CLAIR [Sudah Terbit]

By AryNilandari

181K 34K 9.6K

Seorang gadis clairtangent. Sesosok kenangan yang dihidupkan. Seorang pemuda yang luput dari kematian. Dan se... More

Dear All
Prelude
Chapter 1
Chapter 2
Soundtrack CLAIR
Chapter 3
Chapter 4
Interlude: Struk Cozy Corner
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Interlude: Potongan Tali Sepatu
Chapter 8
Trivia CLAIR
Chapter 9
Chapter 10 (b)
Interlude: Robekan Agenda 1 Januari
Chapter 11 (a)
Chapter 11 (b)
Chapter 12 (a)
Chapter 12 (b)
Chapter 13 (a)
Chapter 13 (b)
Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (a)
Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (b)
Good News, Clairmates!
Chapter 14 (a)
Chapter 14 (b)
Tebak Plot CLAIR Berhadiah
Chapter 15 (a)
Chapter 15 (b)
Chapter 16 (a)
Chapter 16 (b)
Chapter 17 (a)
Chapter 17 (b)
Chapter 17 (c)
Chapter 18 (a)
Chapter 18 (b)
Chapter 18 (c)
Chapter 19 (a)
Chapter 19 (b)
Chapter 19 (c)
Chapter 20 (a)
Chapter 20 (b)
Chapter 21 (a)
Chapter 21 (b)
Chapter 22 (a)
Chapter 22 (b)
Chapter 23 (a)
Chapter 23 (b)
Pengumuman Pemenang Tebak Plot Clair
To Conclude with a Promise
Random Notes Jelang Terbit
TETRALOGI CLAIR
Mari Mengulang bersama Rhea
19.09.19

Chapter 10 (a)

2.8K 581 140
By AryNilandari

Dear all

Chapter 10 ini panjang, jadi aku bagi dua ya. Refresh kalau tidak muncul. Sebagian misteri mulai terungkap. Dan memunculkan pertanyaan baru. Hehe. Maaf kalau bikin baper. Tapi tuntutan skenario ... eh, tuntutan karakter sih, mereka saling memperumit situasi, gimana lagi. Sabar ya. Semua berkelindan dan ada hubungannya. Enggak ada yang sia-sia. Jadi, nikmati dan jangan lupa vomment. Masukkan ke daftar bacaan. Rekomendasikan cerita ini kepada teman-teman. Itu bentuk dukungan terbaik jika kalian mencintai Clair.

Salam sayang,

Ary

-------------------------------------------------

"That's it! Kamu enggak boleh ke kantor polisi lagi! Kamu enggak boleh ke mana-mana juga sementara ini." Suara Tante Fang bergema di kamarku. Ia mondar-mandir di dekat tempat tidur. Wajahnya tegang. Cantiknya menyeramkan. Semoga Bang Geo tidak pernah melihatnya dalam situasi seperti ini. Ah ya, apakah baju lelaki itu terkena darahku, saat membopongku masuk ke perpustakaan? Semoga tidak. Sisi positifnya, ia dapat nilai positif dari Tante Fang, jadi positif akan ada kelanjutan. Tiga positif yang membuatku meringis geli.

Tante Fang menangkap senyumku dan mendelik. "Aku enggak main-main, Rhea. Kamu melanggar batas. Membohongi Pak Suparna. Membahayakan diri sendiri. AKPRI sudah setuju, kamu di-skors sebagai Clair."

Aku mengembuskan napas, pasrah. Tidak berani memandang Bang El yang duduk di pinggir dipan. Tidak ada kemarahan pada mata teduhnya, tapi aku yakin pikirannya terbebani. Itu saja sudah membuatku menyesal dengan kelemahanku.

Aku pernah pingsan, aku pernah mimisan. Tapi pingsan bersamaan dengan mimisan deras bukan kombinasi bagus. Tante Fang dan Bang El jadi panik. Aku dilarikan ke IGD. Untungnya, aku baik-baik saja. Setelah diberi vitamin, aku disuruh pulang untuk beristirahat. Tapi pulang berarti ke rumah milik Tante Fang dan Bang El. Dalam situasi seperti ini, kebutuhan privasi dan tempat kos tidak masuk dalam pertimbangan mereka.

Aku tidak keberatan, kalau Clair dinonaktifkan sementara waktu. Aku malah bebas bergerak melakukan apa yang harus kulakukan untuk Aidan. Walau melihat sikap Tante Fang dan Bang El sekarang, sepertinya aku bakal stuck juga di sini untuk beberapa waktu. Penyelidikan kami akan terhambat. Tapi Kei dan River bisa diandalkan untuk menindaklanjuti petunjuk yang kutemukan.

"Apa yang kamu pikirkan?" Bang El menjangkau bahuku.

"Apa aku juga dilarang ke sekolah? Sampai kapan? Ada tugas-tugas yang harus kukumpulkan besok." Aku bertanya tanpa nada memprotes. Tetap saja Tante Fang seperti dapat bahan bakar baru untuk marah lagi.

"Harusnya itu kamu pertimbangkan sebelum melanggar aturan! Lagian Bang El tanya, apa yang kamu pikirkan tadi sampai berani memasuki ruang bukti? Aku tahu, Aidan pernah satu sekolah denganmu. Aku tahu kamu penasaran. Tapi sampai membahayakan diri sendiri seperti itu, apa layak? Jangan-jangan, kamu dipengaruhi teman-teman Aidan?" Alis Tante Fang bertaut. Matanya tajam menembus pertahananku.

Begitu saja aku tersedu, dengan cepat berubah jadi isak dan tangis. Sulit berkata-kata. Tapi dalam hati aku berteriak mendebat. Apa ukuran layak atau tidaknya? Kalau untuk mereka yang berselingkuh saja Clair turun tangan membantu, kenapa tidak untuk orang yang kukagumi? Aidan bukan hanya teman satu sekolah, ia cinta pertamaku. Aidan melakukan banyak hal untukku, walaupun aku tidak tahu detail dan alasannya. Aku terlalu takut terluka hingga mengabaikan semua petunjuknya selama ini. Kalau aku tidak sebodoh itu, Aidan mungkin masih ada, selamat.

Kenangan Aidan yang hidup telah memberikan makna baru pada kejadian-kejadian lama. Bagaimana mungkin, selama ini kuanggap sekadar kepingan memori pengisi kotak kaleng? Aidan lebih dari itu. Aidan ....

Bang El meraihku ke dalam pelukan. Tangisku semakin keras. "Apa yang kamu pikirkan sekarang?" Ia berbicara lembut sambil menggosok-gosok punggungku. "Belum pernah kamu menangis kayak gini. Pasti ada kaitannya dengan kamu menangis di sekolah tadi? Tell me."

Kubenamkan mukaku di dadanya sambil berkata, "Aidan-ku enggak mungkin bunuh diri. Aku harus tahu kejadian sebenarnya." Suaraku teredam, mereka mungkin tidak mendengarku dengan jelas. Tapi sedikit beban di dadaku terangkat.

Tante Fang menyodorkan kotak tisu, lalu menyeret kursi belajar untuk duduk di samping Bang El. "Jadi, kalian akrab lebih dari sekadar teman satu sekolah?" Ia bertanya hati-hati.

Aku menggeleng. Menggigit bibir.

"Kamu suka dia? Tapi enggak berbalas?" Bang El menebak jitu, nadanya tidak senang.

Tangisku sudah mendesak lagi. Stop it, Rhea! Aku tidak selemah ini. Sejak kapan aku jadi secengeng ini?

"Karena itu kamu enggak mau menerima fakta." Tante Fang mendesah. "Kejadiannya sudah tiga bulan. Waktu itu, beritanya lumayan gencar di media. Kasusnya ditangani Iptu Harris, tapi sempat juga jadi pembicaraan di kantorku. Bagaimana kamu menahan diri selama ini? Muncul di kantor, seolah enggak terjadi apa-apa. Kamu enggak pernah bicara. Atau aku yang terlalu sibuk? Kamu enggak percaya padaku? Ya, Tuhan, Rhea!"

Kugigit bibir. Menggeleng. Selama ini, aku tutup mata, telinga, dan mulut. "Kalau aku bicarain Aidan dan kasusnya, berarti kejadian itu nyata."

"Tapi memang terjadi, Rhe! Nyata. Aku datang ke TKP—"

"Fang!" Bang El menegur.

"Kutemani ibunya mengenali jenazah—"

"Fang, hentikan!"

"Lalu AKPRI melimpahkan kasusnya ke Harris setelah tahu Aidan satu sekolah denganmu. Semua itu nyata!" Tante Fang membandel. "Kamu pikir, kenapa aku enggak mau memeluk dan menyentuh kamu, Rhe? Betapa pun aku ingin? Seperti sekarang? Aku sayang kamu. Sama seperti Bang El. Tapi aku enggak bisa jadi tempat kamu bersandar. Tempat kamu curhat. Aku harus jaga jarak, biar kamu aman dari segala kejadian buruk yang kulihat di lapangan. Kamu pikir, ini mudah? Dengan kamu kos jadi lebih mudah buatku? Aku menahan diri demi kamu. Tapi apa yang kamu lakukan? Masuk ke ruang bukti?! Kenapa enggak kamu peluk saja aku?"

"Fang! Kamu bikin Rhea nangis lagi!"

Tante Fang membanting tubuhnya di tempat tidur. Membenamkan muka pada selimut dan menjerit. Tapi sebentar kemudian, ia sudah duduk tegak. Matanya basah, tapi wajahnya mengeras. Berbicara pada Bang El. "Rhea sudah dewasa. Ia harus berpikir panjang sebelum bertindak. Ia tahu risikonya menyadap kenangan dan terpapar kejadian intens. Terkuras energinya dan meracau, sesekali mungkin kelihatan cute. Mudah diatasi dengan tidur. Pingsan, sejauh ini jarang terjadi, tapi itu jadi peringatan. Ditambah mimisan banyak seperti tadi, bikin aku takut, Rhea akan kehilangan memori lagi."

"Aku baik-baik saja." Aku buru-buru menyela.

Tante Fang mengangkat telunjuk ke arahku, sambil terus berbicara pada Bang El. "Dengar, aku mungkin sulit mengerti teori kimiawi otak. Tapi aku mengerti, traumalah yang bikin Rhea lupa masa kecilnya. Sejarahnya sampai usia 7 tahun terhapus begitu saja. Bagaimana kalau efek ruang bukti seperti itu? Bagaimana kalau memorinya sejak usia 7 hingga saat ini terhapus juga? Apa yang tersisa? Jadi siapa dia tanpa memori sama sekali? Rhea bukan komputer yang bisa kita ganti RAM-nya dan di-reset setiap kali nge-hang. Setelah tahu Rhea ada hubungan emosional dengan Aidan, aku semakin khawatir. Belum telat kalau aku tinjau ulang perannya. Sekarang, aku setuju sama kamu, Bang. Rhea sebaiknya berhenti jadi Clair di kepolisian, total berhenti."

"Tidak! Tante!" Aku sampai terlompat bangun. Sempoyongan. Bang El menahanku. Kutatap matanya, mencari perlindungan. Tapi sejak awal, Bang El selalu menyimpan kekhawatiran terhadap peran Clair. Selama ini, Tante Fang yang menjadi sekutu Clair. Bahkan ia memilih karier di kepolisian juga karena Clair. "Tante, Bang El, tolong dengar aku ...."

Tiba-tiba ponsel Tante Fang berbunyi, terlalu nyaring seakan menyuruhku diam juga. Tante Fang mengeluarkannya dari saku jaket. "Pesan dari Stella. Aku lupa, kita kan janji malam ini makan bareng dia. Gimana, Bang? Rhea enggak bisa ditinggal sendirian, kalau diajak pun kasihan, kayaknya masih lemas gitu."

"Kamu saja yang pergi, aku temani Rhe."

Oh, tidak. Siapa pun dari keduanya yang tinggal, belum tentu akan mendengarkan kata-kataku. Lagi pula, aku mau bilang apa? Jangan sampai kegiatanku dengan Kei dan River malah terbongkar gara-gara salah bicara. Biarlah kuterima saja dulu keputusan Clair dipensiunkan dini. Tidak sepenting misiku untuk Aidan. "Tante Fang, Bang El, kalian pergilah berdua. Aku sudah enggak apa-apa, kok, mau tidur awal saja. Biar besok bisa sekolah. Urusan Clair, aku patuh saja dengan keputusan kalian." Tidak lupa pasang wajah anak penurut, pasrah karena merasa bersalah.

Keduanya memandangku penuh selidik. Mata induk kelinci dan mata elang Jawa. Aku buru-buru naik ke tempat tidur. Menarik selimut hingga leher. "Matikan lampu sambil keluar, ya. Salam buat Stella. Have fun."

Mereka meninggalkanku sendiri. Kutajamkan telinga untuk menangkap petunjuk mereka sudah pergi. Tapi lima belas menit kemudian, alih-alih bunyi mesin mobil dinyalakan, kudengar ketukan di pintu. "Rhe, belum tidur, kan?"

Bang El muncul setelah kupersilakan masuk. Ia menyalakan lampu. Tampak segar sehabis mandi, mengenakan celana khaki dan kaus hitam polos. Di tangannya ada dua kemeja. "Yang biru atau cokelat?"

"Biru. Cokelat terlalu suram." Aku tersenyum. Ia selalu punya cara menetralkan suasana.

Bang El menyampirkan kemeja cokelat di kursi, dan memakai yang biru. "Gimana?"

Aku mengacungkan jempol. "Bang, rambutnya dijinakkan, dong."

"Kata cewek yang rambutnya lebih liar dari akar mangrove."

Aku tertawa.

Bang El mendekat. Duduk di tepi dipan. Wajahnya tercukur bersih. "Aku senang kamu bisa tertawa lagi. Guess what, tiga minggu ini aku bisa kerja dari rumah saja. Kita bisa rayakan ultahmu 1 Januari nanti."

Reaksiku mendua. Aku benar-benar bersorak dan memeluknya. Tapi bersamaan itu aku khawatir keberadaannya di sini akan menghambat gerakku.

Bang El menghadapkan mukaku kepadanya. "Rhe, kamu pilih 1 Januari untuk tanggal ultahmu karena dia?" Saat aku mengangguk, ia tersenyum dan membersihkan pipiku dari bekas air mata. "Sudah kuduga, Aidan penting buatmu. Tapi dia sudah tiada. Apa pun yang dilakukan atau tidak dilakukannya, Tuhan tahu. Keadilan-Nya akan berlaku. Percayalah."

Aku mengerjap, menahan rasa panas di mata.

"Aku yakin, kamu sudah banyak menangis sendirian. Maafkan aku dan Fang yang enggak ada di sampingmu saat kamu butuhkan."

"Bang El malah bikin aku tambah baper. Pergi sana, taklukkan Stella."

Tepat saat itu kembarannya memanggil-manggil dari luar.

Bang El menyeringai. "Mau oleh-oleh apa?"

"Gimana kalau momento dari Stella? Sapu tangan, lipstik, tanda tangan, aw!"

Bang El berdiri, membungkuk untuk mencium keningku yang baru saja disentilnya. "Telepon saja kalau ada apa-apa." Setelah mengucapkan selamat tidur, ia keluar dari kamar, lupa mematikan lampu. Tak lama kemudian, terdengar bunyi mobilnya menjauh.

Aku berbaring menatap langit-langit. Memikirkan kata-kata Tante Fang tentang memoriku yang terhapus akibat trauma. Terhapus berarti hilang selamanya. Bang El lebih suka menggunakan istilah terkubur atau terblokir. Masih ada harapan, suatu saat aksesnya akan terbuka lagi.

Apa pun istilahnya, pertanyaan kami sama: kejadian apa yang begitu traumatis sampai-sampai otakku melakukan pemblokiran? Dan dalam prosesnya, keseluruhan memori selama 7 tahun pertama hidupku pun ikut terkubur. Para dokter dan psikolog bersepakat, pasti kejadian itu terlalu mengerikan dan sangat mengguncang. Upaya mengembalikan ingatanku harus dilakukan dengan hati-hati. Seperti mencari harta karun yang terserak di dasar danau, jangan sampai pasir teraduk mengeruhkan air. Nyaris mustahil. Setelah sekian tahun, setelah beragam upaya, tidak ada hasil. Tante Fang dan Bang El pun memilih cara lain untuk melacak asal-usulku. Aku yakin, diam-diam mereka masih berusaha sampai detik ini.

Bang El memberiku nama Rhea Rafanda, dari tokoh novel favoritnya. Saat itulah hidupku dimulai, pada usia 7 tahun menurut perkiraan dokter, karena tidak ada yang tahu tanggal tepatnya aku terlahir ke dunia. Dalam banyak dokumen, kolom tanggal lahir selalu dikosongkan, sampai aku memutuskan untuk memilih sendiri tanggal ulang tahunku. Tepatnya, dipilihkan oleh Aidan.

"Olehku? Ya ampun, kamu serius?" Aidan di dalam kepalaku terusik.

Aku mendesah. Pertanyaannya terlalu pahit.

"Hei, kamu baik-baik saja?"

"Aku enggak pernah baik-baik saja sejak kenal kamu," rajukku, membuat Aidan terdiam.

"Maaf. Bukan salahmu." Kutunggu beberapa saat. "Aidan?" Tidak ada jawaban. Aku menyemburkan napas. Berbicara dengan kenangan Aidan sepertinya lebih mudah dilakukan di apartemennya atau di sekolah. Tempat-tempat yang kenangannya kuat. Kupegangi dadaku yang tiba-tiba terasa nyeri. Aku merindukannya. Ingin sekali kembali ke apartemennya. Sendirian. Akan sulit selama Bang El ada di sini.

"Aidan, please, talk to me." Aku memusatkan pikiran pada sosok kenangannya. Membayangkan senyumnya yang tidak bisa kugambarkan dengan kata-kata. Tawa renyahnya. Sapaan ramahnya. Kedekatannya dalam beberapa kesempatan. Tak terlupakan. "Aku membutuhkanmu, di sini, sekarang. Aidan! Aidan! Aidan!"

Lanjut ke Chapter 10 (b)

Continue Reading

You'll Also Like

35.5K 2.7K 30
~Bayangan Mafia di Balik Kerudung~ Semua bermula ketika seorang pria tampan yang terluka di sekujur tubuhnya, di temukan tidak berdaya di belakang...
105K 17.6K 51
cover by the talented @BYBcool *** Sembilan orang itu disebut Venom, sekelompok teroris yang perlahan-lahan terungkap sosok aslinya melalui halaman d...
22.7K 2K 10
# ONGOING Jake Shim adalah siswa yang baru saja pindah ke Future Perfect High School. Ia menyadari bahwa kelas yang ia tempati sekarang terlihat begi...
198K 31.2K 40
Ikuti perjalanan melalui ide ini dalam segala bentuknya saat tiga puluh penulis dari Program Stars Wattpad mengeksplorasi kisah tentang cerita semasa...