Kosan 210

由 diaaprilia_

1.7K 180 3

"Kan kita awalnya juga nggak saling kenal." -Farris. "Iya. Pas kenal ternyata di luar galaksi bimasakti alias... 更多

01 | Keputusan Yang Tepat
Para Penghuni Kosan
02 | Jajanan Klebengan
03 | Kawan Baru
04 | Ambyar Makpyar
05 | Seblak Kematian
06 | Semanis Langit Senja
07 | Siapa, tuh?
08 | Mantai, Gas Ngeng.
10 | Waduh
11 | Perempuan Berbaju Putih
12 | Sakit
13 | Jalan Kaliurang
14 | Hari-hari Hujan
15 | The Memories
16 | Hidup Kadang Kidding

09 | Kok Bisa?

56 9 0
由 diaaprilia_

"Takdir sudah tertulis tapi mengapa semesta seolah selalu mengajak bercanda? Pada kebetulan mana pun, aku tak masalah bila harus bertemu kamu lagi." -S.A

♪ Rewrite The Stars - James Arthur, Anne Marrie ♪

***

Sore hari ini cukup cerah. Senja pun terlihat lebih indah dari biasanya. Warna jingga yang perlahan berganti menjadi keunguan menemani sore Naufal kali ini. Baru saja cowok itu menyelesaikan pekerjaannya sebagai guru les privat bahasa Inggris. Berkat bantuan salah satu teman sekelasnya, akhirnya Naufal menjalani hari-harinya selain menjadi mahasiswa tingkat akhir yaitu membuka privat seminggu untuk 4 kali pertemuan.

Naufal mengajar di sekitar perumahan tempat tinggal temannya itu. Tidak banyak, hanya beberapa anak yang dia ajarkan. Tapi, uang perbulannya sangat cukup untuk menambah tabungan mikin Naufal. Tahun ini cowok itu memang sedang bergelut hebat dengan tugas akhirnya sebagai seorang mahasiswa, tapi tidak mengurungkan niatnya untuk tetap mengajar les privat.

Biasanya jika les privatnya selesai, Naufal akan langsung pulang ke kosan dan beristirahat. Berhubung jadwal les hanya seminggu 4 kali, jadi dia memang akan menyempatkan waktu untuk berkunjung ke rumah temannya itu.

"Capek, gue hari ini, Fal." Temannya mengembuskan napas lelah. Hari ini dia disibukkan dengan tumpukan tugas dari Sang dosen.

"Ya, namanya juga kuliah. Nikmatin aja."

Keduanya sedang berada di rooftop rumah. Pemandang dari atas sangat indah. Entah sejak kapan Naufal jadi menyukai senja dengan segala keindahannya yang bersifat sementara.

"Gimana sama lo? Masih tetep mau lanjutin privat? Skripsi lo nggak keganggu, nih?"

Naufal hanya tersenyum. "Masih bisa gue handle, Ki. Tenang aja."

"Lo emang nggak bisa capek kayaknya, ya?" Temannya itu hanya dapat menggelengkan kepalanya. Skripsi itu berat, Naufal juga bukan dari kalangan orang kurang mampu tapi anak itu kekeuh untuk tetap menjalankan les privatnya.

"Bisa, lah. Gue ini masih manusia. Cuma ya, seru aja bisa ngajarin bocah-bocah itu. Selalu ada cerita yang nggak terduga keluar dari mulut mereka."

Saki hanya manggut-manggut mengerti. "Gue kemarin ketemu Sarah di Gramed. Sendirian juga dia, akhirnya kami ngobrol bentar."

Ah, nama itu. Nama yang sudah lama sekali Naufal kubur dalam-dalam. Beberapa tahun terlewati sampai hari ini kembali diingatkan lagi soal si pemilik nama tersebut.

Sebuah nama yang dulunya menjadi salah satu nama paling favorit untuk Naufal.

"Terus kenape, Ki?"

Saki sedikit kaget, Naufal sama sekali sudah tidak tertarik ketika mendengar nama itu lagi. "Sarah, Fal. Ini Sarah?"

Naufal mengangguk-angguk, tanda dia mengerti. "Iya, terus kenapa?"

"Buset, serius udah move on berarti nih, lo?"

Pandangan Naufal masih menatap lurus ke arah gurat-gurat cahaya matahari yang tersapu di langit sana, lalu kekehan pelan keluar dari mulutnya. "Udah. Emang dikiranya gue belom bisa move on sama sekali, ya?"

"Anjir! Kudu dirayain ini mah!" Saki jadi berseru histeris. "Udah nggak ngarepin dia lagi, nih?"

"Terlalu banyak berharap semakin melukai hati gue. Percuma aja. Sebanyak apa pun gue meminta dia balik ke gue, kalo emang takdir belum mengizinkan, gue nggak bisa berbuat banyak. Lagian gue sama dia nggak bisa bersatu, Ki."

Saki mengangguk paham. "Masih banyak cewek, slow. Di deket lo tuh, cewek banyak. Tinggal pilih dah mana yang cocok sama hati lo." Cowok jangkung itu tertawa. "Jadi, final chapter kan ini?"

Naufal hanya tersenyum tipis. "Iya, ini epilognya."

Kalau sebelumnya, Naufal tak bisa menyangkal apa yang Saki ucapkan karena itu memang benar adanya. Hatinya masih disesaki oleh satu nama. Bahkan semua hal tentang gadis itu masih tertata rapi dalam pikirannya. Tak peduli sekeras apa pun ia mencoba melupakan, ingatannya tentang Sarah, bahkan rasa harap masih terus berdatangan tanpa ampun.

Tanpa peduli bagaimana kerasnya dia berjuang untuk melupakan. Orang berkata jika melupakan adalah hal yang mudah. Tapi, bagi Naufal hal itu sulit karena dirinya memang belum sepenuhnya bisa melupakan.

Namun berbeda dengan sekarang. Masa-masa itu sudah terlewati. Tidak lagi menepi apalagi berhenti. Hatinya sudah bersih tanpa si pemilik nama itu lagi. Yang biasanya, hati Naufal masih seringkali bergetar saat mendengar nama Sarah disebut, kini rasa itu sudah hilang. Tergantikan oleh orang baru yang suara tawanya mampu membuat Naufal lupa akan rasa sakit itu.

Setelah makan malam selesai, Naufal memutuskan untuk pamit. Saki menawarkannya untuk mengantar pulang, tapi Naufal lagi-lagi menolak. Pada petang ini, Naufal ingin naik transjogja sajs. Alhasil, Saki hanya mengantarnya sampai halte yang tidak jauh dari perumahan tempat cowok itu tinggal.

Naufal berdiri di halte yang tidak begitu ramai, hanya ada beberapa orang yang juga sama dengannya menunggu bus datang. Kebisingan jalan raya menyelimutinya. Lalu lalang kendaraan saling mengejar seolah jalanan aspal tersebut adalah arena balapan. Dirinya masih terpaku dalam keheningan hingga langkah pelan seseorang memecah keheningan yang ia ciptakan sedari tadi.

Gadis yang memilik rambut bergelombang sepunggung itu menggunakan masker untuk menutupi wajahnya. Naufal hanya melirik sekilas tanpa memperhatikan lebih jelas siapa gadis tersebut. Meski wangi dari aroma parfum gadis itu cukup menusuk indra penciuman Naufal.

Kemudian, Naufal kembali hanyut dalam keheningan.

"Long time no see, Fal."

Naufal serasa waktunya terhenti saat itu.

Suara yang sangat dia kenali kembali menyapanya setelah sekian lama. Naufal menengok dan mendapati gadis itu sudah membuka separuh masker yang menutupi wajahnya. Senyum tercetak di wajah cantik miliknya.

Itu Sarah.

Sarah Adriella Kusuma.

"Sarah?"

Gadis itu mengangguk. "Iya. Gue Sarah. Kaget?"

"Kok bisa di sini?"

Sarah justru tertawa, membuat retakan kecil di benteng pertahanan milik Naufal.

"Tadi abis dari rumah temen, sih. Nggak kepengin dianterin, gue lagi pengin naik transjogja. Bareng aja, gimana?"

Seandainya saja degup jantung manusia bisa terdengar dengan jelas, sudah pasti jantung Naufal akan berirama dengan keras sampai manusia bisa mendengarnya. Degup itu kencang karena pertemuan ini di luar prediksinya.

Naufal berusaha setenang mungkin. "Boleh, deh."

Lagi, Sarah kembali tertawa. "Lo kok bisa di sini? Seinget gue, ini perumahannya Saki nggak, sih?"

"Iya, abis main tadi gue."

Sarah mengangguk. "Kenapa nggak bawa motor? Tumben banget naik transportasi umum?"

"Lagi kepengen aja."

Mendadak raut wajah Sarah menjadi murung. "Lo nggak seneng ya, Fal papasan sama gue?"

Naufal sedikit kaget lalu dia menggeleng pelan. "Eh? Cuma kaget aja karena udah lama nggak ketemu lo."

"Ah, gitu. Gue kira karena ketemu gue bikin lo jadi nggak nyaman."

Bus yang ditunggu pun datang. Cukup penuh karena bertepatan dengan jam pulang kerja. Syukurnya masih ada beberapa kursi kosong untuk mereka berdua duduk.

Naufal dan Sarah terpaksa duduk bersebelahan sampai tujuan halte tempat berhenti masing-masing.

Keduanya terjebak dalam keheningan yang terasa amat canggung. Jika dulu keduanya akan saling bertukar cerita tiap kali mereka menaiki transjogja, berbeda dengan sekarang. Naufal memilih mengunci mulutnya serapat mungkin, sementara Sarah menggigit bibirnya kuat-kuat, dia benci situasi seperti ini.

Setelah beberapa menit terlewati dengan keheningan di antara keduanya, Naufal memutuskan untuk kembali menyapa.

"Sarah?"

"Ya? Kenapa?"

"Apa kabar?"

Sarah semakin kencang menggigit bibirnya sendiri. Dia mengaku kalah, pertahanannya lebur saat Naufal kembali menanyakan kabarnya setelah sekian lama. "Gue baik-baik aja. Bulan depan juga gue wisuda."

Naufal tersenyum tipis. "Keren. Doakan gue segera menyusul."

Sarah mengangguk pelan, jari-jari di pangkuannya tidak bisa diam.

"Pasti. Pasti gue doain juga." Kalau saja rasa malunya sudah tak ada, mungkin Sarah akan menangis sekarang.

"Lo selalu sekeren itu, Sar. Dari dulu, dari awal kita kenal."

Sarah hanya dapat mengangguk, lidahnya terlalu kelu untuk menjawab.

Tak peduli semacet apa pun jalan raya atau bahkan laju bus ini melambat, Sarah justru akan semakin bersyukur. Waktunya dengan Naufal akan lebih lama dan dia tidak ingin melewatinya begitu saja.

Benar-benar sebuah kerinduan yang terbayar lunas. Beberapa tahun terlewati, Sarah masih tenggelam dalam rasa rindunya kepada Naufal.

Petang ini rasanya begitu membahagiakan untuk Sarah sendiri. Bertemu lagi dengan Naufal itu seperti waktu lama yang terulang kembali.

Jika begini cara takdir mempermainkannya, rasanya akan sulit bagi Sarah untuk melupakan Naufal. Alih-alih melupakan, justru rasa cintanya semakin membesar meski dia tahu, Tuhannya tidak akan pernah mengizinkannya untuk tetap bersama Naufal.

Sementara di sisi lainnya, Naufal sibuk mengulang kata maaf dalam hatinya. Maaf untuk Sarah karena mereka berbeda juga kata maaf untuk Lia karena hal ini akan membuat Naufal semakin lama untuk memberi kepastian pada gadis itu.

Dengan tanpa ampun memori-memori itu kembali terputar di kepala Naufal.

"Saya tahu kamu anak baik, berprestasi dari masih sekolah. Bahkan ipk milikmu pasti selalu stabil selama kamu berkuliah. Tapi, itu saja tidak cukup, Nak."

Naufal hanya bisa mengangguk pelan. Mau membantah pun rasanya percuma.

"Selama anak saya pacaran sama kamu, saya sangat senang. Senang sekali rasanya melihat anak semata wayang saya jadi banyak tertawa, rajin belajarnya, bahkan tidak pernah absen saat ibadah Minggu." Lelaki paruh baya di hadapan Naufal itu terkekeh pelan. "Katanya, semenjak sama kamu, banyak hal baik yang dia lakukan. Saya senang mendengarnya. Tapi, nggak mungkin kalau kalian terus bersama, 'kan?"

"Kalau begitu saya juga senang mendengarnya, Pak. Saya senang kalau sama saya, Sarah jadi banyak melakukan hal positif." Naufal tersenyum tipis sambil menatap sekilas Ayah Sarah, pandangannya kembali tertuju ke lantai. Tak berani menatap lama-lama lelaki itu.

"Mungkin untuk sebagian orang tua mau mengikhlaskan apa yang anaknya inginkan. Tapi, untuk saya pribadi, saya rasa nggak bisa, Nak. Saya juga nggak mau menyuruh kamu buat ninggalin Tuhanmu."

"Saya sangat paham, Pak."

Ayah Sarah tersenyum tipis. "Kalian bisa jadi teman. Saya juga nggak mau sejahat itu memisahkan kalian, apalagi sampai melarang kamu untuk nggak bertemu Sarah lagi. Kalian masih bisa bertemu sebagai teman, bukan?"

Naufal mengangguk paham. Hatinya perih karena ini adalah akhir dari kisahnya.

"Saya mengerti, Pak. Maaf kalau saya berbeda keyakinan sama Sarah tapi selama ini saya bersikeras untuk tetap sama Sarah. Sekali lagi saya minta maaf, Pak."

Tangan milik Ayah Sarah menepuk pundak Naufal pelan. "Kamu nggak perlu meminta maaf. Seharusnya saya yang meminta maaf ke kamu. Maaf, kalau saya nggak bisa kasih restu untuk kalian berdua."

"Nggak apa-apa, Pak. Disambut dengan baik setiap kali saya main ke sini, saya udah senang. Saya kira awalnya bakal diusir waktu pertama kali bertamu."

Suara gelak tawa terdengar. Ayah Sarah tertawa renyah mendengar ucapan Naufal. "Ini salah satu alasan saya yang nggak bisa benci kamu, Nak. Kamu itu benar-benar anak yang menyenangkan. Jangan putus hubungan dengan saya dan Ibunya Sarah, ya? Kamu boleh main ke sini kapan pun kamu mau."

Meski kenyataannya setelah hari itu, Naufal tidak pernah lagi mengunjungi rumah itu. Sesaknya terlalu memenuhi seluruh ruang kosong di hatinya. Luka itu terus menerus basah selama beberapa tahun.

Bagaimana bisa dia bisa menginjakkan kakinya lagi di sana tanpa rasa perih sama sekali?

Lamunan Naufal terpecah saat Sarah menepuk pelan bahunya. Naufal kembali lagi pada sebuah kenyataan di hadapannya.

"Gue udah mau sampe. Maghrib-maghrib jangan kebanyakan bengong, Fal. Nanti kesambet!" Sarah tertawa pelan, dia bersiap-siap untuk turun.

Naufal menahan tangan cewek itu. "Hati-hati jalan sampe kosannya."

Sarah mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, lo juga nanti hati-hati. Jangan ribut terus sama Farris, oke?"

Setelahnya Sarah turun dari bus. Meninggalkan Naufal dengan kursi kosong juga perasaan aneh di benak milik Naufal.

Seharusnya Naufal biasa saja setelah bertemu Sarah tadi.

Seharusnya Naufal tak ambil pusing usai pertemuannya yang tanpa sengaja ini.

Seharusnya Naufal tidak perlu memikirkan hal ini terus menerus.

Seharusnya juga, rasa ingin kembali mengejar itu tak muncul.

Kenapa harus sekarang?

***

"Makan apa yang enak buat malem ini? Masak apa beli aja sekalian?" Gretha jadi yang pertama kali bersuara.

Belum ada yang menjawab, hanya ada suara genjrengan gitar dari Jazmi, sisanya masih terfokus pada layar laptop masing-masing.

Gretha meniup poninya sebal. "Jazmi, Rania, Farris, Aletta, Chika, dan Aldo!" Nada suara Gretha naik satu oktaf. "Ditanya tuh, ya jawab gitu, lhoooo!"

Letta langsung menegakkan punggungnya. "Iya, iya, Ci. Siap! Beli makan aja biar nggak ribet."

Rania meringis. "Sorry, ya. Terlalu fokus sama revisian ini."

Jazmi jadi ikutan berhenti menarik senar gitarnya. "Iya, beli aja, wes. Ben ra ribet."

Gretha menggelengkan kepala melihat tingkah laku anak-anak kosan. Kalau sudah begini, dia merasa seperti sudah menjadi Ibu sebelum menikah.

"Oke, mau pesen apa?"

"Olip, weh." Farris menyahut singkat.

Rania mengangguk setuju. "Boleh, tuh. Olip aja, Gre. Punya gue yang geprek, ya!"

"Yowes, kusamain aja ya, semuanya pesen olip. Punya Rania yang geprek, sisanya apa?" Gretha bertanya sambil memilih pesanan untuk makan malam.

"Punyaku paha atas sama es tehnya jangan lupa, Gre." Jazmi mengatakannya sambil masih asik memainkan gitar di pangkuannya itu.

"Sa punya sayap aja. Minumnya es teh aja semuanya." Aldo yang sedari tadi sibuk di depan laptop pun akhirnya bersuara.

"Punya gue mah apa aja, Ci. Yang penting bisa kemakan." ucap Letta dengan santai karena dia bukan tipe yang harus spesifik ketika ditanyai mau makan apa.

Gretha manggut-manggut mengerti. "Chika mau apa?"

Chika yang sedari tadi sibuk dengan kertas-kertas di hadapannya menoleh ke arah Gretha. "Ayamnya dua tapi nggak usah pake nasi, ganti pake kentang goreng aja, Ci."

"Lah, kok nggak makan nasi, Chik?"

"Lagi nggak pengen makan nasi, Ci." Chika hanya meringis. Sebenarnya nafsu makannya berkurang akhir-akhir ini. Tapi Devan menyuruhnya harus tetap makan apa pun itu agar perutnya tidak kosong. Karena mengerjakan tugas akhir juga perlu energi.

"Nanti sakit maneh, Chik, mun teu makan nasi mah." Farris mengingatkan karena khawatir jika Chika akan drop kalau tak makan nasi.

"Kagak, elah tenang aje. Itu gue ganti pake kentang."

"Calon dokter nggak boleh sakit-sakitan tau, Chik!" Letta ikut-ikutan menasehati sambil terkekeh pelan.

"Yaelah, gue dokter gigi, anjir! Bukan dokter umum apalagi spesialis. Santai aja."

Rania tertawa mendengarnya. "Dia mah jangan sakit gigi aja yang penting."

Baru saja Gretha akan mengklik seluruh pesanan, suara motor terdengar dari halaman depan.

"Eh, itu kayaknya mpok Lia dah." Letta memberi tahu karena cewek itu hapal seluruh bunyi motor milik anak-anak kosan.

"Hah?" Farris kebingungan. "Sejak kapan maneh ganti panggilan jadi pake Mpok?"

"Ye, elo mah kagak tau aje sih, Ris. Mpok Lia noh mulutnye sama nyablaknya kalo ngomong."

"Biar makin betawi, yeee." Jazmi meniru logat betawi milik Letta yang langsung dapat timpukan bantal dari Rania. "Oasuuuuuu."

Rania melotot ke arah Jazmi. "Kagak cocok lo segala pake logat Betawi."

"Assalaamualaikum," Lia mengetok pintu depan lalu cukup terkejut karena lumayan ramai di ruang tamu. "Loh, rame banget tumben?"

"Wa'alaikumussalam, Li. Baru balik gawe?" Rania bertanya sambil melihat jam. Tumben sekali Lia baru sampai rumah pada pukul tujuh malam.

Lia mengangguk lalu menaruh plastik putih yang ditenteng itu ke atas meja. "Gue tau lo pada pasti belom makan, jadinya tadi gue mampir dulu ke olip. Kalo nggak sesuai sorry, ya. Tadi nggak sempet nanyain. Atau kalian udah kelar makan?"

Gretha menggeleng. "Belum. Baru mau pesen olip juga tadinya, Li. Tapi, suwun, yo. Kamu peka banget! Habis makan aku bayar pesenanku."

Farris langsung bangun dari atas sofa. "Pengertian banget anjir, lah. Pacaran hayuk, Li sama Aa?"

Lia menoyor kepala Farris. "Naon anying, tiba-tiba ngajak pacaran."

"Kak, lo beli kentang goreng nggak?" Chika bertanya memastikan, siapa tahu Lia membelikannya kentang goreng.

Lia mengangguk. "Beli, kok. Itu ada yang isinya ayam, kentang goreng sama burger buat lo. Gue perhatiin, akhir-akhir ini nasi di mejikom kagak lo colek sama sekali, Chik."

Chika tertawa keras. "Ya Tuhan bersyukur banget di kosan ini ada Ci Gre, Mpok Lia, ame kak Rania. Buat orang kayak gue sama Letta diperhatiin banget, dah! Thank you ye, Mpok!"

"Selaw. Udah buru pada makan, gue mau mandi dulu." Lia berjalan meninggalkan ruang tamu.

"Kalian makan duluan aja, sa mau tunggu Lia kelar bersih-bersih." Aldo berujar sambil kembali mengetik.

Letta mengangguk setuju. "Gue juga belom laper. Nungguin mpok Lia aje dulu, deh."

"Lho, piye sih? Lapernya hilang kalian?" Jazmi bertanya kebingungan. Gitarnya sudah dia taruh sedari tadi.

"Udah dibeliin, nggak enak kalo makan duluan meskipun kita bakal bayar nantinya." Rania memberi pengertian yang kompak diangguki oleh anak kosan lainnya.

Jazmi jadi ikut manggut-manggut. "Bener juga. Yawes, aku mau ke depan dulu, rokokku wes entek. Ris, melu ora?"

Farris mengangguk. "Miluan atuh. Do, maneh di sini heula, oke? Jagain ieu para cewek-cewek urang."

Aldo berdecak. "Pantat ko mau ditendang kah?"

"Galak amat, anyinggg."

Jazmi langsung menyeret Farris keluar, menyisakan anak-anak yang kembali fokus pada pekerjaannya masing-masing.

Bermenit-menit terlewati, yang terdengar hanyalah suara detak suara jam dinding juga suara mengetik dari laptop masing-masing.

"Gue belom ada lihat Devan sama Naufal, dah? Ke mana mereka?" Rania baru ingat kalau dari sore tadi, dia belum melihat dua temannya itu.

"Devan lagi ngumpul sama anak komunitasnya, Kak. Paling balik nanti jam sembilanan." Chika yang menjawab tentu saja.

Rania manggut-manggut. "Oalah gitu. Kalo si Naufal?"

"Ada privat bukannya dia mah? Lagi di jalan kali belom balik makanya." Letta menebak asal, karena setahunya hari ini adalah jadwal Naufal mengisi privat.

Chika sedikit terkejut. "Hah? Masih? Gue kira udah nggak lanjutin buka privat dianya."

"Masih tau, Chik. Bang Nopal mah mana bisa diem dia, sama kayak orang ini, nih!" Tunjuk Letta ke arah Aldo, sementara yang ditunjuk hanya menatapnya sebentar lalu kembali fokus pada laptop.

"Hedeh, sok sibuk lo, Bang!"

Aldo terkekeh lalu menyubit pelan lengan milik Letta. "Berisik, Ta."

"Dih, apa sih, cubit-cubit aje lo!"

Chika, Gretha, Rania, dan Letta malah lanjut mengobrol. Tugas yang mereka kerjakan ditinggal begitu saja. Hanya Aldo yang masih fokus mengerjakan.

"Lia udah pulang?"

Semuanya kompak menengok ke arah sumber suara tersebut. Raut wajahnya sedih, membuat para penghuni kosan kebingungan.

"Lo kenapa anjir, Bang?" Letta bertanya keheranan.

"Kenapa, Fal?" Seakan kebetulan, Lia menyahut. Cewek itu baru saja selesai mandi, rambutnya masih basah dan aroma sabun mandi masih tercium dengan jelas.

Naufal berjalan menuju Lia, melewati semuanya yang ada di ruang tamu. Semuanya semakin kebingungan tidak bisa menebak apa yang dimaksud oleh Naufal.

Tanpa aba-aba, Naufal langsung memeluk erat Lia yang membuat anak-anak kosan langsung terkejut, terlebih lagi Lia yang mendapatkan pelukan tiba-tiba.

"INI GUE NGGAK SALAH LIHAT?" Letta menutup mulutnya terkejut.

Gretha mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba memahami situasi terkini.

"Li, gue butuh lo." bisiknya pelan yang hanya mampu didengar oleh Lia.

"ETA NAON ANYING PELUK-PELUKAN SEGALAAAAA?"

Farris berseru histeris dari depan pintu, Jazmi yang menyusul di belakang pun ikutan melongo melihat pemandangan yang ada di depan matanya.

***

Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam, tapi makanan di atas meja sama sekali belum tersentuh. Kejadian barusan bikin anak-anak komplak terkejut, melongo, sampai terheran-heran.

Pasalnya, seorang Naufal yang terkenal nggak pernah main asal memeluk orang, tiba-tiba datang dan memeluk Lia begitu saja. Bagaimana para warga tidak terkejut dibuatnya?

Lia berdecak saat melihat semua teman-temannya mendadak sibuk dan seolah tidak melihat kejadian barusan.

"Ini gue udah beliin loh, kenapa kagak dimakan sama sekali?" Lia membuka plastik putih besar itu, lalu membagikannya satu per satu.

"Makasih, Mpok. Ini gue makan nih, serius." Letta langsung membuka kardus kotak berisi ayam dan nasi yang mulai mendingin itu.

Melihat Letta yang mulai makan, akhirnya satu per satu ikut membuka bungkus makanannya masing-masing.

Devan yang belum lama sampai pun merasa aneh dengan atmosfer di ruang tamu ini. Yang biasanya Farris mengoceh sana sini pun diam sama sekali tidak mengeluarkan suara sama sekali.

"Pada kenapa, sih? Lo pada lagi berantem apa gimana? Maksudnya apa nih, canggung bener gue lihat-lihat." Devan melirik ke arah kanan kiri, tetap tidak mendapatkan jawabannya.

"Do?"

Aldo yang dipanggil oleh Devan pun lalu menoleh. "Apa?"

"Pada kenapa?"

Aldo mengusap leher belakangnya. "Ko tanya sama Naufal coba."

Mendengar nama Naufal disebut, Devan langsung paham. Pasti ada sesuatu yang terjadi sebelum Devan sampai. Entah apa pun itu tapi dia merasa pasti ini ada kaitannya dengan Lia. Kenapa Devan bisa menebak begitu? Akhir-akhir ini dia melihat kalau Naufal dan Lia semakin dekat. Terlebih setelah mereka pulang dari jalan-jalan ke pantai.

Keduanya makin dekat, bahkan Naufal selalu siap siaga untuk mengantar jemput Lia saat cewek itu mau pergi keluar.

"Oh, ngerti gue. Ya, udah nggak usah jadi canggung gini. Kayak abis ngapain aja lo pada, ah." ujarnya santai lalu memakan nasi dan ayam di tangannya.

Lia menggigit bibir bawahnya. Kecanggungan yang dia rasakan masih belum hilang. Malah sekarang dia merasa malu karena tiba-tiba dipeluk di depan para penghuni kosan.

"Li, ntar urang transfer yah, uang olipnya." Farris mencoba kembali memecah keheningan yang ada.

Lia mengangguk singkat. "Kalem, Ris."

"Pada tau nggak, sih? Anaknya bu Yuni yang di depan itu habis kecelakaan motor. Katanya-" Letta mengalihkan topik, kontan membuat anak-anak tertarik mendengarnya.

"Dia belum punya sim, orang masih kelas sebelas gitu." Devan mencemooh.

"Ugalan-ugalan mereun bawa motornya. Sukur masih idup itu dia." Farris geleng-geleng kepala saat mendengarkan kronologis yang diceritakan oleh Letta.

Syukurlah anak-anak tidak lagi membahas hal itu. Meski beberapa kali Lia kerap menangkap kalau Naufal curi-curi pandang ke arahnya. Lia nggak marah, kok. Dia cuma terkejut kenapa tiba-tiba mendapat pelukan begitu saja.

"Gue balik kamar duluan, ye. Udah ngantuk banget ini!" Devan bangun dari duduknya diikuti Farris dan Jazmi yang juga kompak bangun.

"Hooh, wes ngantuk aku." Jazmi menguap lebar sambil meregangkan badannya. "Li, wes tak transfer. Thank you!" Cowok itu lalu berjalan keluar membawa gitarnya.

"Yang belom transfer ke Lia, transfer buruan. Sebelom gue tagihin tiap hari!" Rania berseru galak.

Aldo terkekeh sambil mengangguk-angguk. "Udah ditransfer, tuh. Sa lebihin, dicek nanti ya, Li."

"Ah lo mah kalo ngasih lebihan jangan ke Mpok Lia doangan dong, Bang! Gue juga mau, nih!" Letta merengut, masa cuma Lia yang dikasih uang? Kan dia juga mau!

"Nanti, ya. Kalo uangnya udah banyak. Sa balik dulu, semua. Jangan lupa istirahat." Aldo menenteng laptopnya, berjalan menyusul Jazmi, Farris, dan Devan yang sudah lebih dulu masuk ke rumah.

"Nggak balik kamu, Fal?" Gretha bertanya saat melihat Naufal yang pura-pura terpejam sambil duduk di atas sofa.

"Ntar, masih mau ngobrol sama Lia." Naufal membalas santai.

Lia berdecak lalu mencubit lengan Naufal. "Balik sana buruan! Mau digrebek warga lo? Malem-malem masih di kos cewek."

Naufal mengaduh lalu mengusap bekas cubitan Lia. "Sakit, Li buset!"

"Cari perkara aje si lo, Pal." Chika mencibir lalu melenggang masuk ke dalam kamarnya.

"Ya, udah. Diselesain dulu aje urusan rumah tangganya. Kami masuk duluan, nih. Jangan lama-lama, ya? Nanti digrebek warga, hati-hati, dah." Rania menyeret Letta dan Gretha untuk masuk ke dalam.

Sisa Lia dan Naufal yang kembali ditemani keheningan.

"Sorry, tadi tiba-tiba meluk." Naufal menunduk, takut untuk menatap mata Lia.

Lia hanya bisa menghela napas panjang. "Ada masalah lo, ya? Kaget banget gue tiba-tiba dipeluk begitu aja."

"Maaf. Lain kali gue ijin dulu kalo mau meluk lo, deh."

"Yaaaa, nggak gitu juga etdah, bocah."

"Tapi serius, Li," Naufal menjeda. "Gue emang butuh lo banget."

"Buat apa?"

"Kesannya bakal brengsek kalo gue deketin lo tapi nggak ada status apa-apa," Naufal membuang napas kasar. "Tapi, gue juga belom siap kalo ngajakkin lo pacaran. Gue takut sewaktu-waktu nyakitin lo doang."

"Lo ngomong begitu, emangnya gue juga ada rasa sama lo?"

Naufal melongo menatap ke arah Lia. "Hah?"

Lia terkekeh pelan. "Nggak, bercanda. Jadi, langsung ke intinya aja gimana? Apa yang lo mau buat ke depannya?"

"Gue nggak mau terburu-buru. Kalo boleh jujur, ya gue udah sayang sama lo. Cuma, gue belom siap jalin hubungan, Li."

"Oke, terus?"

"Sebenernya malu banget gue ngomong gini, tapi beneran gue tertarik sama lo. Gue seneng nemenin lo ke mana-mana, gue seneng ngelihat lo yang super excited kalo mau jajan cilor."

"Harus banget cilor yang kudu dibawa?"

"Lo jajan cilor mulu gue perhatiin."

"Ciyeee, perhatian." Lia kembali meledek Naufal.

"Ya, udahlah intinya aja, nih. Gue suka sama lo, oh-nggak ralat. Gue sayang sama lo, gue maunya sama lo." Naufal memilih untuk jujur sejujur-jujurnya, meski sudah kepalang malu, sekalian ditrabas saja. Biar lega dan nggak mengganjal lagi di hatinya.

"Terus?"

"Begini dulu, ya. Gue belom siap pacaran, aduh anjir, lah! Gue jadi bingung sendiri." Naufal mengacak rambutnya frustasi.

"Gue digantungin setelah lo confess begini?" Lia jadi tak paham maksud Naufal.

"Nggak, bukan gitu...." Naufal manyun yang sumpah demi apa pun, Lia jadi gemas melihatnya. "Cuma tunggu timing yang pas aja."

"Ya, udah. Gimana lo aja, udeh. Kalo lo kelamaan, gue bakal ajakkin Aldo pacaran."

Naufal memasang eskpresi wajah tak terima. "Dih, kok malah ngajak Aldo, sih?"

"Emangnya kenapa? Dia juga care ke gue, kok."

"Beda agama, Lia. Yang di depan lo ini jelas-jelas bakal ngimamin lo nanti, Aldo mah mana bisa!" Naufal tidak terima, pokoknya harus sama dia, nggak boleh sama cowok lain.

Lia tertawa, lalu tiba-tiba memeluk Naufal kemudian berbisik pelan. "Balik, anjing sebelom gue sepak pantat lo!"

Naufal langsung mundur, dia bergidik ngeri setelah mendengar kalimat itu. "Emang kagak ada romantisnya ya lo, ngeri banget, anjir!"

"Buru sono balik, ah. Bosen gue lihat muka lo itu."

"Iya, iya. Balik nih, gue." Naufal berjalan keluar lalu memakai sandalnya. "Diusir gini endingnya. Beda sama di film-film."

"Pagernya jangan lupa ditutup ye, Fal." ucap Lia sambil terbahak melihat wajah Naufal yang tertekuk.

Saat sudah selesai menutup pagar, Naufal kembali memanggil lia. "Li, ada yang mau gue tunjukkin."

Lia menaikkan sebelah alisnya. "Apaan, dah?"

Dengan percaya diri, Naufal memberinya kissbye sambil mengedipkan sebelah matanya. "Selamat malam, cantiknya Naufal. Sampe ketemu besok pagi, dadah!"

Lagi dan lagi Lia kembali dibuat terkejut. "Dangdut bener, anjir!" Tapi dia tetap kembali terkekeh. "See you and good night, Fal!" Lia melambai lalu membalas kissbye yang diberi Naufal tadi.

Sigap, Naufal langsung menangkapnya kemudian tertawa.

Malam ini dia yakin akan mimpi indah. Meski petang tadi hatinya berkecamuk, tapi dia punya Lia untuk saat ini. Dibanding harus terus melihat ke belakang, kenapa tidak fokus saja melihat ke depan?

Karena sejatinya manusia itu berjalan lurus ke depan bukan ke belakang.

Untuk sekarang, begini saja sudah cukup. Naufal tidak akan membiarkan siapa pun mendekati Lia. Mungkin orang lain akan menganggap keputusan Naufal itu jahat, tapi bagi Naufal tidak. Dia hanya menunggu waktu yang tepat untuk Lia.

Semoga saja bisa terlaksana dengan seharusnya.

***

Alsaki, temen sejurusan Naufal.


Sarah, mantannya Naufal.

*

Author notes :

Yak, jadi seperti itu ya para warga sekalian. Tidak greget karena seringkali realita emang seperti itu.

Kalo boleh jujur, Lia emang jadi dibikin bingung sama perlakuannya Naufal, tapi dia ini tipe yang nggak mau ambil pusing.

"Lo mau serius, ayo. Kalo mau main-main juga, ayo aja gue mah." Gitu, shaayy. Sementara Naufal ini, tiba-tiba bikin pengakuan ke Lia supaya nggak keinget mantannya terus.

Jahat sih, harusnya kan selesain dulu ya gak sih, urusan di masa lalunya? Cuma ya, udahlah. Itu keputusannya si Nopal.

Semoga suka dengan part ini, yaaaa.

See u. ❤️

Bekasi, 19 Desember 2023.

繼續閱讀

You'll Also Like

2.9M 167K 93
"Uniform? Clothes are 100% off when you work for me." #1 in ff © sujinniie 2018 ✓ © sujinniie [REWRITTEN] 2020-2021 ✓
67K 2.7K 37
ᴅɪᴠᴇʀɢᴇɴᴛ; ᴛᴇɴᴅɪɴɢ ᴛᴏ ʙᴇ ᴅɪꜰꜰᴇʀᴇɴᴛ ᴏʀ ᴅᴇᴠᴇʟᴏᴘ ɪɴ ᴅɪꜰꜰᴇʀᴇɴᴛ ᴅɪʀᴇᴄᴛɪᴏɴꜱ.
2.7M 110K 62
➳ Mafia/Gang au ➳ "You're too innocent Areum, I'd ruin you."
4M 87K 62
•[COMPLETED]• Book-1 of Costello series. Valentina is a free spirited bubbly girl who can sometimes be very annoyingly kind and sometimes just.. anno...