Past & Future

由 BrightQomar

366K 17.4K 260

Tak ada yang tahu bagaimana Allah menakdirkan sesuatu. Termasuk bertemu dengan seseorang dari masa lalu. Zaki... 更多

1. Dipertemukan Takdir (?)
2. Hati yang Merindu
3. Hari Pertama
4. Magang (1)
5. Perayaan Kecil
6. Memantapkan Hati
Khitbah dan Kejutan
Magang (2)
Magang (3)
Masa Lalu
Pertemuan Keluarga
Wedding
Kembali Bekerja
Tatapan Hati
Kejujuran
Cemburu (1)
Cemburu (2)
Cemburu (3)
Masalah Terselesaikan
Bahagia Bersamamu
Buah Hati
Extra Part 1
Extra Part 2-Keluarga Samawa
Thanks to
Revisi
THE PAST & PRESENT
INFO

Ending

15.9K 616 13
由 BrightQomar

Karena Allah kita berjumpa, karena Allah kita bersama, karena Allah kita berjuang, karena Allah kita bersabar, karena Allah kita berpisah, dan karena Allah kelak kita akan disatukan kembali, dan mudah-mudahan di tempat yang terbaik.

( Ustadz Felix Siaw )

***

Zakira POV

Perutku semakin membesar di usia kehamilanku yang ketujuh bulan. Dan selama itu pula, Tiar setia menemaniku. Mulai dari morning sickness hingga keinginanku yang terkadang sulit untuk dikabulkan.

Tiar begitu sabar menghadapi emosiku yang seringkali tidak stabil. Selalu membacakan ayat suci Al-qur'an di perutku. Agar bayi di dalam kandunganku terbiasa dengan bacaan tersebut.

Banyak hal yang sudah Tiar lakukan untukku. Seakan-akan ia mengetahui segala yang aku butuhkan, hingga sesuatu yang aku inginkan. Tiar tidak pernah mengeluh kepadaku. Aku bangga memiliki suami siaga sepertinya.

"Hey melamun aja kamu, Ai. Pasti lagi mikirin aku ya." kekeh Tiar. Aku balas dengan mencubit lengannya.

"Ah sakit, Ai. Kenapa malah dicubit sih?" rintihnya.

"Mas Tiar itu kepedean banget sih. Aku nggak melamun, aku cuma lagi ingat-ingat sesuatu. Oh iya, kenapa jam segini udah pulang, Mas? Masih jam 1 lho ini."

"Mas tadi ada meeting di dekat sini. Dan kebetulan udah nggak ada kerjaan lagi di kantor. Jadilah mas pulang sekarang. Lagian mas juga kangen sama anakku yang ada disini nih." ucapnya sambil memegang perutku.

"Emm kangennya cuma sama anaknya nih, nggak kangen sama bundanya yaa..." rajukku.

"Kalau sama bundanya mah bukan kangen lagi, tapi kangen banget-banget." balasnya sambil memelukku.

Tidak ada yang berubah dari pelukannya. Selalu hangat dan menenangkan. Dan aku berharap akan tetap seperti ini.

"Melamun lagi kan... Apa yang kamu pikirin sih, Ai? Ada yang ganggu pikiran kamu?" Aku menggeleng.

"Aku cuma mikir, apa yang udah aku lakukan sampai-sampai aku dapat suami kayak mas Tiar? Pengertian, selalu siaga, sabar, nggak pernah ngeluh. Lengkap deh pokoknya "

"Aku cuma menjalankan peranku sebagai suami dan calon ayah yang baik, Ai. Kamu bahkan lebih sabar daripada aku. Nggak peduli gimana sakitnya kamu selama mengandung, kamu nggak pernah mengeluh. Aku bangga dengan istriku ini." Sekarang giliran Tiar yang mencubit hidungku. Lama-lama jadi mancung deh aku.

"Emm...mas, tadi pagi Kira dapat kabar kalau wisudanya minggu depan. Mas Tiar bisa ikut nggak? Kira udah bilang sama Ibu dan Mama. Mereka setuju setuju saja, tinggal mas Tiar aja. Tapi sebenarnya mas Tiar nggak dateng juga nggak apa-apa, undangannya juga untuk 2 orang."

"Kalau cuman buat 2 orang kenapa kamu ajak aku, Ai? Kan udah ada mama sama ibu. Minggu depan aku juga harus keluar kota, Farel nggak bisa gantiin aku. Boleh kan kalau aku nggak dateng di wisudamu?"

Aku tidak bisa menahan rasa kecewaku. Aku sangat berharap Tiar bisa mendampingiku saat aku memakai toga nantia, saat aku memberikan sambutan sebagai perwakilan mahasiswa, saat aku mendapat gelar sarjana.

Tapi aku juga tidak boleh egois. Tiar harus tanggung jawab dengan pekerjaannya. Selama kehamilanku ia tidak pernah keluar kota karena ingin menjagaku. Jika ia mengambil pekerjaan ini, berarti pekerjaan kali ini sangatlah penting.

Aku tidak boleh egois. Aku harus mendukung apapun yang dikerjakan oleh suamiku jika itu adalah hal yang baik.

"Kamu nggak papa kan aku tinggal? Cuma 2 hari, jumat siang aku berangkat. InsyaAllah minggu pagi udah ada disini. Nanti aku minta tolong mama atau ibu buat jagain kamu. Nggak papa kan, Ai?" tanya Tiar lagi.

"Nggak apa-apa, Mas. Kira bisa jaga diri kok. Yang penting mas fokus ke pekerjaan." jawabku dengan senyum terbaikku. Aku tidak ingin Tiar terus mengkhawatirkan kehamilanku dan menganggu pekerjaannya nanti.

"Maaf ya, Ai. Aku nggak bisa lihat kamu pakai toga. Padahal dari dulu aku pingin lihat kamu pakai toga. Eh malah aku ada kerjaan di luar kota. Andai aja Farel bisa menggantikanku, tapi sayangnya dia juga harus jaga istrinya di rumah sakit. Sebentar lagi bakal lahiran, takutnya nanti dia nggak bisa dampingi istrinya. Sekali lagi maaf ya..." ucapnya sambil mengecup telapak tanganku berkali-kali. Aku tertawa geli.

"Ish geli ah, Mas. Iya iya aku maafin. Tapi pulangnya harus bawa oleh-oleh ya." Masih dengan kekehan kecilku.

"Berangkat aja belum udah dimintain oleh-oleh. Kamu ini, Ai..." Tiar menggelengkan kepalanya. Selalu begitu jika aku berbicara aneh atau bertingkah laku kekanakan.

Tiar beralih ke lemari baju. Mengambil kaos putih dan celana jins panjang.

"Ai, jalan-jalan yuk. Aku ada tempat bagus, baru dikasih tau sama salah satu karyawan tadi. Aku jamin kamu bakal suka." Tidak biasanya Tiar mengajakku pergi saat siang hari.

"Kemana, Mas? Jauh nggak?" tanyaku penasaran.

"Lumayan sih. Nanti kita sholat ashar di jalan aja. Kamu bawa mukena ya sama sarung buat aku. Aku siapin mobil dulu." Lanjutnya melangkah keluar.

Aku pun menuruti perkataan Tiar. Mengambil mukena dan sarung. Ku masukkan ke dalam tas kecil yang sudah menemaniku sejak SMA.

Tiar sudah membunyikan klakson, tanda ia sudah siap. Aku segera mengunci pintu kamar dan memastikan bahwa semuanya aman. Tiar menungguku di teras rumah, dan segera mengunci pintu rumah setelah aku masuk ke mobil.

"Kamu tidur aja dulu, mungkin perjalanannya 2-3 jam. Kalau udah ashar aku bangunin deh." Aku pun menurutinya-lagi.

***

Entah sudah berapa lama aku terpejam. Yang aku tahu, sekarang mobil sudah berhenti. Tepat di depan masjid. Aku menengok ke arah Tiar, ia sedang melamun sambil memandangiku. Karena belum sadar jika aku juga memandanginya, akupun terkekeh.

"Sadar atuh, Mas. Udah adzan itu lho, kamu malah melamun. Turun yuk, nanti malah masbuk gimana coba." ucapku sambil turun dari mobil.

Selang beberapa detik terdengar bunyi pintu ditutup juga. Tangannya sudah bertengger di bahuku.

"Aku sedang terpesona dengan bidadariku yang satu ini. Wajahnya selalu membuatku lupa dunia." pipiku merona hanya karena ucapannya itu.

"Astaghfirullah Mas...mas...kamu itu bisa aja. Tapi jangan sampai lupa sama kewajiban dong. Udah adzan bukannya bangunin aku buat sholat malah ngeliatin wajahku kayak gitu. Ckck" walau tak urung aku tersenyum juga.

"Astaghfirullah iyaya, Ai. Aku bahkan nggak dengar adzan, eh bohong deng. Tadi aku dengar, tapi waktu mau bangunin kamu aku malah terpesona sama kamu. Ck pesona kamu itu nggak hilang hilang ya."

"Aish mas Tiar apaan sih. Udah sana ah, buruan wudhu. Aku juga mau wudhu dulu. Ini sarungnya." ucapku salting.

"Aduhduh istriku bisa salting juga ya.. yaudah deh aku wudhu dulu." Tak lupa ia mencium keningku.

Aku pun segera mengambil wudhu juga. Shaf perempuan masjid ini lumayan penuh, aku menempatkan diri dibagian kanan dekat tembok. Iqamah mulai berkumandang, kami pun bersiap menunaikan sholat ashar.

Selesai sholat para jamaah perempuan bersalaman, aku yang notabene bukan warga sekitar ikut tersenyum saat melihat mereka tersenyum ke arahku. Dilanjut dengan doa yang dibimbing imam.

"Teteh bukan orang sini ya?" Tanya gadis cantik disebelahku saat melipat mukena.

"Iya nih. Lagi jalan-jalan sama suami tapi nggak tau ini daerah mana hehe. Soalnya dari tadi tidur." jawabku

"Oalah pantes aku belum pernah lihat teteh. Kenalin namaku Lala, Teh. Nama teteh sendiri siapa?"

"Aku Kira. Kayaknya kita seumuran deh. Jangan panggil aku teteh, agak aneh kalau didengar."

"Haha iya, aku baru lulus kuliah bulan ini. Kamu sendiri gimana, Kir?"

"Sama dong, minggu depan baru wisuda tapi."

"Wow, mau wisuda tapi udah nikah ya? Udah hamil bahkan. Usia kandunganmu berapa, Kir?" Percakapan kami pun berlanjut hingga teras masjid. Tiar juga belum keluar, jadi tidak masalah jika aku berbincang dengan Lala. Hitung-hitung menambah saudara.

"Udah tujuh bulan, La. Alhamdulillah."

"Subhanallah ibu muda dong kamu. Pingin deh kayak kamu juga. Omong-omong kamu lulusan apa, Kir?"

"Desain interior. Kamu sendiri?"

"Kalau aku bidan, Kir. Disini masih kekurangan tenaga bidan, jadi rata-rata masyarakatnya ke dukun beranak. Jadi aku pikir, bidan lebih dibutuhkan disini."

"MasyaAllah, mulia banget keinginanmu. Terus katanya kamu pingin kayak aku, udah ada calon ya?"

"InsyaAllah udah, tapi aku belum tau itu siapa. Bapak belum kasih tau aku. Ya aku sih terserah bapak aja, kalau bapak setuju insyaAllah itu memang jodohku. Aku menyerahkan semuanya sama Allah."

"Ya insyaAllah segera ya, La. Apapun pilihan orangtua insyaAllah itu yang terbaik untuk anaknya. Bapakmu pasti udah memikirkan yang terbaik." usai menjawab, ada seseorang yang menepuk pundakku.

"Kamu toh Mas. Aku kira siapa, ngagetin aja."

"Kamu yang serius banget ngobrolnya. Oh ya kamu ngobrol sama siapa?" tanya Tiar.

"Ini Lala, Mas. Calon bidan di daerah ini." Yang diamini oleh Lala.

"Saya Lala, Kang. Maaf istrinya saya pinjam tadi. Lumayan untuk teman mengobrol sambil menunggu bapak keluar." ucap Lala sambil menangkupkan tangannya di dada.

"Saya Tiar. Tidak masalah, La. Saya tadi juga sedang mengobrol di dalam. Mungkin itu bapakmu, saya juga tadi ngobrol dengan Arul juga." balas Tiar.

Lala terlihat sedikit berpikir, mungkin ia kenal dengan lelaki yang disebut Tiar tadi. Tak berapa lama, ada dua orang laki-laki berjalan ke arah kami.

"Assalamualaikum." Ucap mereka bersamaan.

"Wa'alaikumussalam warrahmatulah." Jawabku, Lala juga menjawab dengan lirih.

"Masih ingat dengan Arul kan, Ai? Dia dulu di bagian interior tapi pindah di bagian eksterior sekarang." Aku berusaha mengingat.

"Ah iya, Arul. Apa kabar kamu? Lama tidak berjumpa." ujarku dengan tersenyum sopan.

"Alhamdulillah baik, Bu. Bu Kira jarang berkunjung ke kantor, kandungannya juga semakin besar ya."

"Iya nih sudah tujuh bulan. Atasanmu itu lho yang nggak kasih ijin buat saya ke kantor. Padahal saya sudah rindu dengan kantor." keluhku.

"Itu untuk kebaikanmu, Ai. Kamu kalau udah ke kantor pasti pinginnya kerja. Sabar sampai nanti anak kita lahir." sanggah Tiar segera.

"Eh iya, Pak. Kenalkan ini istri saya, Zakira. Dan Kira, kenalkan ini Pak Abdul." lanjut Tiar mengenalkanku dengan lelaki paruh baya di depanku.

Aku balas menangkupkan tangan ke Pak Abdul. Ia juga balas tersenyum ke arahku. Lalu aku beralih melihat Lala, ia masih menundukkan kepalanya.

"Lala..." panggilku.

"Iya, Kir ada apa?" jawabnya.

"Kamu kenapa diam aja? Itu bapakmu mau pulang lho." ucapku saat melihat Pak Abdul memakai sandal.

"Oh..eh iya, Kir. Yaudah kalau gitu, aku duluan ya. Kamu hati-hati ya di jalan. Assalamualaikum." jawabnya sedikit gugup.

"Saya pamit dulu ya Pak, Bu. Sampai bertemu besok senin di kantor. Assalamualaikum." Arul pun juga berlalu meninggalkan kami.

Sepertinya ada hal yang Pak Abdul ingin sampaikan. Mungkin beliau tidak ingin aku dan Tiar mendengarnya. Dan aku juga sepertinya tahu, apa hal yang ingin disampaikan Pak Abdul.

Aku tersenyum melihatnya. InsyaAllah mereka akan menjadi pasangan serasi.

"Kamu kenapa senyum-senyum sendiri, Ai? Perasaan nggak ada yang lucu deh." ujar Tiar seraya menggandeng tanganku menuju mobil.

"Alah mas Tiar pasti tau deh. Tadi Lala sedikit cerita tentang calon suaminya. Pasti yang dimaksud Arul kan? Bisa jadi juga mas Tiar sengaja kesini biar tau calon istrinya Arul, iya kan iya kan?"

"Ah istriku pintar sekali. Nggak sia-sia aku pilih kamu, Ai hehehe." Ah benar dugaanku.

"Jadi cerita ke aku apa yang sebenarnya mas rencanakan. Kenapa aku nggak diberitahu dulu tadi?"

"Kemarin Arul ijin nggak masuk kerja, katanya mau khitbah perempuan di kampungnya. Nah dia juga cerita, tempat-tempat yang bagus disini. Aku jadi penasaran deh sama tempat ini, aku browsing eh nemu tempat yang bagus. Rencananya aku mau ajak kamu besok pagi aja, jadi banyak waktu luang." jelasnya.

"Terus kenapa perginya sekarang? Terus kenapa bisa tiba-tiba ketemu Arul di masjid tadi?" pintaku tidak sabar.

"Sabar dong, biar aku cerita sampai selesai dulu. Cerewetmu itu nggak hilang-hilang ya." aku mengangguk-angguk saja.

"Alhamdulillah tadi kerjaanku di kantor udah selesai, yaudah deh daripada nunggu besok lebih baik hari ini aja. Nah terus waktu mau berangkat tadi, Arul kasih kabar kalau ia berencana melamar Lala nanti malam. Kebetulan sekali, dia juga minta aku untuk ikut. Dan soal masjid tadi, itu memang satu-satunya masjid disana jadi secara nggak langsung kita bakal ketemu Lala dan Arul."

"Ooooohhh aku ngerti aku ngerti. Wih kebetulan banget ya, Mas. Aku bisa ngobrol-ngobrol sama Lala dan secara nggak langsung aku tau gimana pribadi Lala." aku manggut-manggut mengerti.

"Iya, Ai. Aku juga udah tau kalau nanti kamu bakal ngobrol sama Lala. Sifat kalian hampir sama, kalau ada orang yang dikenal tapi kelihatan baik pasti akan langsung diajak kenalan."

Aku memikirkan ucapan Tiar. Memang benar, Lala orang yang supel. Tidak salah bila ia memilih menjadi bidan, ia pasti sabar dalam menghadapi persalinan orang-orang nantinya.

"Yaudah bagus deh kalau gitu. Semoga acaranya nanti lancar. Ngomong-ngomong ini masih jauh nggak ya, Mas?"

"Sebentar lagi kita sampai, tunggu aja."

***

Mobil berhenti tepat di perkebunan bunga. Tiar sudah turun dari mobil dan membukakan pintu untukku. Ia juga mengulurkan tangan kanannya tanda ia ingin menggenggam tanganku. Aku terkekeh kecil melihat kelakuannya.

"Kamu ngapain sih mas? Aku bisa turun sendiri kali."

"Udah sini, aku mau gandeng tangan kamu." aku pun menurutinya.

"Mas Tiar mah kalau mau modus jago banget ya." tawa kecil meluncur dari mulutku.

"Modus sama istri sendiri boleh aja kali, Ai. Nanti kalau aku modus sama perempuan lain kamunya cemburu."

"Ngapain juga aku cemburu, Mas? Kalau kamu mau modus sama perempuan lain, yaudah gih sana." tantangku.

"Yaudah kalau nggak mau dimodusin. Aku cari perempuan yang mau aku modusin aja." rajuknya sambil berlalu meninggalkanku sendiri di depan mobil.

Aku membiarkannya pergi menghampiri seorang perempuan yang nampaknya sedang sendiri. Terlihat cantik dengan balutan baju santainya.

Mereka tampak berbincang-bincang. Aku tidak bisa mendengar apa yang Tiar bicarakan dengan perempuan itu, tapi aku bisa melihat bagaimana tatapan terpesona perempuan itu.

Ada ide jahil terlintas di kepalaku. Segera ku ambil handphone dan mengetik sebuah pesan untuk seseorang. Tak berapa lama ada balasan masuk. Aku tertawa kecil saat membacanya.

Tiba-tiba handpone di genggamanku menghilang. Bukan terjatuh atau menghilang seperti sulap. Tapi ada yang mengambilnya. Dan aku tahu siapa itu.

"Apa sih kamu, Mas? Sini balikin handphoneku. Smsnya afiq belum aku bales tuh..." ujarku seraya menggapai benda di tangan Tiar.

Aku tidak mengamati wajah Tiar, tapi saat ia tidak bergerak sama sekali aku baru memperhatikannya.

Ekspresinya berbeda. Wajahnya mengeras. Aku tahu ekspresi ini.

"Kamu kenapa marah, Mas?" tanyaku pelan.

"Kamu masih tanya kenapa aku marah, Ra?" jawabnya dengan suara sedikit meninggi.

"Aku ngobrol sama perempuan lain disana tapi kamu malah asik sendiri dengan handphonemu. Apa nggak ada rasa cemburu di hatimu melihat aku berdua saja dengan seorang wanita?

"Aku tahu sekarang kenapa kamu nggak nyusul aku kesana. Kamu udah asik sama Afiq, padahal dia nggak ada disini." ekspresinya belum berubah, dingin.

Aku takut melihatnya seperti ini. Wajah ini sudah lama tidak ku lihat. Tidak kusangka apa yang kulakukan membuatnya marah. Satu tetes turun di pipiku.

"Mas, bisakah nada bicaramu pelan sedikit? Aku mengerti kalau mas Tiar marah. Dan aku minta maaf untuk itu." aku masuk kembali ke dalam mobil yang ternyata tidak dikunci.

Tidak berapa lama pintu di samping kemudi terbuka. Tanpa melihatnya aku sudah tahu jika itu Tiar. Ia tidak berbicara apapun, tapi kudengar helaan kasar darinya.

"Maaf"

"Mas nggak salah kok. Aku tau mas lagi emosi." jawabku tanpa melihatnya.

"Nggak..nggak. Aku beneran minta maaf. Nggak seharusnya aku bicara kayak gitu tadi. Aku belum bisa ngontrol emosiku, apalagi itu menyangkut kamu. Maaf...aku minta maaf."

Tanganku sudah berada di genggamannya. Kubiarkan tangannya menggenggam tanganku. Tapi aku belum berani melihatnya, masih ada rasa takut dalam diriku.

"Kira...lihat aku. Lihat mataku!"

"Aku...aku... takut, Mas." jawabku jujur walau dengan sesenggukan. Perlahan genggaman tangannya lepas.

"Astaghfirullah. Bagaimana bisa aku membuat istriku takut denganku? Kamu bodoh, Tiar! Bodoh!" ujar Tiar sambil memukul-mukul setir. Aku tidak tega melihatnya seperti itu.

Dengan pelan kuraih tangannya, ia melihat ke arahku. Tatapannya menunjukkan raut menyesal.

"Jangan sakiti tanganmu sendiri, Mas." jawabku dengan mengelus-elus tangannya yang merah.

"Maafin aku, Ai. Maafin aku. Aku janji nggak akan seperti itu lagi. Jangan menangis lagi karenaku. Jangan lagi." kata Tiar seraya menarikku ke dalam pelukannya.

"Kalau mas tanya aku cemburu atau nggak, dengan pasti aku jawab iya. Itu udah kodratnya manusia. Tapi aku bisa mengontrol rasa cemburuku, aku nggak pingin rasa cemburuku jadi bumerang. Kita udah pernah ngalamin hal itu, Mas."

"Maaf...maaf, Ai. Aku janji lain kali bakal ngontrol cemburuku." ujar Tiar.

"Udah ah, Mas. Lepasin, kasihan adik bayi nggak bisa nafas." Ia pun segera melepaskan pelukannya.

"Hehehe aku lupa kalau ada bayi disini." kupukul lengannya sedikit kencang. Ia meringis kecil.

"Aku mau nunjukkin sesuatu sama kamu, Ai. Kamu kuat jalan nggak? Atau mau aku gendong aja?" ajaknya.

"Aku sadar badan kali, Mas. Udahlah aku jalan aja, insyaAllah aku kuat. Kalau capek ya tinggal istirahat aja." jawabku santai.

"Okedeh, ayo keburu sunset nih."

Kami pun berjalan menyusuri perkebunan. Tapi satu yang membuatku terkejut.

Di ujung perkebunan banyak sekali bunga aster. Bunga favoritku. Dengan warna ungu yang indah.

Aku melihat ke samping kiriku, Tiar tersenyum ke arahku. Ia mulai menuntunku perlahan menuju ke sekumpulan bunga aster yang sepertinya baru mekar.

Subhanallah betapa indahnya perkebunan ini. Sekarang aku dikelilingi oleh bunga-bunga favoritku. Aku meminta persetujuan Tiar saat ingin memetik satu tangkai dan ia membolehkannya.

Cantik. Kata itu yang selalu terucap bila aku melihat Aster. Banyak filosofi yang terdapat pada bunga ini.

"Banyak orang yang percaya kalau bunga aster itu lambang cinta dan kesabaran, tapi ada juga yang percaya kalau memberikan bunga aster pada seseorang, ini berarti mengungkapkan suatu pertanyaan tentang 'apakah orang itu setia ataukah tidak'. Tapi aku nggak percaya itu, karena sampai kapanpun aku nggak akan meragukan kesetiaan istriku. Mungkin ini nggak seberapa dibanding dengan apa yang udah kamu lakukan selama ini, tapi semoga aja dengan ini kamu bisa lebih bahagia." bisik Tiar di telingaku. Aku terhipnotis dengan ucapannya bahkan pelukannya dari belakang tidak mengagetkanku.

"Kamu nangis ya, Ai?" tanyanya sambil membalikkan tubuhku. Aku tidak sadar jika aku menangis. Begitu terharu dengan apa yang sudah dilakukan Tiar.

"Ini nangis bahagia atau sedih sih?" tanyanya polos-lagi.

Aku tertawa kecil mendengarnya. Ia bahkan tidak bisa membedakan mana tangis bahagia dan mana tangis kesedihan.

Aku memeluknya erat dan mencium bibirnya sekilas. Mengucapkan terimakasih atas apa yang sudah dia lakukan hari ini. Ia tidak membalasnya tapi yang aku tahu, ia sama bahagianya denganku.

Dan biarkan aku menikmati pemandangan indah ini bersama Tiar dan jangan lupa dengan bayi yang ada dikandunganku. Bayi yang terus menendang sejak kami sampai di kebun bunga aster. Ia seperti dapat melihat pemandangan ini.

Dan ijinkanlah kami menikmati matahari yang kian tenggelam menuju peraduannya.

Ini bukanlah akhir bahagia dalam pernikahan kami. Karena kelak kehidupan kami akan berubah dengan adanya buah hati di antara kami. Masih akan ada permasalahan-permasalahan yang terjadi di antara kami. Masih banyak kebahagiaan-kebahagiaan yang akan terjadi.

Semuanya sudah ditetapkan oleh-Nya. Kami hanya harus menjalankannya sebaik mungkin. Menjalankan semuanya bersama-sama hingga akhir. Entah itu senang, sedih, bahagia, menangis. Kami akan melaluinya bersama, tentunya bersama keluarga kecil kami.

***

Anggap saja kebun itu warna ungu ya hehe

Alhamdulillah selesai juga cerita pertamaku.....
Maaf kalau endingnya nggak sesuai harapan, tapi yang ada dipikiranku ya yang kayak gini

Terimakasih buat semua yang udah baca cerita ini. Jazakumullah semuanyaaaa..

Sampai ketemu di ceritaku yang lain yaa. Insyaallah selesai Un mau bikin cerita baru, mohon doanya ya hehehe

Wassalamu'alaikum semuanyaaaaa

繼續閱讀

You'll Also Like

53K 5.9K 38
Biru, sosok lelaki yang tempramental, hoby-nya marah-marah, mengalami trauma soal percintaan. Karena hubungannya kandas dengan alasan yang sangat jar...
22K 5.2K 27
Spin off Love Can't Stop Mayang belajar banyak dari pernikahan Yudistira, kakak sulungnya dengan Erlita. Banyak lika liku yang harus siap untuk diha...
248K 11.5K 31
Erga Rafardhan Adhitama, atau biasa dipanggil Erga oleh sahabat-sahabatnya. Cowok paling rame, paling care, paling bisa memecah suasana dan pemilik m...
1.6K 92 10
Tak pernah terbayangkan sama sekali olehku untuk menikah tepat setelah aku lulus sekolah SMK, dan suamiku seumuran dengah ayahku.