SOULMATE

Bởi Wilonayunda

193K 12K 2.2K

[COMPLETED] _________________________ Ini adalah kisah tentang Bastian Wijayaputra si gay bottom yang sedikit... Xem Thêm

Prakata
Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20

Epilog

13.5K 705 243
Bởi Wilonayunda

Di mulmed ada Kenzou as Erbas.

***

Dua tahun kemudian ...

ERLANG Side

"Daddy, Ebas mau es klim," ujar putra semata wayangku sambil menunjuk kedai ice cream di sekitaran Viaduct Harbour . Aku tersenyum mendengar Ebas yang masih belum bisa mengucapkan huruf 'r' dengan benar.

"Tapi antreannya masih rame, My boy. Coba lihat! Panjang, kan?" kataku membujuknya.

Ebas menggelengkan kepalanya. "Mau cekalang," jawabnya dengan bibir cemberut. Jika sudah begitu, aku pun tidak tega melihatnya.

Hari ini kami berdua datang ke Auckland untuk menemui teman satu high school-ku dulu yang kini bekerja di salah satu perusahaan periklanan. Aku sedang menggali informasi mengenai dunia periklanan yang akan aku geluti setelah ini. Dan melalui bantuannya, aku ingin membuat sebuah perusahaan yang berkecimpung di bidang itu.

Untuk itulah aku datang ke sini, jauh-jauh dari Wellington. Tadinya aku ingin datang seorang diri, tetapi Ebas sama sekali tidak mau dibujuk. Padahal Max dan Camilla sudah coba membujuknya berkali-kali.

Max itu Daddy angkatku dan Camilla adalah istrinya. Selama ini, mereka tinggal bertiga dengan putri kandungnya yang bernama Madeline Kimberly Maximilian. Sudah lama aku tidak mengunjungi mereka sejak kepergianku ke Indonesia.

Meski begitu, mereka berdua tetap menganggapku sebagai anak walaupun, bertahun-tahun aku tak pernah mengunjunginya dan hanya menghubungi mereka melalui media sosial saja.

"Daddy, ayo beli es klim!" pinta Ebas sekali lagi sambil menarik-narik tanganku.

Aku terkesiap dan tersenyum padanya yang melihatku dengan ekspresi merajuk sekaligus penuh harapnya yang menggemaskan itu.

"Oke, kita beli sekarang. Tapi Ebas sabar ya. Kita antre dulu!" kataku sambil mengusap rambut hitamnya.

Anak laki-lakiku itu mengangguk dengan mata mengerjap lucu. Aku tersenyum sekali lagi, lalu menggandeng tangannya menuju kedai ice cream yang entah mengapa begitu antre hari ini.

Tanpa terasa kini Ebas sudah berusia tiga tahun. Dan tanpa kusadari jika sudah selama itu pula, aku berpisah dengan Bastian dan sama sekali tak mengetahui bagaimana kabarnya sekarang. Abimana dan Kinan sama sekali tak mau memberitahuku di mana Bastian berada dengan alasan tidak bisa melanggar janji mereka pada Bastian.

Sebenarnya sudah berbagai cara kulakukan untuk mencari keberadaan Bastian selama ini. Namun sayangnya, informan yang kusewa tak bisa menemukan jejaknya. Instingku mengatakan jika Bastian pindah ke luar negeri. Nomor ponselnya juga sudah lama tidak aktif, dia juga memblokir semua akun media sosialku.

Kebiasaan Bastian yang tak pernah menyalakan GPS pada ponselnya juga membuatku tidak bisa dengan mudah melacak jejaknya. Aku juga tidak terlalu kenal dengan keluarganya karena Bastian belum pernah mengenalkanku dengan keluarganya sekali pun.

Aku pasrah dan menyerahkan semuanya pada takdir. Biarkan nanti waktu yang berbicara, akankah aku kembali padanya atau tidak.

Bersyukurnya aku, karena Tuhan memberiku malaikat kecil yang bisa menghibur hari-hariku yang sepi dan sunyi. Kelucuan dan kepolosan Ebas membuat semuanya berlalu tanpa beban. Ebaslah semangat hidupku selama ini sejak Bastian meninggalkanku.

Aku tahu jika dia terluka dengan semua yang terjadi, sama seperti diriku. Tetapi aku bisa apa? Bastian yang menginginkan perpisahan ini karena dia tidak ingin menjadi penyebab rusaknya hubunganku dengan Ayah kandungku dan semua alasan yang membuat kami berdua sama-sama tersakiti.

Ditambah lagi dengan perlakuan Vero yang membuatnya malu di depan umum. Bodohnya aku yang tidak bisa tegas menghadapi Vero juga keinginan Ayahku waktu itu.

Ya sudahlah, semuanya sudah terjadi dan tidak mungkin bisa diulang kembali.

"Daddy, kok lama banget, sih?" tanya Ebas yang kembali merajuk.

"Sabar, My boy. Tadi kan udah Daddy bilang, kita harus antre," jawabku kembali membujuknya.

Bibir Ebas kembali memberengut. Anakku ini memang tidak sabaran. Aku tersenyum melihat tingkah lucunya yang menghentakkan kakinya dengan kesal seraya mencebikkan bibirnya yang imut.

Untung saja, Ebas tidak rewel berkepanjangan seperti tadi pagi, saat dia merengek meminta ikut denganku ke sini. Putraku ini termasuk anak yang cerdas meski mood-nya mudah berubah jika tidak sesuai dengan keinginannya. Maklum saja, dia masih tiga tahun dan wajar jika anak kecil bertingkah seperti itu.

Ebas sendiri termasuk anak yang peka dan mudah mengerti dengan hal apa pun termasuk jika aku sedang sedih, dia akan selalu datang memelukku dan berkata jika dia menyayangiku. Hal itulah yang membuatku tidak bisa jauh darinya dan begitu bahagia karena memilikinya setelah tiga tahun ini aku merasa hilang arah karena menghilangnya Bastian dari hidupku.

Setelah bersabar menunggu dan mendapatkan giliran membeli ice cream, aku dan Ebas mulai mencari tempat duduk yang berada di sepanjang Viaduct Harbour. Kubiarkan Ebas memakan ice cream-nya dengan lahap meski dengan bibir belepotan. Sejak usia dua tahun, kubiasakan Ebas untuk makan sendiri tanpa bantuan orang lain agar dia tidak menjadi anak yang manja.

Meski aku baru pertama kali memiliki anak, bukan berarti aku tidak bisa mendidiknya. Sejak Ebas ada dalam kandungan Vero, aku sudah belajar banyak hal tentang cara membesarkan anak sekaligus cara mendidiknya. Sejak Ebas lahir, aku juga tidak membiarkan dia terlalu dekat dengan nanny-nya. Dia lebih sering bersamaku hingga kedekatan kami terasa kuat sampai saat ini.

"Daddy, Ebas mau lihat kapal," ujar Ebas kemudian.

"Iya, tapi jangan jauh-jauh dari Daddy, ya!" jawabku memperingatkannya.

Ebas mengangguk lalu berjalan ke sisi pagar pembatas dan berpegangan pada jeruji besinya.

Saat aku sedang asik mengawasi Ebas, tiba-tiba saja ponselku berdering di dalam saku celanaku. Aku segera mengambilnya dan mengernyit saat membaca nama Abimana tertera di layar ponselku di jam segini. Aku yakin saat ini di Indonesia mungkin masih jam sembilan pagi.

"Ya, Bim. What's wrong?" tanyaku sambil tetap mengawasi Ebas yang kini mulai berjalan ke tempat lain, namun masih bisa kujangkau dengan penglihatanku.

"Di mana kamu sekarang?" tanyanya.

"Gua di Auckland. Lagi hunting tempat," jawabku.

"What? Auckland?!" tanyanya seperti orang kaget.

"Yeah, kenapa emang?" tanyaku balik.

"Oh, nggak apa-apa. Kok nggak ngabarin kalo udah berangkat ke sana?" tanyanya lagi.

"Sorry, bro! Gua lupa. Kemarin ribet ngurusin Ebas. Nyampe sini dia sempet sakit dua hari karena belum terbiasa sama udaranya, jadi gua nggak kepikiran buat ngabarin lu," jawabku.

"Terus sekarang gimana keadaan Ebas? Udah baikan?"

"Udah mendingan, kok. Oh ya, kenapa lu nelpon gua? Ada yang penting?"

"Iya, ini peralihan sahammu udah aku beresin, aku butuh tanda tanganmu secepatnya," ujar Abimana.

Sebagian saham milik Wiranata sudah kujual pada Abimana. Hanya menyisakan Trend Magazine yang 100% sahamnya masih atas namaku. Sementara 50% saham Wiranata Entertainment sudah berganti kepemilikan atas nama Ebas. Sisanya sudah berganti atas nama Abimana.

Shawn Erbas Maximilian, putra semata wayangku. Nama Erbas itu aku ambil dari gabungan namaku juga Bastian. Sengaja aku memberi nama anakku begitu, karena aku ingin terus mengingat Bastian sebagai seseorang yang begitu berarti dalam hidupku.

"Hmm ... bisa tolong di-pending dulu, soalnya gua nggak tahu kapan balik Jakarta lagi. Rencananya gua mau menetap di sini," kataku setelah berpikir sejenak.

"Kalo gitu, kenapa sahamnya cuma kamu jual separuh. Bukan semuanya. Kamu kan nggak bisa terus ngawasin perusahaan di sini?" tanyanya bernada bingung.

"Ya makanya, gua jual sahamnya sama elu, Bim. Biar lu aja yang ngawasin sampai Ebas gede nanti. Itu kan haknya Ebas juga," jawabku.

Abimana terdengar menarik napas panjang di ujung telepon. "Makin banyak aja kerjaanku sekarang. Terus Trend Magazine gimana? Siapa yang handle?" tanyanya kemudian.

"Bini lu aja, bisa kan? Sekarang masih di-handle Tantri. Tapi tiga bulan lagi, kontrak kerjanya habis dan dia bilang mau fokus sama anak-anaknya. Gua nggak percaya sama orang lain lagi kecuali lu sama bini lu," jawabku.

"Ya udah, nanti aku tanya Kinan. Dia mau atau nggak. Lagian aku juga butuh surat kuasamu kalo kamu nyuruh Kinan yang handle semuanya," ujarnya kemudian.

"Gampang itu, ntar bisa diatur. Eh tunggu ..., Ebas ke mana?" tanyaku sedikit kaget saat melihat Ebas tak lagi berdiri di dekat pembatas Viaduct Harbour.

"Apa maksudnya ke mana? Emang kamu lagi sama Ebas, sekarang?"

"Iya dia sama gua tadi," kataku panik sambil melihat ke sekeliling mencari keberadaan Ebas.

"Yakin kamu kalo Ebas hilang? Coba cari sekali lagi, siapa tahu masih di sekitar situ!" ujar Abimana ikutan panik.

"Nggak ada, Bim! Tadi dia masih di sini. Oh, Shit!!" teriakku kesal. "Bim, ntar gua telpon lagi. Anak gua beneran hilang!!" ujarku histeris dan langsung menutup ponselku tanpa menunggu jawaban dari Abimana.

Dasar ceroboh! Kenapa lu bisa teledor gini sih, Lang?!

Aku terus saja menggerutu sambil terus mencari Ebas di sepanjang area pelabuhan. Aku juga bertanya pada setiap orang yang berdiri di sana dan dari semua orang yang kutanya, tak ada satu pun yang melihat di mana Ebas berada.

"Ebas, kamu di mana?" gumamku pada diriku sendiri.

Seharusnya, aku tidak membiarkan Ebas pergi sendirian saat berkeliling di tempat ramai seperti ini. Dia kan baru tiga tahun. Ebas pasti tadi mengikuti seseorang yang dia pikir itu adalah aku.

Saat kakiku melangkah semakin menjauhi tempat dudukku semula, kulihat Ebas sedang bersama dengan seseorang. Aku mengembuskan napas lega saat berhasil menemukan anakku lagi. Tetapi seketika itu pula aku tercekat saat menyadari siapa yang sedang mengusap rambut Ebas saat ini.

Dia orang yang selama ini selalu ada dalam hatiku. Dia yang selalu kurindukan hadirnya dalam setiap malam-malamku. Dia yang sejak tiga tahun lalu kucari keberadaannya, kini duduk manis bersama putraku dan sedang mencubiti pipi gembil Ebas lalu tertawa renyah ketika melihat Ebas cemberut.

Jantungku kembali berdetak kencang ketika langkah ini semakin mendekat padanya. Aku merasa jika diriku hidup kembali setelah tiga tahun ini tak merasakan kehadirannya. Semua kenangan tentangnya terus berputar di kepalaku. Tanpa sadar kusunggingkan senyumku ketika dia menciumi rambut putraku dan memeluknya erat. Air mataku hampir saja tumpah jika saja Ebas tak melihatku berdiri di sampingnya.

"Daddy!!" panggil Ebas riang.

Aku tersenyum menatap putraku sekaligus gugup saat tubuh ramping itu perlahan berputar ke arahku dan melepaskan pelukannya dari Ebas.

Tubuhku terasa kaku ketika bola mata hitam itu membulat saat melihatku. Mata kami bertemu. Jantungku semakin berdetak gila ketika bibir tipisnya bergerak-gerak seperti hendak mengucapkan sesuatu.

Aku merindukannya. Benar-benar merindukannya. Dia, Bastianku yang hilang.

"Er-Erlang?" gumamnya lirih.

Kulihat tangan Bastian sedikit bergetar waktu memegang handle bangku saat mencoba berdiri menyambutku. Udara di sekitar kami terasa berhenti berputar. Aku terdiam terpaku saat bibir tipis itu mencoba melengkungkan garis senyuman meski gagal karena kecanggungan di antara kami berdua.

"Hai ...," sapaku kikuk.

Mata itu menatapku dengan penuh kerinduan. Mata yang dulunya selalu membuatku bersemangat setiap kali aku bangun dari tidurku. Mata yang telah menenggelamkanku hingga aku jatuh terlalu dalam pada pesonanya.

Dia, lelaki yang kupuja siang dan malam kini berdiri sangat dekat denganku. Aku yang selama tiga tahun ini mencoba mencarinya. Justru dikejutkan dengan kehadirannya yang tak terduga di sini. Kami berdua saling menatap dan sama sekali tak ingin melepaskan pandangan satu sama lain.

"Daddy," panggil Ebas yang kini sudah menggelayut di kakiku dan menyadarkan keterpakuan kami berdua.

"Iya, My boy," jawabku seraya tersenyum kecil dan mengusap rambut Ebas. "Kamu ke mana aja? Tadi, Daddy nyariin kamu," tanyaku lembut pada putraku.

"Tadi Ebas caliin Daddy, telus ketemu sama Om baik. Ebas dikasih cokelat," ujarnya polos sambil menunjukkan cokelat batangan di tangannya padaku. Aku tersenyum melihat Ebas kemudian beralih melihat Bastian yang tersenyum kikuk ke arahku lalu memandang Ebas secara bergantian.

"Udah bilang makasih belum sama, Omnya?" tanyaku lagi pada putraku.

Ebas mengangguk. "Udah," jawabnya dengan cengiran lebar. Aku kembali tersenyum lalu melihat Bastian sekali lagi.

"Thanks ya, Bas," ujarku.

Bastian mengangguk. Kami berdua lalu sama-sama terdiam dan kembali saling tatap untuk beberapa saat dalam keadaan canggung.

"Apa kabar?"

"Gimana kabarnya, Mas?"

Pertanyaan itu kami lontarkan secara bersamaan dan semakin terasa canggung saja karena kejadian barusan. Aku terkekeh kecil, begitu juga dengan Bastian yang menggaruk rambutnya yang kuyakin tidak gatal. Penampilan Bastian kini terlihat jauh lebih dewasa dari tiga tahun lalu. Namun, masih tetap modis seperti dulu.

Siang ini dia mengenakan celana kulit dengan sepatu boot yang mencapai lutut, dipadukan dengan coat yang tidak terlalu tebal dan sarung tangan dari bahal wol. Sebuah syal berbahan sama dengan sarung tangannya, juga tampak menggantung menutupi lehernya. Semua yang dipakainya memiliki perpaduan warna cokelat yang tampak cerah di kulitnya yang putih bersih.

"Kabar aku baik, kamu sendiri?" jawabku mendahului pertanyaannya.

Bastian mengedikkan bahunya tak acuh. "Seperti yang Mas lihat, aku baik-baik aja," jawabnya yang serasa menohokku.

Aku memang bisa melihat jika dia baik-baik saja sekarang, tapi aku tidak yakin dengan matanya yang masih menyiratkan luka juga kerinduan yang teramat dalam di sana.

Aku mengangguk dan tak ingin memperpanjang pertanyaan yang nanti pada akhirnya akan membuat Bastian marah dan kabur dari sini. Tak akan kubiarkan, sementara tiga tahun ini aku kesulitan mencarinya.

"Bisa kita ngobrol sebentar? Kasihan Ebas, kalo berdiri terus?" tanyaku padanya.

Bastian mengangguk lalu kembali ke tempat duduknya semula dan aku pun mengikutinya untuk duduk di sampingnya.

"Daddy, bukain!" pinta Ebas sambil menyodorkan cokelat yang tadi diberikan Bastian ke arahku.

"Sini, biar Om yang bukain!" ujar Bastian seraya mengulurkan tangannya pada Ebas. Putraku itu langsung memberikan cokelatnya pada Bastian yang disambutnya dengan senyuman lembut.

"Kamu ke mana aja tadi, Mas? Kenapa ninggalin anakmu sendirian di tempat rame gini? Gimana kalo dia hilang? Untung aja tadi ketemu aku. Gimana kalo orang lain yang nemuin terus dibawa kabur?" tanyanya beruntun.

Aku tersenyum mendengar ocehannya. Sudah lama sekali rasanya aku tidak mendengar panggilan 'Mas' itu disematkan lagi padaku setelah kemarahannya tiga tahun yang lalu. Tanpa sadar aku tersenyum mendengarnya. Hatiku kembali terasa hangat setelah bertahun-tahun rasanya hampa.

"Kenapa malah senyum-senyum?" tanyanya dengan satu alis terangkat tinggi menatapku.

"Kamu udah nggak marah lagi sama aku?" tanyaku bodoh dan berbanding terbalik dengan pertanyaannya tadi.

Bastian mengembuskan napas berat. Dia melihat Ebas yang makan dengan bibir belepotan. Bastian melepaskan kedua sarung tangannya, kemudian mengambil tisu basah di dalam sling bag miliknya lalu meraih Ebas dan membawanya ke dalam pangkuannya, kemudian mengusap bibir putraku dengan tisu basah tersebut.

Aku tersenyum melihat bagaimana Bastian dengan sabar melakukannya dan tak merasa rikuh sama sekali. Padahal dia tahu jika Ebas adalah anak dari mantan kekasihnya yang telah melukai hatinya tiga tahun silam.

"Aku udah ikhlas, Mas. Semakin hari aku sadar kalo cinta itu nggak bisa dipaksain. Jadi aku belajar buat nggak marah lagi dan terima kenyataan kalo kita emang nggak ditakdirin buat bersama," ujarnya lirih.

"Kalo ternyata kita ditakdirin bersama lagi gimana?" tanyaku ambigu.

Bastian menelengkan kepalanya melihatku. Keningnya mengernyit dalam. Sepertinya dia sedang berpikir keras tentang arti dari pertanyaanku.

"Nggak usah ngaco! Kamu mau, kalo aku mati di tangan Vero?" tanyanya balik.

Aku tersenyum tipis mendengar pertanyaannya. "Vero udah meninggal," jawabku lirih. Tanpa bisa kucegah, berita tentang kematian Vero itu terlontar juga dari bibirku.

"Apa?!" tanyanya kaget.

Ebas ikut berjengit kaget mendengar Bastian memekik lirih lalu melihatku dan Bastian yang memangkunya dengan wajah kebingungan.

Aku tersenyum pada Ebas lalu mengusap rambutnya dengan lembut, mencoba memberitahunya jika tidak terjadi apa-apa dengan kami para orang dewasa lewat tatapan mataku yang menenangkan. Hal yang sama juga dilakukan Bastian pada punggung Ebas yang mampu membuat putraku itu tenang dan kembali menekuni cokelatnya.

Sesaat Bastian melihatku dengan tatapan tak percaya. Aku mengangguk dan menatap lekat padanya sebagai jawaban.

"Gimana ceritanya?" tanyanya penasaran.

Aku tak langsung menjawabnya. Aku memilih menatap ke arah lepas pantai kemudian berpindah melihat langit yang menampilkan warna biru cerah. Dan menarik napasku dalam-dalam lalu mengembuskannya tanpa kentara. Aku suka melihat warna langit siang ini. Biru dengan gumpalan-gumpalan awan yang seperti kapas tampak menghiasi langit Selandia Baru. Musim semi di Auckland sering berubah-ubah, terkadang dingin sampai membuat tubuh terasa membeku hingga hari cerah terang benderang. Tak jarang, cuaca juga berubah panas.

"Vero kecelakaan waktu dia melarikan diri dari kejaran polisi," ujarku yang kemudian berpaling padanya.

Bastian yang semula menunggu ceritaku dengan sabar, tampak terkejut dan semakin membelalakkan matanya lebar-lebar mendengar penuturanku. Sudah kuduga jika reaksinya akan seperti ini.

"Polisi? Emang apa yang terjadi?" tanyanya kebingungan.

Aku tersenyum hambar kemudian kembali melihat ke arah lepas pantai dan melanjutkan ceritaku.

"Dia udah bunuh Wiranata dan coba kabur saat penyergapan," ujarku miris.

"Astaga, dibunuh? Emangnya Vero punya masalah apa sama Ayah kamu?" tanya Bastian masih tetap kebingungan. Keterkejutan belum juga hilang dari ekspresi dan kilat matanya.

Aku menghela napas panjang sejenak, melirik Ebas sekilas lalu kembali bercerita padanya.

"Selama ini, Vero dan Wiranata ternyata menjalin hubungan. Bahkan saat aku dulu pacaran sama Vero, dia juga masih menjalin hubungan sama Ayahku. Sebelum kepergianku ke Singapore dulu, ternyata Vero udah hamil dan Wiranata kembali nggak mau mengakui anaknya. Sama seperti yang dilakukannya pada Ibuku dulu. Vero marah, dan dia merencanakan pembalasan itu dengan cara nyebarin foto-foto kita untuk menjatuhkan Wiranata dan mengaku hamil denganku. Vero melakukan itu, karena dia punya niat untuk merebut harta kekayaan Wiranata yang udah diatasnamakan diriku. Satu-satunya pembalasan dendam yang bisa menghancurkan Wiranata adalah melahirkan Ebas melalui pernikahan itu. Vero berencana mengambil alih hak warisku. Dia juga ingin membuat hubunganku dan Wiranata semakin nggak akur dengan adanya dia di tengah-tengah kami karena seharusnya Vero menjadi ibu tiriku, bukan istriku," kataku seraya tersenyum miris sekali lagi.

"Ya Tuhan, ternyata dia sejahat itu? Aku juga nggak nyangka kalo Vero ternyata sematre itu?" ujar Bastian lirih.

"Udah lama aku tahu kalo dia itu licik dan gila harta, makanya aku putusin dia sejak lama. Gaya hidupnya yang glamour, bikin dia jadi kayak gitu."

"Terus gimana ceritanya, Ayah kamu bisa terbunuh? Emang apa yang dilakuin Vero?" tanya Bastian setelah kami berdua sama-sama terdiam.

"Menurut kesaksian asisten rumah tanggaku, Vero menusuknya tepat di bagian dada saat mereka bertengkar. Aku nggak lihat kejadiannya, karena waktu itu aku ada meeting penting sama klien. Asisten rumah tangga yang mendengar keributan itu langsung meneleponku dan aku segera lapor ke polisi," ujarku lalu kembali diam.

Mataku beralih menatap Ebas dan tersenyum kecil saat melihat putraku itu mulai bosan dengan cokelatnya dan memberikannya pada Bastian yang diterima mantan kekasihku itu dengan senyuman lembut.

"Vero berusaha kabur waktu polisi menggerebek apartemen lamanya. Saat terjadi pengejaran oleh pihak kepolisian, Vero justru mengalami kecelakaan. Dia menerobos pintu perlintasan kereta yang hampir tertutup. Saat di perlintasan, mobilnya berhenti mendadak. Naas, dia nggak bisa menghindar. Seketika itu juga kereta melintas lalu menabrak dan menyeret mobilnya sejauh 200 meter. Mobilnya rusak parah nggak berbentuk, dan Vero meninggal di tempat dengan kondisi yang mengenaskan."

"Ya Tuhan, tragis banget nasibnya!" pekik lirih Bastian seraya menatapku dan Ebas secara bergantian, lalu mengusap rambut Bastian dan kulihat semakin merapatkan pelukannya pada Ebas. Mungkin dia khawatir Ebas terkejut seperti tadi. "Terus gimana kamu bisa tahu kalo ternyata Vero dan Ayahmu punya hubungan?" tanyanya kemudian setelah terdiam sejenak sembari menatap Ebas.

"Aku dapat semua keterangan itu dari asisten pribadi Vero yang selama ini bantuin Vero nyebarin foto-foto kita waktu itu. Dia ceritain semuanya termasuk kalo Ebas bukan anakku tapi anak dari Wiranata," jawabku.

"Jadi, Ebas ini sebenarnya adik kamu? Udah tes DNA?" tanya Bastian tak percaya. Ekspresi terkejutnya semakin bertambah saja kali ini. Jika dia punya penyakit jantung, mungkin Bastian sudah terkena serangan jantung saat ini karena terus terkejut sejak aku menceritakan soal kejadian yang menimpa Vero.

"Udah, dan hasilnya emang bener. Ebas anak Wiranata dan Vero," jawabku. Bastian mengembuskan napas berat. Begitu juga denganku. "Kamu pasti nggak nyangka, kan? Apalagi aku, sama sekali nggak kepikiran kalo Ebas itu anak dari tua bangka itu. Rencana Tuhan emang nggak pernah disangka-sangka. Termasuk pertemuan kita hari ini. Tiga tahun aku terus nyariin kamu kayak orang gila dan ternyata kita malah ketemu secara nggak sengaja di sini," ujarku seraya tersenyum tipis menatap Bastian.

Bastian ikut tersenyum lalu menunduk melihat Ebas yang tertidur di pangkuannya setelah menghabiskan separuh dari cokelat batangnya tadi.

"Kapan Vero meninggal?" tanyanya lagi sambil membersihkan bibir Ebas yang banyak bekas cokelat dan memasukkan sisa cokelatnya ke dalam sling bag-nya.

Aku mengembuskan napas panjang mendengar pertanyaan yang satu itu karena mengingat bagaimana perjuanganku membesarkan Ebas sendirian selama ini. "Waktu Ebas umur dua bulan," jawabku. Bastian refleks mengalihkan tatapannya dari Ebas dan menatap lekat ke arahku.

"Jadi, kamu yang rawat Ebas sendirian?" tanyanya tak percaya.

Aku mengangguk. "Iya, dibantu sama nanny. Aku nggak mungkin bawa Ebas ke kantor kalo ada meeting penting."

"Tapi kenapa aku sama sekali nggak tahu soal berita itu? Harusnya, beritanya disiarin di semua stasiun televisi atau paling nggak media online?" tanyanya bingung. "Abim dan Kinan juga sama sekali nggak ngasih tahu aku soal itu," katanya kemudian.

"Itu karena aku yang minta semua beritanya nggak di-blow up ke media. Aku bahkan harus menutup mulut para wartawan pencari berita biar nggak memublikasikan berita pembunuhan Wiranata dan kematian Vero. Waktu itu, yang aku pikirin adalah jangan sampai berita itu diketahui Ebas saat dewasa nanti. Kamu kan tahu, berita sekecil apa pun kalo udah tersebar luas di media, akan tetap terus tersimpan sampai orang itu mati. Nggak mungkin aku biarin Ebas tahu kalo Ayahnya mati dibunuh sama Ibunya sendiri dan Ibunya meninggal dengan cara yang mengenaskan begitu. Kita nggak tahu kan gimana reaksi anak ini kalo dia udah besar nanti?" jawabku penuh pertimbangan.

"Iya benar, tapi kenapa Abim dan Kinan juga merahasiakan ini dariku?" tanyanya masih tak mengerti.

"Aku yang ngelarang Abimana dan Kinan kasih tahu kamu karena aku pikir lebih baik kamu nggak tahu soal kehidupanku lagi. Aku juga mikirnya kamu udah nggak mau tahu lagi soal aku, terbukti dengan ngilangnya kamu dari hidupku selama ini," kataku lagi seraya tersenyum maklum padanya.

"Tapi sampai kapan kamu mau ngerahasiain semuanya, Mas? Ebas kan harus tahu kalo Ibunya udah meninggal?" tanya Bastian yang terlihat tidak setuju dengan keputusanku

Sebelum kembali berbicara, Bastian juga terlihat menarik napas panjangnya dan mengalihkan tatapannya dariku lalu melihat ke lepas pantai.

"Aku minta maaf soal yang satu itu, aku emang minta Abim dan Kinan supaya nggak cerita apa pun ke kamu tentang keberadaanku," ujarnya kemudian.

"Nggak papa, aku ngerti kok kenapa kamu ngelakuin itu. Kamu pasti sakit hati banget sama kelakuanku dulu. Itu sebabnya kamu milih ngilang dariku," ujarku yang lagi-lagi tersenyum miris mengingat kejadian lalu. Bastian juga hanya tersenyum tipis tak menanggapi kata-kataku.

"Soal meninggalnya Vero, aku akan kasih tahu Ebas nanti kalo dia udah ngerti apa itu arti kata meninggal. Aku akan jelasin semuanya sama dia nanti," sambungku yang tidak terlalu yakin dengan jawabanku sendiri.

"Tapi, lebih cepat lebih baik, kan?" tanyanya yang kembali menatapku. Aku diam memikirkan ucapannya. Sementara Bastian, terlihat kembali menarik napas panjang lalu mengembuskannya dengan berat. "Aku nggak nyangka kalo akhir kisah hidup Ayah kamu akan berakhir di tangan wanita simpanannya seperti ini," gumamnya lirih.

"Mungkin itu pembalasan buat semua perbuatannya sama wanita-wanita yang dia sakiti," ujarku dengan senyuman hambar.

Bastian menggeleng kecil lalu tersenyum miris mendengar jawabanku. Dia melihat Ebas sebentar, kemudian mengusap rambut hitam putraku dan mengelus pipi Ebas yang terlihat memerah karena cuaca yang berubah dingin.

"Kasihan, anak sekecil ini harus jadi korban keegoisan orangtuanya. Tapi gimana lagi? Semua udah kejadian, dan waktu nggak bisa diputer lagi," katanya berkomentar. Dia diam sejenak lalu menatapku lekat. "Apa rencana kamu setelah ini, Mas?" tanyanya kemudian.

"Mungkin aku akan menetap di sini. Sebisa mungkin menjauhkan Ebas dari masa lalu sampai dia bisa benar-benar mengerti kenapa aku lakuin ini semua sama dia. Egois memang, tapi ini yang terbaik. Aku mau Ebas mengenalku sebagai Daddy-nya, bukan sebagai kakaknya," jawabku penuh keyakinan.

Bastian menatapku penuh arti namun tak berkomentar apa pun. Aku juga ikut menatapnya dengan tatapan yang sama. Kami berdua seperti orang asing saat ini, tapi ikatan hati kami terasa sangat dekat. Terbukti dengan detakan jantungku yang kini terasa semakin menggila sejak mulai duduk bersebelahan dengannya tadi.

"Ehm ..., kamu sendiri kenapa bisa ada di sini? Dan di sini sama siapa?" tanyaku kemudian.

"Tiga tahun yang lalu, aku ngelanjutin S2-ku di sini. Dan baru setahun ini aku kerja di salah satu perusahaan periklanan di sekitar Sky Tower. Aku di sini sendirian aja, sih," jawabnya dengan senyuman kecil. Keningku pun berkerut mendengar penuturannya.

"Aku pikir selama ini kamu sama Darwin?" ujarku mengambil kesimpulan sendiri.

Bastian tersenyum namun tak melihat ke arahku. Dia kembali mengusap rambut Ebas dan membenarkan posisi Ebas agar lebih nyaman berada di pangkuannya.

"Darwin di Jepang, setahun lagi mungkin dia mau tunangan sama pacarnya," jawabnya.

Aku menaikkan satu alisku mendengar berita itu. Abimana dan Kinan memang sukses menyembunyikan Bastian dariku. Buktinya, aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang Bastian selama tiga tahun ini. Mungkin juga, ini adalah arti dari kekagetan Abimana tadi waktu di telepon. Dia pasti sudah menduga jika kami bisa saja bertemu di sini. Dan ternyata dugaannya memang benar terjadi. Tuhan memang telah mempertemukan kami lagi.

"Terus, kamu sendiri gimana? Sama siapa sekarang?" tanyaku penasaran.

Bastian menatapku sesaat, kemudian dia terkekeh sendiri. Aku semakin mengernyitkan keningku melihat ekspresi wajahnya saat mendengar pertanyaanku. Aku merasa tidak ada yang lucu dengan pertanyaanku, tetapi mengapa dia malah terkekeh sendiri dan sekarang menggeleng samar untuk sesuatu yang tak kumengerti.

"Aku rasa, orang yang paling susah move on di dunia ini, cuma aku. Karena nyatanya, selama tiga tahun ini aku nggak pernah bisa buka hati buat orang lain," jawabnya mengomentari diri sendiri.

Aku mengerti bagaimana perasaan Bastian saat ini, karena aku juga masih merasakan hal yang sama padanya. Sejauh dan selama apa pun kami berpisah, Bastian tetap ada di hatiku sampai kapan pun.

"Kayaknya, bukan cuma kamu aja yang susah move on. Tapi aku juga," jawabku diakhiri senyuman.

Bastian berpaling melihatku. Sesaat aku merasa jika dia sedang salah tingkah sekarang. Jika aku tidak salah melihat, pipinya bersemu merah. Entah karena suhu udara yang berubah dingin atau karena kalimatku barusan.

"Pipi kamu merah," ucapku tanpa sadar sambil membelai pipinya.

Bastian terkesiap kaget. Dia menatapku lalu mengerjap lucu. "Ugh ..., really?" tanyanya sambil menepuk pipinya yang membuatnya semakin memerah. "Kayaknya ini karena cuaca yang makin dingin," ujarnya kemudian dengan wajah tersipu.

Aku tersenyum lalu meraih tangannya. Bastian semakin tersipu dan memalingkan wajahnya dariku. Aku lihat jika dia menggigit bibir bawahnya sekarang. Dia tetaplah Bastianku yang cute seperti dulu.

"Sekarang gimana, masih dingin kah?" tanyaku. Bastian menggeleng lemah seraya berpaling untuk melihatku lagi.

Kami berdua lalu terdiam dengan tangan yang saling bertautan. Aku masih bisa merasakan energi listrik yang menyusupi kulitku dan membuatku seakan tersetrum. Mata kami kembali saling menatap. Dari kilatan matanya, aku bisa melihat jika masih ada cinta yang besar untukku di sana, tetapi aku tidak terlalu yakin juga. Aku hanya takut mengartikan arti tatapan Bastian itu.

"I miss you," gumamku tanpa sadar.

"Me too," jawabnya lirih.

Aku tersenyum dan semakin erat menggenggam tangannya yang kini sudah kubawa ke atas pangkuanku. Kami berdua terdiam selama bermenit-menit lamanya. Larut dalam pikiran kami masing-masing.

"Sini, biar aku yang gantian gendong Ebas. Nanti kamu capek!" kataku setelah sadar jika aku membiarkan Ebas terlalu lama berada di pangkuan Bastian.

"Nggak papa, Mas. Biar aku aja!" jawabnya menolak.

"Tapi, Ebas berat lho. Nanti tangan kamu kram," kataku mencoba membujuknya.

"Udah nggak papa, sebaiknya kita bawa Ebas pulang. Kamu nginep di mana?" tanyanya yang menyadarkanku jika aku sudah melupakan sesuatu. Aku tidak berpikir jika aku harus menyiapkan penginapanku dan Ebas selama di Auckland.

Aku menggeleng bodoh. Tadi waktu tiba di Bandara, aku langsung mengajak Ebas menemui temanku seperti janji yang kami buat sebelumnya. Setelah itu, aku mengajak Ebas jalan-jalan ke Sky Tower dan berakhir di Viaduct Harbour ini.

Kami hanya sempat menyewa sebuah mobil untuk mengantar kami berkeliling dan aku lupa untuk memesan hotel karena aku pikir akan segera kembali ke Wellington sore harinya.

"Aku belum check in hotel, tadi langsung ketemu temen sekolah terus jalan-jalan," jawabku seraya nyengir lebar padanya.

Bastian mendengus kecil mendengar jawabanku. "Kamu ini ceroboh, Mas! Bawa anak kok nggak sewa hotel. Kita ke flat-ku aja kalo gitu. Biar Ebas lebih nyaman tidurnya, Kamu juga bisa istirahat di sana," ujarnya menawariku.

"Emang nggak ngerepotin kamu?"

"Sama sekali nggak. Ini juga udah mulai dingin. Ntar Ebas bisa sakit kalo dibiarin ada di luar tanpa mantel," katanya.

"Ya udah kalo gitu," jawabku sambil membimbingnya menuju tempat di mana tadi aku memarkirkan mobil yang kusewa setelah mendarat di sini.

⚫⚫⚫

"Ebas udah tidur, kah?" tanyaku ketika Bastian baru saja keluar dari kamar Ebas setelah makan malam selesai.

Saat ini kami sedang berada di Upper Hutt city, kediaman Max. Jaraknya 30 km arah utara Wellington. Kota ini merupakan salah satu kota satelit yang membentuk area Greater Wellington.

Pagi tadi, aku menjemput Bastian di Bandara. Dia berangkat dari Auckland dengan jadwal flight paling awal, untuk bertemu dengan Max juga Camilla. Mereka berdua sangat senang sekali ketika Bastian datang ke rumah.

Max bahkan berkali-kali menggoda kami berdua untuk segera menikah dan melupakan semua kejadian yang telah lalu. Terutama Maddy—panggilan kami untuk Madeline—yang tak hentinya meledekku.

"Udah, Mas. Kayaknya dia kecapekan seharian main sama Husky," jawabnya.

Aku mengangguk lalu mengajaknya untuk mengobrol di halaman belakang rumah Max yang sedikit temaram dengan obor kecil sebagai penerangannya. Max memang sengaja membuat konsep rumahnya terlihat seperti di pedesaan.

Pria tua yang telah membesarkanku itu, sangat suka sekali dengan alam pedesaan. Itulah sebabnya, dia memilih tinggal di kota yang terletak di dataran tinggi ini.

"Husky, kayaknya suka sama Ebas, padahal biasanya dia benci sama orang asing. Waktu aku baru nyampe di sini, dia terus menyalak marah karena belum pernah bertemu sebelumnya," kataku.

Husky itu anjing kesayangan Maddy yang baru dibeli sekitar satu tahun yang lalu. Dan sekarang, sepertinya akan jadi anjing kesayangan Ebas dan mungkin tidak akan terpisahkan karena setelah bermain dengan Ebas seharian, anjing itu mulai ramah pada kami berdua.

"Dia akan jadi teman yang baik buat Ebas, nanti," ujarnya.

Aku setuju dengan pendapatnya. Setelah itu, kami berdua sama-sama terdiam menikmati keheningan yang terasa damai menyelimuti kami.

Sebulan setelah aku berkunjung ke flat Bastian waktu itu, hubungan kami berdua mulai berangsur-angsur membaik. Ebas dan Bastian juga semakin dekat satu sama lain. Tak jarang tiap akhir pekan, kami bertiga sering berkumpul sekadar untuk jalan-jalan atau melepas rindu. Entah itu jalan-jalan di Auckland atau berkumpul di Wellington bersama keluarga angkatku.

Beberapa kali aku juga mengajak Bastian berkeliling Wellington—Ibukota negara kepulauan ini yang jaraknya tak begitu jauh dari rumah Max. Hari ini saja yang terasa berbeda. Aku khusus mengajaknya kemari karena ada hal penting yang ingin aku bicarakan padanya.

"Ehm ..., Baby," panggilku setelah kami berdua terdiam lama. Aku berjalan mendekati Bastian yang berdiri di dekat tiang kanopi di belakang teras rumah.

Bastian mengerjapkan matanya ketika mendengar panggilan itu kusematkan lagi padanya. Aku tersenyum dan menatap lembut ke arahnya. Sesaat Bastian salah tingkah namun dia bisa menyembunyikan rona merah di pipinya saat ini.

Hatiku kembali menghangat melihatnya malam ini yang tampil memesona dengan sweater lengan panjang dan sedikit lebar di bagian bahunya, serta skinny jeans yang sangat pas di kakinya.

Jika dulu, mungkin aku akan segera menerjangnya dan mengajaknya bercinta saat itu juga. Namun sekarang, rasanya itu tidak mungkin lagi kulakukan karena aku tidak ingin melukai hati Bastian dan membuatnya menganggapku seolah aku hanya menginginkan tubuhnya saja.

"Ya ...," jawabnya tersipu.

Aku meraih tangannya dan menggenggamnya erat. Tangan Bastian sangat dingin dan sedikit berkeringat. Aku rasa dia sangat gugup karena kupandangi saat ini.

"Bisakah kita mulai semuanya dari awal lagi? Aku tahu kamu masih cinta sama aku. Aku pun sama. Dan kenapa kita nggak coba menyatukan hati kita lagi seperti dulu?" tanyaku lembut.

Bastian terdiam. Matanya bergerak-gerak mencari mataku. Aku tahu jika dia belum terlalu yakin dengan permintaanku barusan.

"Apa menurut kamu ini yang terbaik? Gimana sama Ebas? Dia butuh Ibu, bukan dua orang Ayah. Apa kamu nggak khawatir sama masa depannya nanti, Mas?" tanyanya pesimis.

"Aku yakin Ebas pasti ngerti kalo kita kasih penjelasan yang benar padanya. Belum tentu dua orang Ayah nggak bisa mendidik anak dengan baik, kan?" jawabku yakin.

Kami berdua terdiam dan larut dalam pikiran kami masing-masing. Bastian menarik napas panjang seolah hal ini memberatkannya. Aku membiarkannya berpikir sejenak dan mengambil keputusan dengan benar.

"Kalo Ebas nggak suka gimana?" tanyanya lagi dengan menggigit bibir bawahnya. Dia masih belum terlalu yakin dengan permintaanku.

"Aku yakin Ebas pasti suka. Buktinya dia manggil kamu dengan sebutan, Papa, kan?"

"Tapi itu kan dalam artian beda, Mas. Ebas manggil aku begitu, karena dia merasa nyaman denganku. Lagi pula dia masih tiga tahun, belum ngerti apa-apa," katanya mencoba mendebatku.

"Terus apa bedanya? Sekarang ataupun nanti, kamu tetap Papa baginya. Aku tahu siapa anakku karena aku yang besarin dia. Sifatnya sangat bertolak belakang dengan Wiranata. Meskipun dia masih kecil, tapi aku tahu gimana Ebas. Kita hanya tinggal nunjukkin jalan yang benar ke dia dan mengajarkan hubungan dua orang lelaki itu bukanlah hal yang perlu dipermasalahkan," jawabku meyakinkannya.

"Itu tugas kamu sebagai Daddy-nya," jawabnya yang kemudian tersenyum lembut padaku.

"Tugas kamu juga sebagai Papanya," balasku dengan senyuman lebar.

Kami berdua kembali terdiam beberapa saat. Suara gemericik air dari sungai kecil yang berair jernih di samping rumah, membuat suasana pedesaan semakin terasa dan membuat malam ini kian terasa romantis.

"Aku mau ...," jawabnya setelah hening cukup lama.

Aku berpaling melihat Bastian dan menatapnya penuh tanya. "Mau apa?" tanyaku bodoh.

Bastian mendengus sebal. "Bukannya tadi itu, kamu ngelamar aku, ya?" tanyanya balik dengan nada sedikit mencemooh.

"Emang aku tadi ngelamar kamu?" tanyaku menggodanya.

Bastian semakin kesal dan mengerucutkan bibirnya. Tingkahnya yang menggemaskan itu, membuatku ingin sekali melumat bibir merahnya sekarang juga.

"Tahu, ah. Aku mau tidur!" katanya merajuk dan hendak melangkah meninggalkanku.

Aku yang gemas melihat tingkahnya, segera meraih lengannya dan membawanya dalam dekapanku. Aku terkekeh kecil waktu Bastian memekik lirih dan memukul dadaku.

"Aku benci sama kamu," ujarnya dengan suara parau.

"Benci aku terus, Sayang. Karena itu artinya kamu nggak akan mudah ngelupain aku. Semakin kamu benci sama aku, maka cintamu akan semakin besar padaku. Benci itu kan cara kita menunjukkan rasa cinta kita pada seseorang," jawabku ambigu.

"Kamu udah nggak waras, ya? Mana ada, benci itu bukti dari cinta? Ngawur!" protesnya sebal. Aku terkekeh dan semakin mendekapnya erat.

"Will you marry me?" tanyaku lalu mencium puncak kepalanya dan menghirup aroma shampoo strawberry yang menguar dari rambutnya. Manis dan menenangkan.

Bastian yang semula menolak membalas pelukanku, kini mulai merengkuhkan kedua tangannya dan memeluk erat pinggangku. Aku tersenyum lalu mengusap punggungnya perlahan-lahan. Tubuh Bastian terasa rileks dalam dekapanku.

"I will ...," jawabnya teredam dalam dadaku.

Aku melepaskan pelukanku dan menatap lekat ke arahnya. Bastian tersenyum dengan mata berbinar bahagia. Aku menemukan diriku kembali jatuh dalam pesonanya dan seakan tenggelam dalam kilau matanya.

Kuraih tengkuk Bastian dan membawanya dalam kehangatan bibirku. Mencecap kembali rasa manis yang dihadirkan oleh bibir tipisnya. Dan merasakan kembali kehangatan ciumannya lewat tautan bibir kami berdua.

"Thank you, Baby," ujarku setelah ciuman kami terurai. Bastian mengangguk dengan rona merah di pipinya.

Sebelumnya aku sama sekali tidak menyangka jika bisa sampai pada tahap ini. Bisa bertemu lagi dengan Bastian sudah merupakan anugerah terindah dalam hidupku setelah semua yang terjadi.

Apalagi jika bisa bersanding dengannya, itu sama sekali tak pernah ada dalam impianku selama tiga tahun terakhir. Mengingat bagaimana kisahku yang berakhir di tengah jalan dan seolah tak ada harapan lagi di saat Bastian menolakku mati-matian tiga tahun yang lalu.

Setelah Bastian menerima lamaranku malam itu, tiga minggu kemudian atau lebih tepatnya kemarin, kami berdua berdiri bersama di depan altar sederhana untuk mengucapkan janji suci pernikahan.

Kami menikah secara civil union di kantor kebudayaan setempat tak jauh dari kediaman Max, yang dihadiri oleh seluruh anggota keluarga kami.

Semua anggota keluarga Bastian datang dari Jakarta seminggu yang lalu untuk membantu semua persiapannya.

Kinan dan Abimana beserta ketiga anaknya juga turut serta menjadi saksi pernikahan kami. Bahkan Darwin bersedia datang jauh-jauh dari Jepang beserta kekasihnya hanya untuk memberi ucapan selamat atas pernikahan kami.

Hubunganku dengan Darwin pun akhirnya berangsur membaik karena peristiwa membahagiakan ini. Aku menghormati persahabatannya dengan Bastian dan berterima kasih padanya karena dia bersedia menjaga Bastian untukku selama perpisahanku dengan Bastian. Karena jika Bastian tidak dijaga oleh Darwin, aku mungkin takkan bisa bersanding dengan Bastian seperti yang terjadi kemarin.

Putraku Ebas, juga sangat bahagia saat aku menjelaskan padanya jika aku dan Bastian akan menikah dan tinggal bersama dengannya. Ebas mungkin belum paham apa arti pernikahan yang sebenarnya. Yang dia tahu, dia akan punya dua orang ayah yang akan menemaninya dan tidak akan meninggalkannya sampai dia dewasa nanti.

Di depan seorang petugas catatan sipil dan seluruh keluarga yang hadir, kami pun mengucapkan ikrar pernikahan dengan hati berdebar dan tangan berkeringat dingin. Meskipun begitu, senyuman tak pernah lepas dari bibir kami berdua dan orang-orang yang menjadi saksi penyatuan cinta kami.

"Bastian Wijayaputra, bersediakah kamu menerimaku menjadi pendamping hidupmu di kala sehat dan sakit serta berjanji untuk setia sampai maut memisahkan kita berdua?" tanyaku dengan napas tertahan, menunggu jawaban dari Bastian.

Bastian menatap lekat ke arahku dengan mata berkaca-kaca. Tangannya semakin berkeringat dalam genggaman tanganku.

"Aku bersedia," jawab Bastian dengan air mata yang membasahi pipinya. Aku mengembuskan napas lega dan tersenyum lebar menanti ikrar yang akan dia ucapkan untukku.

"Erlang Ivander Maximilian, bersediakah kamu menerimaku menjadi pendamping hidupmu di kala sehat dan sakit serta berjanji untuk setia sampai maut memisahkan kita berdua?"

"Yes, I do," jawabku tanpa keraguan di bibirku. Begitu juga hati dan jiwaku.

Setelah petugas catatan sipil menyatakan bahwa pernikahan kami sah dan legal menurut hukum negara, dia mempersilakan kami untuk berciuman sebagai wujud cinta kasih kami.

Aku mendekat pada Bastian dan mencium bibirnya dengan lembut. Suara riuh tepuk tangan dari para keluarga dan sahabat, seakan menjadi musik pengiring kebahagiaan kami kemarin.

Sepasang cincin emas putih dengan satu mata berlian kini juga sudah tersemat di kedua jari manis kami. Sebagai bukti bahwa kami berdua terikat dalam satu perkawinan yang suci.

Hari ini, semua seolah seperti mimpi saat aku dan Bastian berada di sini. Di sebuah rumah sederhana yang letaknya tak jauh dari pusat kota Auckland yang kubeli seminggu sebelum digelarnya pernikahan kami. Rumah ini aku berikan pada Bastian sekaligus juga sebagai kado pernikahan kami.

Malam ini, kami akan mengadakan pesta kecil-kecilan untuk merayakan resepsi pernikahan kami sekaligus sebagai ucapan perpisahan pada keluarga dan sahabat kami yang akan pulang ke Indonesia besok.

"Ebas, jangan lari-lari! Nanti jatuh!" teriak Bastian dari arah samping. Dia baru saja selesai menyiapkan meja untuk acara makan-makan kami nanti.

"Oke, Papa," jawab Ebas sambil tertawa kecil.

Saat ini, putraku itu sedang bermain bersama dengan Ken dan adik laki-lakinya yang masih berusia dua tahun. Ada Rado, Naura dan Leon, keponakan Bastian—yang baru kukenal seminggu ini—juga ikut bermain kejar-kejaran di halaman belakang rumahku yang cukup luas.

Ada kolam renang kecil juga di sisi selatan. Kami belum pernah menggunakannya karena cuacanya masih terasa dingin. Aku tersenyum melihat bagaimana Bastian selalu khawatir setiap saat pada Ebas.

"Biarin aja, Baby. Namanya juga anak-anak," kataku menenangkan Bastian.

"Kamu ini, nggak lihat di situ ada batita! Kalo mereka jatuh terus nimpa Adrian gimana?" jawabnya memprotesku.

"Udah nggak usah khawatir, mereka cuma lagi ngejar Husky, kok. Adrian kayaknya suka sama anjing itu," kataku.

Bastian mengembuskan napas kesal. Dia melihat kembali ke arah halaman dan mengernyit ketika mendapati Adrian terjatuh dan bibirnya bergetar hendak menangis. Namun dengan cepat, Ken membersihkan tanah yang menempel di lutut adiknya dan menenangkan adiknya itu. Adrian yang semula sudah hendak menangis, akhirnya batal meneteskan air matanya. Bastian pun tersenyum lega melihatnya.

"Ken, udahan mainnya. Ajak adik kamu ke dalam, nanti Mamamu marah!" ujar Bastian lagi sedikit gemas.

Ken pun mengangguk dan menggendong adiknya masuk ke dalam rumah. Namun belum sempat Ken beranjak pergi, Ebas menjerit lalu menangis karena tak mau berhenti bermain. Bastian kembali menarik napas berat dan melambaikan tangannya ke arah Ebas dan menyuruh putraku itu mendekat.

"Udah, Sayang. Kasihan Adek Ian capek. Nanti main lagi, oke!" ujarnya membujuk Ebas sambil mengusap air matanya.

"Tapi Ebas mau main sama Ian, Pa," rengeknya manja. Aku memutar bola mataku. Putraku mulai melakukan aksi dramanya kali ini.

"Iya nanti lagi ya mainnya, biarin Adek Ian-nya bobok dulu. Udah dong nangisnya! Anak cowok nggak boleh cengeng," katanya lembut tapi tegas.

"Dih! Kayak dia nggak cengeng aja. Dulu siapa coba yang nangis meraung-raung pas putus sama Erlang," ujar Abimana meledek dari arah belakang kami.

Aku terkekeh sementara Bastian melotot tajam pada Abimana dan semakin membelalak lebar ketika melihat Abimana memakan setoples kue kering milik Bastian.

"Ebas, main sama Kak Rado dulu aja, ya!" bujuknya pada Ebas lalu memanggil Rado agar mendekat padanya. "Rado, ajak Adik kamu main, ya! Tapi jangan deket-deket sama kolam renang!" katanya pada Rado.

"Oke, Om," jawab Rado. Setelah itu, kedua bocah itu pun kembali bermain di halaman bersama dengan anjing Siberian Husky yang kubawa langsung dari rumah Max.

Setelah kepergian Rado dan Ebas, Bastian berpaling pada Abimana dan melotot tajam padanya. "Heh! Siapa yang suruh makan cookies gue? Itu kan Kinan bikin khusus buat gue. Kenapa jadi elo yang makan?!" teriak Bastian histeris dan segera merebut cookies yang dipegang Abimana.

Sayangnya, Bastian kalah gesit. Abimana menaikkan toples cookies-nya yang otomatis tidak bisa diraih oleh Bastian yang memang lebih pendek dari Abimana.

Aku menggelengkan kepala melihat perdebatan mereka berdua. Dari dulu, Abimana dan Bastian memang selalu seperti itu. Tak pernah berubah.

"Yang bikin ini kan istriku. Suka-suka aku dong mau makan atau nggak! Kamu enak, tinggal makan. Nggak ngerti gimana repotnya Kinan bikin kue sambil ngurusin dua batita," balas Abimana sengit.

"Itu salah lo! Kenapa elo mau bikin anak kalo nggak mau ikut ngurusin," sahut Bastian.

Abimana memeletkan lidahnya mengejek Bastian dan membuat suamiku itu mengerucutkan bibirnya kesal.

Kuraih pinggang Bastian sampai dia terjatuh di pangkuanku dan membuatnya memekik lirih lalu memukuliku dengan gemas. Tingkah manjanya kembali lagi seperti dulu dan membuatku semakin ingin menggodanya. Kuciumi tengkuknya yang membuat Bastian bergidik geli karena sentuhan bibirku di titik sensitifnya.

"Mas, apaan, sih? Banyak orang nih!" ujarnya dengan pipi merona.

Aku tidak peduli dan semakin merapatkan tubuhnya dalam dekapanku. Bastian semakin tertawa geli saat tanganku dengan nakal menggelitik perutnya.

"Ya ampun, kalian berdua ini? Apa di rumah ini ndak ada kamar kosong? Banyak anak kecil woe!!" gerutu Kinan yang tiba-tiba saja datang.

Dengan kesal dia meletakkan Alice ke dalam pangkuan Abimana dan meraih toples cookies di tangan suaminya itu. Kini giliran Abimana yang cemberut pada istrinya.

"Berhenti makan! Nih, ajak anakmu main! Aku repot di dapur. Kalian ini para pria minta enaknya aja. Giliran bikin anak semangat, pas disuruh jagain banyak banget alesannya!" ocehnya pada sang suami lalu segera pergi meninggalkan aku yang terbahak-bahak melihat Abimana bertekuk lutut di bawah kuasa Kinan.

"Rasain! Makanya jangan rese!" ujar Bastian meledek Abimana yang membuat sahabatku itu memutar bola matanya. Aku dan Bastian kembali terbahak meledeknya.

"Terus aja ledekin! Aku sumpahin biar kamu beranak, baru tahu rasa!!" katanya kesal, lalu meninggalkan aku berdua saja dengan Bastian.

"Fuck you, asshole!" umpat Bastian.

Aku menggeram dan langsung meraih tengkuk Bastian dan menciumnya tanpa ampun. Tak peduli jika Bastian kaget mendapat ciuman mendadak dariku.

"Berhenti ngomong jorok. Yang boleh nge-fuck kamu cuma aku. Inget itu, Baby!" kataku setelah melepaskan ciumanku.

"Dasar mesum!" ledeknya sambil mengalungkan tangannya di leherku dan menggesekkan hidung kami berdua. Aku menatap lekat tepat di pupil matanya. Kini, cintaku padanya semakin bertambah besar dan berlipat-lipat.

"I love you," gumamku sambil mengecup bibirnya yang membengkak karena ciumanku tadi.

"Love you more," jawabnya dengan mata berbinar. Kami berdua sama-sama terdiam beberapa saat dan hanya saling memandang setelah itu. "Ini mimpi nggak sih, Mas?" tanyanya sambil mengusap rambutku.

"No, Baby. This is real. Setelah sekian lama dan banyak sekali rintangan. Kita berdua akhirnya bisa nikah juga," jawabku sambil mengusap pipinya. Bastian pun tersenyum lembut padaku.

"Maaf, karena dulu aku nggak mau dengerin penjelasanmu," katanya penuh penyesalan.

"Nggak papa, Sayang. Aku juga salah karena nggak pertahanin kamu waktu itu. Tapi, mungkin ini emang cara Tuhan buat menguji seberapa besar dan kuatnya cinta kita berdua," jawabku. Bastian pun mengangguk setuju mendengar jawabanku.

"Mas bener, kalo nggak ada ujian ini. Mungkin kita nggak akan tahu seberapa besar cinta kita sebenarnya."

Aku mengangguk. "Makin pinter aja sih, suamiku ini," kataku sambil mencubit hidung mancungnya dengan gemas.

"Suami siapa dulu, dong!" katanya bangga. Aku terkekeh dan kembali mencium bibirnya dengan gemas.

Bastian, sampai kapan pun aku takkan pernah lagi melepasmu meskipun badai menerjang rumah tangga kita. Aku janji, sebesar apa pun usahamu menolakku, aku takkan pernah membiarkan kamu pergi lagi dariku seperti dulu.

⚫⚫⚫

Hari semakin petang dan seluruh anggota keluarga yang tadi beristirahat, kini semuanya sudah berkumpul di halaman belakang rumah.

Hidangan makan malam yang tadi disiapkan oleh Kinan bersama Mama Christin juga Camilla, sudah terhidang seluruhnya di meja. Para pria juga sibuk menyiapkan sampagne dan perlengkapan untuk acara barbeque tengah malam nanti.

Darwin dan kekasihnya juga sudah datang ke rumah baruku sesaat sebelum makan malam dimulai. Mereka berdua menolak untuk menginap di rumahku dengan alasan banyaknya anggota keluarga yang datang dan kamar yang sedikit.

Lagi pula mereka ingin ruangan privasi sendiri, agar tidak mengganggu yang lain. Kalian pasti tahu apa maksudku, kan? Mereka berdua tak ingin orang lain mendengar suara mereka ketika bercinta.

Setelah acara makan malam selesai, kami semua berkumpul di halaman belakang. Ada yang masih menikmati kudapan dan makanan kecil, ada juga yang hanya berkumpul di dekat kolam renang.

Abimana dan Darwin sedang sibuk membakar daging, sementara Bastian dan pacar Darwin yang aku tidak tahu siapa namanya, sedang berbincang di teras dengan sampagne di tangan.

Sementara, Ken, Naura dan Rado sedang duduk di bangku taman dengan gitar di tangan Rado. Mereka bertiga sedang menyanyikan lagu Lost Star milik vokalis grup musik Maroon 5—Adam Levine.

Sedangkan para balita dan batita, berkumpul di taman bermain yang ada di sisi utara halaman belakang rumah. Ada perosotan juga ayunan serta jungkat-jungkit yang kebetulan sudah ada sejak aku membeli rumah ini.

Namun di antara semua anak yang ada, hanya Ebas sendiri yang aneh menurutku. Sejak tadi, dia terus saja mengikuti ke mana Adrian pergi. Sedangkan anak kembar Abimana itu, hanya tersenyum-senyum geli dengan wajah malu-malu di depan Ebas.

Sementara Maddy, adik angkatku itu sibuk bermain dengan anak-anak dan entah apa yang dilakukannya sekarang, karena Maddy terlihat sedang membisikkan sesuatu di telinga Ebas.

Aku menaikkan satu alisku ketika Ebas dengan semangat memetik bunga crysanthemum berwarna putih yang tumbuh di sekitar halaman lalu kembali ke arah Adrian yang menunduk lucu menanti Ebas, sambil memilin ujung kausnya.

"Adlian!!" panggil Ebas dengan logat cadelnya.

Aku dan yang lain terdiam, kami semua memusatkan perhatian ketika mendengar teriakan Ebas dan memandang dua bocah kecil itu secara bergantian. Darwin sendiri sudah bersiul nyaring sambil cekikikan melihat tingkah dua bocah laki-laki lucu di tengah-tengah halaman.

Dengan senyum manisnya, Ebas mengulurkan bunga yang tadi dipetiknya ke arah Adrian. Aku melotot memikirkan hal apa yang akan terjadi selanjutnya. Sementara si Maddy—biang keladinya—hanya terkikik kecil melihat adegan dua bocah cilik yang sedang berlangsung saat ini.

"Wi yu meli mi?" tanya Ebas dengan pelafalan kurang jelas dan masih tetap mengulurkan bunga pada Adrian. Menunggu Adrian menerima bunga itu.

Kami para orangtua menganga melihat kejadian itu. Aku menggeleng lirih melihat tingkah Ebas, sementara Bastian terdengar memekik kecil di seberangku seraya menutup mulutnya yang menganga lebar karena terkejut mendengar pertanyaan Ebas pada putra kembar Abimana dan Kinan itu. Aku sendiri heran mengapa Ebas bisa berkata seperti itu di usianya yang masih tiga tahun. Maddy, benar-benar membawa pengaruh buruk untuk anakku.

Adrian mungkin tak mengerti dengan ucapan Ebas, tapi kami para orangtua mulai mengelus dada saat Adrian mengangguk dan menerima bunga itu dari tangan Ebas dengan ekspresi malu-malu.

"Wah ..., Erlang! Anak kamu boleh juga, tuh! Gimana kalo kalian nikahin aja mereka, sekarang?!" teriak Darwin padaku dengan tawa meledeknya. Aku hanya tersenyum kecil menanggapinya.

Sementara Abimana, sudah memijat pelipisnya melihat kepolosan putranya. Sepertinya dia pusing memikirkan bagaimana jika nanti anak laki-lakinya berubah menjadi gay seperti aku dan Bastian ataupun Darwin dan kekasihnya.

Waktu kecil dulu, aku juga sering dijodoh-jodohkan oleh Max dengan anak lelaki dari teman-temannya. Dan akhirnya, aku pun berakhir menikah dengan lelaki sekarang.

"Dasar sinting!!" jawab Abimana kesal sambil menoyor dahi Darwin yang ada di dekatnya. Darwin semakin tertawa senang melihat wajah kesal Abimana.

Kinan yang ada bersama para wanita, tersenyum-senyum senang dan malah sibuk mengambil gambar kejadian tadi. Dia sama sekali tidak peduli dengan gerutuan suaminya saat ini.

"Ooh ..., lihat tuh mereka, cute banget!" komentarnya dengan senyuman lebar sambil memegangi kedua pipinya sendiri seperti para fujoshi yang melihat pasangan gay pada umumnya. Abimana memutar bola mata melihat tingkah istrinya dan hanya bisa mendesah pasrah setelahnya.

Semua orang yang hadir di sana tertawa melihat tingkah polah kedua bocah kecil itu yang kini malah saling berpelukan dan membuat Abimana semakin kebakaran jenggot lalu melotot padaku dan Bastian.

Aku sendiri tak terlalu serius menanggapi tingkah polah anakku. Segala sesuatunya bisa terjadi ke depannya nanti. Belum tentu jika dewasa nanti, mereka akan saling suka seperti yang para orangtua khawatirkan saat ini.

Kita tidak akan pernah tahu bagaimana jalan hidup kita ke depannya nanti. Termasuk bocah-bocah tadi. Jika sudah dewasa nanti, mereka juga akan tahu apa makna dari kalimat yang pernah mereka ucapkan tadi. Dan segalanya, takkan pernah terjadi jika Tuhan tidak pernah menghendaki hal itu terjadi.

Seperti diriku, siapa yang akan mengira jika akhirnya aku akan benar-benar menikah dengan Bastian. Mimpi pun, aku tak berani membayangkannya. Bagiku, semua kejutan yang terjadi selama dua bulan ini memang rencana Tuhan yang paling sempurna.

Dengan berkat-Nya, aku akhirnya bisa menemukan belahan jiwaku sekaligus cinta sejatiku yang sesungguhnya.

Bastian Wijayaputra.

You're My Soulmate and My Endless Love.

⚫⚫⚫

FIN

Happy for them.

Auckland, New Zealand.
November, 2019

.

.

.

.

Finally, kisah Bastian berakhir sampai di sini. Maaf untuk epilog yang sedikit terlambat dari jadwal update karena Lona kesulitan membuat PoV menurut Erlang.

Semoga nggak ada lagi yang kecewa karena kisah ini berakhir. Maaf juga, jika endingnya kurang berkenan di hati kalian.

Thank you for reading.

Salam,

Wilona Ayunda
Don't forget to be happy :)

Đọc tiếp

Bạn Cũng Sẽ Thích

40.3K 1.5K 14
Ini kisahku dengan Rama. Seorang yang kusuka sejak hari pertama kumengenalnya. Tapi Rama bukan pria biasa. Dia pacar sahabatku. Tapi kudengar sekaran...
37.5K 550 9
Kau. Sebuah ketidak jelasan indah yang aku ciptakan. Datang lalu pergi tanpa bicara.
H.I.M Bởi Pororo

Teen Fiction

193K 10.9K 31
Namanya Mas Arlan. Dia itu tetangga baruku yang baru menempati rumah kosong di gang sebelah, selama dua minggu. Pertama kali aku bertemunya adalah...
58.5K 2.3K 26
Cerita ini saya tulis berdasarkan kisah nyata yang saya dan bagas alami, untuk semua foto yang saya cantumkan dalam beberapa PART itu bukanlah kami...