Sun Shine of the Darkness

By ByunRa93

2.6K 261 72

myungsoo birthday presents from byunra93 More

Sun Shine of the Darkness

2.6K 261 72
By ByunRa93

ByunRa93 Presents..
_Sun Shine of the Darkness_
(a gift for the Myungsoo’s birthday from ByunRa93)

Tawa terdengar merdu dari bibir wanita itu. Senyumnya terpatri dengan indah dan gerak tubuhnya seolah tengah menari di tengah hamparan rumput yang luas. Dengan begitu lembut, ia melemparkan sebuah bola ke arah putranya yang berlarian kecil di halaman hijau rumah besar kediaman keluarga Kim. Rambut coklatnya berterbangan terbawa angin, namun itu justru menonjolkan sisi cantik dirinya yang hingga saat ini masih menjadi sebuah magnet yang menarik perhatian Myungsoo, suaminya.
“David-ah, lemparkan bolanya pada eomma..” teriak wanita itu mengulurkan tangannya pada putra kecilnya yang baru berusia lima tahun.
“Andwee..” sambil berlari david memegang bola itu erat di tangannya. Tapi Myungsoo segera mengejar putra kecilnya itu. Ia menggendong tubuh david dan memutar-mutar tubuh putranya di udara. Membuat david tertawa senang. Bola di tangan anak itu terlepas, menggeinding bebas di halaman rumah. Setelah beberapa kali putaran, ia menurunkan david di tanah dan mencium kedua pipi anak laki-laki itu penuh cinta.
“Ah, oppa hentikan. Kau membuat david ku pusing..” Hyunra memeluk putra tercintanya dan melindunginya dari tangan Myungsoo. David tersenyum dan mencium pipi ibunya. David kecil adalah anak yang sangat aktif. Ia melepaskan diri dari ibunya dan berlari mengejar bolanya yang menggelinding semakin jauh. Bola itu keluar dari gerbang halaman kediaman keluarga Kim, menuju ke arah jalan raya. David terus mengejarnya tanpa peduli dirinya kini tengah berjalan keluar dari gerbang. Saat itu Myungsoo sedang berjongkok, membenarkan tali sepatunya yang terlepas, sedang Hyunra baru saja akan berdiri dari atas rumput untuk menyusul david. Saat Hyunra berbalik dan mencari keberadaan putranya, ia melihat david sudah berjongkok di jalan mengambil bola berwarna biru, miliknya. Hyunra tersenyum, memandang betapa lucunya putranya itu. Perlahan, Hyunra mulai berjalan mendekati david. Namun sungguh, tadir adalah sesuatu yang sama sekali tak dapat di tebak. Saat itu Hyunra melihat sebuah mobil melaju dengan sangat kencang dan tampak meliuk-liuk di jalanan. Mata Hyunra membulat, menyadari betapa dekat mobil itu dengan tubuh david yang masih berjongkok di jalan itu.
“Andweeee...!!!” wanita itu menjerit. Ia berlari secepat yang ia bisa untuk dapat menjangkau tubuh putranya. Tak memikirkan apapun lagi, Hyunra segera menyambar tubuh david begitu ia bisa menjangkaunya dan Hyunra melemparkan tubuh mungil itu ke pinggiran jalan. Sedang dirinya tak punya waktu lagi untuk berlari. Sesaat setelah Hyunra berhasil melempar tubuh david, mobil itu menghantam tubuh wanita itu dengan sangat keras. Hyunra terpental, kepala wanita itu membentur kerasnya aspal jalan dan mengeluarkan begitu banyak darah.

“ANDWEE..!!” Myungsoo terbangun dari tidurnya. Nafas pria itu terdengar memburu, keringat dingin terus mengalir di dahinya. Bahkan detak jantung yang terus berpacu kencang membuat suasana gelap di kamar itu terasa kian mencekiknya. Myungsoo mengusap wajahnya sembari mengatur nafasnya yang masih terhenti. Mimpi itu kembali menghantuinya. Mimpi yang terus datang di setiap malamnya selama hampir tiga tahun terakhir. Tak seharipun ia bisa melupakan kenangan buruk yang tengah merenggut kebahagiaan keluarga kecilnya itu. Biar bagaimanapun, kejadian tiga tahun silam telah membuat perubahan drastis dalam hidupnya. Bukan hanya kehilangan seorang istri, Myungsoo juga harus menghadapi kenyataan lain bahwa kejadian itu telah merubah kondisi putra yang sangat ia sayangi.

Myungsoo bangun dari tempat tidurnya. Ia melangkah mendekati jendela kamarnya dan membuka tirai coklat yang menutup jendela kaca besar di ruangan itu. Ia membiarkan cahaya matahari pagi menyinari ruangannya yang gelap. Seperti dirinya yang tengah berharap akan ada sebuah cahaya matahari yang akan kembali menyinari hidupnya dan membawanya dan david keluar dari kegelapan yang selama ini mengikat mereka. Myungsoo berjalan ke kamar mandi di kamarnya dan segera bersiap untuk berangkat ke kantor.

Beberapa saat setelahnya ia turun ke bawah. Di ruang makan, seperti biasa ibunya dan david sudah duduk disana menunggunya. Saat Myungsoo datang, nyonya Kim tersenyum cerah dan mulai menawarkan satu persatu makanan yang telah ia masak pada putranya. Ia mengambilkan nasi untuk Myungsoo dan david.
“David-ah, halmoni buatkan telur gulung kesukaanmu. Kau mau makan ini bukan?” ujar nyonya Kim sambil tersenyum riang di hadapan cucunya. Tapi david hanya diam tanpa memberi respon. Nyonya Kim tahu, cucu nya pasti akan begini. David, dia hampir seperti orang bisu. Selama tiga tahun terakhir anak itu tidak pernah bicara sepatah kata pun pada orang lain. Bahkan ketika ia menangis, David tak akan pernah mengeluarkan sedikitpun suara. Ia hanya diam, dan diam. Ketika ia membutuhkan bantuan nyonya Kim, David akan mendekati wanita itu dan menunjukkan apa yang dia inginkan melalui gerakan tubuhnya. Bukan berarti Myungsoo dan nyonya Kim hanya diam melihat kondisi David ini, berbagai hal telah coba mereka lakukan. Termasuk hal-hal yang di luar batas nalar. Bahkan pernah suatu hari nyonya Kim sengaja memasukkan garam di dalam susu David agar anak itu bicara dan mengatakan bahwa ada yang salah dengan minumannya. Tapi david justru tak mengatakan apapun setelah meminumnya. Ia hanya meletakkan gelasnya di tempat cuci piring dan pergi. Usia david saat ini sudah hampir menginjak sembilan tahun, dan sikapnya yang sangat penyendiri, pendiam dan tertutup membuat banyak masalah di sekolahnya. Berulang kali wali kelas memnggil Myungsoo untuk mengadukan dan mengeluhkan sikap David yang sama sekali tak mau berbicara, namun Myungsoo harus bagaimana lagi? Ia bahkan tak  bisa merubah anaknya menjadi seperti dulu. Ada sebuah ketakutan besar dalam diri David setelah Hyunra meninggal, dan itu  membuatnya berubah menjadi sosok sepeti itu.
“Jisoo-ya, buka mulutmu. Katakan aaa..” Jisoo, Kim Jisoo adalah nama Korea David. Sejak David lahir hingga usianya empat tahun Myungsoo dan Hyunra tinggal di Amerika, sehingga mereka memberi nama David pada anak itu. Tapi saat kembali ke Korea Myungsoo mendaftarkan diri David dengan nama Kim Jisoo. Walaupun pada kenyataannya nyonya Kim, dan semua orang tetap memanggilnya Kim David. Myungsoo menyuapkan sesendok nasi dengan telur gulung ke mulut david dan anak laki-laki itu hanya menguyahnya dalam diam dan ekspresinya yang sedikitpun tak pernah berubah. Ia bahkan nyaris tak pernah tertawa.

Setelah menyelesaikan sarapannya, Myungsoo bergegas pergi ke kantor. Ia membawa David bersamanya. Myungsoo akan mengantarkan David terlebih dahulu ke sekolahnya sebelum pergi ke kantor.
“Eomma, aku berangkat ke kantor..” pamit Myungsoo sambil menggandeng tangan kecil David.
“Myungsoo-ya, saat kau menjemput david nanti siang mampirlah untuk bertemu wali kelasnya. Kemarin wali kelas David menelpon. Beliau mengatakan jika akan ada guru khusus yang akan menangani David. Dia ingin membicarakannya denganmu. Tolong sempatkan untuk bertemu dengannya ne..”
“Arraseo eomma..” Myungsoo mencium pipi kanan nyonya Kim dan pergi bersama David.

***

“Ah tidak, aku terlambat..” seru seorang gadis sambil berlarian mengambil tas, sepatu dan juga mantelnya. Gadis itu duduk di meja rias kamar hotel yang ia tempati dan memoles wajahnya dengan make up tipis yang tampak natural. Park Jiyeon, ini adalah hari pertamanya di Busan. Semalam gadis itu kabur dari Seoul begitu ia mengetahui penghianatan yang di lakukan oleh Kim Jong Woon, tunangannya. Pria itu sungguh membuaat Jiyeon jengkel, bagaimana mungkin ia justru memiliki hubungan tersembunyi dengan sahabatnya sendiri. Dan sejujurnya kedatangan Jiyeon di Busan hanyalah untuk menenangkan diri. Ia berencana tinggal disana selama beberapa minggu dan membantu bibinya mengajar di salah satu sekolah dasar yang paling besar di Busan. Jiyeon memang tak memiliki background pendidikan untuk menjadi seorang guru, namun bibinya meminta Jiyeon membantu menangani anak-anak berkebutuhan khusus di sekolahnya, mengingat latar belakang Jiyeon yang bekerja sebagai psikolog di Seoul. Jiyeon cepat-cepat berlari keluar dari kamar hotelnya dan pergi menggunakan taksi untuk sampai di sekolah bibinya.

Jiyeon berdiri di depan pintu gerbang Busan Elementary school yang sudah tampak sepi. Pintu gerbang sudah di tutup, membuatnya harus berdiri di sana sambil menunggu satpam sekolah membukanya karena ia sudah menelpon bibinya beberapa saat lalu.
“Agashi, apa kau keponakan kepala sekolah Park?” tanya paman tua berpakaian satpan sekolah sambil membuka pintu gerbang.
“Ne ahjussi.” Jiyeon tersenyum ramah dan berjalan masuk begitu pintu terbuka. Ia merunduk, memberi salam pada paman satpam sekolah dan berjalan masuk mencari ruangan bibinya. Jiyeon menemukan satu ruangan besar berada di lantai pertama yang letaknya di tengah gedung. Di atas ruangan itu ada satu lebel bertuliskan ruang kepala sekolah, yang membuatnya mengetuk daun pintu coklat itu dan masuk ke dalamnya.
“Ahjumma..” sapa Jiyeon yang segera berhambur ke pelukan sang bibi manja.
“Aigo, uri Jiyeonnie..” bibi Park memeluk keponakannya, tampak begitu merindukan Jiyeon yang dulu sangat  dekat dengannya.
“Ahjumma, kau bilang membutukan bantuan ku eoh?” Jiyeon melepaskan pelukan bibinya dan duduk di sofa ruang kerja bibinya santai. Bibi Park berjalan ke sisi lain ruang kerjanya. Mengambil secangkir teh dan juga beberapa makanan kecil untuk ia hidangkan sembari berbincang dengan keponakannya itu.
“Ne. Sebenarnya, ada satu siswa di sekolah kami yang begitu menyusahkan.” Bibi Park memberikan secangkir teh pada Jiyeon dan duduk di sofa yang sama dengannya.
“Menyusahkan? Apa yang dia lakukan?” tanya Jiyeon
“Dia sama sekali tak berbicara. Awalnya kami kira dia menderita tuna wicara, dan meminta orang tuanya untuk memindahkan dia ke sekolah berkebutuhan khusus. Namun ternyata hasil pemeriksaan menunjukkan hasil yang lain. Dia dinyatakan normal. Tak ada masalah dengan pita suara ataupun yang lain. Tapi dia terus menerus diam. Selain itu dia juga selalu menarik diri dari teman-temannya. Dan baru-baru ini dia juga memukul temannya. Kami tak tahu apa yang harus kami lakukan padanya.” Terang bibi Park
“Apa dia memiliki trauma psikis?” Jiyeon mencoba untuk mencerna keadaannya.
“Sepertinya begitu. Kami sudah memanggil orang tuanya hari ini. Kau bisa bicara dengannya bukan?” tanya bibi Park yang langsung di balas dengan anggukan antusias dari Jiyeon.
“Ahjumma, boleh aku melihat anak itu? Aku ingin bicara dan melihat bagaimana keadaannya.”
“Baiklah. Ayo ku antar kau ke kelasnya.”

Jiyeon berjalan di samping bibi Park, melewati koridor-koridor di lantai satu dan pada akhirnya berhenti di depan sebuah ruang kelas bertuliskan 3-1. Bibi Park mendekat ke arah jendela ruang kelas itu dan menunjukkan telunjuknya di kaca jendela. Meminta Jiyeon menatap pada sosok seorang anak laki-laki berwajah tampan. Kulitnya putih, matanya terlihat sipit namun punya porsi yang sangat ideal, bibir tipisnya mereka merah, namun raut wajahnya tampak begitu dingin.
“neomu kyopta..” gumam Jiyeon sambil terus tersenyum dan memperhatikan david dengan sungguh-sungguh. Anak laki-laki itu memang terlihat menjauh dari sekelilingnya. Ia hanya mendengarkan ucapan gurunya dengan diam dan datar. Saat guru bertanya padanya, ia sama sekali tak menjawab. Diam dan diam. Hanya itu yang ia lakukan tanpa sedikitpun tersenyum.
Jiyeon menunggu bel istirahat berdering agar bisa mendekati david dan menatapnya dari dekat.

Begitu bel istirahat berdering, Jiyeon berjalan masuk ke kelas david. Pelan-pelan ia mendekati anak itu dan duduk di kursi yang terletak di depan tempat duduk david. Dengan senyum hangat, Jiyeon menyapa anak itu riang.
“Annyeong..” Jiyeon melambaikan tangannya di hadapan david. Namun anak itu masih tak merubah ekspresinya. Ia diam, menatap Jiyeon dan tak berniat menjawab.
“Kim David. Itu namamu bukan?” Jiyeon mencoba bertanya kali ini. Berharap david akan menjawabnya. Namun tidak. David sama sekali tak bergeming. Ia hanya menganggukkan kepalanya sekali sebagai jawaban.
“Waeyo? Kau sangat tampan..” Jiyeon membelai rambut coklat david penuh rasa sayang. Mendadak David tampak membeku sejenak. Senyuman di bibir Jiyeon, pandangan matanya yang indah dan lembutnya tangan Jiyeon, juga harum tubuh gadis itu membuat David teringat akan sesuatu.
“Eomma..” satu kata itu tiba-tiba terbersit di benak David. Matanya yang jernih membulat tak percaya. Bagaimana mungkin ia melihat wajah eommanya saat ini? Tidak, David tahu itu tak benar. Gadis itu bukanlah eommanya. David menggelengkan kepalanya, menepis bayangan itu dari benaknya.
“W-Waeyo David-ah?” tanya Jiyeon yang melihat raut wajah tertekan di wajah David. Jiyeon menyentuh pipi David lembut. Tapi anak itu justru menepisnya dan berlari keluar dari kelasnya, meninggalkan Jiyeon.

***

Jam makan siang, Jiyeon berjalan keluar dari ruang kepala sekolah dan hendak menuju kantin. Ia melewati halaman samping sekolah yang terlihat sepi. Anak-anak pasti sedang berada di ruang makan saat ini hingga sekolah terlihat lenggang. Tapi satu yang menyita perhatian Jiyeon kala itu. Di sudut taman itu, di bawah sebuah pohon maple yang menjulang tinggi, tiga orang anak laki-laki sedang bergerombol. Mereka terlihat tersenyum nakal dan salah seorang dari mereka kemudian mendorong tubuh seorang anak laki-laki lain dengan keras. Saat anak itu terjatuh, kedua temannya yang lain tertawa puas.
“Dasar anak pembawa sial!” seru salah satu dari ketiga anak laki-laki itu pada anak yang sedang terjatuh. Ia juga sempat memukul kepalanya dengan menggunakan botol plastik bekas minumnya. Melihat hal itu Jiyeon berlari mendekat. Ia langsung meraih anak laki-laki yang terjatuh dan betapa Jiyeon sangat terkejut saat mengetahui David lah yang sedang mereka bully. Kaki David terluka karena terbentur batu dan lututnya berdarah karena itu.
“Apa yang kalian lakukan eoh?” bentak Jiyeon pada ketiga siswa yang mendorong David tadi.
“Ahjumma, kau membela si pembawa sial ini? Yang benar saja..” dengus anak yang paling tinggi dari ketiga siswa itu.
“YAK! Hati-hati dengan perkataan mu. Bagaimana bisa siswa sekolah seperti kalian berbicara sekasar itu!” marah Jiyeon
“Sudahlah, ayo kita pergi. Terlalu lama bersama si pembawa sial ini akan membawa nasib buruk padamu!” ujar anak nakal itu lagi dan membawa kedua temannya pergi bersamanya.

Jiyeon menggeleng melihat kelakuan buruk anak-anak itu. Tapi yang lebih menyita perhatiannya saat ini adalah David. Anak itu terluka, lututnya berdarah, dan bukankah anak usia delapan tahun akan dengan mudah menjerit dan menangis mengadukan lukanya? Tapi David justru diam. Ia hanya memegang luka di lututnya dengan tangan kanannya dan merunduk dengan wajah datarnya. Apa anak ini tak pernah belajar bagaimana berekspresi? Satu pertanyaan itu muncul begitu saja di benak Jiyeon.
“David-ah, neo gwenchana?” tanya Jiyeon khawatir. Ia melihat luka David dan memastikan bahwa itu bukanlah luka yang serius. David tak menjawab. Ia hanya mengangguk sekali.
“Kajja, ku obati lukamu..” Jiyeon membantu david berdiri. Ia kemudian berjongkok di hadapan David dan membawa anak itu naik di atas punggungnya. Jiyeon menggendong David menuju ruang kesehatan. Selama perjalanan menuju ruang kesehatan, Jiyeon terus memperhatikan raut wajah David. Ada sedikit perubahan di wajahnya. Ekspreseinya tak lagi terlihat datar, namun saat ini ada sedikit kepedihan yang ia tunjukkan.

David melingkarkan kedua lengannya di leher Jiyeon. Ia menyandarkan dagunya di bahu Jiyeon dan menghirup aroma tubuh gadis itu dalam-dalam. Hati anak itu terkoyak saat wangi green tea menusuk hidungnya. ‘Eomma’ satu kata itu kembali terbersit di pikiran David kecil. Itu adalah wangi yang sama. Parfum favorit Hyunra. Dan tubuh Jiyeon, bagi david benar-benar terasa hangat, seperti tubuh ibunya. Mata anak itu berkaca-kaca, menyerukan betapa ia sangat merindukan ibunya. Tapi David menahan semua itu seorang diri. Ia hanya memeluk Jiyeon dengan semakin erat dan memejamkan matanya di bahu Jiyeon. Jiyeon merasakan tangan David semakin memeluknya erat. Namun gadis itu hanya membiarkan. Ia juga tak mengatakan sepatah kata pun pada David.

Jiyeon menurunkan David di tempat tidur di ruang kesehatan. Anak itu hanya duduk dengan diam, sementara Jiyeon menngambil kotak obat dan mulai membersikan luka David.
“Apa anak-anak itu selalu mengganggu mu?” tanya Jiyeon mencoba mengalihkan perhatian David agar ia tak merasakan perih saat Jiyeon menngobati lukanya. David memang tak pernah menjawab ucapan Jiyeon, tapi ia selalu memberikan respon dengan cepat. Ia mengangguk atas pertanyaan yang Jiyeon ajukan.
“Kenapa kau tak melawan? Jika kau terus diam, maka mereka akan terus mengganggu mu, David-ah..” David hanya merunduk. Saat Jiyeon meengoleskan obat di lutut David, anak itu meringis tanpa suara dan menggenggam sebelah tangan Jiyeon dengan erat.
“Sakit?” ujar Jiyeon. Dan anak laki-laki yang terlihat sangat manis itu mengangguk.
“Gwenchana David-ah, sakitnya akan segera hilang..” bujuk Jiyeon sambil membelai lembut kepala David dan memberi senyum hangat untuknya. Lagi, David merasakan kasih sayang dan kehadiran sosok ibu yang selama ini ia rindukan. David bergerak meraih leher Jiyeon dengan membungkuk dari atas tempat tidur dan memeluknya. Jiyeon membalas pelukan David, dan membelai punggung anak laki-laki itu dengan lembut. Gadis itu tersnyum senang.
“David-ah, kau sudah makan siang?” tanya Jiyeon yang di balas dengan gelengan kepala David.
“Aigo. Tunggulah disini sebentar ne. Ahjumma akan mengambilkan makanan untukmu.” Jiyeon berjalan menuju pintu ruang kesehatan. Namun ia kembali berbalik dan menghampiri David. Jiyeon memberikan ketas origami pada David.
“Kalau kau bosan menunggu kau bisa bermain dengan ini.” Jiyeon mengusap rambut David dan berjalan keluar dari ruang kesehatan untuk mengambil makan siang.

Jiyeon kembali setelah beberapa saat dan ia menyuapi David dengan makanan yang ia bawa. David terlihat makan dengan begitu lahap. Ini pertama kalinya ia terlihat menikmati makanannya. Bersama Jiyeon membuatnya merasa tenang dan sangat nyaman.
“Kau makan dengan baik. Anak pintar..” pujian dari Jiyeon itu membuat David merasa begitu disayangi dan di hargai. Untuk anak seperti David yang selalu di panggil anak pembawa sial, pujian yang Jiyeon lontarkan adalah sebuah harta karun yang sangat berharga. Suatu hal yang mungkin akan sangat sulit untuk ia dapatkan sepanjang hidupnya. David mengeluarkan tangannya dan menatap burung kertas yang tadi ia buat saat menunggu Jiyeon.
“Eoh. Kau membuatnya? Wah, kau membuat burung yang sangat indah..” Jiyeon tak sedang berbohong saat mengucapkan hal itu. Burung kertas yang david buat memang sangat rapi dan bagus. David mengulurkan burung kertas di tangannya ke arah Jiyeon. Ia menyentuh tangan Jiyeon da meletakkan burung kertas itu di telapak tangan Jiyeon yang sangat halus.
“Kau membuatnya untukku?” jujur saja, Jiyeon merasa sedikit terharu saat ini. Anak itu adalah sosok introvert yang sangat menutup diri dan sulit di dekati. Tapi ia membuatkan burung kertas untuk Jiyeon? Bagaimana hati gadis itu tak tersentuh oleh ketulusan David? Jiyeon memeluk anak itu dengan erat.
“Gomapta David-ah..” ujarnya di telinga kecil David.

***

Bel pulang sekolah berdering dengan nyaring. Semua siswa berhamburan untuk keluar dari kelasnya dan kembali kerumah. Demikian juga dengan David. Anak laki-laki itu menunggu di depan gerbang sekolah sampai ayahnya datang untuk menjemputnya. Tapi sepertinya Myungsoo datang terlambat hari ini, karena sampai suasana sekolah sepi mobil hitam pria itu tak kunjung terlihat disana. David mulai merasa bosan menunggu. Anak itu menyandarkan punggungnya di dinding gerbang sekolah sambil menggerak gerakkan ujung kakinya bosan. Saat itu anak laki-laki yang tadi mendorongnya mendekati David. Kali ini teman-temannya tak datang bersamanya. Ia hanya seorang diri dan kembali membully David dengan kata-kata kasarnya.
“Hey anak pembawa sial, apa yang sedang kau lakukan disini? Apa sekarang ayahmu juga pergi meninggalkanmu?” ejeknya pada David. David berusaha tak menghiraukan. Ia tetap merunduk menatap sepatunya.
“Yak! Kau mengabaikan ku? Dasar anak pembawa sial! Berani-beraninya kau! Yang seharusnya di abaikan itu kau! Bukan diriku. Kau hanyalah seorang pembunuh! Karena kau ibumu meninggal bukan? Dan lihatlah, ayahmu juga mulai mengabaikanmu sekarang. Ia tak menjemputmu. Hahaha..”
David sudah tak tahan lagi. Ia mendorong kakak kelasnya itu dengan sangat keras hingga anak yang tingginya jauh melebihi tubuh David itu terjatuh.
“Aigo.. apa yang kau lakukan pada anakku!” bentak seorang wanita yang berlari membantu anak laki-laki yang terjatuh di depan David.
“Apa kau seorang preman? Apa yang kau lakukan pada Hyunsik ku.. Ibumu tak pernah mengajarimu sopan santun eoh?” wanita itu meneriaki David dengan sangat kejam.
“Eomma sudahlah. Dia hanya pembawa  sial. Jangan berurusan dengannya.”

Mendegar ucapan ibu dan anak itu membuat hati David sakit. Sebenarnya apa salahnya disini? David tak pernah melukai siapapun. Ia tak pernah membunuh siapapun. Dia masih delapan tahun, kata membunuh terlalu kejam untuknya. David ingin percaya kata-kata Myungsoo yang mengatakan bahwa Hyunra meninggal bukan karenanya. Tapi semua orang justru mnyalahkan David atas kematian Hyunra. Dan mereka selalu meneriakkan kata pembawa sial pada anak kecil yang bahkan tak tahu seburuk apa arti kata itu. David menangis. Tapi ia tetap diam. Ia bahkan terlalu takut untuk membuka suara selama ini. Ia sangat ketakutan dalam diamnya. David berlari meninggalkan ibu dan anak itu. Ia berlari menyebrangi jalanan di depan sekolah tanpa melihat sekelilingnya. Ia tak tahu bahwa sebuah mobil sedang menuju ke arahnya saat ini. Yang David tahu hanyalah suara teriakan Jiyeon yang memanggil namanya dengan keras.
“David-ah...” patau Jiyeon keras. Ia berlari cepat dan berjongkok memeluk tubuh David erat di tengah jalanan itu. Beruntung mobil yang saat itu melaju ke arah mereka berhasil berhenti di saat yang tepat. Bagian depan mobil putih itu menyentuh punggung Jiyeon yang melindungi David dan membuat Jiyeon terjatuh. David yang melihat Jiyeon jatuh membulatkan kedua matanya tegang. Bayangan kejadian buruk di masalalunya kembali memenuhi pikiran polos anak itu. Hal itu pernah terjadi sebelumnya. David yang usianya baru menginjak lima tahun saat itu harus menyaksikan kematian ibunya degan kedua matanya. Dan saat ini, ketika ia melihat Jiyeon terjatuh di depan sebuah mobil demi menyelamatkan dirinya. David sungguh merasa ketakutan. Dia mengalami kesulitan bernafas hingga membuat anak itu pingsan dan tak sadarkan diri di jalanan.
“David-ah.. David..” Jiyeon memanggil-manggil nama David dan menggoyangkan tubuh kecilnya. Tapi David tetap tak sadarkan diri. Jiyeon cepat berdiri dan menggendong David dengan kedua tangannya. Ia berlari masuk ke mobil yang hampir menabraknya tadi dan meminta pemilik mobil mengantarkannya ke rumah sakit.

***

Di ruangan bercat putiih itu David terbaring tak sadarkan diri. Alat bantu pernafasan terpasang di kedua lubang hidungnya, karena tadi David sempat kesulitan bernafas selama beberapa menit dan detak jantungnya melemah. Dokter mengatakan bahwa anak itu dalam kondisi baik-baik saja. Ia hanya syok dan itu menyebabkan tekanan yang besar pada dirinya. Menurut dokter ia akan sadar dalam beberapa jam. Tapi ini sudah hampir satu jam, dan anak itu masih tetap memejamkan matanya. Jiyeon terus menunggu di samping david. Gadis itu menggenggam erat tangan David. Sementara Myungsoo sedari tadi terus berjalan mondar mandir di samping tempat tidur rumah sakit, dimana saat ini anaknya tengah terbaring lemah. Tak lama, Jiyeon merasakan tangan David yang ia genggam mulai bergerak lemah. David, anak laki-laki berwajah pucat itu mulai membuka kedua matanya. Ia tampak sangat panik dan bangun dari tempat tidurnya seolah ketakutan. Pandangan matanya langsung tertuju dan menatap Jiyeon. Kemudian anak itu memeluk Jiyeon dengan erat sambil meneriakkan kata, “Eomma..” dan menangis kencang. Mendengar suara David untuk pertama kalinya selama tiga tahun terakhir membuat Myungsoo mematung. Ia sangat terkejut. Ini adalah sebuah mukjizat. David, akhirnya anak itu mengeluarkan suaranya. Myungsoo terlihat sangat senang. Ia berlari mendekati Jiyeon yang duduk di samping tempat tidur David.
“Gwenchana David-ah, gwenchana..” Jiyeon berusaha menenangkan David yang menangis dengan membelai punggung anak itu lembut berkali-kali. Sedang Myungsoo hanya bisa melihat tanpa berani menyela karena David terus menerus memanggil Jiyeon dengan sebutan ‘Eomma’.
“Jisoo-ya, neo gwenchana? Apa kau merasa sakit, nak?” tanya Myungsoo saat David melepaskan pelukannya pada Jiyeon. Anak itu masih terus menggenggam tangan Jiyeon degan erat.
“Ne” jawab David. Mendengar jawaban terlontar dari bibir david sungguh membuat Myungsoo terharu. Akhirnya anaknya berbicara. Akhirnya. Sekalipun itu hanya satu kata yang sangat singkat tapi itu sungguh berarti untuk Myungsoo. Ia langsung memeluk David dan menciumi kening anaknya beberapa kali.
“Aku akan menemui dokter.” Myungsoo langsung berlari setelah mengatakan hal itu. Ia sungguh terlihat bahagia. Sementara David menatap Jiyeon dengan pandangan penuh penyesalan.
“Mianhae..” David mengucapkan kata itu dengan amat lirih.

Setelah beberapa kali melakukan pemeriksaan secara menyeluruh akhirnya dokter mengatakan bahwa David sudah boleh kembali pulang ke rumah. Kondisinya sudah membaik dan ia hanya perlu istirahat dengan cukup. Myungsoo mengajak David pulang bersamanya, namun anak itu terus menolak. Ia sama sekali tak ingin berpisah dari Jiyeon. Tak sedetik pun David melepaskan tangan Jiyeon. Ia terus menggenggamnya dengan erat.
“Bagaimana ini?” gumam Myungsoo bingung. Ia tak mungkin memaksa David untuk pulang saat dirinya tak ingin pulang tanpa Jiyeon.
“Ayah David, aku rasa aku bisa ikut denganmu jika itu memang harus di lakukan. Aku akan menemaninya sampai tertidur dan akan pulang setelahnya.” Tawar Jiyeon yang menatap kebingungan di mata Myungsoo.
“Apa kau benar-benar bisa melakukannya Park Jiyeon-ssi?”
“Ne..” Jawab Jiyeon sambil tersenyum ramah.
“Haruskah aku menghubungi orang tuamu dan meminta ijin jika kau akan pulang terlambat malam ini?” Myungsoo berusaha bersikap sesopan mungkin pada gadis yang baru pertama ia temui itu.
“Anio. Aku tinggal di hotel jadi tak ada yang akan menunggu ku pulang.” Jiyeon tersenyum dan kembali pada David. “Kajja David-ah..” Jiyeon menggenggam tangan David dan berjalan bersamanya untuk keluar dari rumah sakit itu.

***

Begitu sampai di rumah, ibu Myungsoo segera berlari menyambut kedatangan putranya. Myungsoo masuk ke dalam rumah dengan menggendong David di punggungnya, sementara Jiyeon berjalan mengekor di belakang Myungsoo. Nyonya Kim terlihat sangat khawatir terhadap kondisi cucunya.
“Ya Tuhan, bagaimana hal itu bisa terjadi pada David?” ujarnya resah.
“Jisoo baik-baik saja eomma. Nona ini lah yang menyelamatkan Jisoo.” Myungsoo memperkenalkan Jiyeon pada nyonya Kim, dan nyonya Kim lantas memeluk tubuh Jiyeon seraya berulang kali berujar kata terimakasih. Mereka semua berjalan ke kamar David. Myungsoo membaringkan David di tempat tidur dan memintanya beistirahat. Tapi David justru menggenggam tangan Jiyeon dan menarik-narik tubuh gadis itu untuk tidur bersamanya.
“Jisoo-ya, kau ingin ahjumma ini menemanimu?” tanya ibu Myungsoo pada cucunya.
“Ne” David mengatakan kata itu dengan sangat sulit. Sesulit nyonya Kim mempercayai apa yang baru saja ia dengar.
“Myungsoo-ya, kau dengar itu? Kau dengar? Jisoo berbicara. Jisoo menjawabku. Apa aku sedang bermimpi?” nyonya Kim memegagi lengan Myungsoo syok. Myungsoo memeluk bahu ibunya dan tersenyum senang.
“Ne eomma. Jisoo kita bicara.” Mata ibu dan anak itu terlihat berkaca-kaca senang.
“Agashi, bisa kau temani Jisoo kami malam ini? Kumohon..” pinta nyonya Kim pada Jiyeon. Wanita tua itu menatap Jiyeon penuh dengan harap.
“Tentu ahjumma. Aku akan menemaninya.” Jiyeon tersenyum pada nyonya Kim.

Begitulah awal takdir diantara mereka dimulai. Malam itu Jiyeon tidur disamping Jisoo. Ia menceritakan sebuah dongeng hingga David terlelap tidur. Jiyeon bangun dari tempat tidur saat memastikan David benar-benar sudah terlelap dengan nyenyak. Ia menyelimuti tubuh kecil David, mengecup kening anak laki-laki itu sebelum meninggalkannya. David tersenyum dalam tidurnya, merasakan hangatnya ciuman Jiyeon di keningnya. Jiyeon berjalan ke ruang tengah kediaman Myungsoo. Ia melihat nyonya Kim dan Myungsoo sedang menunggunya disana dan gadis itu mendekati keduanya sungkan.
“Maaf, David baru saja terlelap.” Ujar Jiyeon. Ia melirik jam di dinding ruangan itu yang menunjukkan pukul sepuluh malam.
“A-aku akan pulang sekarang..” lanjut Jiyeon merasa ragu.
“W-wae? Kau bisa menginap di sini nona.” Tawar nyonya Kim.
“Anio ahjumma. Aku akan pulang saja.” Jiyeon mengambil tas miliknya di atas sofa ruang tamu itu dan berjalan menuju pintu.
“Aku akan mengantarmu..” Myungsoo buru-buru menggunakan mantel hitam miliknya dan mengikuti langkah Jiyeon.

Myungsoo membuka pintu mobil miliknya dan mempersilahkan Jiyeon masuk dan duduk di bangku sampingnya. Gadis itu hanya masuk sambil duduk diam dan terlihat sedikit canggung.
“Anda tak perlu mengantar saya. Saya bisa kembali ke hotel dengan taksi” ujar Jiyeon yang terdengar sungkan dengan bahasa yang sangat formal.
“Tak perlu berbicara se-formal itu.” Jawab Myungsoo sembari melajukan mobilnya tenang. Jiyeon tak berbicara lagi. ia hanya mengmati pria disampingnya itu dengan seksama. Myungsoo terlihat sangat tampan. Kulitnya putih, matanya terlihat tegas dan tajam, dan ekspresinya yang selalu terlihat dingin namun sangat mempesona. Benar-benar seperti sebuah jiplakan dari sosok david. Keduanya terlihat sangat mirip. Termasuk sikap mereka yang tertutup dan meyembunyikan banyak sekali luka. Itu terlihat begitu jelas di mata Jiyeon.
“Waeyo?” tanya Myungsoo yang merasa sedari tadi Jiyeon terus memperhatikannya.
“A-anio. Anio..” jawab Jiyeon gugup.
“Kalau ada yang ingin kau tanyakan, silahkan tanyakan.” Myungsoo sepertinya memahami arti pandangan Jiyeon yang terlihat begitu penasaran.
“Sebenarnya, berapa usiamu Myungsoo-ssi?”
“Waeyo? Apa aku terlihat setua itu?” Myungsoo memalingkan wajahnya ke arah Jiyeon dan sengaja memasang wajah terkejut untuk menggoda Jiyeon.
“Hahaha... anio. Justru sebaliknya. Kau terlihat sangat muda dan berkarisma. Aku bahkan tak bisa percaya kau sudah memiliki satu orang putra.”
Mendengar jawaban Jiyeon Myungsoo mengangguk - anggukkan kepalanya mengerti. “28 tahun” jawab Myungsoo setelahnya.
“Kau masih sangat muda..” hanya itu respon yang Jiyeon berikan. Ia cukup terkejut mengetahui kenyataan bahwa pria itu hanya tiga tahun lebih tua darinya.
“Park Jiyeon-ssi, gomawo..” ujar Myungsoo yang terdengar tulus.
“Nde?” Jiyeon sedikit tak mengerti arah pembicaraan Myungsoo kali ini.
“Berkatmu, hari ini aku bisa mendengar lagi suara Jisoo yang tak pernah bisa ku dengar selama tiga tahun ini. Nan jeongmal gomawo..” Myungsoo tersenyum. Satu senyum langka yang tak pernah sekalipun ia tunjukkan pada siapapun selama ini.
“A-anio. Aku hanya melakukan apa yang bisa ku lakukan. Sebenarnya kepala sekolah Park yang memintaku datang ke Busan dan membantunya menngatasi murid-murid di sekolah yang mengalami kesulitan. Dan David adalah satu tanggung jawabku selama aku di Busan.” Jiyeon tersenyum pada Myungsoo.
“Keundae, Myungsoo-ssi boleh aku bertanya tentang apa penyebab yang membuat David menjadi seperti ini? Sebenarnya aku adalah seorang psikolog dan aku perlu tahu latar belakang pasien ku sebelum berusaha untuk menyembuhkannya. Itu pun kalau kau bersedia dan tak keberatan untuk—“
“Kau ingin minum?” Myungsoo memotong ucapan Jiyeon begitu saja. Pada akhirnya Jiyeon hanya mengangguk dan Myungsoo melajukan mobilnya ke arah lain dari persimpangan jalan untuk pergi ke sebuah cafe.

Di salah satu tempat duduk lantai dua kafe itu yang terbuka tanpa atap Myungsoo dan Jiyeon duduk berhadapan sambil menikmati sebotol wine sembari berbincang. Langit di atasnya tampak gelap denngan bintang-bintang malam yang bertaburan indah. Myungsoo menuangkan wine di gelas milik Jiyeon dan menghela nafasnya sendiri sebelum memulai pembicaraan diantara mereka.
“Jisoo menjadi seperti ini setelah kematian Hyunra, ibunya.” Myungsoo meneguk wine di gelasnya dan tampak sangat tertekan.
“Aku dan ibu Jisoo menikah di usia muda. Dan beberapa waktu setelah kami menikah, Hyunra hamil. Saat itu usianya haru 19 tahun saat ia mengandung Jisoo. Usia yang sangat rawan. Tubuh Hyunra belum siap untuk kehamilan, dan itu membuatnya berulang kali berada diambang maut. Hyunra sangat lemah. Bahkan dia berulang kali mengalami pendarahan yang membuat dokter terus menyarankan untuk menggugurkan kandungannya. Hyunra adalah anak tunggal keluarga Lee. Ibunya sangat menyayanginya. Dan karena takut terjadi hal buruk pada puterinya, nyonya Lee memaksa Hyunra menggugurkan kandungannya. Berbagai cara beliau lakukan agar Hyunra melepaskan kehamilannya. Tapi Hyunra sangat bersikeras mempertahankan anak kami, sekalipun dirinya harus berada dalam bahaya. Jadi waktu itu tuan Lee meminta ku dan Hyunra untk tinggal di Amerika sampai Hyunra melahirkan. Saat usia Jisoo empat tahun, baru lah kami kembali ke Korea. Saat itu nyonya Lee perlahan sudah mulai bisa menerima Jisoo. Dia yang awalnya menganggap Jisoo sebagai bahaya yang mengancam puteerinya, perlahan sudah mulai menyayangi Jisoo. Tapi semua itu berubah sejak tiga tahun lalu. Saat itu kami sedang bermain bersama, dan bola Jisoo menggelinding ke jalan raya. Jisoo yang baru berusia lima tahun berlari mengambil bolanya, tanpa tahu ada sebuah mobil yang melaju dengan sangat cepat ke arahnya. Hyunra yang melihat kejadian itu langsung berlari dan menyelamatkan Jisoo. Tapi ia justru kehilangan nyawanya. Sejak saat itu nyonya Lee begitu membenci Jisoo. Dia selalu berfikir bahwa Jisoo adalah penyebab kematian putrinya.” Myungsoo menuangkan wine lagi memenuhi gelasnya yang kosong dan menegukya dalam sekali teguk. Ada sebuah luka di hatinya yang terbuka.
“Keadaan menjadi semakin buruk ketika tuan Lee juga meninggal saat bermain bersama Jisoo. Setelah kematian Hyunra, tak ada yang memperdulikan Jisoo. Kami tinggal di kediaman keluarga Lee, dan aku sibuk dengan urusan kantor. Sepaanjang hari, Jisoo hanya bermain seorang diri. Jadi tuan Lee lah yang terus menerus mengajakya bermain. Suatu hari tuan Lee dan Jisoo bermain kejar-kejaran di lantai dua rumah itu. Dan tanpa sengaja tuan Lee terpeleset saat mengejar Jisoo dan ia jatuh dari tangga kemudian meninggal saat itu juga. Sejak saat itu nenek Jisoo selalu memanggil Jisoo dengan sebutan pembawa sial dan pembunuh. Setiap hari Jisoo selalu merasa begitu ketakutan. Ia bahkan merasa takut untuk sekedar berbicara.” Myungsoo menitihkan air mata di pipinya. Merasa dirinya telah gagal menjdi seorang ayah yang baik untuk Jisoo.
“karena itu lah Jisoo tak bisa bericara seperti sekarang?” tanya Jiyeon. Dan myungsoo mengangguk dalam tangisnya.
“Ini semua salahku. Aku tak bisa menjadi ayah yang baik untuk puteraku. Aku tak bisa menjadi suami yang baik untuk isteriku..”
Melihat pria itu begitu sedih, Jiyeon merasa sangat tersentuh. Ia menggenggam tangan Myungsoo dengan tangannya yang hangat. Matanya menatap Myungsoo prihatin.
“Anio. Ini bukan salahmu Myungsoo-ssi. Jangan menghukum dirimu seperti ini..” Jiyeon berdiri dari tempat duduknya dan berpindah untuk duduk di samping Myungsoo. Gadis itu memeluk tubuh Myungsoo dalam dekapannya. Membiarkan pria itu menangis dan bersandar di bahunya.
“Tenanglah. Aku akan membantumu. Aku akan membantu David kembali seperti sedia kala. Aku akan membantumu..” Jiyeon membelai punggung Myungsoo untuk menenangkannya.

***

Pagi-pagi sekali Jiyeon datang ke rumah Myungsoo dengan beberapa masakan yang ia bawa. Ia sengaja bangun sangat pagi hari ini dan menggunakan dapur milik bibi Park untuk memasak. Entah apa yang sedang Jiyeon pikirkan, tapi melihat kondisi Myungsoo dan David membuatnya tergerak untuk melakukan sesuatu dan menolong mereka. Jiyeon menunggu di depan pagar tinggi berwarna hitam itu yang masih tak terbuka. Jiyeon menekan bel rumah Myungsoo sekali lagi dan pagar rumah itu terbuka. Cepat-cepat Jiyeon masuk. Di ruang tamu, ibu Myungsoo sudah berdiri menyambut kedatangan Jiyeon dengan sangat senang.
“Ahjumma, apa David ani Jisoo sudah bangun?” tanya Jiyeon
“Ne. Dia sedang mandi. Tapi kenapa kau datang sepagi ini?” tanya ibu Myungsoo sembari membantu Jiyeon membawa tas kain di tangannya.
“Aku membuatkan itu untuk Jisoo. Aku sengaja bangun pagi dan membuatkannya karena ku lihat semalam Jisoo sama sekali tak memiliki selera makan. Mungkin dia akan menyukainya.”
Saat itu Myungsoo baru saja keluar dari kamarnya sambil mengancingkan kancing kemeja di bagian lengannya. Ia terlihat begitu terkejut saat menatap Jiyeon.
“Good morning, Myunngsoo-ssi..” sapa Jiyeon. Ia bisa melihat wajah malu-malu Myungsoo dengan jelas. Hah, pria itu pasti malu saat ia mengingat bagaimana ia semalam menangis dalam pelukan Jiyeon yang baru saja ia kenal. Tapi Jiyeon adalah sosok yang senngat ceria dan cerewet. Hal itu tak akan membuat Jiyeon berhenti untuk bicara.
“Aku membuatkan sup untukmu. Makanlah, ini akan mengurangi mabukmu semalam—“
“Kalian minum bersama?” tanya nyonya Kim yang seperti terlihat sangat terkejut. Jiyeon hendak menjawab pertanyaan itu, namun cepat-cepat Myungsoo mengalihkan pembicaraan dan membawa ibunya menjauh dari Jiyeon. Jiyeon hanya tersenyum menatap Myungsoo yang memeluk bahu ibunya dan pergi.

Jiyeon membantu David untuk menggunakan seragam sekolahnya. Ia juga menyisir rambut david dan membawa anak itu ke meja makan dimana Myungsoo dan ibunya sudah menunggu. Jiyeon menuangkan nasi di piring David dan mengambilkan sepiring kecil telur gulung buatannya.
“Jisoo-ya, aku membuatkannya khusus untukmu. Makan ne..”
“Ne ahjumma” jawab David yang membuat Myungsoo dan ibunya melongo takjub.
“Jisoo terlihat sangat berbeda. Dia sangat ramah pada gadis ini.” Ibu Myungsoo berbisik pada anaknya. Myungsoo hanya memandangnya sekilas, kemudian menyuapkan nasi dan telur gulung dalam mulutnya. Myungsoo seketika terdiam. Sepertinya bukan hanya Myungsoo, namun David pun juga menunjukkan ekspresi yang sama.
“Waeyo?” tanya nyonya Kim menyadari ekspresi ayah dan anak itu yang terlihat sangat kaku. Nyonya Kim ikut mengaambil sepotong telur gulung dan memakannya.
“Aigo..” ujar nyonya Kim terkejut. Rasanya benar-benar sama. Ini seratus persen sama dengan masakan Hyunra. Tanpa bicara, David terlihat terus memakan masakan Jiyeon dengan lahap. Padahal David adalah anak yang sangat sulit untuk makan dengan lahap.
“Kau harus makan ini!” Jiyeon mengulurkan semangkuk sup yang ia masak pada Myungsoo. Ia juga tersenyum dengan sangat hangat. Satu hal yang membuat Myungsoo merasakan perasaan aneh menyeruak dalam hatinya. Myungsoo menyendok sup di mangkuknya dan menikmatinya bersama nasi dan telur gulung juga lauk yang lain. Kehadiran Jiyeon pagi itu bagaikan sinar mentari yang memancarkan cahaya terang bagi keluarga Kim. Rasanya sangat hangat dan menyenangkan.

***

Sudah hampir dua bulan Jiyeon tinggal di Busan. Dia sudah hampir melupakan luka di hatinya sepenuhnya. Tak ada lagi ingatan penghianatan dari kekasih yang begitu ia cintai. Pikiran dan hati Jiyeon seluruhnya hanya tercurahkan pada David dan Myungsoo selama dua bulan ini. David sangat dekat dengan Jiyeon, dan kedekatan itu membuat Jiyeon secara tidak langsung juga memiliki kedekatan yang sama dengan ayah David, Myungsoo. Jiyeon menyarankan pada Myungsoo untuk lebih meluangkan waktunya untuk David. Mereka berdua juga selalu merencanakan untuk pergi berlibur bersama di setiap minggunya. Awalnya hal itu membuaat Myungsoo tidak nyaman, namun hari demi hari karena sudah mulai terbiasa dengan kehadiran Jiyeon, ia jutru merasa itu adalah hal yang sangat menyenangkan. Myungsoo bahkan tak lagi sungkan untuk meminta bantuan Jiyeon dalam hal apapun. Ia selalu mennghubungi Jiyeon kapanpun ia mau. Myungsoo juga menunjukkan perubahan sikap yang begitu drastis dalam dunia kerjanya. Myunngsoo yang dulunya di kenal sebagai bos yang kejam dan tak segan memarahi bawahannya karena satu kesalahan kecil, kali ini jauh lebih bisa mentolerir dan satu yang membuat seluruh para pegawainya bahagia adalah sikap Myugsoo yang jauh lebih banyak tersenyum di banding sebelumnya. Baekhyun sang sekretaris meyadari perubahan itu dan selalu menggoda Myungsoo karena sifat romantisnya yang kian hari kian menjadi. Seperti apa yang ia lakukan hari ini. Myungsoo menelpon Baekhyun pagi tadi dan meminta pria 26 tahun itu mengirimkan sebuket bunga ke rumahnya.

Hari ini Myungsoo, Jiyeon, David dan Nyonya Kim akan pergi ke taman hiburan bersama. Semua mereka lakukan untuk David. Sebenarnya selama dua bulan berlalu David mulai berbicara banyak. Ia mulai merasa nyaman dengan sekelilingnya dan membuka diri. Sekarang ia tak segan untuk berbicara dengan orang, ia juga tak lagi merasa ketakutan di panggil anak pembawa sial. Hal itu karena Jiyeon terus menerus melakukan terapi psikis pada anak itu. Jiyeon dengan segala usahanya terus meyakinkan David bahwa dirinya bukanlah pembawa sial. Jiyeon selalu mengatakan bahwa David adalah seorang anak yang sangat berharga, karena itu banyak orang yang bahkan rela mengorbankan nyawanya hanya untuk keselamatan David. Perlahan-lahan Jiyeon mulai memupuk mental anak itu untuk menjadi lebih kuat. Dan pergi berlibur bersama keluarga seperti yang akan mereka lakukan hari ini adalah salah satu cara Jiyeon untuk membuat David dekat dan percaya sepenuhnya terhadap keluarganya. Pagi itu Jiyeon sudah berada di kediaman keluarga Kim. Ia membantu David untuk bersiap-siap. Ibu Myungsoo juga tampak sudah bersiap membuat beberapa bekal makanan untuk mereka nikmati selama perjalanan, namun Myungsoo justru terlihat keluar dari kamarnya dengan menggunakan setelan baju kerja yang tampak rapi. Ia berjalan mendekati Jiyeon dengan membawa sebuah dasi di tangannya.
“Eoh, bukankah kita akan pergi? Kau akan ke kantor?” tanya Jiyeon dengan matanya yang tampak kecewa.
“Eoh. Aku akan ke kantor sebentar. Aku janji tak akan lama. Aku hanya menandatangani beberapa dokumen dan kembali setelahnya.”
“Tapi bukankah ini hari libur?” ujar Jiyeon yang terdengar seperti sebuah rengekan agar pria itu tak pergi ke kantor.
“Klien ku datang jauh-jauh dari Jepang. Aku tak mungkin membatalkan pertemuan. Aku janji ini tak akan lama.”
“arraseo..” jawab Jiyeon singkat. Ia memalingkan mukanya menghadap David yang sepertinya juga tengah menatap ayahnya marah.
Myungsoo mengulurkan dasi di tangannya pada Jiyeon. “Bantu aku menggunakan ini..” ujar Myungsoo. Ya, pria itu tak pernah bisa menggunakan dasinya sendiri. Ia selalu membutuhkan bantuan orang lain untuk itu. Dengan sekali berdecak, Jiyeon mengikatkan dasi berwarna biru tua itu di leher Myungsoo. Myungsoo kemudian memberikan sebuket bunga pada Jiyeon. Sedangkan dari kejauhan, ibu Myungsooo tampak tersenyum memperhatikan keduanya. Kedua orang itu, tanpa mereka sadari mereka terlihat sangat serasi sebagai seorang pasangan kekasih.

Myungsoo kembali ke rumah setelah dua jam. Dan pria itu menepati janjinya. Mereka pergi ke taman hiburan bersama-sama. Di perjalanan David terlihat sangat gembira. Jiyeon juga memanfaatkan moment itu untuk mengajarkan beberapa lagu pada David. David duduk bersama Jiyeon di bangku depan, sedaangkan nyonya Kim duduk di bangku belakang dan mengamati keluarga kecil itu penuh haarap. Sejak kedatangaan Jiyeon diantara mereka keluarganya menjadi sangat hangat. Banyak perubahan baik yang terjadi, dan nyonya Kim sungguh berusaha untuk menjadikan itu abadi. Terlebih ia bisa melihat cinta di mata Myungsoo dan Jiyeon.
“Ahjumma, bolehkah aku memanggilmu eomma?” tanya David yang seketika membuat suasana menjadi begitu hening dan canggung. Jiyeon tertawa kaku dan melirik Myungsoo dengan tatapan bingung.
“A-Anio Jisoo-ya, panggil saja ahjumma ne..” Jiyeon memaksakan senyum di bibirnya. Sementara David tampak merengut sedih. Cepat-cepat Jiyeon memeluk anak itu dan menghiburnya. Tak ingin perasaan David merasa tak nyaman. Myungsoo hanya memandang keduanya melalui ekor matanya, pria itu sedang berkonsentrasi untuk mengemudi.

Saat sampai di taman bermain, Jisoo tak henti-hentinya berlari dari satu wahana ke wahana lain dengan sangat antusias. Dan ketika ia melihat roller coaster, ia menarik tagan Jiyeon dan Myungsoo, memaksa mereka berdua untuk ikut bersamanya menaiki wahana itu. Jiyeon menghawatirkan nyonya Kim yang harus di tinggal seorang diri ketika mereka naik wahana itu, namun nyonya Kim sedikitpun tak merasa keberatan. Ia justru meminta Jiyeon pergi menemani Jisoo. Dan mereka bertiga pun menaiki wahana itu bersama. Jisoo berada di tengah-tengah antara Myungsoo dan Jiyeon. Saat roller coaster bergerak turun Jisoo menjerit dengan begitu keras. Tangannya memegangi besi penahan tubuhnya dengan erat. Sementara Myungsoo dan Jiyeon memeluk kedua bahu kiri dan kanan Jisoo. Namun tiba-tiba saja Myungsoo memindahkan tangannya yang melingkar di bahu Jisoo ke bahu Jiyeon. Ia memeluk Jiyeon dan Jisoo puteranya seolah tengah berusaha melindungi keduanya. Tak hanya berhenti disitu, Myungsoo, Jiyeon, David dan nyonya Kim juga pergi berkeliling. Myungsoo mencoba satu permainan dimana ia harus menembak tumpukaan kaleng untuk mendapatkan sebuah boneka. Pertama mencoba Myungsoo gagal. Ia tak bisa menjatuhkan satu kaleng pun hingga Jiyeon dan Jisoo mengoloknya dan mentertawakannya. Namun di percobaan kedua Myungsoo berhasil menjatuhkan delapan dari sepuluh kaleng yang ada, dan ia berhasil mendapatkan boneka kecil berbentuk anak ayam. Ia memberikannya pada Jiyeon dan melakukan percobaan ketiga yang ternyata berhasil menjatuhkan semua kaleng yang ada. Myungsoo mendapatkan seekor boneka dinosaurus besar  dan memberikannya pada Jisoo. Mereka berempat tertawa bersama.

Setelah makan siang bersama, mereka melanjutkan perjalanan dengan menaiki beberapa wahana lain. Jiyeon dan Myungsoo selalu di sibukkan dengan Jisoo. Nyonya Kim yang menyadari hal itu berusaha membawa Jisoo menjauh dari mereka. Ia ingin Myungsoo dan Jiyeon menikmati waktu mereka bersama tanpa ada gangguan.
“Jisoo-ya, kau ingin pergi dengan halmoni? Ayo kita naik itu..” bujuk nyonya Kim pada cucu laki-lakinya. Jisoo mengangguk menngiyakan.
“Kalian pergilah bersama. Aku akan membawa Jisoo jalan-jalan. Kita bertemu satu jam lagi di pintu keluar ne..” nyonya Kim pergi menjauh bersama Jisoo, meninggalkan Myungsoo dan Jiyeon disana. Myungsoo menatap Jiyeon sejenak dalam canggung.
“Kau ingin naik bianglala?” Myungsoo menunjuk bianglala raksasa yang tengah berputar di tengah taman hiburan itu. Ia menyentuh tangan Jiyeon lembut dan membaawa gadis itu untuk mengikuti langkahnya yang berjalan pelan. Keduanya naik bianglala raksasa bersama. Jiyeon menikmati pemandangan dari atas bianglala, sementara Myungsoo justru menatapi wajah gadis itu lekat-lekat. Sangat cantik. Itulah yang sedang pria itu pikirkan dalam benaknya.
“Jiyeon-ah..” pantau Myungsoo lirih. Jiyeon berbail menatap Myungsoo yang duduk di hadapannya. Raut wajah pria itu terlihat begitu serius hingga membuat Jiyeon kebingungan untuk menentukan sikap.
“Waegurae?” ujar Jiyeon
“Mengenai pertanyaan Jisoo tadi. Sebenarnya aku juga ingin menanyakan hal yang sama.” Myungsoo terlihat kesulitan memilih perkataan yanng tepat. Namun ia memang harus mengatakannya sekarang. Ini adalah waktu yang tengah ia tunggu selama ini.
“Pertanyaan?”
“Ne. Tak bisakah Jisoo memanggilmu eomma?”
“A-Apa mak-sud mu Myungsoo-ssi?”
Myungsoo menyentuh jemari tangan Jiyeon dengan lembut. Ia genggam tangan itu erat dan matanya yang teduh menatap manik mata Jiyeon dengan tulus. “Saranghaeyo Jiyeon-ah..”
“Mwo? A-Aigo, kau sedang bercanda Myungsoo-ssi? Hahaha ini sangat lucu..” Jiyeon tertawa dengan sangat tertekan. Namun Myungsoo justru menggeleng dengan tegas.
“Anio. Aku tidak sedang bercanda. Aku mengatakan yang sejujurnya tentang perasaanku. Aku mencintaimu. Aku tak tahu sejak kapan rasa ini mulai muncul dalam diriku. Tapi sejak aku bertemu denganmu, semua hal baik muncul dalam hidupku. Kau bagaikan sinar mentari yang menyinari gelapnya hidupku. Jiyeon-ah, sejak bertemu denganmu mimpi buruk yang selama ini menghantuiku menghilang begitu saja. Yang ada dalam tiap malamku hanyalah bayangan akan wajahmu, senyummu, dan Jisoo. Nan jeongmal saranghaeyo Park Jiyeon.”

Saat itu Jiyeon meremas ujung dress pink yang ia gunakan. Ia menatap sebuah cincin putih di jari manisnya dan merasakan beban berat dalam hatinya. Di depannya, Myungsoo masih menunggu dengan begitu sabar. Namun Jiyeon justru tak bisaa mengatakan jawaban dari pernyataan cinta Myungsoo. Ia benar-benar tak bisa. Bukan karena ia tak menyukai Myungsoo, tapi cincin itu masih melekat di jari manisnya. Jiyeon memang menyukai Myungsoo, tapi dia masih dalam satu hubungan yang tak bisa diakhiri begitu saja. Bahkan tanggal pernikahannya sudah tinggal beberapa hari lagi. dan sebenarnya gadis itu sedang bersiap-siap untuk kembali ke Seoul secepatnya. Jiyeon memeluk tubuh Myungsoo erat. Ia membenamkan wajaahnya di bahu pria itu dan menitihkan air matanya yaang mengalir begitu saja. Kenapa takdir harus bertindak sekejam ini padanya? Laki-laki yang akan menjadi suaminya beberapa hari lagi justru menghianatinya dan berkencan dengan wanita lain. Dan disaat Jiyeeon menemukan laki-laki yaang ia cintai dan mencintainya dengan tulus seperti Myungsoo, ia justru tak bisa bersama dengan pria itu. Ini sangat tidaak adil. Myungsoo membalas pelukan hangat Jiyeon. Ia melingkarkan tangannyaa di punggung Jiyeon dan membelai rambut panjang gadis itu lembut. Myungsoo melepaskan pelukannya setelah beberapa saat, dan ia menatap wajah Jiyeon yang masih berada di hadapannya lekat-lekat. Air mata membuat wajah cantik itu basah. Myungsoo menyeka pipi Jiyeon dengan sebelah tangannya. Namun Myungsoo justru berhenti saat tanpa sengaja tangannya menyentuh daun bibir merah Jiyeon. Myungsoo menatap daun bibir itu penuh minat. Perlahan, ia mendekatkan wajahnya ke arah Jiyeon, memiringkannya dan kemudian menyentuh daun bibir merah Jiyeon dengan bibir tipisnya. Tangan Myungsoo menyentuh pipi kiri Jiyeon, membelainya. Sedang tangannya yang lain berada di punggung Jiyeon, menahan tubuh gadis itu agar tak bergerak menjauh. Myungsoo melumat daun bibir itu perlahan, mengecapnya dan merasakan betapa lembut dan manis bibir Jiyeon yang membuat hatinya bergetar hebat. Ia sungguh mencintai gadis itu.

***

Myungsoo dan keluarganya kembali dari taman hiburan pukul sembilan malam. Dalam perjalaanan pulang nyonya Kim sudah terlelap tidur di bangku belakang. Sedaang Jisoo tidur di pangkuan Jiyeon dengan nyaman. Anak itu memeluk pinggang Jiyeon dengan erat. Sementara Myungsoo menyetir dengan sangat hati-hati. Sesekali Myungsoo menatap jiyeon malu-malu, mengingat tentang ciuman mereka tadi. Myungsoo meenyentuh tangan Jiyeon dengan tangan kirinya, menggenggamnya dengan lembut, sementara tangan kanannya mengemudi. Jiyeon tersenyum malu. Saat mereka sampai di depan kediaman keluarga Kim, sebuah mobil terparkir tepat di depan pagar rumah itu. Myungsoo menghentikan mobilnya di belakang mobil itu dan keluar dari bangku kemudi. Nyonya Kim yang terbangun juga ikut keluar dari mobil. Jiyeon masih duduk disana, tak dapat bergerak karena Jisoo yang tidur di pangkuannya. Tak berapa lama, Myungsoo membuka pintu di samping Jiyeon. Ia mengangkat Jisoo dan menggendongnya dengan kedua tangan sehingga Jiyeon dapat bergerak turun. Jiyeon keluar dari mobil dan membenarkan selimut di tubuh Jisoo yang hampir terjatuh. Ia tak menyadari bahwa seorang pria di samping mobil di depan mereka tengah menatapnya dengan mata dingin yang menghundus tajam.
“Jiyeon-ah!” pantau pria itu dengan cukup keras dan tegas.
“O-Oppa..” Jiyeon terkejut saat melihat sosok Jongwoon sedang berdiri di hadapannya saat ini. Kim Jong Woon adalah tunangannya. Anio dia akan menjadi suami Jiyeon dalam beberapa hari lagi. Jong woon berjalan mendekati Jiyeon dan menarik tangan gadis itu keras.
“Apa yang kau lakukan eoh?” tanya pria itu yang terdengar sangat marah.
“Siapa kau!” Myungsoo menyela, tak bisa diam begitu saja saat melihat pria lain menyentuh tangan gadis yang ia cintai. Jong woon menyeringai. Ia menunjukkan tangan Jiyeon yang ia genggam di hadapan Myungsoo. Sepasang cincin putih yang sama melingkar di jari manis keduanya.
“Aku adalah calon suaminya” tukas Jongwoon tegas. Myungsoo berganti menatap Jiyeon dengan matanya yang terlihat sangat kecewa.
“Apa-apaan ini? Jiyeon-ah?” tanya Myungsoo. Jiyeon hanya memalingkan matanya dengan raut wajah sedih.
“Oppa, kajja kita pergi” Jiyeon menyeret lengan Jongwoon, masuk ke dalam mobil pria itu dan pergi meninggalkan Myungsoo tanpa sebuah penjelasan.

***

Sudah dua hari berlalu setelah kejadian malam itu. Dua hari pula Jiyeon tak dapat di hubungi. Berulang kali Myungsoo mencoba menelponnya, namun Jiyeon tak pernah menjawab panggilan itu. Jisoo terus menerus menanyakan tentang keberadaan Jiyeon pada Myungsoo. Tak jarang, anak itu bahkan menangis karena merindukan Jiyeon. Tapi Myungsoo tak bisa melakukan apapun. Ia tak tahu Jiyeon berada di mana, dan dia juga sedang merasa di campakkan dan di bohongi oleh gadis itu. Pagi ini Myungsoo mengantarkan Jisoo ke sekolahnya seperti biasa. Namun bukannya menngantar Jisoo ke kelasnya, Myungsoo justru membawa anak itu ke ruang kepala sekolah. Tak ada jalan lain untuk menemukan Jiyeon selain ini. Myungsoo duduk di sofa tamu ruang kepala sekolah, menunggu kepala sekolah park menemuinya. Dan saat wanita itu datang, ia segera menayakan keberadaan Jiyeon saat ini.
“Maafkan aku tuan Kim, tapi Jiyeon tak lagi menjadi tenaga pengajar di sekolah ini. Hari ini dia kembali ke Seoul bersama tunangannya. Minggu depan adalah hari pernikahan Jiyeon.”
“Mworago? Ahjumma akan menikah?” tanya Jisoo.
“Andwee! Appa andwee! Kenapa ahjumma harus menikah dengan orang lain appa?” Jisoo mulai merengek dengan tangisan pada Myungsoo. Anak itu terus menggoyangkan tangan appanya, tak ingin kehilangan Jiyeon.
“Sebenarnya Jiyeon datang ke Busan karena mengetahui jika tunangannya berselingkuh dengan wanita lain. Tapi sekalipun begitu, pernikahan mereka sudah di tetapkan dari jauh hari sebelumnya dan hal itu tak mungkin di batalkan begitu saja karena itu adalah pernikahan bisnis yang akan menyatukan perusahaan dua keluarga mereka. Jiyeon merasa sangat tertekan, namun dia tetap harus kembali ke Seoul hari ini.  Cobalah menghentikan Jiyeon kalau kau bisa, tuan. Aku tak ingin hidup anak itu hancur karena menikah dengan pria seperti itu.” Ujar bibi Park iba.
“Aku akan mencoba menghentikannya. Gamsahamnida..” Myungsoo menggendong Jisoo dan berjalan dengan cepat menuju mobilnya.

Myungsoo sampai di hotel tempat Jiyeon menginap selama ini. Namun begitu ia sampai di halaman pintu depan hotel. Ia melihat Jiyeon suudah membuka pintu mobil Jongwoon dan akan bergerak masuk. Melihat hal itu, Jisoo langsung berlari keluar dari mobil Myungsoo dan meneriakkan nama Jiyeon sembari menagis.
“Jiyeon ahjumma..” teriak Jisoo seraya menangis keras. Jiyeon menghentikan langkahnya dan menatap Jisoo penuh kerinduan. Gadis itu berlari menghamppiri Jisoo dan memeluknya erat.
“Jisoo-ya, bogoshipo..” ujar Jiyeon.
“Ahjumma, kajima.. jebal kajima..” Tangis Jisoo terdengar semakin kencang.
“Jisoo-ya, mianhae..”
“Anio ahjumma. Kalau kau pergi aku tak akan bicara lagi seumur hidupku. Jebal ahjumma kajima..”
Saat itu Myungsoo berjalan mendekati Jiyeon dan Jisoo. Ia menatap gadis itu penuh kepedian. Terlalu berat untuk melepasnya pergi begitu saja.
“Kau benar-benar akan pergi? Tak bisa kah tetap tinggal disini bersama kami?” pinta Myungsoo dengan tulus. Tapi Jiyeon hanya menggeleng sambil menitihkan air matanya.
“Mianhae..”
Mendengar kata itu terucap dari bibir Jiyeon, Myungsoo bergerak memeluknya erat. “Kau akan kembali bukan? Ku mohon, kembalilah. Aku akan menunggumu kembali Ji..”
Jiyeon membelai lembut rambut Jisoo, mengecup kening anak itu sebelum pada akhirnya pergi meninggalkannya. “Hubungi ahjumma kapanpun kau mau Jisoo-ya..” hanya itu pesan terakhir yang Jiyeon sampaikan.

***

Monday, 13 March 2017

Hari ini adalah hari pernikahan Jiyeon. Myungsoo mengetahui itu dari bibi Jiyeon. Dan sialnya hari ini juga adalah hari ulang tahun Myugsoo. Sudah satu minggu lamanya ia dan gadis itu berpisah. Kediaman keluarga Kim kembali tersa dingin dan gelap. Jisoo lebih banyak diam dan mengurung diri, sementara Myungsoo kembali menghabiskan satu hari waktunya dengan berada di kantor. Ia kembali menjadi sosok pemarah yang menakutkan. Tak ada lagi jadwal liburan bersama, tak ada lagi senyum. Semuanya kembali dalam sebuah kegelapan.

Myungsoo duduk di ruang kerjanya, tampak murung. Hari sudah semakin malam, dan ia tak kunjung ingin pulang kerumah, padahal ini adalah hari ulang tahunnya. Pria itu justru membuka sekaleng alkohol dan meneguknya kasar. Hatinya terasa hampa. Ia begitu merindukan sosok Jiyeon yang selalu menyinari harinya. Dan berfikir bahwa hari ini ia akan kehilangan Jiyeon untuk selamanya membuat kepala Myungsoo berdenyut nyeri. Hari ini statusnya akan berubah. Jiyeon akan menikah atau bahkan mungkin sudah melangsungkan pernikahannya bersama Jong woon. Myungsoo benar-benar kehilangan harapannya.

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, Myungsoo akhirnya berdiri dari kursi kerjanya dan pulang kerumah dengan pikiran yang kalut. Ketika sampai dirumah. Ia melihat rumah itu dalam keadaan gelap gulita. Tak ada setitikpun cahaya lampu yang menyala.
“Eomma..” pantaunya sembari berjalan sempoyongan mencari saklar listrik.
“Jisoo-ya..” pantaunya lagi.
Tapi saat itu ada sebuah tanda panah yang menyala di dinding. Tanda panah yang menunjuk ke araah tangga. Tanda panah yang lain juga ikut menyala secara berurutan, membimbing langkah Myungsoo menuju atap rumahnya. Myungsoo membuka pintu atap rumahnya dan sangat terkejut saat melihat siulet sosok gadis sedang berdiri di depan rangkaian lampu-lampu kecil yang menyala membentuk sebuah bunga berwarna-warni yang indah. Myungsoo berjalan mendekati gadis itu, mencari tahu wajah yang tersembunyi di balik kegelapan itu. Dan Myungsoo ribuah kali lebih terkejut saat wajah cantik Jiyeon tersorot oleh cahaya lampu yang menyala terang di balkon atapnya. Myungsoo membulatkan matanya tak percaya. Tapi ketika melihat gadis itu tersenyum manis, Myungsoo langsung berlari menghambur dan memeluknya dengan sanngat erat.
“Kau kembali? Kau kembali, Jiyeon-ah? Benarkah ini dirimu?” Myungsoo melepaskan pelukannya dan mengamati tubuh Jiyeon dan menyentuh lengan gadis itu untuk memastikan bahwa ini nyata.
“Ne. Na Jiyeonnie, oppa.” Ujar Jiyeon yang tersenyum senang. “Saengil chukkae, oppa” Ujar Jiyeon. Tak menjawab, Myungsoo hanya memeluk gadis itu lagi dan lagi.
“Ku pikir kau sudah menikah dengan pria lain dan meninggalkanku. Bukankah hari ini kau akan menikah?” tanya Myungsoo yang masih memeluk tubuh Jiyeon dengan erat.
“Eotthokaeyo? Aku kabur dari acara pernikahan, dan aku kehilangan pengantin pria ku. Apa yang harus ku lakukan sekarang? Kau tak akan bertanggung jawab untuk ini?” Jiyeon tertawa setelahnya. Myungsoo melepaskan pelukannya dan menatap Jiyeon.
“Jangan khawatir tentang itu. Aku bersedia menjadi pengantin pria mu. Apa kita menikah sekarang saja?”
“Aigoo.. Kalian melupakan kami?” seru baekhyun yang berjalan dari kegelapan bersama dengan nyonya Kim dan Jisoo. Jisoo, anak itu segera berhambur ke pelukan Jiyeon. Sedang nyonya Kim sudah membawa kue ulang tahun dengan lilin yang menyala.
“Saengil chukka hamnida. Saengil chukka hamnida. Saranghaneun Myungsoo-ya, Saengil Chukka hamnida..” lagu itu mengalun lembut dari bibir Jiyeon, Jisoo, eomma Myungsoo dan baekhyun. Myungsoo memejamkan matanya, berdoa dan kemudian meniup lilin di depannya.
“Saengil Chukkae Appa..” ujar Jisoo sambil mencium pipi Ayahnya.
“Saengil Chukkae Oppa..” susul Jiyeon
“Tak memberiku hadiah?” tanya Myungsoo pada Jiyeon.
“Mian oppa, aku kabur dan berlari kemari jadi aku tak punya waktu untuk—“
Myungsoo tak membiarkan Jiyeon berbicara lagi karena ia langsung mencium daun bibir gadis itu sekilas.
“Appa, aku disini!” protes Jisoo sambil menutup kedua matanya di gendonngan Jiyeon. Semua tertawa terbahak mendengar ucapan polos Jisoo.
“Kenapa kalian tertawa?” tanya anak itu polos.
“Ahjumma, sekarang bolehkah aku memanggilmu Eomma?” pertanyaan Jisoo yang sangat spontan membuat suasana menjadi begitu hening.
“Waeyo?” Jisoo tak mengerti. Tapi Jiyeon tersenyum pada anak itu sembari menganggukkan kepalanya.
“Ne Jisoo-ya. Kau boleh memanggil ahjumma dengan kata Eomma”
“Yeiy... Saranghae Jiyeon Eomma. Ji eomma, aku mencintaimu..” seru David bahagia. Myungsoo menngambil alih tubuh Jisoo dari Jiyeon dan menggendongnya. Jisoo melingkarkan tangannya di leher Myungsoo dan Jiyeon. Mencium keduanya secara bergantian.

_Happy Ending_
©2017-ByunRa93

SAENGIL CHUKKAE MYUNGSOO-NIM
_ByunRa93

Continue Reading

You'll Also Like

13.4M 1.1M 81
♠ 𝘼 𝙈𝘼𝙁𝙄𝘼 𝙍𝙊𝙈𝘼𝙉𝘾𝙀 ♠ "You have two options. 'Be mine', or 'I'll be yours'." Ace Javarius Dieter, bos mafia yang abusive, manipulative, ps...
723K 67.5K 50
{Rilis in :1 February 2021} [Fantasy Vampire series] Ivylina terjebak di sebuah Museum kuno di negara Rumania dan terkunci di kamar yang penuh dengan...
236K 35.4K 64
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
946K 45.2K 40
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...