CLAIR [Sudah Terbit]

AryNilandari

181K 34K 9.6K

Seorang gadis clairtangent. Sesosok kenangan yang dihidupkan. Seorang pemuda yang luput dari kematian. Dan se... Еще

Dear All
Prelude
Chapter 1
Chapter 2
Soundtrack CLAIR
Chapter 3
Interlude: Struk Cozy Corner
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Interlude: Potongan Tali Sepatu
Chapter 8
Trivia CLAIR
Chapter 9
Chapter 10 (a)
Chapter 10 (b)
Interlude: Robekan Agenda 1 Januari
Chapter 11 (a)
Chapter 11 (b)
Chapter 12 (a)
Chapter 12 (b)
Chapter 13 (a)
Chapter 13 (b)
Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (a)
Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (b)
Good News, Clairmates!
Chapter 14 (a)
Chapter 14 (b)
Tebak Plot CLAIR Berhadiah
Chapter 15 (a)
Chapter 15 (b)
Chapter 16 (a)
Chapter 16 (b)
Chapter 17 (a)
Chapter 17 (b)
Chapter 17 (c)
Chapter 18 (a)
Chapter 18 (b)
Chapter 18 (c)
Chapter 19 (a)
Chapter 19 (b)
Chapter 19 (c)
Chapter 20 (a)
Chapter 20 (b)
Chapter 21 (a)
Chapter 21 (b)
Chapter 22 (a)
Chapter 22 (b)
Chapter 23 (a)
Chapter 23 (b)
Pengumuman Pemenang Tebak Plot Clair
To Conclude with a Promise
Random Notes Jelang Terbit
TETRALOGI CLAIR
Mari Mengulang bersama Rhea
19.09.19

Chapter 4

4.4K 780 190
AryNilandari


Kami berdiri di tempat parkir warung, menghadap ke seberang jalan, pada kompleks Darmawangsa International School. Pukul 20.45, gerbang utamanya sudah tutup. Lampu-lampu yang berselang seling dengan pohon menerangi sepanjang jalan masuk. Pada bagian depan, berdiri bangunan rendah playgroup, TK, dan SD, lalu di belakangnya, menjulang gedung-gedung empat lantai SMP dan SMA.

Kei memainkan kunci mobil. Tadi ia sudah pamitan, karena besok pagi-pagi sekali hendak ke Jakarta, katanya. Kami sudah bertukar nomor ponsel dan berjanji untuk saling update. Aku sudah menjabat tangannya lagi. Berfokus mencari kenangan tentang Aidan di menit-menit terakhir. Dalam tiga detik, aku mendapatkan penggalan memori saat Kei dirawat di rumah sakit, dan Aidan menjenguknya, mengiming-imingi tiga lembar tiket konser. Rasa penyesalan Kei saat itu begitu kuat, membaur dengan penyesalanku sendiri sekarang.

Berdiri bersisian begini, seakan ada tarikan magnet dari Kei pada tangan kananku yang telanjang. Bagaimana mungkin aku menginginkan kontak fisik? Buru-buru, kususupkan dua tanganku ke dalam saku hoodie. Aku hanya ingin menyerap kenangan Aidan sebanyak mungkin.

"Hei, Rhe! Apa yang kamu lihat?"

Aku menunjuk ke seberang dengan daguku. "Dua tahun satu sekolah, aku tidak berani mendekati Aidan. Sekarang, aku ingin benar-benar mengenalnya. Tapi sudah tidak mungkin lagi," kataku, melirih.

"SMA, masa terbaik kami. Belum setahun aku tinggalkan, jadi masih banyak yang segar dalam ingatan. Kamu tidak keberatan mengenal Aidan lewat aku?" Kei mengantongi kunci mobil dan mengulurkan tangan. "Mari ...."

Aku tercengang. Apa maksud Kei? Mengenal Aidan lewat tangannya? Jangan-jangan Kei menyadari proses penyadapan kenangan yang kulakukan.

"Kamu ragu? Ya, kamu bakal tambah menyesal sih. Tapi lebih baik, ketimbang tidak mengenalnya sama sekali. Akan kuceritakan best moments dengan Aidan langsung dari tempatnya." Kei mengambil tangan kananku, dan membawaku berlari kecil menyeberang jalan.

Ah, aku salah kira. Kata-kata dan tindakan Kei begitu wajar. Aku sampai terkesima dan lupa berfokus pada aliran memorinya. Sebelum aku dapat menangkap apa pun, kami sudah sampai di depan gerbang yang tertutup rapat, dan ia melepaskanku.

"Enggak bisa masuk lewat sini. Tapi ada jalan lain kalau kita memutari benteng ke kanan. Cuma siswa yang suka telat yang tahu rahasia ini. Ayo."

"Jadi, kamu suka telat?"

Kei tertawa. "Sepanjang SMA? Beberapa kali."

Aku mengikutinya menyusuri jalan setapak yang berbatasan dengan kebun-kebun orang. Lampu-lampu yang dipasang dengan jarak tertentu di sepanjang benteng menerangi langkah kami. Sepatuku menimbulkan bunyi berdesik di rerumputan basah. Beberapa kali cowok itu menoleh untuk memastikan aku tidak tertinggal. Angin malam yang lembap menembus hoodie, mendinginkan tubuhku yang berkeringat karena gairah. Tapi aku jadi waswas, hujan bisa tiba-tiba turun dan mengacaukan momen ini.

"Awas becek!" Kei, yang sudah melompati genangan lumpur, mengulurkan tangan untuk membantuku. Dari sentuhan singkat itu, kudapatkan kilasan ingatan, ia berlari-lari melalui jalan ini. Menyadap memori jadi lebih mudah saat Kei sedang mengenangnya.

"Ini dia!" Kei berhenti.

Pintu rahasia itu ternyata bukan pintu secara harfiah, melainkan bagian benteng yang terdongkrak pertumbuhan liar sebatang pohon di sisi dalam. Akar besar dan cabang-cabangnya mendorong tembok di sana sini. Benteng setinggi tiga meter itu menjadi bergelombang, lebih mudah dipanjat. Kei naik lebih dulu, dan menungguku di atas. Aku mengikuti jejaknya. Kami duduk bersisian. Tidak disarankan untuk langsung melompat ke tanah. Kecuali kamu pesenam terlatih, ada risiko mendarat dengan kaki terkilir.

Cara terbaik adalah melalui cabang pohon di depan kami. Kei melompat tanpa ragu, bergantungan, dan merayap ke cabang di bawahnya. Dari situ, tinggal dua meter saja untuk melompat turun. Kei mendarat dengan mantap. "Ayo, kamu pasti bisa."

Dorongannya berhasil. Barangkali juga karena nekat, aku bisa berpindah dari tembok ke cabang pohon dengan mudah. Tapi beda cerita untuk melompat turun. Aku mendadak gamang. Kei mengembangkan tangan untuk menerimaku. Astaga! Apakah aku harus jatuh ke dalam pelukannya?

Tidak, terima kasih. Aku tidak selemah itu. Tidak sebutuh itu.

"Awas ada satpam!" desisku, mengalihkan perhatiannya. Kei celingukan. Aku pun melompat turun, mendarat ringan seperti kucing---yang mabuk dan hilang keseimbangan---lalu tersuruk. Lutut mencium tanah, dua tanganku refleks menahan. Getaran hidup dari permukaan bumi tiba-tiba menjalari telapak kananku. Sepetak tanah yang ternyata sering kejatuhan anak-anak sekolah.

"Rhea!" Kei terdengar khawatir.

Buru-buru aku berdiri. Menepuk-nepuk lutut dan tangan untuk menyingkirkan tanah basah yang menempel. "I am okay. Jatuh di sini enggak aneh kok. Banyak yang lebih parah. Bahkan Wynter pernah nyungsep. Hmm ... sepertinya dia yang paling sering lewat sini. Satu-satunya bule bandel. Wah, dari SD ... siapa sangka ...." Lalu aku sadar, sudah mengoceh terlalu banyak karena ekspresi Kei jadi aneh di bawah penerangan lampu terdekat. "Jangan heran begitu. Ada adik kelasku yang terkenal suka telat, jam sekolahnya kayak beda. Kupikir, kalau gerbang sudah ditutup, pasti lewat sini juga."

"Oh," sahut Kei. "Untuk orang yang digosipkan suka sembunyi, kamu tahu lebih banyak dari yang kuduga."

Aku hanya tertawa, segera mengalihkan topik. "Sekarang ke mana?"

Kei membawaku menyusuri sungai kecil hingga ke belakang gedung SMA. Lalu kami menyeberangi jembatan, tempat Neru dan kawan-kawannya nongkrong sore tadi. Kuikuti Kei memutari gedung. Tujuannya jelas sekarang. Lapangan basket.

Tentu saja. Tempat yang sangat bersejarah. Aidan adalah kapten basket Darmawangsa, dan Kei pengatur strategi tim. Aidan--Keiran menjadi pasangan ikon kekompakan dan kemenangan.

Kei mengajakku duduk di bangku pemain. Dari sini, aku dapat melihat dengan jelas jendela kelima lantai dua SMA. Bukan jendela kelas, melainkan ruang kontrol listrik dan AC. Jendela itu tempat favoritku menonton tim basket berlatih. Alih-alih berdesakan dengan cewek-cewek pengagum Aidan di pinggir lapangan, aku dapat memperhatikan Aidan dengan leluasa. Saat tubuhnya melenting tinggi, memasukkan bola ke keranjang dan membuat score. Begitu kuat, lentur, dan anggun secara bersamaan. Kuhela napas diam-diam.


Setelah Aidan lulus, aku tak pernah lagi memasuki ruangan itu. Duduk di sini sekarang, untuk pertama kalinya aku menyadari, kalau aku bisa melihat lapangan dengan jelas dari atas, berarti Aidan dan timnya bisa melihatku di jendela itu dengan jelas pula. Oh, ya ampun, ya ampun!

Segera kuamankan tangan kananku di atas pangkuan. Jangan menyentuh bangku, kecuali aku siap membaca kenangan tentang Aidan dan timnya saat duduk di sini. Mungkin saja mereka melihat, menertawakan, dan mencemoohkan aku.

Desahan Kei membuatku menoleh kepadanya. Cowok itu tengah menunduk. "Duduk di sini, aku sampai berharap, Aidan muncul dari ruang ganti, berteriak padaku, mau pinjam handuk. Aidan suka lupa bawa. Dan aku terbiasa bawa cadangan untuknya."

Ah, itu menjelaskan pemandangan populer di kalangan cewek: Aidan dengan rambut basahnya. Diabadikan banyak kamera ponsel, lalu fotonya beredar dan dibicarakan dengan tawa dan pekik histeris. Dan Kei baru saja menceritakan behind the scene. Hanya padaku. Aku sampai bergeser mendekat, tidak ingin terlewatkan satu kata pun.

Tapi Kei malah celingukan, memandang ke sekeliling. Ekspresinya seperti berharap tapi kemudian kecewa. Ia menunduk lagi. Beberapa menit tidak berbicara. Ah, pasti sulit, aku mengerti. Ini saat yang tepat untuk menyentuhnya. Memberinya simpati tanpa kata, sambil mencari tahu apa yang berkecamuk dalam ingatannya.

Potongan kejadian silih berganti. Di beberapa tempat berbeda pada waktu malam. Kampus, mal, area parkir, bahkan di halaman rumah. Selalu menunjukkan adegan serupa: Kei menoleh ke belakang. Ekspresinya kaget dan heran. Bibirnya menggumamkan nama. Aidan.

Aku buru-buru melepaskan tangannya. Ini terlalu menyedihkan. Kei seperti melihat Aidan di mana-mana. Kata-katanya di warung Cak Kosim bisa kupahami sekarang. Demikian juga sikapnya barusan. Kei mencari-cari bayangan Aidan, di tempat yang paling banyak kenangannya. Tapi Aidan tidak muncul. Tidak akan pernah muncul. Itu hanya kilasan memori. Kei telah keliru menganggapnya sebagai roh Aidan, lalu membawaku ke sini untuk dijadikan saksi. Mungkin Kei bahkan berniat menjadikan aku perantara, berbicara pada Aidan, untuk mendapatkan bukti.

"Kei ...." Aku tidak tahu mau bilang apa. Harusnya aku marah dianggap cenayang. Tapi yang ada hanya iba. Rasa frustrasinya pun menulariku.

Cowok itu mengusap muka, lalu memandangku. "Maaf, Rhe. Aku enggak menyangka, di sini, rasa kehilangan itu terasa lebih berat .... "

"Aku mengerti. Pulang saja, yuk? Kamu harus fresh untuk menyetir ke luar kota besok."

Kei menggeleng. "Sudah sampai di sini. Aku tetap pengin ceritain tentang Aidan. Oh ya, gimana kamu kenal dia? Mungkin ada kenangan khusus dengannya?"

"Ah, jangan ngeledek." Kutinju bahunya dengan tangan kiri, main-main. "Kalau memang ada kejadian spesial, kamu pasti tahu dari Aidan."

Kei menggeleng. "Tidak selalu. Aidan bisa tertutup serapat kerang untuk urusan yang dianggapnya wilayah pribadi. Tapi, Rhe, apa yang dianggap biasa saja oleh satu pihak, bisa jadi sangat spesial buat pihak lainnya. Aku tahu itu karena aku punya adik perempuan yang cerewet, tiap hari bercerita tentang gebetannya. Meskipun cowok itu cuma mengambilkan pensil yang jatuh, buat Jesara, dunia serasa lebih ceria dan aman berkat tindakannya. Perasaan Jesara nyata, aku tidak menganggapnya konyol."

"Waaah, kamu kakak yang baik banget." Aku benar-benar senang mendengarnya. Isi kotak kaleng di kolong tempat tidurku berarti bukan sesuatu yang aneh dan menggelikan di matanya.

"Jadi? Mau berbagi kenangan dengan Aidan?" Kei tidak melepaskan aku begitu saja.

Aku terdiam. Aidan tidak secara khusus memberikan benda-benda itu kepadaku. Bahkan ia tidak pernah tahu apa yang kusimpan. Tapi semuanya jadi kenangan istimewa dengannya, sejak aku masuk DIHS. Lebih dari sekadar mengambilkan pensil, dan jelas menjadi penyebab aku jatuh cinta padanya. Kei tidak tahu, berarti Aidan tidak pernah bercerita apa pun tentang aku. Di satu sisi, aku tersanjung. Kenangan itu menjadi wilayah pribadi Aidan. Tapi di sisi lain, rasa sedih itu muncul lagi. Aidan tidak menganggapku penting untuk disebut-sebut di depan sahabatnya. Dan bercerita sekarang pada Kei, tidak akan mengubah apa-apa. Hanya menegaskan peranku sebagai salah satu cewek yang kebetulan satu sekolah. Kuembuskan napas keras-keras.

"Kamu bikin aku penasaran." Kei ngedumel.

Aku tertawa. "Ah, kamu penasaran karena Aidan enggak cerita sama kamu. Bukan penasaran tentang aku."

"Aduh. Tepat kena jantung, Rhe." Kei memegangi dada. "Persis tantemu. Iptu Fara juga mengatakan sesuatu yang menohok. Katanya, meski kami bersahabat sejak kecil, pasti ada hal-hal tentang Aidan yang enggak aku tahu. Aku sempat marah karena ia meragukan persahabatan kami. Tapi sebetulnya, aku marah pada diriku sendiri karena Iptu Fara benar. Sejak Aidan tiada, aku sadar, banyak hal enggak aku ketahui. Kenapa Aidan tiba-tiba memilih pariwisata, padahal dari kecil pengin menjadi arsitek? Kenapa ia enggak mau terbuka tentang kehidupan cintanya? Kalau dipikir-pikir, argumennya lemah. Masa hanya karena ia ingin fokus belajar, cinta dan cewek enggak boleh disebut-sebut? Anehnya, aku percaya saja waktu itu. Sejak lulus SMA, kami masih sering berkumpul. Semua tampak baik-baik saja. Tapi di balik itu, siapa yang tahu? Lalu aku semakin marah karena jadi meragukannya. Aku yang harusnya membela Aidan!"

"Kamu sedang membelanya. Itu pasti karena kamu percaya dari lubuk hati."

Kei mengangguk. "Aidan bersih, enggak ada alasan untuk bunuh diri."

"Nah, kamu bilang begitu tanpa ragu. Pegang saja itu."

Ia terdiam beberapa saat. Lalu mengangguk dan tersenyum. "Terima kasih, Rhe."

"Aku yang harusnya berterima kasih. Kamu mau menemuiku. Means a lot to me."

Kei mengangguk. Sunyi menyergap tiba-tiba. Lalu, "Lima B."

"Apaan lima B?"

"Lima hal terpenting buat Aidan. Bunda, Belajar, Basket, Buddies, dan Building. Lima hal itu bisa menyingkat latar belakang Aidan, prinsipnya, kegiatannya, hingga cita-citanya. Aidan putra tunggal. Bunda Dhias single parent sejak Aidan masih di kandungan sampai sekarang. Hidupnya bisa dibilang hanya untuk Aidan. Sebaliknya begitu juga. Kamu bisa bayangkan gimana keadaan Bunda ditinggal Aidan dengan cara seperti itu ...."

Aku mengangguk. Beberapa kali melihat wanita cantik itu datang ke sekolah saat pembagian rapor. Terakhir waktu Aidan wisuda. Penampilannya selalu sederhana dengan senyum kepuasaan seolah sudah memiliki segalanya.

"Besok aku ke Jakarta untuk menemui Bunda Dhias. Aku ingin memintanya agar terus mencari kebenaran. Sejak awal, Bunda tidak menerima begitu saja kematian Aidan. Gigih memperjuangkan keadilan. Dua minggu lalu, tiba-tiba saja ia meminta polisi menutup kasus. Alasannya, ia ingin melindungi Aidan dari pemberitaan dan spekulasi media. Biarkan Aidan beristirahat dengan tenang, begitu kata Bunda. Aku mengerti, tapi tidak sepenuhnya bisa menerima. Kalau yang dikhawatirkannya adalah pemberitaan media, Bunda bisa meminta polisi bekerja secara diam-diam, atau bahkan menyewa penyelidik swasta."

Aku mengangguk. Merasa bersalah dengan situasi di kantor polisi. Awak media nyaris kemping di sana. Sulit merahasiakan suatu kasus yang terjadi di tempat umum. Masyarakat berhak tahu, demi keamanan dan pembelajaran, begitu alasan mereka. Kata Tante Fang, hanya kasus-kasus high profile yang bisa disembunyikan dari media, itu pun tidak bisa lama-lama.

"Aku percaya ada jalan lain! Salah satunya, kamu. Tuhan mengirim kamu untuk membantu." Tiba-tiba Kei menunjuk tangan kananku. "Aku masih menebak-nebak gimana kamu akan berperan. Aku yakin, bukan sekadar bicara dengan tantemu dan atasannya."

"Eh?"

Tapi Kei sudah beralih topik, sementara aku tertegun-tegun dengan ekspektasinya. Ia melanjutkan ceritanya tentang Aidan. "Belajar dan Basket, semua orang di Darmawangsa tahu totalitas Aidan untuk dua hal itu. Kelas 5 SD, Aidan mulai tertarik basket. Kelas 6, dengan badannya yang jangkung, dia malah bergabung dengan team basket SMP. Kamu ingat, kehebohan yang dia buat waktu pertandingan persahabatan dengan SMP sebelah?"

Aku menggeleng. "Aku baru sekolah di sini mulai SMA."

"Oh, oke. Kapan-kapan, aku ceritakan masa-masa SD dan SMP." Kei melanjutkan dengan buddies-nya Aidan. Yang paling awet dan istimewa adalah Kei sendiri dan River. "Banyak orang meramalkan kami bertiga bakal terpecah belah oleh urusan cewek dan cinta. Enggak ada yang percaya persahabatan dua cowok bakal langeng kalau ada satu cewek di antara mereka. Berbagai gosip merebak. Faktanya, kami bertiga baik-baik saja. Karena Aidan melakukan apa pun untuk menjaga persahabatan kami. Aku dan River tinggal mengikuti sikapnya."

Baik-baik saja? Aku mengamati wajah Kei dari samping. Pipinya bersemu merah. Kei menyukai River, diam-diam. River menyukai Aidan, sangat kentara. Aidan sendiri? Entahlah. Selalu bersama salah satu atau keduanya dengan sikap nyaman. Kalau memendam perasaan dianggap baik-baik saja, maka ketiganya memang baik-baik saja.

"Building," sambung Kei. "Sejak kecil Aidan tertarik dengan arsitektur. Ia suka menggambar bangunan, bermain dengan building blocks dan 3D puzzle, memotret gedung-gedung, belakangan bahkan membuat sketsa dan desain bangunan."

"Tapi ia masuk Sekolah Tinggi Pariwisata."

Kei mengangguk. "Kami bahkan belum sempat bicara soal itu. Masing-masing sibuk dengan ujian SMA, lalu ujian masuk perguruan tinggi, dan banyak lagi kesibukan lainnya. Aku selalu merasa akan ada kesempatan yang tepat untuk bicara dengan Aidan. Nyatanya, waktu seakan terbang, dan aku ditinggalkan di sini ...."

Aku menyentuh lengannya. Penyesalan dan rasa bersalah. Frustrasi. Membaur dengan penggalan kegiatan yang kutangkap. Kei menggunting-gunting berita koran. Mencetak liputan online. Mengumpulkannya dalam map biru. Menambahkan beberapa foto Aidan. Dua lembar tiket konser yang tidak terpakai. Map itu dipeluknya. Lalu tangisnya kudengar nyata. Aku kembali ke saat ini. Mengganti tangan kanan dengan tangan kiri untuk menggenggam jemarinya.

Hanya beberapa saat. Cowok itu buru-buru mengusap mata. Memandangku dengan senyum tipis. "Maaf, Rhe ...." Suaranya tersekat.

Aku hanya mengangguk. Menunjukkan emosi dan tangis di depan cewek yang baru ditemui ... Kei membuatku meleleh. Akan kutemukan kebenaran tentang Aidan. Bukan hanya demi Aidan, tapi juga untuk membebaskan Kei dari penyesalan.

Dan hujan memilih waktu yang tepat untuk jatuh, tidak deras, tapi lama-lama bisa bikin basah kuyup. Atap yang menaungi bangku pun tidak mampu melindungi kami dari percikan air yang terbawa angin. Cuaca pertengahan Desember yang dingin menjadi lebih menusuk sekarang. Sebelum aku tahu apa yang dilakukannya, Kei sudah menangkupkan jaketnya ke bahuku. Menahan dengan tangannya sampai aku mengambil alih.

Jaket itu penuh memori, ditumpahkan ke dalam benakku tanpa jeda, tanpa kesempatan untuk mencerna dan menarik napas. Aku gelagapan. Tanganku otomatis menjauh, menghindari kontak. Aku antibaju second. Ingat?

"Hei, pegangi yang benar, atau pakai saja sekalian!" Kei kembali menahan jaketnya di bahuku. Bahkan meraihku ke dekatnya.

Aku tersentak. Belum pernah ada yang memelukku seperti ini. Reaksiku adalah meloloskan diri, dan lari menembus gerimis.

"Rhea!" Kei dengan mudah memotong jalanku. Tentu saja, strategis tim basket! "Jangan lewat benteng lagi, licin kalau hujan. Dari gerbang utama saja."

Kei menudungkan jaket ke kepalaku. Lalu kami berlari di sepanjang jalan utama. Di pos sekuriti, dua satpam yang bertugas memarahi kami. Sudah tahu kan, sekolah ditutup pukul 20.00? Apa tidak dengar sirine peringatan yang dibunyikan tiga kali dari pukul 19.30? Untung kalian sudah di luar gedung, bagaimana kalau terkunci di ruangan? Siapa yang akan bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa pada siswa yang terperangkap di dalam? Tapi setelah mencatat nama kami, akhirnya mereka membukakan pintu kecil di samping pagar utama.

Warung Cak Kosim sudah tutup. Mobil Kei terparkir sendirian di halaman tanpa pagar. Kei membuka pintu mobil dengan remote. "Masuklah!" serunya, melihat aku hanya berdiri. "Kita belum selesai bicara."

Pukul 21.50. Aku mempertimbangkannya. Ini kesempatan terakhir untuk malam ini. Aku sadar, misi mencari informasi tentang Aidan telah terganggu karena sosok Kei bukan lagi sekadar objek pembawa informasi. Aku harus bisa mengendalikan diri dan fokus pada apa yang kuperlukan. Sikap Kei padaku tidak relevan.

Aku masuk ke mobil. Mulai dengan membaca jaket Kei. Memilah-milah kenangan yang berkelebatan. Adakah Aidan? Biasanya cowok bersahabat saling pinjam jaket, bukan? Wangi maskulin malah mencuat ke permukaan. Parfum Woody Oriental for Men. Tidak ada Aidan. Ini jaket kesukaan Kei, yang belum lama dimiliki. Hadiah ulang tahun ke-19 pada 4 Desember lalu dari adiknya. Saat kulihat Jesara memeluk Kei, tanpa sadar kubawa jaket itu ke dadaku. Hangat.

Saat itulah informasi baru menerjang. Ada orang lain pernah memegangnya. Lelaki berpakaian serba hitam, dengan wajah tertutup hoodie. Jaket itu segera diletakkan lagi karena terdengar suara-suara. Orang itu kemudian bergegas pergi. Kejadiannya di ruangan kelas, di kampus. Sikap orang itu mencurigakan, tapi kalaupun berniat mencuri jaket, ia gagal karena pemiliknya keburu datang.

Tidak ada Aidan di jaketnya. Apa boleh buat. "Kei, bolehkah aku minta satu saja benda peninggalan Aidan?"

Mata Kei melebar. Senyumnya merekah. "Tentu saja. Kamu pasti memerlukannya untuk-"

"Untuk kenang-kenangan." Aku menukas cepat. "Tapi, jangan foto. Aku sudah punya banyak foto Aidan yang dishare di intranet."

Kei tertawa. "Aku akan memberimu lebih dari satu. Dengan syarat."

"Eh?"

"Syaratnya, kamu jujur sama aku. Kamu pakai sarung tangan bukan tanpa alasan. Kamu punya bakat tertentu. Dengan tanganmu itu, kamu bisa mencari bukti untuk membersihkan nama Aidan. Kamu enggak perlu menjelaskan detail, bilang saja benar atau enggak." Kei memandangku lekat. Menunggu.

Aku menghindari matanya. Menyembunyikan tangan telanjangku di dalam saku hoodie. Jantungku berdegup terlalu kencang sampai terasa nyeri. Tekad Kei, dan betapa ia mengandalkan aku, justru membuatku takut. Bagaimana kalau aku gagal?

Kudengar ia menghela napas. "Rhea, di dalam dasbor di depanmu, ada kunci apartemen Aidan. Bunda Dhias meminta aku mengurus apartemennya sejak Aidan pergi. Polisi sudah pernah memeriksa tempat itu, dan tidak menemukan apa pun. Tapi kamu bisa lihat apa yang enggak mereka lihat. Bukankah begitu? Jadi, tolong, ambil kunci itu, dan lakukan apa yang harus kamu lakukan."

Продолжить чтение

Вам также понравится

405K 58.3K 100
Mau nyinyirin pengguna wattpad, tapi gua juga pengguna wattpad. Hmmm.
sweet but fierce (REVISI) Dev

Детектив / Триллер

1M 63.4K 64
[WAJIB FOLLOW TERLEBIH DAHULU SEBELUM MEMBACA] ~ADA INFO TAMBAHAN NIH. KALAU KALIAN NGERASA SEPANJANG CERITA ADA YANG BERANTAKAN, WAJAR AJA YA. KAREN...
26.1K 2.4K 29
Semalam yang membekas di ingatan😋 #POOHPAVEL ONLY OKE💋
58K 8.6K 20
Bukan maksudku ingin merebut kamu kembali dari gadis itu. Inginku hanya kamu. Kamu, untuk menyampaikan padanya, bahwa bukan hanya dia yang mencintaim...