MALA

By Alleennn

22.4K 4.7K 2K

Semenjak kepindahannya di lingkup elite SMA Bina Bangsa, Tama perlu mengasingkan keberadaannya yang tak sesua... More

Prakata
Prolog
01. Keadaan
02. Posisi
03. Gelombang
04. Frekuensi
05. Baur
06. Tanggung
07. Sembunyi
08. Saling
09. Warna
10. Interpretasi
11. Bantuan
12. Konsisten
13. Kontras
14. Pandai
15. Lelah
16. Samar
17. Sketsa
18. Kisah
19. Cenderung
20. Getir
21. Khawatir
22. Terbuka
23. Sementara
24. Figur
25. Damai
26. Bilang
27. Selamanya
28. Impas
29. Jatuh
30. Perhatian
31. Naluri
32. Hasil
33. Percaya
34. Tinggal
35. Eksplorasi
36. Teman
37. Sayang
38. Memulai
39. Tanda
41. Upah
42. Asing
43. Wujud
44. Rumit
45. Sobat
46. Kasus
47. Manual
48. Penilaian
49. Hilang
50. Hancur
51. Wakil
52. Kasih
53. Pulang
54. Sahabat
55. Rumah
56. Damai
57. Afirmasi
57. Maaf
58. Impian
Epilog
Terima Kasih

40. Jawaban

126 35 5
By Alleennn

Mau ditakar sedalam apa pemahaman Tama terhadap isi kehidupan Luna, Tama jelas belum mengerti banyak tentang hal-hal inti yang begitu sensitif memicu kerapuhan Luna. Sekadar tahu tentang kondisi rumah Luna yang tidak baik-baik saja, segalanya tidaklah cukup untuk mengikuti perkembangan emosi Luna yang kelewat pandai disembunyikan.

Sama seperti apa yang pernah dan sudah terjadi di dalam kehidupan Tama, semua yang berhubungan dengan hancurnya sebuah rumah selalu menjadi memori yang tak kunjung usai Tama relakan. Meski bertahun-tahun kejadian tersebut telah berlalu, Tama bahkan masih tidak mampu untuk memproses mimpi buruk itu. Semua berlangsung secara cepat, sedangkan hari-hari panjang yang telah Tama lalui sialnya tidak cukup membuat ia terus tinggal di dalamnya.

Bunda yang pergi, Ayah yang tenggelam dalam lautan emosi dan lalu tanpa memikirkan perasaan Tama ingin menikah kembali, tak henti-hentinya Tama pikirkan apakah salah satu di antara banyak kejadian buruk itu terjadi karena kehadirannya. Mungkin, jika sebelumnya Tama tidak memiliki pengalaman yang serupa, singkat cerita dari Luna tidak dapat ia pahami dalam sekali dengar.

Kehancuran utuh dalam rumah yang dititipkan secara langsung oleh Tuhan merupakan hal yang paling menyakitkan bagi Tama. Sebab sejak kecil, makna keharmonisan tidak lama tinggal di lubuk jantung keluarganya. Tama tidak tahu tolak ukur suatu kebahagiaan itu besarannya bagaimana.

Orang bilang, konsep bahagia itu terbentuk dari bermulanya kasih seorang anak, Ayah, dan Bunda yang saling berpegangan tangan. Namun, apa yang terbenam di kepala Tama adalah, Ayah dan Bunda justru sering terluka ketika datangnya mereka hadir bersamaan. Apa setelah berpisah dari Ayah, Bunda memperoleh kenyamanan yang ia cari di kehidupannya yang sekarang? Tama tidak tahu. Namun, Tama harap Bunda merasa demikian sebab Tama yakin jika bukan karena masih perlu mengurus dirinya, Ayah tidak pernah lebih berbahagia di sepanjang Tama mengamati kisah hidupnya.

Jadi, mengenai pertanyaan Luna tentang tindakannya yang memberi kebebasan kepada orang tuanya untuk berpisah itu benar atau tidak, Tama tidak tahu apakah ada jawaban yang bersifat pasti di antara keduanya. Karena di balik keputusan tersebut, Tama percaya akan selalu ada resiko yang mengikuti bagi setiap anggota di dalamnya. Perceraian adalah satu kehancuran besar yang tidak akan pernah bisa ditakar untung ruginya bagaimana. Wajar, meski orang itu adalah Luna sekali pun, semua yang dilahirkan selaku anak tentu tidak mungkin mampu memikirkannya.

"Sejak pertengkaran itu terjadi, lalu berlanjut ke hari-hari berikutnya, aku rasa, banyak dari diriku terus berubah sampai-sampai aku lupa bahwa sebetulnya aku terlahir sebagai anak perempuan yang begitu cengeng. Aku yang pemalu, aku yang penakut, dan aku yang selalu ikut di belakang punggung seseorang yang aku anggap kuat, seketika nggak bisa dipertahankan lagi karena di luar dari keegoisanku mementingkan dunia kecil itu, aku sadar Ayah dan Bunda bahkan nggak bisa melindungi dirinya sendiri.

Terjun membagikan lukisanku ke ranah perlombaan, terbuka mencoba pertemanan yang banyak berakhir menyakitkan, bahkan berhenti untuk membagikan isi perasaan, aku berusaha membuktikan pada Ayah dan Bunda kalau mereka tidak perlu khawatir tentang bagaimana cara mengurusku dengan benar. Berharap, lewat semua itu mereka akan sadar bahwa aku bukanlah lagi Luna yang perlu dijaga secara berlebihan."

Seraya menundukkan kepalanya sedikit, bibir Luna sedikit mengulas senyum yang memilukan sedang jemarinya semakin erat mengaitkan diri antar satu sama lain. Napasnya sempat tersengal sebelum melanjutkan kalimat berikutnya, masih terbawa sesak dari tangisannya yang baru saja mereda.

"Tapi, pertengkaran yang tak kunjung henti itu, pada akhirnya membuat aku sedikitnya paham bahwa apa yang mereka ributkan tidak sama sekali menyangkut ke arah sana. Seberapa besar aku berusaha, atau sekeras aku mencoba meyakinkan mereka, kekuatanku nggak akan sampai buat memperbaiki semuanya, 'kan?" tanya Luna menutup garis matanya dan melebarkan senyuman pada Tama. Laki-laki itu mengerutkan alisnya dalam, berkalut hati, namun tetap diam mendengarkan.

"Bagian yang paling menyedihkannya adalah, aku hidup dalam rumah yang berpikiran bahwa seorang anak adalah mutiara terpenting yang harus dijaga oleh keluarganya. Tanpa tahu kenapa aku perlu dinilai seberharga itu di mata mereka, sedangkan kenyataannya, aku selalu diajari bahwa keberadaanku begitu nggak signifikan membawa kebahagiaan buat mereka.

Semua mimpi buruk, pertengkaran, dan teriakan kencang di sepanjang tahun-tahun kelam itu, membuat aku merasa semakin kecil dan nggak berdaya setiap kali aku pulang ke rumah. Lalu sekarang, sekalinya sisa kekuatan yang aku tampung itu berhasil aku keluarkan buat melakukan satu hal yang mungkin mereka harapkan, aku takut mereka benar memutuskan untuk berpisah."

Usai kalimat tersebut diucapkan, bibir Luna terlihat bergetar mengakibatkan senyumnya tidak bisa lagi ia ukir dengan benar. Satu kalimat tambahan yang ia keluarkan setelahnya, membuat kedua alis Tama sontak terukir menyedihkan. "Aku ini seorang anak yang munafik, ya?"

"Lu...."

Tak luput melepaskan fokusnya pada Luna, Tama pun menjulurkan lengannya untuk menempatkan kepala Luna di samping pundaknya. Luna mengatur napasnya yang tersendat seolah luka yang ia pendam tidak akan habis dalam satu kali peluapan. Perempuan itu, bahkan kewalahan menaikkan tangannya sendiri untuk menyeka air matanya yang kembali berlinangan.

"Sekali pun, lo nggak pernah jadi seorang anak yang munafik, atau kecil seperti yang lo bilang tadi, Lu. Lo cuma lagi bingung," ujar Tama meyakinkan. Sekelabat kata yang Tama ingat dari ucapan Farhan, serta sesuatu yang ia tarik berdasarkan pengalamannya sendiri, Tama coba rangkai untuk menenangkan Luna. "Kadang, ketika kita nggak tau tentang apa yang kita hadapi, atau bagaimana hal-hal akan terjadi ke depannya, kita cenderung menyalahkan diri kita sendiri atas kemungkinan yang terjadi di dalam kepala kita.

Dari kecil hidup di dalam keadaan rumah yang nggak bisa dikendalikan adalah sebuah pengecualian. Melalui semua yang lo alami dalam jangka waktu yang panjang itu nggak mudah, Lu. Di dunia ini, apa yang selalu dipercaya nggak jauh dari setiap anak pasti dititipkan dalam sebuah keluarga yang menghangatkan. Faktanya, Tuhan memberi kasus spesial buat beberapa yang lain untuk lebih dulu diberikan cobaan. Mungkin, karena setiap ujian selalu punya maksud soal membuktikan sesuatu, semua nggak ada yang perlu disalahkan."

Dalam hening yang Tama dapatkan di kala ia mengucapkan kata-kata penenang bagi Luna, selintas semburat emosi dan bayang-bayang buruk tiba-tiba ikut mengitari hati serta isi pikiran Tama. Mempertahankan keadaan rumah merupakan kelemahan pertama yang Tama temukan dalam dirinya yang berusia kecil. Oleh sebab itu, mau seberapa kuat Tama mencoba tegar dalam menyampaikan kalimat tersebut di hadapan Luna, kenyataannya sampai sekarang Tama pun masih sering merasa rapuh jika mengingat tentang apa yang terjadi di dalam kehidupannya.

"Tam, kalau akhir dari cobaan yang Tuhan kasih ini, aku jawab dengan aku yang ingin Ayah dan Bunda hidup dengan bahagia, apa boleh?" tanya Luna sedikit lebih tenang, tetapi binar matanya semakin padam menghanyutkan.

Mendengarnya, hening kali ini cukup lama melingkupi presensi Tama sebab suara yang ada di kepalanya timbul semakin ricuh tak karuan. Apa yang Luna mau, tentu Tama sangat memahaminya karena dengan alasan itulah, sampai sekarang Tama dapat bertahan di tengah deritanya yang tak diindahkan.

Satu dunia tentunya tahu, bahwa orang tua pasti rela melakukan apa pun untuk menjamin kebahagiaan anak kesayangannya. Namun, bagi beberapa yang tidak beruntung, semua hanyalah berbentuk harapan semu yang tertutup oleh kemungkinan bersifat tabu. Terlalu menyakitkan untuk dibayangkan, sehingga orang-orang yang hidup bergelimang kehangatan tidak dapat menerka apa hal tersebut benar bisa terwujud dalam kenyataan.

Apa benar, di dunia ini ada orang tua yang tidak memedulikan anaknya? Jikalau pun, iya, pembelaan pertama pasti dijatuhkan kepada anaknya yang dianggap terlalu nakal sehingga pantas menerima hukuman. Meski tanggapan tersebut tak sepenuhnya dapat disangkal, tidak banyak orang tahu bahwa sebagian anak juga menganggap kebahagiaan orang tua sebagai segala dalam kehidupannya.

Tanpa mengurangi peranannya, sama seperti orang tua, kemuliaan sejak lahir sudah terbawa dalam diri seorang anak. Begitu pula, semua yang bertumbuh selayaknya seorang anak, keburukan dapat hidup di hati orang tua yang telah terlebih dahulu menanggapi proses pendewasaan.

Sejak dahulu, Tama juga ingin kedua orang tuanya bahagia. Namun, karena ia memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya, persepsi dunia membuat semua yang ia lakukan menjadi suatu kesalahan sehingga Tama terbiasa menyalahi diri atas kekacauan yang terjadi di kehidupannya.

Tentu, Tama tidak ingin Luna tumbuh dalam kondisi seperti itu. Jadi, jika lewat pertanyaan Luna, Tama dibolehkan mengikuti isi hatinya, mungkin seperti inilah yang ingin Tama katakan pada dirinya yang masih kecil.

"Boleh, Lu. Terlepas dari apa yang terjadi di antara mereka, gua yakin, orang tua lo dalam keadaan sadar ingin merawat dan memberikan kasih sayang terbaik mereka buat lo. Kelahiran lo sendiri bagi mereka adalah sebuah anugerah. Di balik sana, mungkin mereka juga pusing menentukan apa yang terbaik buat diri mereka, termasuk lo di dalamnya. Karena itu, sebagian hak dari keputusan mereka, jadi milik lo juga."

Sekilas mendongak sebentar untuk memperhatikan wajah Tama, Luna menerka-nerka mengapa Tama bisa seleluasa itu mengaliri pembicaraan Luna yang tidak ada satu pun orang dapat menangani sebelumnya. Bersandar di pundak Tama sambil mendengarkannya berbicara, jujur saja membuat Luna menjadi tenang. Namun, karena saat ini kepala Luna bersentuhan langsung dengan tubuh Tama, Luna pula dapat merasakan alur napas Tama yang cenderung berat di beberapa titik.

Menurut Luna, kebijaksanaan dalam berbicara muncul dari pengalaman seseorang mengatasi pelik kehidupan. Jika Tama memperbolehkan, Luna juga ingin tahu bagaimana Tama melalui lingkar permasalahannya. Walau demikian, tentu Luna tidak memaksa. Jadi, setelah ia mengajukan pertanyaan itu, Luna sengaja menghadap ke depan barangkali Tama kesulitan bercerita jika Luna memperhatikan.

Sejak pertama kali mereka bertemu, Luna tahu Tama itu merupakan seorang remaja laki-laki yang kuat. Mau seberapa sering Luna memergoki Tama sedang bersedih, Tama selalu pandai menyimpan perasaannya di balik senyuman dan sifat jenaka yang ia torehkan. Menimbang sampai sekarang Luna masih belum mengetahui banyak tentang Tama, bahkan sejak Luna mencoba mendekati dirinya, Luna khawatir adalah hal yang tabu bagi Tama mengungkapkan isi hatinya. Entah dari bagaimana Tama mempersepsikan identitasnya sebagai laki-laki itu sendiri, atau dari cara orang-orang menaruh kepedulian terhadapnya.

"Kalau aku boleh tahu, kamu sendiri memilih jawaban yang seperti apa?"

"Hm?" Beralih menunduk ke samping untuk melihat wajah Luna, Tama dibuat bungkam oleh pertanyaan lanjutan tersebut.

Jika ini merupakan sebuah pengandaian, tentu Tama dapat bercerita panjang lebar tentang mimpi yang ia simpan di waktu yang telah usang. Akan tetapi, apa yang Luna minta adalah sesuatu yang bersifat sebenarnya. Alasan kenapa Tama tak kunjung buka suara juga, itu bukan karena Tama tidak percaya atau tak nyaman membagi rahasianya kepada Luna. Namun, di saat hari itu terjadi, Tama tidak diberi kesempatan untuk menentukan pilihannya. Sore itu, orang tuanya membuat keputusan terlalu cepat, sedangkan Tama sendiri masih terlalu kecil untuk dapat mengetahui isi perasaannya.

Hampir di setiap harinya, tanda semburat petang selalu menjadi penghantar yang mengingatkan tentang waktu peristirahatan. Deru angin seharusnya telah selesai bertiup pelan. Panas sudah lama meredup dari sisa tadi siang, sehingga di jam sekarang, apa yang tersisa hanyalah kilas jingga yang menghangatkan.

Bersama kendaraan yang membawa raganya pulang, orang-orang dewasa dapat melepas lega setelah seharian berkutat di perkantoran. Lain lagi di dalam rumah, anak-anaknya yang masih kecil telah siap menyambut kedatangan Ayah dan Bundanya, niat mengadu segudang cerita harian.

Meski begitu, di satu rumah tertentu, hangat yang diharapkan tersebut tertukar kehadirannya oleh sembilu yang menyakitkan. Mungkin, karena petang telah mendekati waktunya untuk kembali menuju peristirahatan, hangat yang diharapkan untuk datang terlanjur mengabur diganti dingin yang memilukan.

"Bunda, Bunda mau ke mana?"

Sambil menapakkan kakinya kewalahan mengikuti langkah cepat sang Bunda, anak laki-laki itu berlari tergesa-gesa membawa perasaannya yang terhambur berantakan. Bunyi derik dari koper yang digeret sang Bunda, menambah kadar kecemasannya yang sudah beberapa bulan ini digempur ramainya pertengkaran.

Lama tak mendapat jawaban, sang Bunda terus saja berjalan ke depan seolah tak mau mengindahkan. Lelah karena dadanya mulai kembali terasa sesak, anak laki-laki itu pun berteriak untuk mengeluarkan deritanya. "Bunda! Tama tanya Bunda mau ke mana!"

Tepat langkahnya berhenti di belakang koper putih tersebut, sang Bunda akhirnya berbalik setelah beberapa detik sebelumnya, ia mencoba menguatkan diri untuk mengambil napas barang sejenak. Wanita itu kemudian menunduk mengikuti tinggi tubuh anaknya. Arah pandang mereka saling bertemu. Binarnya menyimpan kekhawatiran masing-masing. Namun, jarak yang begitu dekat itu tidak mempertemukan harap di kepala mereka yang terlampau beda berjauhan.

"Tama, ada atau tanpa adanya Bunda, kamu bakal baik-baik aja, 'kan?"

Lagi-lagi, pertanyaan yang terdengar mengerikan tersebut kembali keluar dari mulut sang Bunda. Anak laki-laki itu terdiam memegangi permukaan dadanya. Entah kenapa, menerima kalimat sejenis itu selalu membuat hatinya terasa dilubangi sehingga ia kesulitan untuk bernapas. Ia harap, sang Bunda mengerti bahwa kini kecemasan tengah menelannya secara berlebihan.

"Jawab pertanyaan Bunda, Tama! Tanpa Bunda, kamu bakal baik-baik aja, 'kan?"

Namun, harus berhadapan dengan pupil mata Bunda yang mengecil, suara yang meninggi, serta sakit di kedua bahu akibat cengkraman Bunda yang melingkar di masing-masing sisi, memaksa anak laki-laki itu untuk mengangguk dalam keadaan terlemahnya.

"Iya, Tama bakal baik-baik aja. Bunda bisa percaya sama Tama, kok. Tama udah besar. Tama bisa jaga diri Tama sendiri. Tapi, Bunda mau ke mana? Tama mau tau," katanya berusaha menguatkan, mengalah agar sang Bunda dapat pergi tanpa membawa beban pikir.

"Ke mana Bunda pergi, itu nggak penting. Yang perlu Tama pikirkan, selama Bunda nggak ada, Tama harus baik sama Ayah, ya? Bunda titip Ayah ke Tama. Terus nanti kalau ada apa-apa, Tama jangan lupa bilang sama Ayah. Bunda yakin, Ayah juga bakal rawat Tama sebaik mungkin. Lebih dari bagaimana cara Bunda bisa ada buat Tama."

Seraya menahan tangis di ujung pelupuk mata, anak laki-laki itu tetap berdiri tegar karena saat ini, Bunda menitipkan satu pesan kepadanya. Bagi ia sendiri, kehadiran Bunda tidak pernah terasa kurang sehingga ia tidak mengerti mengapa Bunda perlu mengucapkan kalimat tersebut.

Dibandingkan Ayah sendiri, Bunda adalah alasan kenapa ia masih bisa terlihat riang di tengah kacaunya suasana rumah. Sebagai bukti, lembut sapuan tangan Bunda yang kini sedang menangkup kedua pipinya membuat ia merasa dicinta dalam kondisinya yang serba kekurangan.

"Tama janji sama Bunda, ya? Tama harus tumbuh dengan baik. Bunda pergi dulu."

Hingga sejauh ini, anak laki-laki tersebut masih sering menanti kapan hari-hari cerah itu akan datang menemuinya kembali. Jika dengan bersabar, satu doa utamanya dapat terkabulkan, tentu perpisahan sementara ini masih bisa ia tangguhkan sesedih apa pun itu.

"Bunda, kapan-kapan, Bunda bakal balik ke sini lagi, 'kan? Tama masih bisa ketemu Bunda, 'kan?"

Sayang, sebelum pertanyaan itu dapat terjawab, pintu mobil segera tertutup mengaburkan figur Bunda yang mulai berjalan pergi terbawa bayang kendaraan. Anak laki-laki itu, kemudian berlari berusaha mengejar ke tengah jalan. Namun, kaki kecilnya tidak cukup kuat sehingga pergerakannya terhenti di seberang halaman.

"Bunda! Tama sayang sama Bunda! Tama tunggu Bunda balik lagi, ya?"

Dari kejauhan, anak laki-laki itu hanya bisa menyuarakan satu dari banyak kata yang terpendam jauh di lubuk hatinya. Sungguh, ia tidak masalah jika Bunda butuh pergi beristirahat dahulu ke suatu tempat. Ia hanya berharap, Bunda tidak melupakannya dan akan kembali lagi suatu hari nanti.

Continue Reading

You'll Also Like

19.5K 1.8K 17
Saya dan Dirgantara sudah saling kenal sejak, entah... mungkin kami tidak pernah saling asing. Saya dan Dirgantara, seperti langit dan awan putih em...
372 105 22
✨Pliiis Vote! Terima kasih sudah menghargai karya Author🙏✨ ⭐⭐⭐ "Malu ya kepergok lagi sama gue?" Arfin Ishida Dirgantara, kepalanya penuh tanda tany...
2.4M 131K 62
"Walaupun وَاَخْبَرُوا بِاسْنَيْنِ اَوْبِاَكْثَرَ عَنْ وَاحِدِ Ulama' nahwu mempperbolehkan mubtada' satu mempunyai dua khobar bahkan lebih, Tapi aku...
23K 5.9K 17
Pengalaman buruk di masalalau membuat Akselio begitu takut dengan kemiskinan. Kenyataan bahwa dirinya sudah terlepas dari masa itu nyatanya tidak bis...