langsung mengambil koperku dan berjalan.

"Kamu belum bilang kenapa bisa ada di bandara, El," kataku siapa tahu dia sebenarnya akan pergi.

"Aku menjemputmu. Sebenarnya sejak kemarin aku ingin menyusul, tapi pekerjaanku tak bisa ditunda."

Aku terkekeh, meliriknya. "Uh, romantis sekali! Dari mana kamu tahu aku tidak berada di negara ini?"

Diel mendengus. "Kamu pergi bersama seorang model terkenal, terlalu mudah untuk tahu kegiatanmu dua minggu ini. Ah, jangan-jangan sedang ada paparazi yang mengikuti kita sekarang? Bagaimana ini? Aku akan terlibat skandal denganmu."

Aku tersenyum lalu melepas pelukanku pada lengannya. Diel benar. Dan aku tak mau menyakiti Lucy lebih dari ini. Atau malah menghambat Diel untuk mendapatkan Lucy. Aku harus benar-benar sadar diri dan bisa bersikap sewajarnya.

Diel mengernyit melihatku agak menjauh darinya.

"Kamu benar. Aku tidak ingin terlibat skandalmu."

Diel menggeleng lalu malah merangkulku. Astaga, bolehkah aku berharap selamanya akan seperti ini dengan Diel? Menikah, lalu punya banyak anak? Aku menggeleng. Nikmati saja, Ai.

"Kamu tidak takut kalau ternyata benar-benar ada paparazi yang sedang mengambil gambar kita."

Diel mengangkat bahunya santai. "Kita bersahabat. Tidak ada yang salah dengan itu dan tak perlu ditutupi, Ai."

Aku mendesah. "Tetap saja pandangan orang berbeda, Diel."

Diel menatapku dengan sebelah alisnya yang terangkat. "Dan sejak kapan kamu peduli dengan pandangan orang, huh?"

Aky mengangkat bahu dan mengangkat kepalaku untuk menatap Diel, kami masih berjalan di bandara. "Bagaimana menurutmu kalau aku juga menjadi model seperti Elsa?"

Aku sedetik bisa melihat kilat tak suka di mata Diel. Tapi kurasa itu halusinasiku saja. Karena selanjutnya kulihat tatapan matanya yang mengejekku. Sial.

"Apa! Jangan menatapku seperti itu, El!"

"Memang ada yang ingin memakai model pendek sepertimu?"

"Jangan meledekku! Banyak yang ingin aku menjadi model saat aku bersama Elsa asal kamu tahu!"

Diel berhenti melangkah membuatku mengernyit karena tubuhku yang masih dalam rangkulannya jadi tertahan.

"Kenapa berhenti, sih?!"

Aku langsung berhenti mengomel begitu tahu Diel saat ini sedang menatapku serius. Aku tahu aku harus bersikap serius saat ini. Diel menatapku tajam dari atas ke bawah membuatku gugup.

"Kenapa?"

Tapi Diel malah langsung menggandengku erat dan kembali melangkah. Aku benar-benar salah tingkah saat ini. Aku bingung karena Diel tak pernah bersikap seperti ini padaku. Dan aku hanya bisa membuka lalu menutup mulutku karena benar-benar tidak tahu harus berkata apa padanya.

Diel membuka pintu mobilnya. Aku mengernyit karena dia membuka pintu depan penumpang.

"Aku tidak membawa Russel," katanya seolah mengerti pertanyaanku. Aku mengangguk dan memilih masuk tanpa mengucap terima kasih. Aku terlalu takut untuk berucap.

Keanehan lainnya, Diel tak pernah pergi tanpa Russel, supirnya. Apalagi kutahu dia ingin menjemputku. Ini terasa salah. Atau aku yang mulai berpikir tidak-tidak.

Diel masuk ke mobil setelah menyimpan koperku di bagasi. Aku ingin bertanya ke mana Russel, kenapa dia aneh, kenapa dia tiba-tiba menjemputku, apa hubungannya dengan Chris, apa yang dia lakukan pada anak buah Chris yang menghilang.

Sial, terlalu banyak pertanyaan di otakku untuknya.

Aku memilih diam dan memperhatikan jendela di sebelah kiriku. Jujur saja aku memang agak jet lag. Hampir 10 jam di pesawat tanpa tidur membuat kepalaku sangat sakit. Rasanya seperti aku lembur tanpa istirahat. Oh, aku benar-benar butuh tidur yang lama. Untung saja aku masih memiliki 2 hari waktu libur. Aku memang sengaja mengambil cuti sejak kamis minggu lalu dan pulang hari jumat. Jadi aku tetap prima saat masuk bekerja senin nanti.

"Tidurlah, Ai."

Aku tertegun dengan suara Diel yang dingin. Aku semakin canggung dan tak nyaman dengan suasana seperti ini.

"Aku susah dibangunkan, El, kamu tahu itu. Aku akan tidur saat kita sampai," ucapku mencoba tersenyum menatapnya.

"Jangan keras kepala, Ai!"

Bentakan Diel membuatku menatapnya terkejut. Diel tak pernah membentak, setahuku. Atau mungkin, benar kata Chris dan aku yang tidak terlalu mengenal Diel dengan baik. Oh sial, aku terlalu memikirkan kata-kata Elsa yang telah berhasil meracuni pikiranku.

"Kamu tidak pernah membentak, El," kataku lembut. "Kamu sedang ada masalah?"

Diel memejamkan matanya dan begitu matanya terbuka dia memilih menepi di sebuah kafe.

"Maaf, Ai."

Aku mengambil tangannya untuk kugenggam. "Ada apa, El?"

"Jangan menjadi model, Ai. Aku tak ingin kehilanganmu. Kamu itu sahabat terbaikku."

Aku yang tadi tersenyum sumringah langsung menghela napasku. Hanya sahabat, Ai.

"Memang kenapa kalau aku menjadi model, El? Kita akan tetap bersahabat."

Diel menggeleng. "Kamu tak mengerti, Ai. Dan kamu juga tak akan menyukainya."

***

Aku menatapnya yang bingung akan ucapanku. Lagipula sialan untuk perusahaan agensi yang menawari gadis kecilku untuk menjadi model. Terkutuklah untuk orang-orang yang mengerti bahwa gadisku adalah berlian.

Aku tidak ingin milikku diganggu gugat. Apalagi dengan menjadi objek fantasi pria lain. Itu tidak akan pernah terjadi! Aime hanya boleh menjadi milikku. Tidak ada yang boleh melihatnya lebih dari yang seharusnya. Hanya aku yang boleh melihatnya hingga sisi terdalamnya.

Ah, sepertinya aku harus menghancurkan agensi yang telah menawari Aimeku untuk menjadi modelnya.

"Apa yang tidak kumengerti, El?"

Banyak yang tidak kamu mengerti, Sayang. Dan aku tetap ingin kamu tak mengerti hal itu. Aku juga tak mau kamu mengetahui sisi gelapku dan pekerjaan bawah tanahku. Aku tak ingin kamu ikut menjadi 'gelap' dengan menjadi model. Aimeku bukan untuk publik.

Aku memilih menghela napas dengan tertunduk. "Tidakkah kamu melihat kehidupan temanmu itu? Melakukan hubungan diam-diam, tidak boleh dekat dengan seseorang saja, membuat skandal dengan aktor atau model lainnya. Itu semua agar karir mereka tidak berhenti di tengah jalan, Sayang. Jadi mereka harus terus membuat skandal. Mengerti, Ai?"

***

Aku menatap Diel. Diel benar.

Memang selama bersama Elsa aku melihatnya yang seperti tidak memiliki waktu bahkan untuk bertemu Chris. Mereka berhubungan hanya melalui sambungan telepon. Itu pun tidak sering.

Aku terkekeh. Lagipula kenapa aku ikut menanggapi Diel serius, sih? Aku kan hanya menggodanya dan ingin tahu reaksinya. Aku tidak pernah ada keinginan menjadi model, ya ampun.

"Yah, aku bisa pikirkan itu nanti," kataku berbeda dengan kata hatiku. Tapi reaksi Diel yang memukul stir mobil dengan kencang membuatku terperanjat.

Diel langsung menatapku lembut. "Maaf, Ai, aku tak bermaksud menakutimu. Jujur saja aku sedikit trauma. Kamu mengerti, kan?"

Aku tersenyum. "Apa ini ada sangkut pautnya dengan Melissa, El?"

Diel menunduk dan mengangguk membuatku mengusap bahunya.

"El, kamu jangan berduka terus seperti ini. Sekarang Melissa telah bahagia bersama anak dan suaminya."

Diel menatapku. "Aku tahu. Tapi sebagai kakaknya aku juga tahu bahwa dia masih memiliki trauma, Ai. Dan aku merasa gagal menjaganya, Ai, aku gagal menjaganya."

Aku langsung memeluk Diel. Diel membalas pelukanku. Tapi yang tak kusangka selanjutnya adalah dia membawaku dalam pangkuannya. Aku mengangkanginya dengan perasaan canggung. Maksudku, selama ini aku tak pernah seintim ini dengan seorang pria. Ditambah Diel adalah pria yang kucintai.

"Biarkan seperti ini sebentar, Ai," bisiknya membuatku merinding. Aku hanya bisa mengangguk dan mengusap lengannya.

Jujur aku merasa beruntung. Sial, mencari kesempatan sekali aku. Memanfaatkan kesempatan dengan baik, aku memejamkan mata. Aku sungguh nyaman berada di dekapan Diel seperti ini.

Lalu Diel terkekeh membuatku membuka mataku. Aku memilih menjauhkan tubuhku agar bisa menatapnya.

"Kenapa?"

Diel memukul pelan pucuk kepalaku. "Aku baru sadar kamu sudah dewasa," ujarnya membuatku mengernyit.

"Lebih baik kamu pindah sekarang sebelum membangunkan sesuatu, Ai."

Aku langsung memukulnya keras dan beranjak kembali ke sisi penumpang. "Mesum!"

Diel mengusap kepalaku. "Bagaimana pun aku menganggapmu seperti adikku, tetap saja kamu bukan adikku, kan? Jadi jangan salahkan aku. Tapi sungguh, Ai, dadamu membesar, ya."

Aku kembali memukulnya yang membuat Diel terbahak. Tapi aku senang. Setidaknya Diel bisa melupakan masalah tentang Melissa. Dan gilanya, aku merasa berdebar. Kata-katanya membuatku merasa Diel memperhatikanku.

Tentu saja, Ai, sebagai adiknya. Kamu seperti Melissa, baginya.

"Ah, sebelum kita pulang, kamu ingin sesuatu? Kue atau kopi, mungkin?"

"Apa saja. Tapi teh boleh, El."

Diel mengangguk lalu turun dan memasuki kafe. Aku hanya menatapnya dari sini. Bisakah Diel melihatku sebagai perempuan?

Astaga, Ai, bersyukurlah kamu masih bisa berada di sisinya! Jangan banyak menuntut, demi Tuhan.

Ah, lebih baik kuhubungi Elsa dulu. Aku hampir lupa akan janjiku.

***

Entah mengapa tersebar luas tentang kedekatanku dengan Diel yang berpacaran. Benar saja, dekat dengan Elsa membuatku ikut menjadi sorotan dan dicari tahu oleh para wartawan. Ditambah berita kedekatan kami mengingat Diel adalah pengusaha sukses yang juga jarang dekat dengan seorang perempuan, tentu pemandangan Diel merangkulku di bandara juga saat aku berada di pangkuan Diel masuk ke berita gosip. Diel yang memang saat itu sedang mengganti kaca mobilnya agak transparan langsung kembali mengganti kaca mobilnya agar kembali gelap seperti sebelumnya.

Awalnya aku bersama Diel hanya tertawa saja. Menonton berita-berita itu sambil mengemil atau makan. Tapi sudah 3 bulan berlalu berita itu tak kunjung reda membuatku khawatir. Beritanya semakin menjadi. Bahkan keluar foto-fotoku bersama Diel dari akun Instagram pribadiku yang padahal aku kunci. Aku sampai pusing setiap saat masuk notifikasi permintaan pertemanan juga pesan-pesan dari mereka yang meminta agar aku menerima permintaan pertemanan atau membuka kunci pada akunku. Akupun tidak bisa menuduh teman-temanku atau siapapun yang menjadi pengikutku. Namanya kalau sudah ada di media sosial, sudah siap dengan resiko apapun.

Yang aku khawatirkan berita simpang siur yang mengatakan bahwa aku telah tinggal bersama di apartemen Diel. Karena memang aku tinggal di apartemen Diel sejak 2 minggu yang lalu aku mendapat teror dan diketahui Diel 4 hari setelahnya. Diel marah besar karena aku menyembunyikan barang bukti dan fakta bahwa ternyata sebenarnya selama ini aku mendapat teror hanya saja intensitas seringnya dan parah sejak 2 minggu lalu, menyuruhku tinggal di apartemennya. Aku tak keberatan.

Tapi dengan berita di luar sana, Lucy mulai menerorku juga. Mengatakan bahwa aku sahabat tak tahu diri, aku jahat, dan lain sebagainya. Ingin sekali aku mengatakan bahwa dia tak perlu khawatir karena Diel mencintainya. Tapi aku tak mau bertindak gegabah. Saat ini Lucy dan aku sedang emosional, bukan tidak mungkin Lucy makin menyudutkanku nantinya.

Ah, sial! Belum menjadi model saja kehidupanku sudah seperti ini. Diel benar. Aku takkan menyukai hal seperti ini.

Aku memilih meraih ponselku. Ingin membaca berita politik pun pasti tersemat beritaku dengan Diel.

Tiba-tiba aku terkejut dengan berita bahwa aku akan terjun ke dunia model. Sebelum aku membuka YouTube, sebuah panggilan telepon dari Elsa membuatku langsung mengangkatnya.

Aku langsung memekik histeris. "Ya Tuhan! Bagaimana caraku menghentikan berita di luar sana, Elsa!"

"Aku baru akan menanyakannya padamu, Sial!"

"Aku tidak menyangka! Sudah tiga bulan, Sa, tiga bulan!"

"Memang apa hubunganmu dengannya sebenarnya, Ai?"

"Kami hanya bersahabat. Dan kami sepakat untuk tidak mengkonfirmasi hubungan kami karena kami berpikir berita itu akan hilang dengan sendirinya. Aku tak menyangka malah jadi seperti ini."

"Lalu, soal bahwa kamu akan menjadi model?"

"Tentu saja, tidak! Seperti ini saja sudah membuatku ingin merusak semua televisi yang menayangkan berita tentangku!"

"Kalau begitu, bagaimana bisa ada berita bahwa kamu akan terjun menjadi model?"

Aku memejamkan mataku. "Aku tidak tahu."

Suara pintu apartemen yang tertutup dengan keras membuatku menolehkan kepalaku.

"Sudah kubilang untuk tidak menerima tawaran menjadi model itu, Ai!"

Aku terkejut dan langsung menaruh ponselku. "Aku tidak pernah menerimanya, El," kataku pelan.

"Terus kenapa bisa ada berita bahwa kamu akan menjadi model, huh? Kamu mulai menyukai bahwa kamu akan menjadi pusat perhatian?"

Mendengar Diel masih saja berteriak membuatku menggeleng tegas. "Kamu tahu sendiri sudah seminggu lebih aku tinggal di tempatmu. Aku masih bekerja dengan Felix, El. Aku tak pernah ada niat ingin menjadi model."

"Pembual! Omong kosong!"

Aku berdiri menatapnya mulai terkonfrontasi oleh perdebatan ini. Aku tak terima dia menilaiku seperti itu. "Memangnya kenapa kalau aku menjadi model, eh?!"

"Karena kamu bukan Lucy! Kamu tidak akan pernah bisa menjadi seperti Lucy!"

Aku tersentak.

"Kamu itu tidak akan pernah bisa menjadi seperti Lucy, Ai! Tidak akan pernah! Kalaupun kamu menjadi model, itu tidak akan bertahan lama! Siapa yang mau mendekati gadis sepertimu, hah!"

Aku menggeleng. Merasa terhina dan sakit hati dengan ucapan Diel. "Apa maksudmu dengan gadis sepertiku, uh?"

Diel menatapku tajam dari atas ke bawah lalu menyunggingkan senyum merendahkanku. Astaga, Diel tak pernah menatapku rendah seperti yang sedang dilakukannya saat ini.

"Lihatlah dirimu dengan Lucy lalu bandingkan. Apa kamu bahkan setara dengan Lucy?"

Aku menggeleng dengan senyum menahan pedih.

"Ini yang kamu sebut kalau kamu menyayangiku? Dengan merendahkanku seperti ini hanya karena berita di luar mengatakan aku akan menjadi model? Kenapa kalau aku menjadi model kamu menganggapku rendah sedangkan tidak dengan Lucy?

"Aku pergi. Terima kasih untuk segalanya selama ini, El."

Aku langsung mengambil ponselku sedikit terkejut ternyata sambungan teleponku dengan Elsa belum berakhir. Apa Elsa mendengar pertengkaranku dengan Diel? Aku langsung mengakhiri sambungan dan berjalan menuju kamar Diel untuk mengambil barang-barangku.

***

Aku tersenyum begitu melihat gadis kecilku keluar dari apartemenku.

Ah, Aime, kamu benar-benar membuatku gemas sekali.

Aku memilih duduk dan menghubungi orang suruhanku untuk mengawasinya. Dia takkan kubiarkan berkeliaran begitu saja.

Aku lalu mengirim pesan pada mereka.

Jangan lupa, teror dia lagi. Dan berikan 10 hadiah selamat datang.

Aku memejamkan mata masih dengan senyum bahagiaku. Pertama, menyuruh orang-orangku untuk mengambil foto kami dan menyebarnya. Kedua, teror yang kulakukan pada Aime. Ketiga, foto kemesraan kami dari akun pribadi Aime. Keempat, aku yang menghubungi bahwa Aime ingin menjadi model.

Semua berjalan sesuai keinginanku. Sesuai rencanaku selama ini.

Ah, Aime...

Dering ponselku membuatku menatap ponselku.

Lucy?

Ah, rencana kelima akan segera kulakukan. Yaitu membuat berita bahwa aku dekat dengan Lucy. Lucy, terlalu berharap banyak bahwa dia lebih pantas bersanding denganku.

Tidak ada yang pantas selain Aimeku.

Aku menatap celanaku yang mengembung dengan kekehan. Sabar, tak lama lagi. Sebentar lagi Aime akan menjadi milikku.

***

Aku mengernyit melihat 10 kotak tersusun rapi di depan pintu apartemenku.

Mengingat aku diteror akhir-akhir ini membuatku yakin kalau peneror itu yang menaruh kotak-kotak ini.

Astaga, jadi selama aku di apartemen Diel si peneror itu tetap rajin mengirimiku terornya?

Aku memutuskan membawa masuk semua kotak-kotak itu. Akan jadi masalah kalau aku langsung membuangnya atau membiarkannya di luar. Saat ini aku sedang menjadi sorotan, dan aku tak ingin semakin disorot apalagi dengan kasus yang sampai melibatkan polisi.

Aku duduk di depan kotak-kotak itu. Ada satu kotak yang paling besar. Aku penasaran, karena selama mendapat teror, tak pernah aku dikirimi kotak besar.

Aku mengambil kotak itu dan dengan cepat membukanya. Tapi isi di dalamnya membuatku tercekat.

Di dalam kotak itu ada tangan buntung yang masih berdarah dan lebam. Lalu ada foto-fotoku dengan semua teman-teman priaku. Dan fotoku berdua dengan Diel berada paling atas. Semua foto itu terkena darah. Tapi aku dapat melihat sebuat kartu yang diikat pada salah satu jari yang membiru itu.

Aku memberanikan diri untuk mengambilnya tanpa menyentuh yang lain.

Ini yang akan terjadi jika ada yang berani menyentuhmu, Sayang.

Penganggum yang mencintaimu, Aime.

Aku langsung melempar kartu itu kembali ke dalam kotak dan menutup kotak itu. Sial, siapa sebenarnya yang menerorku? Astaga, apa aku sedang digilai oleh psikopat?

Napasku memburu. Aku langsung mencari ponselku untuk menghubungi Diel. Entah mengapa, aku merasa sangat khawatir padanya.

Sial! Kenapa pesan suara!

El, ke mana kamu sebenarnya?

Aku melirik kotak-kotak yang tersisa. Aku menghembuskan napasku gusar. Tapi lebih baik aku membuka semuanya. Siapa tahu aku mendapat petunjuk.

Aku langsung membuka semua kotak itu tanpa melihat lebih dulu. Begitu semua terbuka, aku menghela napas. Tidak ada yang aneh selain bercak darah. Seperti biasa. Isinya hanya fotoku dengan 'pesan cintanya'.

Aku mendesah. Tidak ada apapun di sana selain kotak besar tadi.

Ya ampun, kenapa bisa aku punya penggemar rahasia seperti ini, sih. Aku bukan siapa-siapa. Benar kata Diel, kalau aku seperti Lucy aku takkan heran diteror seperti ini.

Aku kembali menghubungin Diel. Tapi panggilanku ditolak olehny.

Oh, ini pertama kalinya aku bertengkar seperti ini dengan Diel.

Sial, perasaanku kembali tidak enak. Apa Diel baik-baik saja?

Mengabaikan perasaan tidak enakku, aku memilih menyimpan kotak-kotak dari 'pengagumku'.

***

Aku terkekeh melihatnya sedang gusar di ruang tamu. Astaga, bahkan aku sudah merindukannya.

Hampir saja tadi aku mengangkat panggilan teleponnya, tapi tidak. Aku sudah sejauh ini. Biar saja Aime berpikir yang tidak-tidak saat tahu aku bertemu dengan Lucy di hotel nanti.

Ah, aku tak sabar besok. Beritanya pasti dengan cepat menyebar. Aku terbahak.

***

Diel Alfonsus tertangkap keluar dari hotel dengan model cantik di pagi hari. Apa sang pengusaha otomotif ini mulai menunjukan pesona pemainnya?

Gelas pada genggamanku terjatuh begitu saja. Diel keluar dari hotel dengan Lucy? Jadi, hubungan mereka sudah sejauh itu? Pantas saja Lucy marah sekali padaku.

Dering pada ponsel membuatku tersadar. Bodohnya aku melangkah begitu saja membuatku meringis. Kesialan yang lain.

Mengabaikan kakiku yang terluka, aku segera mengambil ponselku. Evan?

"Ya?"

"Kamu di mana, Ai?"

"Apartemenku. Kenapa?"

"Berapa nomor kamarmu?"

Aku menghela napasku. Mungkin Evan juga telah mengetahui berita ini. "1029. Kamu langsung masuk saja. Kodenya 777789."

Lalu panggilan terputus. Aku memutuskan untuk duduk lalu menatap kakiku yang berdarah dan tertancap pecahan beling. Aku menghela napasku. Sepertinya aku harus ke klinik atau rumah sakit.

"Ai?"

Aku tersentak dan melihat Evan sangat kacau. Tapi begitu Evan melihat kakiku dia langsung berjongkok di depanku.

"Kakimu kenapa?"

Aku meringis. "Biasa. Keteledoranku."

"Ayo, kita ke rumah sakit. Kita obati dulu lukamu."

Lalu dengan mudahnya Evan membopongku membuatku sedikit canggung.

Aku membantu Evan dengan membuka pintu apartemenku.

"Ah, Evan sebentar, dompetku di dalam," kataku cepat untuk menahannya karena dia terus melangkahkan kakinya.

Evan mendengus. "Aku bukan salah satu yang kekurangan materi, Ai. Kamu mengejekku?"

Aku meringis. "Bukan itu maksudku," kataku sambil menekan tombol elevator kubus ini arah bawah. Pintu elevator langsung terbuka membuat Evan masuk dan aku kembali memencet tombol B.

"Sudahlah, diam saja, aku tak mau kamu pendarahan di mobilku nanti."

Aku mendengus. "Berlebihan sekali kamu."

Evan terkekeh.

Kami terus saja diam sampai saat di parkiran Evan menatapku dalam.

"Kenapa?"

"Kunci mobilku ada di saku kanan belakang celanaku," katanya masih menatapku.

Aku meringis. "Maaf," kataku lalu mengulurkan tanganku ke belakang tubuhnya. Aku tak tahu apa wajahku memerah atau bagaimana, tapi bokong Evan keras sekali.

"Jangan merabanya, Ai," ledek Evan membuatku mendengus. Bahkan saat ini aku sudah duduk di mobilnya. Aku benar-benar hanya mengambil kunci mobilnya tidak dilambat-lambatkan.

"Ya, pamerlah sepuasmu."

Evan terkekeh lalu menutup pintu mobil dan berjalan ke arah pintu pengemudi.

"Lebih baik taruh kakimu lebih tinggi agar tidak terlalu banyak darahmu yang keluar, Ai," ucapnya sambil mengemudikan mobilnya.

Aku mengangguk. "Maaf kalau jadi merepotkanmu, Van."

Evan memukul lenganku keras. "Kamu bersikap seakan aku orang asing."

"Tapi aku tahu alasanmu mendatangiku."

Evan mendesah. "Jangan bahas itu dulu. Lagipula biar bagaimana pun kamu juga temanku. Tak mungkin aku akan membiarkanmu mati karena kehabisan darah."

Kini aku yang memukul lengannya keras.

"Hey, untuk apa itu?"

"Karena kamu menyebalkan!"

Lalu setelahnya aku terbahak bersama Evan.

"Astaga, aku merindukan kita berdebat seperti ini, Ai!"

"Ya, sejak kapan kita menjadi canggung?"

"Sejak kamu menyukaiku."

Aku langsung terdiam. Sial, Evan!

"Ai," kata Evan yang langsung kupotong dengan ringisan.

"Aw, lebih baik kita cepat sampai, Van. Kakiku mulai berdenyut."

Kudengar helaan napas Evan. Aku tak berani menatapnya bahkan meliriknya saat ini.

"Sebentar lagi kita sampai. Bersabarlah."

Aku mengangguk lalu memilih menyandarkan tubuhku dan menatap ke arah jendela. Evan sudah pasti mengerti aku tidak ingin diganggu pun hanya diam mengemudikan mobilnya. Dan perkataan Evan memang benar. Aku telah melihat gedung rumah sakitnya.

Evan memilih memarkirkan mobilnya terlebih dahulu.

"Ingin kubopong seperti tadi atau kamu ingin dengan kursi roda."

"Aku bisa berjalan, Van."

Evan mendengus. "Jangan keras kepala, Ai," katanya lalu keluar dari mobil.

Evan kembali membopongku. Seketika aku tersadar sesuatu.

"Astaga! Van! Bagaimana jika sejak tadi ada paparazi membuntuti kita?!"

"Memangnya kenapa?"

"Skandal, Bodoh!"

Tapi Evan malah menyeringai membuatku mengernyit.

"Tak apa. Aku sengaja ingin membuatmu lebih terkenal dari ini."

Aku menggerutu dan memukul dada bidangnya.

"Brengsek!"

"Kamu tahu itu nama belakangku, Ai," ucapnya terkekeh.

Ya, pria dengan egonya. Sial!

***

Brengsek, Evan!

Berani-beraninya dia mendekati Aimeku. Aku hampir saja mematahkan leher Lucy yang bercerita tentang kedekatan mereka saat kemarin kami makan siang.

Bahkan Evan dan Aime mesra sekali. Benar-benar mesra yang membuatku muak.

Sial, Aime milikku! Hanya milikku!

Dan bantahan kami bahwa kami hanya sahabat langsung dibenarkan oleh media begitu melihat kemesraan mereka.

Ini tidak bisa dibiarkan!

Aku segera menghubungi orangku untuk rencanaku berikutnya. Setelah ini, tidak kuijinkan kamu pergi dariku, Ai.

***

Sudah 2 bulan ini aku tidak mendapat teror.  Sejak pemberitaanku dengan Evan sempat membuatku khawatir, tapi syukurlah sampai saat ini Evan baik-baik saja. Kalau sampai terjadi sesuatu padanya, aku akan menyalahkan diriku.

Dan sejak pemberitaanku dengan Evan, Diel tak pernah muncul lagi. Terakhir kudengar dia sedang berada di belahan bumi lain. Masalah pekerjaan, katanya.

Aku sesekali masih suka mencoba menghubunginya. Tapi berakhir dengan pesan suara.

Apa Diel mengganti nomor ponselnya?

Tapi tidak mungkin. Karena dia menon-aktifkan kedua nomor ponselnya. Begitu aku telepon ke telepon kantornya selalu Carly, sekretarisnya, yang menjawab.

Apa Diel benar-benar kecewa padaku? Hanya masalah salah paham sepele seperti itu?

Oke, sepele bagiku, tidak baginya.

Tapi bagaimana aku bisa minta maaf kalau dia menutup akses dariku?

Aku menghela napas.

Aku melihat sekeliling supermarket yang buka 24 jam ini. Aku sering merasa was-was beberapa hari ini.

Sepi karena memang sudah hampir tengah malam.

Aku menghela napas lagi, merasa tenang. Lalu aku segera membawa keranjang beroda yang telah berisi beberapa cemilan kesukaanku. Lebih baik aku segera membayarnya lalu pulang.

Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih, lalu melangkahkan kakiku ke luar.

Tapi begitu di luar, aku tidak melihat taksi satu pun membuatku berpikir untuk jalan sebentar sampai dapat taksi.

Aku menghentikan langkahku saat seseorang dibelakangku memelukku dari belakang. Aku menoleh dan mendapati pria yang menatapku dalam dengan tudung, menyeringai menatapku.

"Bukankah sudah kukatakan untuk tidak berdekatan dengan pria lain, Sayang?"

Sial! Dia yang menerorku!

***

Aku mulai ketakutan saat pria ini membawaku ke sebuah apartemen mewah. Dia pasti bukan pria sembarangan.

Begitu pintu apartemen di depanku terbuka, aku tak dapat merasakan detak jantungku. Terlalu banyak fotoku dan ada beberapa pria lainnya yang menatapku dengan senyum senangnya.

"Ayo, masuk, Sayang, mereka sudah menunggumu sejak tadi," kata pria itu membuatku gemetar.

Aku langsung lari tapi sayangnya pria tadi langsung memelukku. Para pria di dalam apartemen itu malah tertawa seolah menertawakan kebodohanku.

"Rupanya dia suka mengajak bercanda," kata pria yang memelukku membuatku menggelengkan kepala saat dengan mudahnya dia membopongku.

Mendengar pintu tertutup membuatku yakin itu lonceng tanda penderitaanku.

"Ah, Cintaku, jangan menangis seperti ini," kata salah satu pria yang duduk di sofa.

Pria bertudung tadi menaruhku duduk di antara para pria ini. Aku mencoba menghitung mereka. 14 orang. 14 orang pria berbadan atletis saat ini sedang menatapku seolah aku harta karun mereka, yang selama ini mereka tunggu. Tidak! Aku tidak ingin berada di sini!

"Siapa yang membuatmu takut, Sayang? Aku akan membawakan kepalanya padamu. Bilang saja, jangan takut."

Aku menggeleng menatap mereka. "Ak-ak-ku i-ingin pu-lang..."

Mereka secara serempak memasang wajah polos dan cemberut.

"Tidak boleh!"

"Untuk apa pulang, Sayang?"

"Di sini saja dengan kami."

"Kita baru bertemu masa kamu sudah ingin pulang?"

Aku menangis. Mereka gila!

"Shh, Sayang, jangan menangis. Kita kan akan bersenang-senang."

Aku semakin menggeleng dengan keras. Tuhan, tolong beri aku bantuanMu.

"Lebih baik kita ke kamar saja sekarang. Aku sudah tidak sabar."

"Benar. Sudah sangat lama kita menantikan hal ini, kan?"

Aku memberontak begitu pria dengan mata biru hendak meraihku dalam pelukannya.

"Ah, kamu menyakitiku, Ai."

Mereka secara bersamaan langsung menatapku marah.

"Kenapa, Ai?! Kenapa, hah?!"

"Dengan mereka kamu mau saja disentuh tapi dengan kami kamu menolak keras."

Astaga, aku takut sekali.

"Sudah lebih baik kita cepat. Kalian sudah tidak sabar memilikinya, kan?"

Lalu mereka menyuruh pria mata biru tadi untuk membopongku. Astaga, mereka benar-benar terobsesi padaku. Aku harus bagaimana ini?

"Shhhh, tenang, Sayang, kita akan bersenang-senang."

Aku meronta. Tak peduli kemungkinan akan jatuh, aku terus meronta agar bisa terlepas dari bopongan pria bermata biru ini.

Mereka kembali terbahak membuatku merasa lemas saat salah satu dari mereka mendekat dan ikut membopongku seolah membantu si mata biru.

"Ja-jangan..."

Tapi pria berambut ikal ini malah mengusap pipiku dengan lembut. Senyumnya ramah, sejujurnya, andai saja aku bertemu dengannya tidak dalam keadaan seperti ini.

Lalu mereka membaringkanku di kasur. Si rambut ikal masih saja menatapku seolah aku adalah berlian langka yang dia temukan.

Aku menjerit begitu mengalihkan pandangan ke mereka dan mereka semua telah menanggalkan semua pakaian mereka. Dengan benda yang mengacung di antara selangkangan mereka, aku langsung bangkit dari posisi berbaringku.

Mereka tertawa lagi membuatku lari ke pintu. Sial, sudah dikunci!

Belum aku sempat berbalik, kurasakan seseorang memelukku dari belakang. Aku tercekat saat seseorang yang memelukku mulai mengecup leherku. Aku tersadar. Aku langsung meronta berharap dapat terlepas dari dekapannya.

Mereka lagi-lagi tertawa saat akhirnya pria yang tadi memelukku dari belakang dengan mudahnya mengangkat tubuhku dan kembali meletakanku ke kasur.

Aku memberontak. Walau mereka menahan tangan dan kakiku, aku terus memberontak.

Aku mulai lelah dan frustasi. Aku putus asa akan ada yang menolongku.

Semua bajuku telah terlepas dari tubuhku. Sekarang, tubuhku sama polosnya dengan mereka. Mereka semua mengusap tubuhku. Beberapa bagian ada yang diremas oleh mereka. Aku terus menjerit berharap ada yang mendengar jeritanku dan menolongku.

Tapi nihil. Bahkan saat akhirnya salah satu dari mereka berhasil memasukiku, tidak ada tanda-tanda pertolongan untukku akan datang.

Aku menjerit karena rasa sakit dibagian selangkanganku. Tapi salah satu dari mereka yang sedang mengusap kepalaku langsung mencium bibirku. Melumatnya, membuatku sedikit teralihkan dari rasa sakit pada selangkanganku.

Tapi setelahnya aku hanya diam. Hanya menatap hampa ke atas langit-langit kamar yang menjadi saksi bisu atas kejadian yang menimpaku.

Aku tetap diam. Terus saja diam saat mereka mulai bergantian menjamah tubuhku. Diam saja saat mereka terus memujaku. Berkata tentang keindahan, kepuasan mereka, aku diam saja.

Bahkan aku mulai merasa kebas pada tubuhku, tapi aku masih diam. Saat mereka merubah posisiku, dipindahkan, dibawa ke mana saja yang mereka inginkan, aku tetap diam.

Sampai aku merasa kegelapan menghampiriku. Tidak kulawan, justru aku semakin menghampiri kegelapan itu.

Hancur. Hidupku sudah hancur.

***

Aku membuka kedua mataku. Aku menatap sekeliling dan teringat kejadian terakhir yang menimpaku.

Jadi, itu bukan mimpi?

Aku mencoba bangun dari posisi berbaringku tapi kuurungkan begitu seluruh tubuhku berdenyut nyeri. Aku memejamkan mataku kembali.

Aku langsung membuka kembali mataku. Aku harus pergi. Aku harus pergi dari sini.

Aku mengabaikan tubuhku yang berteriak sakit aku langsung melilit tubuhku dengan selimut. Aku harus mencari barang-barangku.

Aku mengambil baju-baju yang berceceran di lantai. Memilah yang mana yang milikku. Setelah selesai mengambil pakaianku, aku memutuskan untuk segera memakainya.

Baru aku memakai celanaku, dering ponselku mengalihkanku. Astaga, ponselku ada di kamar ini?

Aku mengedarkan pandanganku dan melihat kantung belanjaanku ada di meja dekat almari.

Aku langsung berlari. Benar-benar mengabaikan rasa sakitku. Aku takut kalau aku tidak cepat salah satu dari mereka kembali lalu melakukan hal yang tidak kuinginkan lagi.

Aku melihat nomor asing. Aku langsung mengangkatnya.

"Halo."

Suaraku bergetar. Bahkan tanpa sadar aku terisak. Aku berterima kasih sekali pada siapapun yang menghubungiku ini.

"Ai, kamu menangis?"

Aku semakin meraung. Diel! Ya Tuhan, Diel menghubungiku!

"Ai, tenangkan dirimu. Maafkan aku, Ai. Tapi tolong buka dulu pintumu. Aku berada di depan apartemenmu."

Aku menggeleng. Dadaku sesak. Sekarang aku merasa malu untuk bertemu dengan Diel.

"Ai, jangan membuatku khawatir, buka dulu pintumu baru kita bicara."

Tapi aku yang sudah tidak ingin bicara denganmu, El. Maaf.

"Ai.."

Aku langsung memutuskan sambungan telepon kami dan membanting ponselku ke dinding.

Aku langsung terduduk dan memeluk lututku. Aku saja jijik pada diriku sendiri apalagi orang lain?

Aku merenung, menatap dinding dan ponselku. Kenapa semua ini harus terjadi padaku? Aku bukan perempuan populer seperti Lucy dan Elsa, tapi mengapa bisa mereka terobsesi padaku? Bahkan aku tak mengenal salah satu dari mereka sama sekali. Muka mereka tidak ada yang familiar diingatanku.

Aku menatap tangan dan tubuhku. Kotor. Aku kotor sekarang. Lalu aku mulai menggosok tubuhku berharap bisa menghilangkan bekas jejak-jejak mereka tadi malam.

Tidak kupedulikan tubuhku yang semakin sakit, aku terus menggosok tubuhku. Bahkan mulai menekan, benar-benar menginginkan bekas mereka hilang.

Kurang. Tidak cukup. Mataku mulai mengeliling. Hanya ada satu pintu tanda tidak adanya kamar mandi di kamar mewah ini. Aku mencoba membuka pintu itu tapi sayang sekali terkunci.

Aku langsung mundur begitu gagang pintu itu turun. Astaga, apa mereka kembali?

"Ai? Kamu di dalam, Ai?"

Aku tersentak. Suara Diel. Aku menggeleng. Diel tak boleh tahu aku di sini. Aku mengedarkan pandanganku mencari tempat untuk bersembunyi.

"Ai, aku tahu kamu di dalam! Tolong buka pintunya," katanya mulai mengetuk pintu.

Aku menggeleng. Pergilah, El.

"Pak, lebih baik kita dobrak saja pintunya."

Oh, Diel bicara dengan siapa?

Terlalu larut dengan lamunanku, membuatku tersadar begitu pintu telah terbuka begitu lebar. Aku terbeliak menatapnya bersama beberapa polisi di belakangnya. Polisi?

"Ai!" Diel langsung memelukku membuatku tersentak. Aku berontak dalam pelukannya.

"Lepas! Lepaskan aku, El! Tubuhku kotor! Aku tidak ingin kamu ikut menjadi kotor. Lepaskan aku, kumohon."

Diel malah mempererat pelukannya. Aku luluh. Aku balas pelukannya dengan meraung.

"Mereka menyentuhku, El, me-mereka menyentuhku..."

Diel mengusap punggungku. Tapi bukannya tenang aku malah semakin terisak.

"Aku, aku jijik p-pada diriku sendiri, El. Aku ko-kotor."

"Tenang, Ai, tenang.. ada aku. Aku di sini."

Aku lemas. Kepalaku sakit. "Ak-aku jijik.."

Lalu yang dapat kulihat hanya putih. Putih yang sangat terang. Sampai putih itu perlahan menjadi hitam Hitam pekat seperti hidupku.

Tuhan, kalau pertemuanku dengan Diel hanya mimpi, tolong jangan bangunkan aku lagi.

***

Aku membuka mataku. Melirik tanganku yang digenggam, aku terkejut mendapati Diel yang menggenggam tanganku.

Jadi Diel datang bukan mimpiku belaka? Bukan angan-anganku saja karena begitu frustasi?

Aku terisak tak peduli kalau Diel terbangun karenanya.

Pintu ruang inapku terbuka membuatku mengalihkan perhatianku. Evan langsung menghampiriku dengan cepat.

"Ai, kamu sudah sadar. Apa kamu membutuhkan sesuatu?"

Aku masih terisak menatapnya. Apa aku benar-benar telah terlepas dari mereka?

"Di mana yang sakit, Ai? Sebentar aku panggilkan Dokter."

Aku menggeleng dan menahan tangannya.

Evan menatapku dalam lalu menghela napasnya dan memelukku. Aku melepas tanganku dari genggaman Diel.

"Kenapa kamu tak pernah bilang kalau kamu diteror selama ini, Ai?"

Aku terisak dan terus saja menggeleng.

"Kamu jangan khawatir. Mereka sudah ditangkap, kamu yang tenang, ya, sekarang. Mereka tidak akan mengganggumu lagi. Mereka tidak akan bisa mendekatimu apalagi menyentuhmu."

Suara dehaman membuat Evan melepas dekapannya padaku.

Aku lihat Diel sudah menatapku lembut. Aku semakin terisak. Aku ingin memeluknya tapi aku takut.

"El, ada yang ingin kubicarakan," kata Evan membuatku mengernyit.

"Ayo kita bicarakan di luar."

Evan menatapku. "Apa tidak sebaiknya Aime juga mengetahui hal ini?"

Aku mengalihkan pandanganku pada Diel yang ternyata juga sedang menatapku.

"Tidak. Ayo, Van."

Aku langsung menahan mereka. "Tunggu! Aku ingin tahu. Ini pasti tentang kasusku, kan?"

"Tapi, Ai," ucap Diel yang langsung kupotong. "Tolong, El, aku juga ingin tahu."

Aku menatap Evan memohon agar dia mau memberitahuku. Evan menghela napasnya.

"Lebih baik Aime tahu, El."

Aku kembali menatap Diel. Diel mengangguk dan mengusap pipiku. "Baiklah."

Aku tersenyum.

"Masih ada 2 orang pelaku yang belum ditemukan, El."

Aku langsung mengerut takut. Tapi genggaman pada tanganku membuatku tenang dan menatap Diel.

"Aku bukan tak ingin kamu tahu, Ai, tapi lihat, kamu langsung ketakutan seperti ini," kata Diel membuatku menghela napasku. Diel benar. Aku bahkan merasa badanku mulai bergetar.

"Ai, kamu tak perlu khawatir. Aku dan Diel akan menjagamu. Lagipula ada beberapa polisi yang berjaga di rumah sakit ini."

Aku mengangguk. Ya, banyak orang di sini, aku bisa berteriak kalau mereka datang, kan.

"Ai, kamu tinggal bersamaku saja begitu keluar dari rumah sakit, ya?"

"Aku setuju," kata Evan sambil mengusap bahuku. "Kamu akan lebih aman bersama Diel, Ai. Ada yang menjagamu."

Aku mengangguk lagi. Aku memang tak ingin tinggal sendirian.

"Istirahatlah."

***

Sudah 1 tahun sejak kejadian tak menyenangkan itu akhirnya psikiater yang menanganiku menyatakan kalau aku telah sembuh dan terlepas dari traumaku. Aku memang takut saat melihat pria dengan berbadan atletis selain orang-orang yang kukenal, tak jarang aku menjerit saat mereka mendekatiku. Tadinya. Sekarang aku sudah tidak takut saat melihat pria berbadan atletis lagi.

Hubunganku dengan Diel membaik. Tapi tetap saja berjalan di tempat. Maksudku, aku tetap menjadi sahabatnya saja. Tidak lebih. Tapi kubiarkan saja pemberitaan di luar sana yang menyatakan kalau aku istrinya Diel karena sudah 1 tahun ini kami tinggal bersama. Bahkan berita yang beredar juga adalah aku dan Diel telah memiliki anak.

Astaga, orang-orang dengan pemikiran liarnya.

Aku kembali menertawakan setiap berita tentangku dan Diel. Sesekali bersama Evan juga kalau Evan sedang berkunjung.

Tapi, hidupku harus terus berlanjut, kan? Aku tak mungkin terus-menerus menyusahkan Diel dan Evan. Mereka juga memiliki kehidupannya masing-masing.

Aku tersenyum. Walau hatiku sedikit tidak rela, tapi aku harus membicarakan hal ini pada Diel.

Saat ini aku sudah berada di kantor Diel. Karyawan Diel tahu aku memang sering datang ke kantor Diel. Mungkin karena hal ini juga yang membuat pemberitaan di luar sana makin jauh. Tapi aku tak peduli. Aku harus menjadi jahat agar terlihat kuat. Aku tak ingin ada yang tahu kalau aku pernah harus berkonsultasi dengan psikiater.

"Diel ada di dalam, Carl?"

Carly tersenyum. "Ada, tapi ada tamu penting. Tunggu sebentar ya, Ai. Tidak apa-apa, kan?"

Aku mengangguk. "Kamu sudah makan siang?"

"Belum, sih. Kamu mau aku temani makan siang?"

Aku terkekeh. "Ayo. Kenapa tidak bilang kalau Diel melarangmu makan siang, hm?"

Carly meringis. "Aku hanya bawahan, Ai, tidak dapat membantah apapun. Perintah adalah perintah."

Aku menggeleng. "Kita makan di restoran seberang kantor saja, ya?"

Carly mengangguk. "Sebentar, aku akan meninggalkan catatan untuk suamimu," kata Carly sambil menulis. Aku tahu dia meledekku.

"Sial, untung aku menyayangimu."

Carly terkekeh. "Yuk, cacing di perutku sudah protes."

Aku menggeleng dan melangkah mengikuti Carly.

***

Aku terbahak bersama Carly sambil keluar dari elevator kubus. Aku menghentikan tawaku juga langkahku begitu melihat Diel tengah berpelukan dengan Lucy.

Diel menangkap kehadiranku juga Carly langsung melepas pelukannya.

Lucy menatap Diel bingung lalu mengikuti arah pandangan Diel. "Ah, aku pergi kalau begitu."

Diel mengangguk. Aku tersenyum pada Lucy yang membalas senyumanku. Aku kembali melangkahkan kakiku ke arah Diel.

"Kenapa tidak bilang kalau ingin ke sini?"

Aku meringis. "Kejutan?"

Diel menggeleng lalu menggenggam tanganku saat kami memasuki ruangannya.

"Jadi?" ucapku langsung begitu kami duduk di sofa.

"Apa?"

Aku tersenyum. "Hubunganmu dengan Lucy, El."

Diel menggeleng.

"Ayolah, ceritakan padaku."

Diel terkekeh. "Tidak ada yang harus diceritakan, Ai. Jadi, kenapa kamu memberiku kejutan dengan datang ke sini tanpa menghubungiku, hm?"

Aku tersenyum dan mengambil amplop dari tasku lalu memberikannya pada Diel.

Diel mengernyit lalu menatapku terkejut. "Apa ini? Kamu hamil?"

Aku memukul lengannya. "Bercanda saja terus."

Diel terkekeh. "Kamu membuat orang salah paham, Ai. Aku yakin media akan memberitakannya seperti ini. Istri dari Diel hamil anak ke-dua. Apakah akhirnya mereka mengakui bahwa mereka telah menikah dan akan memiliki anak ke-dua?"

Aku terbahak. "Ya, lalu mulai dipertanyakan lagi apa jenis kelaminnya."

Diel akhirnya fokus membuka amplop yang kuberikan dan mulai membaca isinya.

Tapi aku tak melihatnya senang. Malah Diel terlihat tidak suka. Tapi akhirnya Diel tersenyum dan memelukku.

"Aku senang kamu sudah terlepas dari bayangan buruk itu."

Aku mengangguk dan membalas pelukannya.

"Aku bisa bekerja lagi. Dan aku akan kembali ke apartemenku."

Diel melepas pelukannya. "Aku tidak keberatan kamu tetap ada di apartemenku, Ai."

Aku tersenyum. "Aku tahu. Tapi aku tidak mau. Bagaimana kamu bisa mendapatkan pasangan kalau aku terus tinggal di sana?"

Diel menatapku lama. Lalu dia menghela napasnya.

"Ai, ayo kita menikah."

Aku hampir saja tersedak salivaku sendiri lalu aku terbahak. "Lucu sekali bercandamu, El!"

"Aku serius, Ai."

Aku terdiam. "Kamu tidak sedang dalam program realiti, kan, El?"

Diel menggenggam tanganku. "Maukah kamu menikahiku, Ai?"

Aku menatapnya. Aku bahagia? Tentu saja. Aku senang? Tentu, aku tidak menampiknya. Aku sedih? Ya. Aku kecewa? Sangat.

"Aku tidak butuh kamu kasihani, El." Diel melepas genggaman tanganku. "Akan ada pria yang datang untuk melamarku nantinya. Kamu tidak perlu cemas, aku baik-baik saja."

"Tapi, Ai."

"Lucy juga mencintaimu, El," ucapku cepat. "Maaf kalau aku selama ini menyembunyikan fakta ini, tapi aku ingin kamu berusaha. Dan Lucy mencintaimu."

Diel menatapku dalam. "Aku nyaman bersamamu, Ai. Aku telah terbiasa dengan kehadiranmu walau aku belum bisa mencintaimu. Tapi aku benar-benar ingin melindungimu. Aku tak masalah kalau kamu tak ingin kusentuh sampai kamu yakin padaku atau saat aku sudah mencintaimu.

"Ai, aku tahu kamu mencintaiku, dan maaf kalau sikapku selama ini sering-kali menyakitimu. Tapi sungguh, tolong beri aku kesempatan, Ai. Ijinkan aku menjagamu."

Aku memeluk Diel. "Lalu bagaimana dengan Lucy?"

"Aku tidak memiliki hubungan apapun dengannya."

Aku mengangguk. "Aku mau. Aku akan menikahimu, El."

Diel mengecup belakang telingaku. "Terima kasih, Ai, terima kasih. Tolong katakan padaku kalau aku menyakitimu, ya? Aku tak ingin lagi menyakitimu tanpa sengaja."

Aku mengangguk saja.

Ya Tuhan, kuharap, kamu benar-benar bisa mencintaiku, El.

***

Sudah 8 bulan sejak aku dan Diel menikah, Diel menepati janjinya yang tidak akan menyentuhku. Kulihat dia juga mulai menerimaku sebagai istrinya, benar-benar membuka hati agar mencintaiku.

Pemberitaan pernikahan kami memupuskan harapan orang-orang. Membuat heboh, sudah pasti, tapi semakin banyak berita miring yang membuatku terbahak bersama Diel begitu mendengar atau menontonnya. Tapi aku dan Diel sepakat untuk melakukan konferensi pers sejujurnya. Namun tetap saja, seolah konferensi pers itu dibuat untuk mengelabui mereka, mereka malah semakin membuat pemberitaan sesuai yang ada di otak mereka. Jadi kuputuskan untuk membiarkan mereka memuat berita apapun tentang kami.

Selama pernikahan, Diel sering mengajakku berkencan. Bahkan kami tetap bulan madu dengan tujuan seperti orang liburan, sih, tapi aku salut dengan usahanya. Diel bersungguh-sungguh untuk mencintaiku.

"Jangan melamun terus, Sayang.."

Aku menoleh mendapati Diel telah kembali. Kami sedang ber'bulan madu' lagi, omong-omong. Dan kami juga sepakat untuk mengubah panggilan kami dengan 'sayang'.

"Apa yang kamu bawa?"

Diel berdecak membuatku terkekeh. "Selalu saja mengalihkan kalau aku bertanya."

"Tapi aku benar-benar lapar, bukan mencari alasan agar tidak membahas hal yang sama ribuan kali."

Diel menggeleng. "Aku membawa ramen."

Aku menjerit senang. Aku sangat mencintai makanan panas, pedas, dan berkuah. Sejujurnya saja, Diel kurang suka aku memakan makanan seperti itu. Aku menatap Diel lekat. Ada apa tiba-tiba dia memberikanku makanan seperti itu?

Diel membalas tatapanku dengan memelas. "Sepertinya kamu hamil, Sayang. Aku sangat ingin makan ramen saat ini."

Aku memukul punggungnya. "Terus saja bicara omong-kosong!"

Diel terkekeh. "Yah, mau bagaimana lagi. Tiba-tiba aku benar-benar ingin makan ramen."

Aku membeliak menatap Diel. "Kamu tidak selingkuh, kan, El? Astaga, bagaimana kalau ternyata itu anak perempuan lain?"

Tapi respon Diel yang hanya diam membuatku mematung. Aku merasa tercekat, seperti ada yang sedang mencekik leherku erat-erat. Aku yakin kalau Diel tak memiliki hubungan dengan perempuan lain, tapi bagaimana dengan hubungan satu malam?

Aku ingin menangis. Aku tersenyum mencoba mengabaikan sikapnya.

"Ah, ayo kita makan. Aku sudah lapar sekali."

Aku langsung duduk di kursi makan dan mengambil ramen yang telurnya setengah matang. Aku langsung makan ramen itu dengan semangat. Kuabaikan Diel yang masih mematung. Melihat responnya membuatku yakin dia tahu bahwa dia telah melakukan kesalahan.

Astaga, hubungan kami bahkan baru berjalan 8 bulan.

Aku tetap memakan ramenku saat kulirik akhirnya Diel mengambil gelas dan menuang susu.

Bisakah dia berhenti bersikap seperhatian itu padaku?

Aku mengerjab saat air mataku hendak keluar. Demi Tuhan, sejak kapan seorang Aime menjadi cengeng?

"Makanlah, El. Ramennya enak, kok. Kenapa kamu tidak membelikanku dua porsi jumbo?" ucapku begitu Diel duduk di sampingku. Aku menatapnya yang juga menatapku dengan pandangan yang sulit kuterka.

"Aku tidak ingin kamu sakit, Ai."

Aku tersenyum mendengarnya. Tapi aku sudah terlanjur sakit, El.

"Terima kasih sudah peduli padaku, El."

"Sudah kewajibanku, Ai."

Ah, jadi aku hanya kewajibannya? Aku tersenyum dan melanjutkan makanku setelah sedikit menyesap susu yang dia berikan padaku. "Terima kasih juga untuk susunya."

Diel akhirnya memulai memakan ramennya. Tapi baru satu suap, dia kembali menatapku. Aku membalas tatapannya dengan senyumku.

"Ada yang ingin kubicarakan."

Aku mengangguk. "Habiskan makananmu, El. Makanlah selagi hangat."

Tapi Diel masih saja menatapku. Aku menghela napasku dan memilih mengabaikannya dengan kembali memakan ramenku.

"Maafkan aku, Ai."

Aku menaruh sumpitku dengan sabar. "Aku mengerti, El, tapi sungguh kita butuh makan untuk dapat berpikir dengan benar dan tak terpancing emosi."

Tapi Diel menggeleng membuatku menghela napas. "Kalau begitu biarkan aku habiskan ramenku."

"Aku ke kamar dulu kalau begitu."

Aku mengangguk saja. Peduli setan, dia mau berbuat apa, aku sangat lapar sekarang. Bahkan semakin lapar karena mulai emosi. Baiklah, aku makan saja ramen milik Diel.

Aku makan dengan cepat. Entah kenapa perasaanku sungguh bimbang.

Tidak sampai 10 menit ramen-ramen itu telah berada di perutku. Aku meminum habis juga 2 gelas susu yang tadi Diel siapkan. Aku butuh tenaga ekstra untuk pembicaraan penuh emosi ini.

Ah, aku tak percaya Diel bisa sebegitunya teledor melupakan pengaman. Atau mungkin dia perempuan spesialnya Diel?

Memikirkan kemungkinan itu semakin membuatku sakit hati.

Aku menuju kamar dan mendapati Diel yang sedang berkutat dengan pikirannya.

"Ayo, kira bicara di ruang santai."

Diel tersadar dan mengikuti langkahku dari belakang. Aku memilih duduk di sofa tunggal agar aku tak perlu terlalu dekat dengannya.

"Jadi? Aku akan menjelaskan segala penjelasanmu dari awal sampai akhir."

Aku menatap Diel yang masih berpikir.

"Aku bingung mulai dari mana."

"Jadi ini bukan percintaan satu malam?"

Diel menatapku menyesal. Aku sudah tahu jawabannya. Berarti bukan perempuan asal yang dia temui di diskotik.

"Sejak kapan?"

Diel menatapku ragu membuatku langsung menatapnya serius. "Jawab saja. Kamu bingung akan memulainya dari mana, kan?"

"Sejak dua bulan yang lalu."

Aku memejamkan mataku. Sudah selama itu, ternyata.

"Bagaimana bisa kamu.. melakukannya, El?"

"Itu terjadi begitu saja, Ai."

"Terjadi begitu saja? Tidak mungkin, El. Pasti ada pemicunya, penyebabnya," ucapku sambil menggelengkan kepalaku. "Aku kira selama ini kita baik-baik saja."

"Kita memang baik-baik saja."

"Kalau begitu kenapa kamu menghianatiku, El? Kenapa?" kataku geram. Dia tidak akan menghianatiku kalau memang semuanya baik-baik saja, kan?

"Maafkan aku. Aku yang salah."

"Aku bahkan berpikir kalau kamu sudah memiliki perasaan padaku, El."

"Memang. Aku memang sudah mencintaimu, Ai."

"Lantas? Kenapa kamu menghianatiku? Kamu menyakitiku, El, padahal kamu sudah berjanji tidak akan menyakitiku."

Diel menggenggam tanganku. "Maaf, Ai, maaf."

Aku membiarkan air mataku berlomba-lomba membasahi pipiku. Aku sangat kecewa.

"Ai, maaf, aku benar-benar minta maaf."

"Katakan alasannya, El. Aku ingin tahu."

Diel menatapku ragu. Aku yakin jawabannya akan semakin menyakitiku, tapi aku harus tahu.

"Saat bertemu dengannya, aku berpikir bahwa hubungan kita takkan berhasil."

"Lalu kamu mulai menidurinya? Ah, atau harus kusebut dengan kata bercinta?"

Diel menggeleng. "Kami sama-sama mabuk awalnya hingga hubungan ranjang terjadi. Aku jujur, tidak memakai pengaman."

"Dan akhirnya kamu sadar bahwa kamu lebih tertarik padanya lalu mengajaknya untuk bertemu lagi?" Diel mengangguk. "Dan kalian mulai sering melakukan kontak fisik?"

Diel menggenggam erat tanganku. "Ya."

Aku memejamkan mataku. Aku mengambil napas agar bisa berbicara jelas. Tuhan, sakit sekali. Aku tak sanggup melanjutkan pembicaraan ini, lebih baik langsung saja siapa perempuan itu.

"Apa aku mengenal perempuan itu, El?"

Diel menatapku lama. "Aku mengenalnya, kan," tanyaku lagi. Ah, mungkin bukan pertanyaan melainkan pernyataan.

"Siapa perempuan itu, El?"

"Lucy."

Aku tak sanggup. Aku langsung menutup wajahku dan menangis sekencang-kencangnya. Dadaku sesak sekali. Kenapa? Kenapa harus Lucy?

"Kenapa harus Lucy, El? Kenapa? Kamu membuatku, begitu tersakiti. Sakit sekali rasanya, El."

Diel memelukku dan terus mengucapkan kata maaf. Dia terus berkata maaf tapi segalanya telah terjadi, kan, apa yang bisa kulakukan selain melepasnya?

"Bagaimana ini? Aku sudah terlalu mencintaimu dan tak ingin melepasmu, El. Tapi aku tak bisa egois, kan? Kamu dan Lucy sama-sama saling mencintai, aku tidak mungkin dengan tega dan jahatnya menahanmu dan memisahkan kalian, kan? Kenapa kamu membuatku berada dalam posisi sulit untuk mempertahankan atau melepaskan, El? Tapi, aku tidak ingin menjadi jahat lagi.

"Kita bercerai saja," kataku dengan isakan yang mencekikku. Ingin sekali aku berteriak meluapkan semua kesedihanku. Atau paling tidak menyalahkan Lucy dan memukuli Diel.

Diel menarikku ke dalam dekapannya. Dekapannya makin erat lalu setelahnya dia terbahak. Benar-benar terbahak membuatku mengernyit dan menghentikan tangisanku. Aku bernapas dengan sesegukan.

"Astaga, Sayang, maafkan aku tapi aku hanya mengerjaimu."

"Apa maksudmu?" ucapku masih sesekali sesegukan.

Diel melepas dekapannya dan mengusap pipiku lembut sambil menatapku menyesal. "April Mop, Sayang."

Aku masih menatap Diel bingung. April Mop?

Diel langsung mengangkatku dan membuatku berada di pangkuannya. Aku diam saja karena memang sudah terbiasa berada di pangkuannya.

"Aku memang mengerjaimu, Sayang."

Aku menyandarkan punggungku ke dada bidangnya. Masih sesekali sesegukan, aku bertanya padanya. "Jadi semua itu bohong? Hanya akal-akalanmu? Bualanmu untukku?"

Diel mengangguk. "Tapi ada satu hal yang benar dari semua itu.

Aku menegang. Apa? Apa itu bersangkutan dengan hal tentang Lucy?

"Aku mencintaimu, Aime."

Aku terdiam. Apa? Apa tadi katanya? Diel mencintaiku?

Diel membalik tubuhku membuatku mengangkanginya. "Aku mencintaimu, Ai."

"Kamu, tidak membual lagi, kan, El?"

Diel merapikan rambutku yang sudah pasti berantakan lalu dia mengecup kedua mataku. "Maaf membuatmu sampai begitu sedih seperti ini, tapi aku tak berbohong. Aku benar-benar mencintaimu, Aime."

Aku langsung memeluknya. "Ka-kalau kamu s-sudah bilang mencintai-ku, ak-aku tidak akan me-melepasmu, El."

Diel terkekeh. "Aku akan sangat senang. Justru itu yang kuharapkan, Ai."

Aku memberi jarak lalu dengan berani mencium bibirnya. Diel tersenyum sebelum akhirnya membalas ciumanku. Tanpa sadar, aku mulai mengerang. Dan sesegukanku mulai hilang.

Oke, sepertinya aku tahu cara menghilangkan sesegukanku.

Diel mulai menekan tengkukku dan terus melumat bibirku. Bergantian, atas lalu bawah, bawah lalu atas. Aku menjulurkan lidahku saat Diel mulai mengelus punggungku.

Sial, ini nikmat sekali!

Diel mengerang begitu aku bergerak di atas pangkuannya. Dia melepas lumatannya membuatku protes dan membuka mataku yang entah sejak kapan terpejam. Kulihat Diel menatapku dalam.

"Kita lanjutkan di kamar, Ai?"

Aku mengangguk. Diel langsung mengangkatku yang saat ini menempel erat padanya.

Diel menaruhku ke kasur dengan sangat hati-hati. Diel langsung menyerang leherku membuatku menggelinjang geli dan mendesah. Aku mengerang begitu Diel menghisap leherku.

"Ah, Elhh..."

Diel terus menandaiku di sepanjang leherku. Saat kecupannya semakin turun ke payudaraku, Diel bangkit dan menatapku.

"Kamu yakin dengan ini, Ai?"

Aku tersentak. Sial, kenapa rasanya begitu memabukkan.

"Apa?"

"Kamu yakin ingin melanjutkan ini?"

Aku mengangguk yakin. "Kenapa? Kamu tiba-tiba jijik padaku, El?"

Diel menggeram marah. "Bukan itu, astaga! Aku tak ingin kamu tak nyaman, nantinya. Lagipula, aku juga bukan pria baik-baik. Aku tak mempermasalahkan apapun selain kenyamananmu, Ai."

Aku tersenyum. "Lakukan, El. Hilangkan jejak mereka."

Diel tidak lagi menahan dirinya untuk menyentuhku.

***

Ah, gadisku, milikku.

Aku menatap gadisku yang saat ini tengah berada dalam dekapanku setelah percintaan panas kami. Aime tertidur begitu dia mencapai klimaks yang entah ke berapa. Sekarang, Aime telah menjadi milikku, seutuhnya. Dan dia akan tetap pada pelukanku, tidak akan kubiarkan dia jatuh kepelukan pria lain setelah apa yang selama sudah ini kurencanakan, Aimeku hanya akan menjadi milikku seorang pada akhirnya.

Aku bahkan yang menyuruh mereka untuk menculik dan memerkosa Aime semalaman agar aku bisa datang menjadi pahlawannya. Itu rencana terakhirku untuk membuat Aime bergantung padaku hingga aku bisa memilikinya.

Walau jujur aku agak kesal saat psikiaternya bilang dia telah bersih, tapi tidak apa. Mau bagaimana pun pada akhirnya Aime berada dipelukanku, kan.

Lihat hasilnya, Aime tidak akan pernah bisa lepas dariku. Dia pasti akan terus dan selalu menganggapku menjadi pahlawannya. Aimeku akan selalu percaya dan memercayaiku.

Aku tersenyum menatapnya dan mengusap punggung telanjangnya.

Ah, Aime... kamu membuatku menjadi gila saat sebelum maupun sesudah menjadi milikku.

Ah, aku akan menghubungi anak buahku besok untuk mengeksekusi mereka yang terlibat pada malam Aime mereka perkosa. Sudah kukatakan hanya kematian yang akan mereka dapatkan apabila menyentuh Aimeku, kan?

Aku terkekeh dan menarik Aime agar semakin merapat padaku. Aku mengecup berulang kali pelipisnya.

Aime tidak boleh tahu bahwa aku yang telah mengendalikan hidupnya selama ini. Pekerjaan, pertemanan, pergaulan, siapa saja yang bisa dia temui, kecuali pertemuannya dengan Elsa, termasuk media yang selama ini menyebar gosip tentangnya. Aku suka sekali saat begitu Aime tertawa melihat pemberitaan tentang kami.

Sekarang aku menatapnya. Tubuhnya sudah penuh dengan tanda kepemilikanku. Yang membuatku bahagia, Aime sama sekali tak protes dengan apa yang kulakukan pada tubuhnya.

Sial, aku kembali mengeras.

Aku mulai menyibak selimut yang menutupi tubuh kami dan langsung memasukinya. Aku menggerakan pinggulku sesuai dengan rasa nikmat yang mulai menyerang. Ah, walaupun dia dalam keadaan tertidurpun, tetap saja dia membuatku gila dan bergairah.

Sial, nikmat sekali!

Sambil menghujamnya, aku terus bergumam. Gumaman di setiap hujamanku pada tubuhnya.

"Milikku... milikku!"

***

Hahahaha banyak?

Semoga cerita ini jelas dan nggak gantung kayak biasanya ya😂

Ah, maaf, untuk adegan plus2nya :( bukannya sy nggak menghargai orang yang lagi berpuasa, tp itu udah saya bikin gak sedetail biasanya. Gak terlalu saya jelaskan karena saya takut ada yang bacanya langsung apalagi saya publishnya siang2 begini.

Semoga suka :)

Ini belum di edit karna udah selsai sebelum saya publish lanjutan His Mine! ya. Banyak banget kata-katanya dan saya terlalu malas untuk baca lagi. Koreksi ada typo saya berterima kasih sekali, lho!

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

153K 11K 31
Warning : Adult and explicit sensual content! Lady Katherine de Marquand harus sanggup menanggung nasib buruk menjadi tawanan sekelompok bajak laut k...
316K 17.2K 19
[VOTE AND COMMENT] [Jangan salah lapak‼️] "Novel sampah,gua gak respect bakal sesampah itu ni novel." "Kalau gua jadi si antagonis udah gua tinggalin...
187K 3.1K 7
RATE DEWASA "Apakah kau akan membenciku, gadis kecil?" pria itu bertanya dengan suara datar tanpa emosi yang membuat mulut Annica terasa pahit oleh r...
544 88 5
Katanya anak nakal nggak punya masa depan. Lalu apa semua orang sukses di dunia ini nggak pernah nakal? Padahal anak nakal hanya anak yang tidak cuku...