SAUDADE (Fly Me High) - BACA...

By SophieAntoni

168K 16.3K 703

Kisah tentang dua orang yang masih punya harapan untuk cinta More

Intro
PROLOG
CAST-SAUDADE
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41 (EPILOG)

20

3.3K 376 10
By SophieAntoni

Warning: Typo


Erick Leitner

Air bening di kolam renang ini berkilau tertimpa cahaya matahari sore yang mengintip melalui sela-sela barisan daun kelapa yang tumbuh berjejer memagari area kolam dan restoran. Barisan sun lounger di sekitar kolam hingga menuju ke pantai hampir dipenuhi tubuh-tubuh pengunjung berpakaian minim dengan minuman-minuman berbagai warna di samping mereka. Suara musik dari meja DJ mengisi udara di sekitarnya dengan irama yang dinamis.

Aku menyandarkan tubuh di salah satu lounger dengan mata yang tak lepas dari gadis kecil yang sedang tertawa gembira di atas swan float ditemani ayahnya. Gadis kecil itu, Gia, melambai ke arahku dan berteriak memintaku untuk menemaninya.

Aku melepaskan kaca mata hitamku dan meletakkannya di dekat gelas minumanku sambil tak lupa memberikan senyumku pada perempuan kaukasian yang menghuni lounger di sebelahku, dari gerak tubuhnya aku bisa melihat ketertarikannya padaku namun aku bukanlah Erick beberapa tahun lalu. Aku hanya mengangguk kecil padanya sambil berlalu di depannya dan menuju gadis pujaanku yang sedang menantiku di kolam.

"Lo temenin Gia." Alex, sepupuku, berpesan sebelum beranjak keluar dari kolam. Gia, gadis kecil berusia hampir empat tahun itu menjerit kesenangan saat aku mendorong swan floatnya dan membuatnya meluncur di atas air. Aku selalu senang menghabiskan waktu bersama keponakanku ini bukan karena aku dulu pernah menyukai ibunya, well don't talk about it, itu masa lalu. Aku hanya selalu merasa Gia seperti anakku sendiri, I adore this little girl.

"Om Elik nanti temanin Gia lagi ke rumah Aidan. I already miss Bryan."

"Who's Bryan?" aku menekuk kedua alisku saat bibir mungil gadis itu menyebut nama laki-laki yang tidak pernah kudengar. Alex bahkan menyebutku berlebihan saat aku mengatakan sudah cemburu pada Aidan, tetangga sekaligus satu-satunya teman Gia, yang hampir tiap saat berada di rumah Alex dan Dara.

"Aidan's puppy dog." Gia berkata dengan setengah merengut.

"Ah...." Aku mengangguk sambil menertawai kebodohanku yang bahkan tidak mengingat nama anjing kecil Aidan yang sudah menyita perhatian Gia dan mengisi hampir seluruh ruang di otaknya. Sejak kedatanganku tadi pagi aku sudah tiga kali digeret Gia menuju rumah Aidan untuk menengok si Bryan.

"Gia, when you are with a boy, please don't talk about another boy?"

"Which boy?" Gia bertanya padaku dengan sedikit memiringkan kepalanya dan membuatku tidak tahan untuk tidak mengelus rambut coklat ikalnya yang setengah basah.

"Om Erick is a boy." Aku menunjuk dadaku.

"No, Om Erick is not a boy. You old." Gia memajukan bibirnya sebagai tanda ia tidak setuju dengan pernyataanku.

"Oh you rude, girl." Aku menyipitkan mataku memandangnya yang langsung diresponsnya dengan tawanya. Ia memegang kedua pipiku dengan kedua tangan mungilnya.

"Okey Om Erick is an old boy. So you love Bryan more than me?" ia kembali tertawa saat ia berhasil membuatku susah bicara karena kedua tangan mungilnya itu sedang menekan kedua pipiku kuat-kuat hingga membuat bentuk mulutku menjadi aneh. Ia terus tertawa melihat ekspresi wajahku hasil karya tangannya.

"But Bryan is not a boy. He is a puppy dog." Dia berkata masih dengan sisa tawanya.

"So you love Bryan the puppy dog more than me?" aku melepaskan kedua tangannya dan memandang matanya sambil menahan senyum.

"No....I love Om Erick and I love Bryan too."

"No...you should choose, baby girl. Me or Bryan?" Kal ini aku yang menangkup kedua pipinya dengan tanganku. Bayangan sinar matahari sore yang keemasan membias di wajah mungilnya sehingga menonjolkan bola mata berwarna hazelnya yang sangat cantik.

"You want me to choose between you and a dog?" Gia menggaruk ujung hidungnya dengan wajah bingung dan membuatku meringis saat mendengar pernyataan yang cukup telak ini. Orang dewasa seringnya terlihat bodoh saat berhadapan dengan kepolosan anak-anak. Or Is it just me?

"Oke you win, smart girl." Aku mengangkat kedua tanganku dan mengakui dalam hati kalau aku memang tidak bisa berdebat dengannya. Aku dan Gia menghabiskan waktu di kolam renang hingga menjelang matahari terbenam.

Kami sedang berada di Tropiz Beach Club, tempat usaha Alex, sepupuku, yang berlokasi di Seminyak. Aku sedang mengambil jatah cuti 5 hari dari 21 hari hakku dalam setahun untuk kuhabiskan jauh dari Jakarta. Aku tidak mengatakan bahwa aku sedang patah hati saat ini, setelah aku kembali lagi berada di sutuasi yang sama seperti empat tahun lalu, ketika aku menyatakan rasa sukaku pada seorang perempuan di saat perempuan itu menyukai laki-laki lain. Jujur saja situasi ini sangat mengesalkanku namun aku harus merelakannya bukan?

Aku menenggak air mineral dari botol sambil memilih menu yang akan kupesan untuk makan malam. Dari jauh aku melihat Dara sedang menggandeng Gia yang sudah berganti baju menuju ke mejaku.

"Alex?" tanyaku.

"Lagi telepon." Dara duduk di hadapanku sedang Gia berlari kecil ke arahku dan langsung naik ke pangkuanku.

"Lo kenapa Rick?" Dara tiba-tiba bertanya.

"Kenapa kenapa gimana?"

"Lo tiba-tiba ngambil cuti dan ke Bali berarti ada sesuatu yang terjadi." Ia menyipit penuh selidik memandangku. Aku tertawa mendengar analisa Dara yang kurasa sudah begitu mengenalku. Aku berdehem kecil dan menurunkan Gia dari pangkuanku karena tubuh kecilnya sudah mulai tidak betah dalam pelukanku.

"There is a girl." Aku memulai katak-kataku tanpa berani memandang Dara karena aku merasa seperti bukan diriku saat ini.

"Oh wow...there is a girl? Okay." Dara meresponku dengan cukup antuasias dengan nada setengah menggodaku. Aku meliriknya yang saat ini sedang tersenyum.

"Jujur aja aku sama sekali nggak pernah berpikir aku berakhir menyukainya. Semuanya berawal dari kamu, Ra." Di depanku Dara tampak sedikit terkejut. Tubuhnya bergerak maju dan memandangku lekat-lekat.

"Aku?"

Aku mengangguk dan mulai menceritakan tentang awal pertemuanku dengan Ava hampir empat tahun lalu yang sama sekali tidak tersimpan dalam memoriku, mungkin juga memori Ava, mengingat dia hanya tau namaku dari catatan singkat Dara dalam buku hadiahnya yang Ava temukan saat itu.

Aku bisa melihat kelopak mata Dara melebar tak percaya saat mendengar ceritaku.

"Tiga tahun berlalu aku dan nggak sengaja bertemu seorang perempuan dalam penerbanganku dari Singapura. Perempuan yang sangat cantik." Aku sedikit menekan kalimat ini dan membuat Dara paham dengan maksudku. "Aku sedikit memberikan bantuanku padanya saat itu dan dia menganggapku seorang malaikat." Aku tertawa.

"Dia bercerita tentang keluarganya, tentang adiknya yang juga selalu ia anggap malaikat dan kamu tahu siapa dia?"

"Ava?" jawab Dara cepat tanpa perlu mendapat petunjuk lebih lanjut dariku.

Aku mengangguk dan Dara hanya bisa mengucap 'wow'. Aku pun menceritakan tentang Ava dan posisinya dalam keluarganya. Dan tentu saja aku menceritakan tentang pertemuan kami yang dibilang sengaja namun seperti tidak disengaja.

"Is it real?" Dara mengerutkan keningnya karena masih tak percaya dengan segala kebetulan yang terjadi di antara aku dan Ava. "Kok kayak cerita film?" Dara kembali berdecak namun ia tak bisa menyembunyikan wajah takjubnya.

Aku hanya mengedikan kedua bahuku menjawab tanya Dara.

"Jadi kamu menyukainya karena kebetulan-kebetulan ini?"

"Aku mengira begitu awalnya tapi setiap kali aku melihatnya entahlah ada sesuatu yang...." Aku membuang napas karena merasa begitu sulit mencari padanan kata dari apa yang kurasakan pada Ava setiap kali aku bersamanya. "Seperti ketika aku pertama kali menyukaimu. Seperti itu, Ra."

Dara hanya bisa mengulum senyum mendengar kata-kataku.

"Lalu apa alasan kamu terbang ke Bali dan bukannya memanfaatkan waktu cutimu untuk bersama Ava?"

Aku tidak menjawab perrtanya Dara melainkan melambai pada seorang waiter untuk memesan minuman. Aku butuh sesuatu yang lebih keras dari air mineral utuk menjawab pertanyaan Dara.

"It's complicated." Kataku singkat. "Dia menyukai orang lain."

"Oh...shoot!" Dara berkata refleks dan membuatku tergelak. Aku tahu dia pasti tidak menyangka kalau aku kembali berada dalam posisi yang sama seperti empat tahun lalu. "Maaf, Rick." Sesalnya dan membuatku menggeleng seakan ingin mengatakan I'm fine.

"Jadi ceritanya kamu patah hati nih..."

"Nggak juga." Kataku tanpa memandang Dara karena pandanganku tiba-tiba tersita pada sesuatu yang aku temukan di layar ponselku. Oke sebelumnya aku akan menceritakan sebuah kisah lucu dulu. Jadi sejak siang itu saat aku tahu bahwa laki-laki yang disukai Ava tiba-tiba muncul di berita gosip televisi dan dikaitkan dengan salah satu perempuan terkenal di Negara ini bernama Ayana, aku pun melakukan satu hal yang sama sekali bukanlah diriku. Beberapa hari lalu aku menelepon Astrid, anak Om Vinsen, untk mencari tahu bagaimana caranya agar aku terus bisa mengupdate berita para artis tanpa harus menunggunya muncul di televisi. Sepupu jauhku itu merespon pertanyaanku dengan tawanya yang memekakakan telinga. Tentu saja ia heran dengan permintaanku, well jangankan dia aku juga heran dengan diriku sendiri. Namun pada akhirnya ia memberikan kepadaku beberapa info, salah satunya aku bisa mengupdatenya melalui salah akun gosip di instagram. Bukan hal yang sulit karena aku punya akun instagram walaupun jarang sekali kubuka.

"Aku hanya ingin liburan. Refreshing. Dan..." aku menahan kata-kataku karena aku sendiri belum yakin dengan niat yang tiba-tiba terbersit di otakku. "aku rasa aku punya kesempatan itu." Aku mendorong ponselku ke hadapan Dara.

Dara menaikan kedua alisnya heran namun ia tetap menarik ponsel itu dan membaca apa yang tertulis di sana. Beberapa detik aku menunggu responsnya, dia mengangkat kepalanya dan memandangku dengan raut tanya yang besar.

"Laki-laki itu. Dia yang disukai Ava." Jawabku. "Dan sepertinya dia juga menyukai Ava tapi kamu lihat berita itu kan?" aku menggerakan daguku ke arah ponsel yang sedang dipegang Dara. Salah satu akun gosip instagram yang akhirnya aku ikuti sedang meng-update sebuah berita dengan sebuah foto seorang laki-laki yang yang mencoba membuat wajahnya tidak tertangkap kamera namun sepertinya tidak berhasil. Aku bahkan ingin tertawa membaca caption berita itu yang ditulis dengan gaya hiperbola yang mengatakan bahwa laki-laki itu adalah cinta dalam hidup Ayana yang membuat sang penyanyi patah hati.

"Lalu maksud kamu?" Dara mengangkat wajahnya menatapku sebentar.

"Dia akan menyakiti Ava."

"Dan kamu ingin menjadi knight in shining armor-nya?" Dara memandangku lagi dan kali ini aku butuh waktu beberapa detik untuk menjawabnya.

"Kenapa nggak?"

Dara tersenyum kecil kemudian mengembalikan ponselku.

"Kalian punya cerita yang istimewa, Rick. Pertemuan tanpa sengaja kalian dan segala hal yang tidak sengaja menghubungkan kalian, that's amazing." Dara berhenti sebentar untuk memberikan Gia minum setelah gadis kecil itu lelah mengelilingi seisi restoran. "Aku percaya kadang sebuah kebetulan nggak hanya berakhir menjadi sebuah kebetulan semata."

"Lalu maksudmu ini seperti pertanda begitu?" aku masih belum paham dengan maksud Dara. "untuk menjadi seperti yang kamu bilang a kninght in shining armor-nya?"

"Ya." Dara mengangguk.

***

Ava Argani

Menunggu adalah pekerjaan yang paling tidak kusukai. Aku sudah menandaskan jus alpukatku sejak sepuluh menit yang lalu dan mataku sudah terasa sembab karena terus menatap layar ponsel mencari-cari dan membaca hampir semua artikel tentang pendidikan dokter spesialis, namun Tania belum juga menampakkan batang hidungnya. Mataku sudah lelah memindai pintu masuk kafe setiap lima menit sekali.

Tanganku bergerak di atas ponsel untuk melihat foto-foto kota Magderburg, kota yang akan menjadi tujuanku seandainya aku beruntung, dan dengan begitu saja jantungku bergetar pelan ketika kembali mengingat Erick, rasa sukanya padaku dan segala kebetulan yang terjadi di antara kami. Aku tidak pernah menyangka bahwa laki-laki ini pada akhirnya akan menyita sebagian pikiranku.

"Hi, sista. Sorry gue telat." Aku mengangkat kepalaku dan mendapati Tania sudah menarik kursi dan duduk di depanku. "Alasan klasik...macet!" sambungnya lagi. Ia langsung melambaikan tangan memanggil waiter dan menyebutkan pesanannya tanpa melihat buku menu. Tidak heran karena ini kafe langganan Tania dan ia punya makanan dan minuman favorit di sini. Sedangkan aku aku perlu membaca kembali barisan menu untuk memutuskan makanan yang akan aku pesan.

"Udah jadi daftar les Jermannya?"

"Udah." Jawabku.

"Jadi lo memang berniat sekolah lagi? Nggak bosan ya?" Tania menampakkan wajah konyol disertai tawanya.

"Aku nggak mau sekadar jadi dokter umum."

"Good for you. Gue bangga sama lo Va." Tania mengancungkan jarinya di depan wajahku."Papa juga pasti bangga." Dia tersenyum padaku dengan sedikit mengibaskan rambut sepunggungnya yang berwarna coklat berkilau. Obrolan makan siang kami akhirnya beralih pada Bang Aldo, topik yang memang sedang ingin Tania bahas denganku siang ini.

"Bininya bilang kalau dia barusan ditipu. Katanya dia invest di bisnis temannya tapi ya begitu deh...." Tania berdesis dan menggeleng. "Dia sekarang suka marah, rumah jadi nggak tenang, anak-anak ketakutan. Tapi dia nggak mau datang ke Mama."

Jujur aku sebenarnya tidak terlalu mengenal Bang Aldo karena dia tidak pernah memberi kesempatan padaku untuk dekat dengannya. Ia selalu memandangku sebagai musuh sejak kecil. Kami berbicara hanya ketika dia sedang memarahiku, namun bagaimanapun aku tetap menganggapnya kakak karena ada darah yang sama yang mengalir di tubuh kami berdua. Seperti dengan Mama, aku juga berharap suaru hari kami bisa bicara layaknya kakak dan adik.

"Gue tahu gue nggak bisa minta pendapat apapun dari lo, Va. Gue hanya ingin berbagi karena bagaimanapun kita keluarga."

"Aku tahu Kak."

Kafe mulai penuh menjelang makan siang. Makanan pesanan kami belum juga datang dan obrolan kami mulai merambah ke cerita konyol Tania saat memulai pekerjaannya di kantor Mama sebagai akunting dan sekaligus asisten Mama.

"Maaf.." seseorang perempuan menghampiri dan menyela suara tawa yang memenuhi meja kami. Aku perlu mendongak untuk melihatnya. "Tania kan?" perempuan itu melihat ke arah Tania.

"Iya."

"Saya, Michelle. Masih ingat saya?" Aku melihat Tania berpikir sebentar.

"Ah...iya." Tania mengangguk dan tersenyum. "Apa kabar?"

"Umm...maaf saya nggak tahu caranya berbasa basi. Kamu dan Erick pacaran sekarang?" aku perlu memajukan tubuhku sedikit dan melihat sekeliling kami karena aku bisa membaca dari nada suara perempuan ini kalau ia menghampiri kami tidak dengan misi persahabatan. Aku melihat senyum di wajah Tania perlahan memudar.

"Erick?"

"Ya. Kalian pacaran?" dia bertanya sekali lagi dan membuat wajah Tania berkerut kecil menampakkan rasa herannya.

"Maaf...gue rasa itu bukan urusan lo deh." Tania menjawab dengan gayanya karena sepertinya ia sudah kehilangan impresi terhadap perempuan yang saat ini memandangnya cukup intens.

Aku lihat perempuan itu berdecak kecil dan sedikit tersenyum sinis. Ada tiga perempuan lain di meja seberang yang saat ini melihat ke arah kami dan aku rasa mereka adalah teman-temannya.

"Oke fine. Lo boleh ambil dia. Cause at the end of the day, he will know who you really are." Dia mengakhiri kata-katanya dengan senyum yang masih sinis kemudian berbalik menjauhi meja kami.

"Siapa sih kak?"

"Hanya perempuan yang tergila-gila pada Erick." Aku masih bisa melihat rasa kesal yang tergambar jelas di wajah Tania. Ia bahkan mendorong piringnya seidkit menjauh yang kurasa dia sedang kehilangan selera makannya. Aku kembali membuang pandanganku ke arah meja seberang yang dihuni oleh perempuan tadi bersama teman-temannya. Dan satu hal aku bisa menyimpulkan bahwa Erick memang dikelilingi perempuan-perempuan sejenis mereka. Aku mengehela napas dalam karena kepalaku tiba-tiba terasa berdenyut.

"Sekarang gue tahu kenapa Erick nggak betah sama dia." Tania memainkan garpunya di atas steaknya tanpa berniat memakannya.

"Mereka pacaran?" tanyaku hati-hati.

"Nggak. She wish." Tania tertawa senang dan menarik piringnya lebih dekat seakan-akan ia baru saja menemukan kembali selera makannya. "Aku harus berterimakasih kepada siapapun perempuan yang sekarang ini dekat dengan Erick."

"Kenapa?" jantungku berdebar pelan.

"Karena sudah jelas kan dia nggak pantas buat Erick. Dia nggak punya kelas!" Tania berkata dengan emosi. "Lihat aja caranya datangin gue dan bertanya tentang laki-laki di tempat seperti ini. Gue memang bukan perempuan baik-baik, Va. Tapi gue tahu caranya bersikap." Kata Tania sedikit berapi-api dan aku sangat setuju dengan apa yang ia sampaikan. "Dan sampai detik ini gue sadar kalau gue bertepuk sebelah tangan sama Erick tapi gue nggak memaksa. I am fine! Masih banyak ikan di laut kan?" ia terlihat sedang mencoba menghibir dirinya sendiri.

Aku menyedot lemon squash-ku dengan kekuatan penuh hingga berhasil menandaskannya. Aku tidak bisa menjelaskan perasaanku saat ini kala mendengar kata-kata Tania. Apakah aku harus lega?

Continue Reading

You'll Also Like

7.4K 1K 29
[Slow update] Fast update only on KaryaKarsa - Kata mereka hidup Sadam terlalu kaku. Sejak mendapat luka dari kekasih masa lalu, rasa-rasanya ia engg...
79.9K 7.5K 37
"Apa yang akan kau lakukan jika semua orang di sekitarmu bersandiwara? Dan apa yang akan kau lakukan jika semua orang di sekitarmu menyembunyikan hal...
2.1K 122 20
Hidup Raka sempurna. Mahasiswa S2, wartawan surat kabar lokal, serta memiliki pacar cantik dan pengertian. Hingga suatu hari, pacarnya menyebut seder...
3.9K 349 55
Ketika kebohongan yang kembali mencuat, ia seperti sebuah heroin.. mengikat dan membunuh. Namun cinta, ia memberi segalanya baik canda atau tangis. ...