Thank God, It's You

De Minaayaaa

3.7K 761 1.1K

Ada hari di mana aku bangun dan tak ingin melakukan semua pekerjaan menyebalkan itu, hingga melihat siapa yan... Mai multe

1. Yang Tersembunyi
2. Tutorial Jadian
3. Solo, Mungkin Berarti Sendiri
4. Metro Pop Scene
5. Pertemuan Keempat
6. Rencana - Rencana
7. Terlalu Cepat
8. Our Fears
9. Roman Picisan
10. Wild Night
11. Kekacauan
12. Outcast
13. Tinggal Bersama
14. Apa Apaan!
15. Kedatangan Glen
16. Ulang Tahun Mas Wafa
17. Thank God, it's Them
18. Berlatih Punya Anak
19. Masalah Asmara
20. Huru Hara Asmara
21. Bibit Bibit Tak Baik
23. Yang Paling Baik (Menurutku)

22. Rintangan

126 26 23
De Minaayaaa

"Oh, jadi kamu blokir Chalize? Apa nggak sebaiknya diomongin dulu, kalian lagi LDR lho, komunikasi bakalan susah" Wafa berbicara dengan sabar di sambungan telepon, sambil menunggu Yudha memesan makanan untuk mereka.

Sore sepulang kerja, mereka janjian di sebuah café yang tak jauh dari tempat kerja berdua. Hujan turun dengan deras. Membuat mereka bisa berlama-lama di sini.

Wafa mendengarkan curhatan Glen dengan saksama, sudah dua minggu sejak pertunangan Maera. Dae tidak mengizinkan Chalize untuk mengambil alih tugasnya di CV Jatiwara, jadi gadis itu tetap harus berada di Solo, mengelola usahanya dan sedang putus asa sebab Glen benar-benar memutuskan kontak di antara keduanya.

Wafa tersenyum ketika Yudha kembali ke hadapannya dan menunjukkan gesture agar gadis itu menunggu.

"Ya, kalau menurutku sih harus ada yang ngalah, nggak bisa kalian diem-dieman selama itu" Ujar Wafa sementara Glen malah memberondongnya dengan semua kesalahan yang Chalize ciptakan selama hubungan mereka sampai telinga Wafa pekak mendengarnya.

"Iya, aku tahu, mending kamu kasih tahu semua itu ke Chalize, sekarang kamu coba tenangin diri dulu, jangan gegabah dan jangan buat keputusan kalau masih di puncak emosi"

Wafa tersenyum lagi kepada gadis di depannya.

"Iya aku lagi sama Yudha, .... Iya nanti aku salamin, oke"

Wafa menghela nafas kemudian menyeruput kopinya.

"Siapa? Glen ya?" Tanya Yudha

Wafa meneguk kopi hitam itu, diam sejenak sebelum menjawab.

"Mereka putus ternyata"

Yudha tak menunjukkan reaksi berlebihan, demikian juga dengan Yudha, mengingat bagaimana tabiat dan adat perilaku keduanya.

"putus apa marahan?" Tanya Yudha lagi, membuat Wafa terkekeh.

"Bilangnya sih putus, tapi tiap hari diomongin melulu, apa donk namanya?"

Yudha terkekeh sambil mencongkel cakenya

"Marahan berarti"

Jawabnya di sela-sela tawa, kemudian dialihkannya pandangan ke luar kaca café, hujan semakin deras membasahi Kota Solo, sore ini.

"Murid kamu datang jam berapa?" Tanya Yudha, sebab sebenarnya dia hanya menemani Yudha yang menunggu murid les nya datang.

Karena jarak rumah anak SMP itu jauh, mereka sepakat untuk les di café saja, seminggu dua kali. Yudha menerimanya, sebab dulu anak itu bekas muridnya sewaktu SD, jadi segala urusan bisa lancar. Kalau soal belajar materi-materi SMP sih Yudha bisa-bisa saja. Lagi pula Jane, nama anak itu, hanya butuh ditemani belajar dan dikonfirmasi, dia anak yang cerdas.

"Ngapain sih kamu ngelesin segala? Setiba-tiba ini?"

"Dulu sebenernya aku juga ngelesin, tapi gara-gara pacaran sama kamu tuh, jadi aku lepas semuanya!"

"Hahahhaa habisnya sibuk banget, lagian kamu bilang gapapa kan? Terus sekarang kenapa ngelesin lagi? Bikin waktu kamu ke aku tersita!"

"Hahahhaha cuman seminggu dua kali kan? Lagian kamu juga sibuk kadang-kadang, lagian aku butuh uang tambahan, soalnya Gading kan bakalan butuh banyak uang menjelang kelulusan begini"

Wafa hanya mengangguk, dia sebenarnya bisa membantu, tapi dia tak mau lancang untuk mencampuri semua urusan Yudha.

Jadi dia membantu Yudha dengan cara menjadi lebih pengertian dan menemaninya seperti saat ini.

"Nanti aku tunggu atau dijemput saja?" Tanya Wafa sambil melihat jam tangannya.

"Aku pulang sendiri aja, daripada nggak efisien, bukannya kamu mau futsal ya?"

Tak lama seorang gadis yang masih berseragam datang tergopoh-gopoh dan membuka pintu café dengan interior minimalis dan cocok sebagai working space itu.

Yudha melambaikan tangannya ke arah gadis manis berkacamata yang baru saja pulang sekolah itu.

Wafa pun mengemasi barangnya dan bersiap pergi.

"Miss Yudha, sorry, hujan jadi sopirku susah cari parkirnya" Ujar gadis itu meriah, Wafa mempersilakan gadis itu untuk duduk di kursinya , sementara dia berdiri.

"Yud, aku pulang ya, jangan lupa kabarin kalau udah sampai rumah nanti" Ujarnya lalu tersenyum hangat juga kepada Jane yang melongo memandangi Wafa.

Yudha mengangguk dan menatap punggung pemuda itu sampai hilang di balik pintu kaca.

"Miss miss ... itu pacarnya Miss?" Tanya Jane antusias.

Yudha mengangguk

"Astaga, cakep banget, siapa namanya?"

"Heeeh anak kecil mau tahu aja, udah udah ayo belajar!" Jawab Yudha sambil tersipu.

***

Dua jam kemudian Jane sudah dijemput sopirnya lagi, Yudha pun bersiap siap untuk pulang. Sayangnya hujan belum benar-benar reda. Yudha mau tak mau membuka payungnya gadis itu berjalan pelan, menuju halte terdekat. Suasana sudah menjelang maghrib, sedikit dingin dan langit menggelap.

Akhirnya dia pun hampir mencapai halte ketika dari kejauhan melihat sebuah sepeda motor dengan kecepatan tinggi menyerempet seorang nenek yang akan menyeberang.

Ibu-ibu sepuh itu pun terjelembab dan payungnya terbang juga barang-barangnya berserakan.

Sayangnya motor itu terus melaju, entah mendapat keberanian dari mana, Yudha menutup payungnya dan mengayunkan benda itu ke pengendara motor ugal-ugalan tersebut.

BRAAAAK

Karena tak menyangka dengan lambaian payung Yudha yang tiba-tiba, motor tersebut oleng dan terjatuh.

Orang itu pun bangkit dengan marah melepas helmnya dan hendak memukulkannya kepada Yudha. Gadis itu tentu saja tak gentar. Mengeraskan rahangnya dan siap menghadapi semua, ditahannya hantaman helm yang tentu saja bisa melukainya itu.

Dia tahu mungkin tangannya keseleo atau apalah sakit sekali.

Orang itu meneriakinya dengan kata-kata tak sopan, tapi Yudha terus mencoba menahannya.

Akhirnya banyak orang yang tadinya hanya diam tergerak untuk menolong dan melerai. Yudha sedikit lega, saat nenek tadi sudah ditolong oleh beberapa orang yang bahkan meminggirkan beliau.

"Mbak, minggir aja, biar orang ini yang kami tangani, mabuk sepertinya" Ujar seseorang, membuat Yudha menyingkir dan menuju ke arah nenek yang sedang dikerubungi beberapa orang itu.

"Antar ke klinik aja!" Kata seseorang dan mau tak mau Yudha pun membawa nenek yang masih syok itu ke klinik terdekat dengan bantuan beberapa orang.

Saat semua orang sedang pergi, tinggal Si Nenek tadi bersama Yudha di ruang periksa. Yudha bernafas lega saat nenek tadi tidak menderita sesuatu yang parah seperti patah tulang atau terkilir. Tapi Yudha sedikit kesal melihat beberapa luka lebam yang pasti akan dirasa sangat nyeri untuk beberapa bulan ke depan.

"Matur suwun ya Mbak, terima kasih" Ujar Ibu berbaju terusan bunga bunga model lawas itu. Ternyata dia nampak lebih muda dari yang Yudha lihat tadi.

"Sama-sama ibu, apa sudah berhasil menghubungi keluarganya?" Tanya Yudha

Ibu itu mengangguk

"Sebentar lagi anak saya ke sini"

"Oh, syukurlah"

"Mbak boleh pulang, terima kasih sudah bikin pelakunya bertanggung jawab, kamu pemberani sekali"

"Refleks saja kok, bu, saya tunggu saja sampai anaknya datang"

Ibu itu meminta Yudha untuk duduk di tepi ranjangnya.

"Mbak pulang kerja?"

"Iya, saya pulang ngelesi tadi di Café dekat halte"

"Oh guru, anak sekarang makmur ya, cucu saya kalau les juga di café begitu"

"Oh iya Bu, sudah besar cucunya?"

"Ada yang sudah SMP, kamu ngelesi anak kelas berapa?"

"Saya ngelesi anak SMP juga"

Kemudian mereka saling bercerita ke sana ke mari, namanya Bu Gayatri, menurut ceritanya tersirat dia dari keluarga priayi. Sehari-hari dia tinggal dengan anak dan cucunya yang sudah SMP tadi. Hari ini Bu Gayatri sedang me time, setelah beberapa hari jenuh di rumah saja. Dulu dia mantan pegawai di sebuah Bank, sebelum pensiun. Hari ini dia memutuskan jalan-jalan menggunakan kendaraan umum karena melihat video-video seru dari reels instagramnya, sebenarnya memang seru sih, kalau tidak ada kecelakaan itu.

Tak lama kemudian ada beberapa suara keributan menuju ruangan itu.

"Eyang ..." Teriak anak perempuan sepantaran dengan Jane langsung menubruk eyangnya sambil hampir menangis.

"Eyang ora popo, eyang tidak kenapa-napa" Kata nenek itu menenangkan cucunya.

Yudha memandang interaksi itu dengan haru, dia dulu pun sangat manja dengan neneknya.

"Makasih ya Mbak, suster di depan bilang, katanya embak yang nolong ibu saya" Yudha pun menoleh ke arah suara itu, laki-laki yang berdiri di belakang anak gadis tadi.

"Oh iya, saya Parama" Ujar laki-laki itu sebelum Yudha hilang rasa terpakunya melihat sosok pria matang dengan segala pesonanya itu.

Parama memiliki perawakan tegap, dia tinggi seperti Wafa, senyumnya juga manis dan ramah. Yudha sedikit kagum, sekaligus teringat Wafa pada saat yang bersamaan.

Penampilannya rapi, dengan kemeja garis-garis yang digulung separo.

"Nak, Yudha, ini anak saya yang tadi saya ceritakan, Rama, papanya Cindy" Kata Bu Gayatri memperkenalkan anak tunggalnya yang duda cerai mati itu. Menurut cerita Bu Gayatri, istri Rama meninggal empat tahun lalu karena Covid.

"Oh, iya, saya Yudha" Jawab Yudha segera tersadar.

"Ya sudah ibu, saya pamit dulu, per ..."

"Ehhh mau ke mana? Kami antar kamu pulang dulu!" Ujar Bu Gayatri memaksa.

Yudha sudah menolak berkali-kali tapi akhirnya dia berada di mobil ini juga.

Cindy bersikeras untuk duduk dengan neneknya di dalam mobil sedan hitam setengah milyar itu, membuat Yudha harus duduk dengan kikuk di sebelah Rama yang ternyata hanya berjarak 6 tahun darinya itu.

"Rumahnya di mana Mbak Yudha?" Tanya Rama

"G'gang Purtani" Ujar Yudha sedikit tertekan teringat Ibunya Wafa yang menolaknya dengan cara yang jahat setelah mengetahui di mana dia tinggal.

"Oh di situ tinggalnya" Ujar Bu Gayatri

DEG

Entahlah Yudha merasa tak enak, dia sungguh siap dengan semua hinaan yang akan datang.

"Cin, ingat waktu eyang cerita, tahun 98 Bank tempat kerja eyang dibakar, nha orang-orang yang nyelametin eyang sama temen-temen eyang itu ya orang-orang yang tinggal di Gang Purtani itu!"

Yudha entah ingin lega atau tidak, dia masih kecil waktu itu dan teringat samar-samar betapa kacaunya Solo waktu itu. Kampungnya? Tentu saja ada beberapa orang yang ikut-ikutan menjarah toko-toko di seputaran kota, tapi mereka tak ikut ikutan membakar, bahkan tak kenal siapa yang membakar.

Beberapa warga bahkan melindungi rumah orang tionghwa yang tinggal dekat gang itu, juga beberapa orang yang bekerja di Bank Central yang dibakar sampai ada yang meninggal. Mungkin Bu Gayatri salah satunya.

"Oh ya? Aku mau lihat kantor eyang dulu!"

"Sudah tidak ada, sudah jadi kantor kelurahan" Sambung Yudha yang jiwa gurunya selalu menuntun untuk berbicara dengan anak-anak dan remaja.

"Kalau gang nya, masih ada tante?" Ujar gadis itu sampai maju menongolkan wajahnya ke kursi Yudha.

"Ya, masih, tante kan tinggal di situ!"

"Wuah ..." Kata gadis itu penuh semangat.

"Dia lagi suka sejarah, gara-gara yang diajarin di sekolahnya kurang, aneh kan orang suka sejarah, buat apa coba!" Ujar Rama yang menjabat sebagai BM di sebuah lembaga keuangan ternama itu.

"Kalau mau sinis, sejarah ditulis sama mereka yang menang, tapi kalau mau kritis, penting rasanya mengetahui sejarah yang sesungguhnya, agar kita bisa merunut akar dari sebuah masalah, biar nggak jadi kesalahan berpikir dan bertindak pada masa selanjutnya" Jawab Yudha spontan dengan terlatih sebab terlalu sering ditanyai pertanyaan - pertanyaan random oleh murid-muridnya.

Rama mengangguk angguk tersenyum, demikian juga dengan Bu Gayatri, sementara Cindy sudah berteriak-teriak heboh seolah mendapat teman secara instan.

"Berhenti di sana aja, Mas" Tukas Yudha sebab dia sudah menjelaskan kalau mobil tidak bisa masuk ke dalam gang rumahnya.

"Masih Hujan, Cin coba di belakang ada payung nggak?" Ujar Rama kepada anak gadisnya.

Dengan sigap gadis itu menemukannya.

"Sana, antar tante Yudha, sekalian kamu pasti penasaran kan pengen lihat gang purtani seperti apa" Imbuh neneknya.

Berkali-kali Yudha mengucapkan terima kasih. Hari sudah gelap, payung putih itu menaungi dua gadis beda generasi.

Cindy menanyakan ini dan itu dan Yudha pun selalu mampu memuaskannya. Anak perempuan itu bahkan meminta nomor ponsel Yudha, dia tertarik dengan cerita Yudha tentang jalan-jalan ke museum, ya ... semua museum di Solo pernah dikunjunginya, tapi dengan teman-teman sekolah atau ayahnya yang tak tertarik sejarah. Cindy ingin mengulanginya lagi bersama Yudha, dia tambah suka sewaktu tahu kalau Yudha adalah seorang guru SD.

Setelah mengantar Yudha sampai ke depan pintu rumahnya, anak 13 tahun itu pun kembali ke mobil. Dia langsung membuka pintu depan dan duduk di sebelah ayahnya.

"Lho, kok nggak duduk sama eyang?" Protes Rama

"Ayah pernah ngerasain cinta pada pandangan pertama?" Tanya gadis itu

"Dih ngomong apa sih?" ayahnya kebingungan, tapi neneknya sudah tersenyum, mengerti cucunya.

"Ayah pernah tahu kalau orang harus dipanah sama cupid dulu sebelum jatuh cinta?"

"Kayaknya anak ini lapar!" Ujar Rama ketus tapi wajahnya bersemu merah.

***

"Ayo angkat angkat angkat .... Aghhhrrrgggg aku bisa gila..." Chalize pun kesal dan melemparkan begitu saja ponselnya.

Kembali dia melihat hujan di luar sana.

Glen benar-benar marah dan memblokir nomornya, bahkan tak mengangkat telepon meskipun Chalize sudah susah payah membeli sim card baru yang membuat ponsel utamanya sempat tereset dan membuat beberapa pekerjaannya kacau.

Chalize ingin sekali terbang ke Jakarta saat ini juga, tetapi ini di Solo, jadwal pesawat terakhir bahkan jam tujuh malam tadi dan sekarang sudah jam 9 malam. Untuk terbang di keesokan hari masih menunggu sampai jam 7 pagi. Untuk naik kereta masih bisa, tapi butuh 12 jam sampai ke sana. Chalize benar-benar menjadi uring-uringan karenanya.

Pernahkah kalian merasa rindu tapi sampai tak bisa terkatakan, tak bisa menangis, bahkan tak bisa mengalihkan kerinduan dari kerinduan itu.

So unbearable

Rasanya sungguh setengah mati.

Tapi itu semua yang sedang dirasakannya, ingin marah mengamuk tapi tak bisa, serasa ada sesuatu tak mampu teraih meskipun apapun yang sudah dilakukannya.

Chalize memutuskan untuk turun saja mencari makan, atau ke rumah Yudha, siapa tahu dia bisa menangis jika mengobrol dengan pacar Wafa itu.

Chalize baru sampai di loby saat seseorang memanggilnya.

"Lize, Chalize ..." Ujar pria itu sambil menyeret kopernya.

"Koko Marco?" Ujarnya keheranan. Sebab seharusnya Marco sudah kembali ke Jakarta berhari-hari yang lalu.

Demi sopan santun Chalize mendekatinya.

"Hai" Ujar Marco dengan senyumannya yang menawan.

"Ngapain koko di sini?"

"Nemuin kamu lah!"

"Hah?" Chalize sedikit heran, dia senang mendapat teman, tapi kalau diingat-ingat bukannya gara-gara Marco, Glen menjadi marah.

Marco hanya cengar cengir,

"Mau temenin aku selama di Solo?"

"Ha?" Chalize semakin bingung.

"Haheho terus sih, anak ini!"

Marco sudah hendak mengulurkan tangannya untuk mengasak kepala Chalize, tapi gadis itu segera mundur, jujur dia trauma.

Marco menghela nafas, kemudian tersenyum.

"Glen masih marah ya?" tembaknya, jujur ini bukan posisi nyaman untuk membicarakan hal itu.

"M'masih, ko maaf aku permisi ya, aku mau cari makan dulu" Chalize mencoba sopan untuk pamit

"Lize, kamu nggak percaya aku ke sini buat nyariin kamu!"

Spontan Chalize berbalik.

***

Jakarta, 21.30.

Kediaman Keluarga Suwignyo.

Semua lampu sudah mati, tapi Glen masih duduk di pinggir kolam renang sambil merokok. Gwen sudah hampir tidur, tapi mendadak dia lapar dan ingin sesuatu yang manis. Gadis ibu kota bervibes girl boss itu pun membuka kulkas besar yang ada di pantrinya dan mengambil satu cup es krim coklat kesukaannya.

Saat berbalik, dia menyadari kalau adik bungsunya masih mondar mandir di depan kolam renang di seberang ruang tengah yang berbatas pintu besar transparan itu.

"Ngapain sih , lo!"

Glen sedikit kaget dan menoleh ke arah pintu dan remang-remang dilihatnya Gwen.

"Nggak papa, nggak bisa tidur aja!" Jawab Glen malas.

Gwen tersenyum miring kemudian tertarik dengan adiknya, anak itu pasti punya masalah, tapi tak cerita. Gwen selama ini memang cenderung cuek, tapi bukan berarti tak peduli.

"Kenapa? Marahan lagi sama Chalize?"

"Kok tahu!" Seru Glen sambil mematikan rokoknya di asbak yang ada di meja, samping kursi malas itu.

"Gampang banget ketebaknya! Emang apa lagi masalah kamu kalau bukan Chalize, dan apa lagi masalah Chalize kalau bukan kamu!"

Glen memutar matanya, kemudian bertanya balik.

"Kapan cece terakhir ribut sama ko Albert?"

"Lupa! Ketemu aja nggak pernah! Gimana bisa berantem!" Ujarnya sedikit terkekeh.

"Ini gimana konsepnya?"

"Jujur ya, aku tu nggak tahu sekarang hubunganku sama Albert gimana, ga tau lah, bahkan sejak awal aku ga tahu"

Glen kembali mengambil rokoknya dan menawarkan satu untuk Gwen, kemudian dia menyalakan rokok kakak pertamanya itu.

"Cece ga cinta sama dia?"

"Nggak tahu, kan kamu juga tahu kapan terakhir cece jatuh cinta, hahahaha" Ucapnya getir

"Cece selalu suka lihat kamu sama Chalize, gimana bisa dua orang saling mencintai dengan begitu ugal-ugalannya! Cece masih ingat rasanya, tapi ternyata nggak bisa ya diulang lagi"

"Itu udah lama banget, Ce"

Gwen mengangguk

"Udah lama banget ya, hebat juga donk, selama itu, aku bisa melanjutkan hidup" Ujar perempuan yang kehilangan pacarnya dalam sebuah kecelakaan saat masih SMA di Boston dulu.

"Move on Ce, dia nggak akan hidup lagi!"

Gwen menyesap dalam-dalam rokoknya dan menghembuskannya pelan.

"Bahkan Glen, aku kadang lupa kalau peristiwa itu pernah terjadi, masih ingat rasanya bukan berarti ingat detilnya, semua hal sudah pudar dan samar, tapi tak berarti aku bisa mencintai lagi seperti dulu"

Mereka berdua hanya terdiam, menikmati langit malam Jakarta yang tetap gelap seperti di siang hari, tentu saja.

Akhirnya Gwen mematikan rokoknya yang tinggal seruas jari.

Dia bangkit dan menepuk pundak Glen

"Kalau masih sayang diperjuangkan" Hanya itu katanya, lalu masuk ke dalam.

Glen sendiri sebenarnya rindu, tapi dia merasa harus tetap mencintai dengan logika. Dia bukan Calvin yang mencintai Mae dengan bodoh dan siap sakit hati. Glen berprinsip seharusnya jatuh cinta itu bahagia. Tapi di balik prinsipnya itu tersimpan ada tekad rela mati demi Chalize, tetapi dia ingin Chalize lah yang maju terlebih dahulu.

Bukankah semua permasalahan ini tak ada kalau gadis itu bisa membuat batas yang jelas antara dirinya dan Marco.

Glen masih mencoba berpikir saat seseorang memanggilnya dari ambang pintu. Dia kira itu Gwen lagi, tapi ternyata kakaknya yang lain, si introvert aneh yang jarang keluar rumah, Given.

"Glen" Ujarnya terburu-buru sehingga bathrobe vercase nya berkibar menyingkap kaki-kaki putihnya yang berbalut boxer merah.

"Kenapa Ko?" Ujar Glen malas.

"Kamu harus lihat ini deh!" Langkah given buru-buru sambil menunjukkan ponselnya.

"Ini Chalize kan?" Katanya menunjukkan sebuah foto yang dikirimkan anak buahnya beberapa menit yang lalu.

Glen meradang, itu memang Chalize dan Marco di lobby apartemen di mana mereka bertemu dan bertengkar setengah bulan yang lalu.

"Anak buahku mau loading buat acara pameran perusahaan, dia dan team emang aku sewain apartemen di sebelah mall, tadinya dia mau laporan kalau Prabantara Grup juga sudah sampai dan Marco langsung yang handle pameran itu, terus malah dia ngelihat Chalize lagi berduaan sama Marco, kalian, oke oke aja kan?" Ujar Given ragu, sebab rahang Glen sudah mengeras.

"Siapa team leader yang dikirim ke Solo?"

"Aji" Jawab Given

"Kasih tahu Aji, suruh kirim orang ngawasin Chalize!"

"Wait! Aku pikir kamu sendiri yang bakalan ke sana? Labrak Marco kek!"

"Nggak, aku banyak kerjaan di pabrik! Makasih infonya!" Jawab Glen kesal dan langsung pergi untuk tidur.

***

Solo, rumah Ibu Wafa.

"Wafa lagi apa Ra?" Ujar ibu itu memelas di balik sambungan telepon.

"Udah tidur anaknya Bu"

"Dia sehat-sehat aja kan? Naik apa kalau kerja?"

"Naik kendaraan umum, dia sehat kok"

"Alhamdulillah, kamu udah bujuk dia buat pulang?"

"Mungkin kalau ibu minta maaf duluan dia mau"

"Kalau Wafa masih sama Yudha ibu nggak akan rela, nggak mau ibu maafin dia!"

"Memang salah Yudha apa sih Bu, wong ya anaknya baik-baik"

"Ya baik, tapi ibu nggak sreg, nanti kalau ditanya keluarga, kakak-kakak bapakmu yang priayi itu, mantunya dari keluarga apa? Apa nggak malu ibu!"

"Kayaknya nggak akan deh Bu"

"Ah kamu nggak tahu aja!"

Yura menghela nafas, dia tahu sebenarnya Wafa belum tidur, tapi masih cekikikan di kamar sebab sedang berbicara dengan Yudha. Yura tak ingin Wafa jadi anak durhaka, tetapi yang dia tahu, Yudha adalah gadis baik dan sangat cocok untuk adiknya.

Gadis itu sudah beberapa kali diajak ke rumah dan jujur Yura akan merasa sangat nyaman seandainya Yudha menjadi iparnya.

"Ya kalau ibu dan Wafa nggak mau ketemu, masalahnya nggak akan selesai"

"Tadi ibu baru saja dari rumah Budhe Ageng, dia kan lagi sakit, terus dia nanyain Wafa"

"Terus ibu jawab apa?"

"Ibu ga jawab, bapakmu yang jawab, ibu malu sekali, terus budhe mu itubilang kalau ibu harus ketemu Wafa di rumahnya, jadi mungkin besok Wafa akan ditelepon budhe Ageng"

Yura manggut-manggut, budhe Ageng adalah kakak pertama ayahnya, beliau yang paling dituakan dan sering menjadi decision maker di keluarga besar mereka. Kalau sampai Budhe Ageng bilang Yudha nggak boleh sama Wafa, ya sudah tamat.

"Ibu tak bisa bicara panjang lebar, ibu nggak bisa bilang soal Yudha dan bapakmu juga, bapakmu Cuma bilang kalau Ibu tak cocok dengan pilihan Wafa, lalu budhe minta Wafa datang untuk menjelaskan"

"Ya, itu lebih baik kan bu"

"Tapi kalau Budhe Ageng dukung wafa sama Yudha gimana?"

"Ya, kalau itu terjadi, mungkin yang nggak suka Yudha cuma ibu" Tutup Yura.

Ibu itu masih duduk di ruang keluarga, dipandanginya foto-foto di sana. Foto waktu Wafa lulus SD, waktu juara olimpiade science se Kota Solo, sewaktu wisuda. Anak laki-laki harapannya, yang akan meneruskan kebanggaan ini, sudah sepantasnya mendapat yang paling baik, perempuan terbaik dari keluarga terpandang, sebab dia membesarkan Wafa dengan semua usaha juga, sampai anak itu menjadi seperti ini sekarang. Tapi seorang gadis dari keluarga tak setara menggodanya.

Ibu menjadi kesal dan sedih, mengapa anaknya yang baik hati melupakannya dan meninggalkannya begitu saja demi perempuan tak jelas itu yang bahkan tak ingin diketahuinya lebih dalam setelah tahu di mana dia tinggal.

"Apa kamu tahu Nak, ibumu ini hanya ingin yang paling baik!"

***

"Aah andai ibu tahu kamu adalah perempuan terbaik!" Ujar Wafa ketika Yudha selesai menceritakan pengalamannya tadi sore yang membuat payungnya hilang.

"Jangan gitu donk, jangan bikin aku diadu sama ibu kamu!" Kata Yudha sedih.

"Ya udah, besok aku jemput ya pas pulang kerja, terus kita beli payung baru!"

"Oke!" tutup Yudha sambil melihat wajah tampan kekasihnya melalui layar ponsel.

Bersambung 🥀

VOMENT DONK

Continuă lectura

O să-ți placă și

14.1K 1K 10
Cast: Park chanyeol Bae suzy Xi luhan Mabel yuan Genre: Romance and hurt Description: Hal yang paling menyenangkan di dunia adalah menikah deng...
3.2M 24.8K 47
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
Maps De chodaisy

Ficțiune adolescenți

155K 10.6K 25
"Kenapa semua harus kaya gini, Ar?" tanya Aika segugukan. "Gue janji gak bakalan biarin siapapun nyakitin lo lagi." ucap Arkan seraya memeluk tubuh A...
2.8M 28.2K 28
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...