All in All

Da youandwords

30.4K 885 117

Tenica pemilik WO yang selama ini selalu profesional. Suatu hari, dia bertemu klien bernama Nuca yang membuat... Altro

AIA-1
AIA-2
AIA-3
AIA-5
AIA-6
AIA-7
AIA-8
AIA-9
AIA-10
AIA-11
AIA-12
AIA-13
AIA-14
AIA-15
TENUCA

AIA-4

662 56 8
Da youandwords

"Sorry...."

Nuca perlahan menggerakkan tangan ke samping tubuh. Dia menunduk, melihat ekspresi Tenica yang kembali serius. Dia mundur satu langkah lalu menggaruk tengkuk. "Mau minum kopi?" tawarnya sambil menggerakkan tangan ke arah restoran.

Pandangan Tenica tertuju ke Nuca. "Maaf, tapi saya ada kerjaan lain." Dia berjalan menuju sudut depan restoran lalu bersandar. Kepalanya tertunduk, ingat kejadian barusan saat kehilangan Basro. "Aaah!" Tenica menghentakkan kaki.

Menurut Tenica kesempatan seperti itu langkah. Besok, jika dia menunggu belum tentu ada Basro. "Huh...." Dia mengusap wajah lantas mendongak mencoba menenangkan diri.

Diam-diam, Nuca memperhatikan. Dia menahan tawa melihat wanita itu kembali frustrasi yang justru terlihat lucu. "Ada yang bisa gue bantu?" tanyanya seraya mendekat.

Tenica mendongak, menatap Nuca yang berada di depannya. Refleks dia bergeser, merasa posisinya tidak nyaman. "Enggak kok."

"Tapi, kenapa kelihatannya gelisah?"

"Saya kehilangan Basro," jawab Tenica sambil menatap ke arah salon. "Kak Henna ingin sekali di-make up sama dia. Tapi...."

Pandangan Nuca tertuju ke bangunan berlantai dua dengan tulisan Basro di bagian atas. "Oh, Henna pengen di salon itu?"

"Iya, tapi susah," jawab Tenica. "Harusnya saya barusan bisa ngejar Basro, tapi...." Dia ingat tindakan Nuca yang menghadangnya.

"Sorry...." Nuca tahu, Tenica pasti menyalahkannya.

Tenica menggeleng pelan. "Nggak apa-apa," jawabnya. "Oh, ya, Kak Henna ada langganan salon lain?"

"Emm. Nggak tahu."

Memang Tenica tidak seharusnya berharap ke Nuca. Lelaki mana tahu urusan begituan. "Em, misalnya keinginan Kak Henna nggak terwujud, dia nggak apa-apa, kan?"

Nuca tersenyum samar. "Kita bicara di dalam."

"Di sini saja."

"Udah, ayo!" Nuca menarik tangan Tenica dan mengajaknya ke dalam restoran.

Pandangan Tenica tertuju ke genggaman Nuca. Lelaki itu sepertinya memang mudah skinship dengan orang lain. Dia mencoba menarik tangannya karena tidak nyaman, tapi Nuca mengeratkan genggaman.

"Ngobrol di sini, kan, lebih enak!" Nuca baru melepaskan genggaman setelah duduk di bagian tengah.

Tenica duduk di hadapan Nuca dan menatap serius. "Bisa kasih tahu saya?"

Nuca tidak menjawab. Dia mengambil buku menu yang tergeletak lalu membaca menu. "Lo pesen apa?"

"Saya nggak pesan."

"Kalau gitu gue juga enggak." Nuca menutup buku itu tepat saat pelayan datang.

Tenica melirik ke samping. Si pelayan tampak terusik dengan ucapan Nuca. "Saya sudah pesan. Anda pesan saja."

"Maaf, Mbak. Nggak jadi," jawab Nuca.

"Kalau tidak memesan, dilarang duduk di sini, Pak."

Bahu Tenica merosot, enggan sekali ada perdebatan. Akhirnya dia mengambil buku menu dan menunjuk caffelatte. Setelah itu dia meletakkan buku menu dan membuang muka.

Nuca tersenyum melihat tindakan Tenica. "Americano sama choco lavacake."

"Baik, Pak!" Pelayan mencatat pesanan dua orang itu lantas menjauh.

Tenica kembali menatap Nuca. "Jadi, bisa beri tahu saya? Soal Kak Henna."

"Emm...." Nuca tampak mengingat. "Henna dari kecil dimanja. Kalau keinginannya nggak tercapai, dia kayak hyena. Haumm...." Nuca menggerrakkan jemari seolah mencakar.

Tenica refleks mundur karena tindakan tidak terduga itu. "Jangan ngagetin saya." Dia mengusap dada lalu duduk bersandar.

"Serius. Coba saja sendiri."

"Nggak maulah," jawab Tenica sambil menggeleng. "Saya rasa kalau sama Basro bakal susah. Jadi, saya bakal cari MUA lain."

"Boleh aja."

"Saya akan bilang kalau Basro memang tidak bisa."

"Tapi, Henna perlu bukti," ujar Nuca. "Lo ada bukti?"

"Barusan saya nunggu."

"Ya buktinya?"

Tenica menggaruk kepala. "Harusnya memang saya tadi merekam."

"Ya, harusnya gitu." Nuca duduk bersandar sambil memperhatikan Tenica yang terlihat frustrasi. "Terus, yang lain?"

"Sedang diurus," jawab Tenica. "Kemungkinan bisa pesan di Best Bride, tapi kalau Blue Sky, kayaknya nggak bisa."

"Asal ada buktinya."

"Silakan." Seorang pelayan datang mengantar pesanan.

Pandangan Tenica tertuju ke caffelatte dengan art berbentuk love. Dia mengusap perut, karena ini kopi ketiganya. Entah, bagaimana kondisi lambungnya nanti. "Setelah ini saya harus pergi," ujarnya lalu menyeruput minumannya pelan.

Nuca tidak menjawab. Dia menyeruput kopinya lantas mencicipi cake yang dipesan. "Selalu konfirmasi sama Henna juga."

"Iya, Pak Nuca!" jawab Tenica serius. Dia meletakkan cangkir putih dengan isi yang masih tersisa banyak itu, lantas berdiri. "Saya permisi."

"Loh, nggak lo habisin?"

"Mohon maaf." Tenica membungkuk sopan lantas berjalan menjauh. Dia merasa perutnya agak perih. Jika memaksakan meminum, bisa-bisa dia muntah. Selain itu, dia juga enggan berlama-lama dengan Nuca.

***

Pukul tujuh malam, tiga orang berkumpul di meja makan. Salah satu dari mereka sedang melahap mi instan dan aromanya mengganggu dua orang yang berkonsentrasi. Tera mengibaskan tangan, berharap aroma mi instannya membuat Tenica dan Liv kepengen.

"Duh! Gue jadi pengen." Liv meletakkan pulpennya dan menatap Tera.

Tera mengangkat bahu dan melanjutkan memakan mi instan. "Hmm, enak."

Tenica mengangkat wajah, merasa adiknya itu sengaja. "Kita bahas dulu," ujarnya. "Jadi, gimana tadi?"

Liv mengambil ponsel dan membuka galeri. "Ada kebaya yang bisa dipesan. Ini, udah gue fotoin yang ready." Dia menyerahkan ponsel ke kakak sepupunya.

Tenica segera mengambil dan melihat foto-foto yang diambil Liv. "Ini cuma contoh gambarnya?" tanyanya. "Lo nggak bisa foto kebayanya?"

"Ya nggak bisalah, Mbak!" jawab Liv.

"Iya, mereka juga nggak mungkin nunjukin koleksinya gitu aja," gumam Tenica seraya melihat gambar yang difoto Liv. "Ini buat ceweknya?"

"Emang yang cowok bakal pesen?"

Tera menunjuk Liv, setuju. "Kayaknya kalau cowok pakai bajunya sendiri, deh, Kak."

"Iya, juga," jawab Tenica. "Oke, kirim nanti gue hubungi klien." Dia mengembalikan ponsel itu ke pemiliknya.

Liv terlihat senang. "Kalau jadi, lusa kliennya suruh ke butik."

"Oke!" Tenica mencatat jadwal untuk ke butik. "Terus lo?" Dia menatap Tera yang begitu menikmati mi instannya.

Tera menyeruput mi terakhirnya lalu tersenyum dengan bibir mengembang. Dia mengambil notesbook-nya dan menyerahkan ke Tenica. Liv ikut mendekat dan membaca tulisan yang tertera.

"Kosong?" tanya Liv dan Tenica bersamaan.

"Iya!" Tera mengangguk. "Minimal tiga bulan sebelum acara harus booking. Nah, kita sebulan sebelum acara."

"Terus lo nggak coba cari hotel lain?" selidik Tenica.

Tera mengambil alih notebook-nya dan membuka halaman berikutnya. "Tuh, ada beberapa hotel kosong buat tanggal segitu."

Tenica mengangguk. "Lo cari gambarnya...."

"... udah, tinggal gue kirim ke lo," potong Tera.

"Gitu, dong. Gercep." Tenica mengacungkan jempol ke adiknya.

"Terus, lo sendiri?" tanya Tera sambil memperhatikan wajah kakaknya yang tidak begitu antusias. Jika, kakaknya itu berhasil, pasti sudah mengajak meeting begitu sampai apartemen. Sedangkan tadi, tidak sama sekali.

Bahu Tenica turun. "Gue nggak berhasil nemuin Basro."

"Nggak coba hubungi asistennya?"

"Udah gue telepon sama chat juga. Tapi, nggak ada balasan." Tenica mengambil ponsel dan tidak melihat pesan dari Asisten Basro.

"Kayaknya bakal susah, deh, Mbak kalau dia," ujar Liv.

"Makanya itu." Tenica menelungkupkan kepala di atas. "Gue bakal cari MUA lain yang nggak kalah sama Basro."

"Kliennya setuju nggak?" tanya Tera.

"Bentar lagi bakal gue hubungi." Mata Tenica terpejam. Dia merasa perutnya agak mulas karena kebanyakan kopi. "Oh, ya, soal catering."

"Gue urus aja," putus Liv. "Kan, tugas gue udah selesai duluan. Jadi, yang itu biar gue urus. Tapi, soal ngomong sama klien tetep lo, ya."

Tenica mengangguk. Dua orang itu memang enggan jika berhadapan dengan klien langsung. Tera agak pemalu dan kesulitan berbicara. Sedangkan Liv, kesabarannya setipis tisu. Hanya Tenica yang bisa diandalkan.

"Gue tinggal, ya! Perut gue sakit, nih!" Tenica perlahan bangkit seraya mengambil ponsel. "Duluan."

"Ya udah, istirahat," jawab Tera sambil menatap Tenica.

"Gue mau bikin mi!" Liv meloncat turun dari kursi dan mengambil mi instan.

Begitu sampai kamar, Tenica segera berbaring. Rasa sakit di perut membuatnya mulai berkeringat dingin. Harusnya memang dia tidak banyak meminum kopi. Namun, hanya minuman itu yang membuatnya semakin bertenaga. Entah mungkin sudah kecanduan atau bagaimana, jika tidak minum kopi sehari saja dia merasa pusing.

***

Tenica: Pagi, Kak Henna.

Tenica: Saya ingin memberi tahu jika kita bisa menyewa kebaya di Best Bride.

Tenica: Berikut saya kirimkan fotonya.

Usai mengirim pesan ke Henna, Tenica kembali bergelung di balik selimut. Hari masih pagi, tapi dia sudah menghubungi klien. Sambil menunggu balasan, dia ingin istirahat sejenak. Perutnya tidak lagi terasa sakit, tapi efeknya membuat tubuhnya lemas.

"Kak Tera! Foto hotel kemarin udah gue kirim."

Tenica hampir terlelap saat teriakan Tera terdengar. Dia kembali mengambil ponsel dan mencari chat dari adiknya. Dia melihat ballroom hotel dengan karpet berwarna merah. Lantas ada foto bagian taman hotel yang tampak asri. Tenica segera mengirim foto itu ke Henna dan Nuca. Setelah itu dia kembali bergelung di balik selimut.

Drttt....

Lagi, Tenica hampir terlelap saat ponselnya bergetar. Dia mengambil benda itu dan melihat nama Nuca. Seketika Tenica terduduk dan mengangkat panggilan. "Halo."

"Nggak bisa di Blue Sky?" tanya Nuca to the point.

"Maaf. Nggak bisa."

"Terus, kata Henna?"

Tenica turun dari ranjang dan berjalan keluar. "Pesan saya belum dibalas sama Kak Henna," jawabnya. "Tolong, kalau...."

"... lo ngomong sendiri."

"Ya sudah, saya nanti akan berbicara sendiri."

"Terus, yang lain?"

Tenica mengambil air mineral dan menegaknya pelan. Setelah itu dia duduk di kursi makan dan melihat beberapa kertas tergeletak. "Soal baju, Kak Nuca akan memesan sendiri, kan?" tanyanya. "Maksudnya tidak menyewa seperti Kak Henna."

"Gampanglah itu. Gue punya beberapa baju," jawab Nuca. "Henna udah milih? Nanti bantu gue pilih kemeja yang cocok sama pakaiannya."

"Chat, saya belum dibalas," ingat Tenica lelah.

"Oh, iya. Hahaha...."

Tenica geleng-geleng mendengar tawa Nuca. "Apa saya nanti bisa ke toko Kak Henna?"

"Bisa. Jam makan siang," jawab Nuca. "Lo nanti mau ke sana? Gue juga, deh."

"Nanti kalau tidak sibuk, saya ajak ke butik sekalian."

"Oke!"

"Ya sudah, terima kasih." Tenica menjauhkan ponsel hendak mematikan sambungan. Namun, suara Nuca kembali terdengar.

"Oh, ya, Tenica!"

Tenica segera mendekatkan ponsel ke telinga. "Ya. Ada keperluan lain?"

"Emm, kasih yang terbaik buat Henna, ya."

Hati Tenica tersentuh mendengar kalimat itu. Menurutnya Henna beruntung mendapat Nuca yang perhatian. "Iya. Kak Nuca tenang aja."

"Aduh, jangan panggil gue kak."

"Kalau gitu, Pak?"

"Apalagi itu," jawab Nuca tak suka. "Panggil Nuca aja. Umur gue masih dua puluh delapan tahun. Nggak tua, kan?"

Tenica mengernyit. Ternyata Nuca lebih muda darinya. Namun, saat lelaki itu mengenakan setelan kantoran, entah kenapa terlihat begitu dewasa.

"Tenica."

"Eh...." Tenica tersadar dari lamunannya. "Iya, Nuca. Saya akan berusaha yang terbaik untuk Kak Henna."

"Oke. Sampai ketemu nanti siang."

"Iya. Selamat beraktivitas," jawab Tenica lantas memutuskan sambungan. Dia meletakkan ponsel lantas menelungkupkan kepala.

"Kak, gue berangkat sekarang."

Tenica menggerakkan tangan. Tera yang melihat respons kakaknya akhirnya mendekat. Dia mengernyit melihat wajah kakaknya agak pucat. "Lo sakit?"

"Enggak! Kebanyakan minum kopi."

"Lo, sih, bandel!" Tera mengusap kening kakaknya. "Di rumah aja, jangan keluar dulu."

Perlahan Tenica mengangkat wajah. "Tapi, nanti siang gue ketemu klien."

Tera geleng-geleng, kakaknya memang totalitas dalam bekerja.

Continua a leggere

Ti piacerĂ  anche

4.3M 260K 40
From that first moment.. We made a connection Highest Rank: #1 in Humor P.S : cerita ini merupakan spin off dari cerita Will You Be Mother For My D...
Love From The Past Da Ruang Bicara

Romanzi rosa / ChickLit

556K 35.1K 33
Karena terlalu sering ditanyai tentang pasangan, Gauri nekat membuat keputusan gila, yaitu menyetujui tawaran dari istri sepupunya untuk melakukan ke...
47.7K 8.3K 53
[Sequel of In A Rainy Autumn] Halo. Selamat datang di potongan-potongan kisahku yang lain. Sebuah rangkaian cerita akan saat-saat di mana Mark begitu...
945K 21.3K 49
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...