LAZIFA [ Completed ✅ ]

Da saskiaputsya

178K 13.8K 1.4K

Nazila Maura Aryana, gadis yang memiliki kepribadian dingin, tak tersentuh, cuek dengan sekitar, namun tetap... Altro

• PROLOG •
[1] Ditolak lagi ?
[2] Rindu dalam Hujan
[3] Pertemuan Pertama
[4] Diantar Pulang Ketos?
[5] Kehangatan Keluarga
[6] Roti Jepang
[7] Breaking News
[8] Matematika Meresahkan
[9] Guru Privat
[10] Mata yang Berbeda
[11] Kotak Pemberian Devan
[12] Kedatangan Ratu Iblis
[13] Cinta Pertama Zifa
[14] Pengirim Rahasia
[15] Hari yang Buruk
[16] Keegoisan
[17] Sepercik Masa Lalu
[18] Murid Baru
[19] Penyelamat
[20] Cerita Hendri
[21] Berubah?
[22] Gara-gara Es Krim Monas
[23] Teror
[24] Bohong Kesekian kalinya
[25] Ngajak Ngedate
[26] D-day of Ngedate
[27] Jogging
[28] Zifa dan Maura
[29] Dia Adik Gue...
[30] Perasaan Aneh
[31] Detektif Yuda dan Faqih
[32] Who Is He?
[33] Pendatang Baru
[34] Keganjalan
[35] Pesan Asing dan Kesadaran
[36] 10 Tahun Yang Lalu
[37] Dijahili Rafiq
[38] Half Day With Galih
[39] Tak Terduga
[40] Curiga
[41] Pertengkaran
[42] Mimpi atau Memori?
[43] Kisah El dan Lala
[44] Want to Meet Our Mommy?
[45] Fakta Besar Terbongkar
[46] Ketidaksengajaan
[47] I Hate You, Twin
[48] Kecewa
[49] Memberi Nasihat
[50] Menyelesaikan?
[51] Pertumpahan Darah
INFO !!!
[52] Kabar Buruk
[53] Keadaan LAZIFA
[54] Sisi Lain
[56] Benar-Benar Pergi
[57] Maaf
[58] Permintaan Sederhana
[59] Hampir Selesai
[60] Akhir dari Segalanya : Happy Birthday, Twins!
CERITA BARU
From Author
LAZIFA DILIRIK PENERBIT!!

[55] Pengorbanan

2.5K 206 43
Da saskiaputsya


PERHATIAN!!!!!!

DARI BAB INI (55) SAMPAI BAB ENDING ALURNYA DI UBAH, YA! JADI YANG BACA ULANG DAN MERASA ALURNYA BEDA, JANGAN TANYA2 LAGI OKE?

Buat pembaca baru, jangan keliru sama komenan bab2 berikutnya... karena memang dari bab ini aku udah revisi, tentang dunia medis.

Aku berterimakasih banyak sama readers yg udh ngingetin tentang kalo nulis medis ga boleh sembarangan, karena ini alurnya udah aku ubah, yaa...

Okay, Happy Reading!

___________________________________

Panti Asuhan Cemara.

Ya, Hendri mengunjungi Panti Asuhan yang pernah Zila tempati. Dengan langkah lebar, Hendri langsung masuk ke dalam dan mencari seseorang. Bukan Bu Nisa selaku Kepala Panti, tetapi ada seseorang lain. Bola mata pria itu membola saat melihat seorang wanita paruh baya yang usianya hanya terpaut 3 tahun dibawahnya sedang menyuapi seorang anak kecil.

"Lita!"

Wanita yang dipanggil Lita itu langsung menegang kala Hendri berlari kecil menghampiri dirinya. Ia menyuruh pengasuh lain untuk membawa anak anak ke dalam dan ia berdiri. Jantung nya berdebar menatap mantan majikannya, sudah berapa tahun ia tak melihat wajah Hendri? Entahlah, Lita sendiri pun sudah lupa.

"Tuan Hendri...," lirihnya dengan kedua tangan terkepal.

Hendri mengatur napas nya yang terengah-engah, ia duduk di atas kursi taman yang kebetulan saat itu ada di posisi mereka berhadapan saat ini.

"Kamu..., masih ingat saya?" Pertanyaan konyol dari Hendri membuat Lita berdecih.

"Mau apa anda kesini, Tuan? Apakah anda sudah lupa jika beberapa tahun yang lalu saya sudah resign menjadi ART keluarga Atmaja?" tanya Lita to the point.

Hendri tersenyum samar. Ia menepuk-nepuk kursi disamping nya. "Duduk lah, ada yang ingin saya tanyakan."

Walaupun dengan mata yang mendelik sinis, Lita tetap duduk di samping Hendri tetapi dengan jarak yang sedikit jauh. Untung saja kursi taman itu sangat panjang. Hendri mengernyit. "Kenapa jauh sekali?"

"Jaga jarak! Kopit masih belom kelar!" celetuknya tidak memikir dua kali. Hendri terkekeh mendengar celetukan itu. Lita, mantan Asisten Rumah Tangga keluarga Atmaja dulu yang sudah Hendri anggap sebagai adiknya sendiri karena umur mereka hanya berbeda 3 tahun.

"Lita."

"Apa kabar Nyonya Sonia, Zifa dan Rayn, Tuan?" sela Lita terlebih dahulu.

Hendri berdeham keras. "M-mereka.., sedang tidak baik-baik saja."

"Saya tahu," sahut Lita.

Sekali lagi, Hendri dibuat bingung oleh wanita disamping nya.

Lita menoleh sepenuhnya ke arah Hendri dengan mata yang berkobar api. "Selama kau masih hidup, keluarga Atmaja tidak akan bisa baik-baik saja."

Fyi, Lita merupakan seorang wanita yang ceplas-ceplos, tidak pernah berpikir sebelum bicara, dan menyelutukkan fakta yang membuat sang lawan bicara selalu merasa tertohok seperti Hendri saat ini.

"S-saya..." Bola mata Hendri bergerak ke kanan dan ke kiri. Merasa tidak nyaman dengan apa yang dikatakan Lita barusan.

"Cepat bicara! Saya tidak mempunyai banyak waktu untuk berbicara dengan orang yang tak berakal seperti anda."

"Ini tentang Zila." 3 kata yang lolos dari bibir Hendri membuat Lita terbungkam sesaat.

"Kenapa?"

"Zila—"

"Kenapa tenggorokan anda seperti tercekat saat menyebut nama Nona Zila, Tuan?"

Hendri terhenyak mendengar perkataan Lita. Wanita itu tersenyum sinis. "Lagi di fase menyesal?"

Kepala Hendri tertunduk membuat Lita tertawa hambar.

"Anda tidak tahu apa-apa tentang perkembangan Nona Zila di panti asuhan ini, Tuan," ucap Lita pelan, ia menggigit pipi bagian dalamnya. "Saya, saksi nyata atas penderitaan yang Nona Zila alami semenjak dari istana neraka itu sampai panti asuhan ini."

"Saya menyesal, Lita. S-saya sudah salah arah selama ini. Saya bukanlah Ayah yang baik untuk anak-anakku," lirihnya pilu, tetapi tidak membuat Lita melunak.

Wanita itu berdecak pelan. "Apakah omongan Anda ini dapat dipercaya?"

Tidak ada sahutan.

Lita melirik buku diary pink yang sangat ia kenali. Matanya melotot, ia merebut dengan kasar buku diary itu. "T-tuan, ini...? Anda menemukannya?!"

Hendri mengangguk seraya tersenyum kecil. Tak tahan, air matanya meluruh begitu saja. Pria itu menatap Lita. "Saya tahu itu tulisan kamu, Lita. Karena Zila belum bisa menulis dan membaca saat itu, tetapi... Bagaimana bisa kau yang menuliskannya?"

"Anda bodoh. Tentu saja Nona Zila yang menceritakannya kepada saya dan meminta tolong saya untuk menuliskan keluh kesahnya di buku diary itu." Lita berdesis. "Saat itu, anda benar-benar melukai hati salah satu putri anda, Tuan. Bahkan, saya saja yang hanya Asisten Rumah Tangga nya ikut teriris mendengar tangisannya setiap malam di balkon gudang."

"Di gudang?" Hendri menatap heran.

"Iya." Lita mengangguk. "Karena Nona Zila tidak mau mengganggu Nona Zifa di kamar mereka. Nona Zila..., gadis kecil itu selalu berjuang untuk mendapatkan hati Papinya kembali. Tapi sayang seribu sayang, hati Papi nya sudah dikutuk menjadi batu oleh Tuhan."

"Saat ulang tahun si kembar Zila dan Zifa, anda memberikan dress serta peralatan tulis yang beragam macam
aesthetic kepada Non Zifa. Sementara Non Zila, bahkan kau sama sekali tidak membelikannya hadiah, Tuan. Hanya Nyonya Sonia yang memberikannya, itu pun buku diary yang sedang aku pegang sekarang."

Tatapan Hendri langsung tertuju kepada buku diary yang ada di paha Lita. Air matanya kembali menetes. Hendri mengakui saat ulang tahun si kembar yang ke 6 tahun, dirinya hanya membelikan hadiah untuk Zifa. Dan ia tidak mengizinkan Sonia membelikan apapun untuk Zila. Saat itu, hati Hendri benar-benar tertutup kabut hitam. Padahal, kala itu Ravin belum meninggal. Tetapi mengingat Liora, Ibu Hendri yang meminum racun karena Zila membuatnya berada di puncak amarah.

"Kau pasti akan lebih marah dan membenci saya, setelah saya memberi tahu keadaan Zila sekarang," ucap Hendri pelan seraya menengadah ke atas.

Lita melotot. Ia mengguncangkan kedua pundak Hendri. "A-apa yang terjadi pada Non Zila? K-kau tidak berusaha melukainya kan?"

"Bahkan dengan tangan saya sendiri, saya telah menembak putri saya, Lita. T-tolong... Tolong jangan benci saya," isak Hendri seraya menutup wajahnya yang merah karena menangis.

Jantung Lita mencelos. Ia berdiri dan menatap Hendri kosong. Dengan wajah yang memerah karena amarah, Lita meraih kedua tangan Hendri yant menutupi wajah pria itu dan menampar Hendri sebanyak 3 kali.

"Bajingan! Brengsek! Ayah macam apa kau, Hendri?!" Lita benar-benar marah. Walaupun Zila bukan anak kandung nya, tetapi tetap saja. Bahkan Zila lebih dekat dengan Lita dari pada kedua orang tuanya yang sibuk pilih kasih. Kecuali Sonia, wanita itu membagi rata kasih sayangnya.

Hendri menceritakan semua kronologinya kepada Lita. Wanita itu menangis dalam diam, mengepalkan tangan seraya menatap Hendri penuh kebencian.

"Minta maaf," titah Lita dingin.

Hendri menatap Lita. "Apa masih sempat saya meminta maaf kepada Zi—"

"MASIH, HENDRI, MASIH! BAHKAN NYAWANYA SEKARANG DIANTARA HIDUP DAN MATI! JIKA ZILA MENINGGAL AKU TIDAK AKAN PERNAH MEMAAFKANMU SAMPAI KAU MATI, HENDRI!"

"Anda tahu? Jika peluru sudah tepat mengenai jantung, maka ada 2 pilihan. Jantung mengalami kebocoran dan butuh pendonoran, dan yang kedua hidupnya tidak akan selamat."

Hendri tampak memikirkan sesuatu.

"S-saya harus mendonorkan jantung saya untuk Zila?" tnya pelan dengan nada ragu.

"IYA, BODOH! KAU YANG MENYEBABKAN ZILA TERKAPAR DI RUMAH SAKIT. KAU HARUS TANGGUNG JAWAB, HENDRI!"

Hendri termenung. Ia mengangguk pelan, "Iya, Lita. Kau benar, aku bahkan terlalu busuk untuk tinggal di dunia."

"Bukan di dunia saja, tapi di neraka juga," timpal Lita sadis.

Tersenyum kecut, Hendri membenarkan perkataan Lita. "Aku pamit," katanya seraya berbalik badan dan berjalan menuju mobilnya

Lita menatap nanar. Dia juga tak ingin seperti ini, dia bukan jahatnya atau bagaimana. Lita juga ingin Zila selamat tanpa mengorbankan jantung siapapun. Tetapi, perbuatan Hendri sudah melampaui batas. Jadi, apakah Lita salah?

Wanita itu bergegas ke kamarnya, bersiap-siap untuk menjenguk Zila ke rumah sakit.

Hendri menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Ia memasuki mobil dan menyalakan ponselnya yang tadi ia matikan daya. Ia melihat lokasi rumah sakit yang dikirim bodyguardnya dan langsung menancap gas untuk kembali ke Jakarta.

Mungkin akan membutuhkan waktu yang cukup lama, karena perjalanan dari Bandung ke Jakarta sangat padat. Jadi ia mengambil jalan pintas agar cepat sampai ke Jakarta.

Tatapan Hendri kosong. Pikirannya hanya tertuju kepada Zila, Zifa, Sonia dan Rayn. Bagaimana nasib mereka jika Hendri mendonorkan jantung nya untuk Zila? Apakah mereka akan sedih? Ah, Hendri terlalu berharap. Bahkan kalau kata Lita tadi, mereka akan bahagia tanpa Hendri. Membuat pria itu semakin yakin akan mendonorkan jantung untuk putrinya, Zila. Dan meminta maaf kepada keluarganya yang sangat ia sayangi namun terlalu gengsi untuk mengungkapkan.

Sayang, Hendri tidak fokus mengendarai. Ada minyak di jalan pintas yang ia lewati, dan bodohnya Hendri malah menambah kecepatan mobilnya. Alhasil, mobil Hendri oleng dan menabrak pohon beringin yang sangat besar. Kening Hendri mengeluarkan darah, mobilnya mengeluarkan asap membuat warga sekitar langsung membantu menyelamatkan Hendri.

Sebelum Hendri menutup mata, ia menyempatkan untuk mengatakan sesuatu. "Maafkan Papi, Zila. Maafkan Papi, Zifa dan Rayn. Dan.., maafkan aku, Sonia," lirihnya sangat pelan.

Salah satu warga memeriksa denyut nadi Hendri dan menatap sekitar dengan cemas.

"Bagaimana keadaan Bapak ini, Pak?" tanya warga yang satu lagi.

Bapak itu berdeham. "Dia..."

***********

Elang tengah menuju arah kantin rumah sakit. Lelaki itu sedang mencari Yuda, setelah dokter mengatakan jika dalam waktu sedikit lagi tidak ada yang mendonorkan jantung untuk Zila, maka nyawa gadis itu tak akan selamat. Yuda langsung pergi. Elang tahu Yuda menyukai Zila, bahkan sangat tahu. Gerak-gerik dan tatapannya yang dalam diam memperhatikan Zila membuat Elang peka bahwa Yuda telah menaruh hati kepada gadis kesayangannya.

Tatalan Elang langsung tertuju kepada seorang lelaki yang tengah memegang gitar dan membantu seorang anak kecil yang sedang mengamen. Elang tertegun, ia menghampiri Yuda.

"Yuda."

Yuda menoleh menatap Elang sebentar, habis itu langsung melanjutkan mengamen lagi untuk membantu gadis kecil itu mendapatkan uang.

Elang duduk disamping Yuda dan ikut bernyanyi. Jadi lah, dua cogan itu berkombinasi menyanyi untuk membantu seorang anak kecil yang mengemis.

Setelah mendapatkan banyak uang, anak kecil itu bersorak senang dan kemudian mengucapkan terima kasih kepada Yuda dan Elang dan langsung pergi.

"Yud," panggil Elang kepada Yuda yang masih memainkan gitarnya tanpa tujuan.

"Hm?" Yuda menyahut dengan gumaman.

"Jangan sedih."

Yuda mendongak, menatap netra mata Elang yang tajam itu kian teduh sekarang. Yuda tersenyum kecut.

"Lo munafik, Lang."

Untuk pertama kalinya Yuda memanggil Elang dengan sebutan nama. Biasanya lelaki itu memanggil Elang dengan sebutan 'Bule' atau 'Le' saja.

"G-gue?"

Yuda mengangguk. "Lo bilang jangan sedih ke gue, tapi lo sendiri lagi mati-matian menyembunyikan kesedihan lo itu dengan muka lo yang datar itu."

"Gue tahu, Lang. Lo lagi sedih sekarang, dan lo persis kayak Zila. Selalu menutupi kesedihannya dan berbicara seperti nggak terjadi apapun."

Elang terhenyak.

"Lang..., tolong jagain Zila, ya? Sekarang gue tahu alasan Zila nggak ngelirik cowok sama sekali. Itu karena, di hatinya udah ada nama lo. Gue juga yakin, otak lo yang jenius itu pasti bisa nebak kalo gue suka sama Zila."

"Barusan lo ngasih tau, Yud," ucap Elang yang dibalas kekehan oleh Yuda. "Oh, iya ya."

Yuda membuang muka ke arah lain. "Disaat cowok mencintai cewek dengan segenap hati, maka dia akan bersikap tegar untuk bersikap baik-baik saja, karena cowok itu yakin nggak akan terjadi apa-apa pada gadis kesayangannya, kan?"

Elang terdiam, berusaha mencerna kata-kata puitis Yuda.

"Dan cowok itu adalah lo, Lang. Padahal dalan lubuk hati yang dalam lo terluka, resah, gelisah, dan ketakutan. Tapi, lo selalu berpikir positif bahwa nggak akan terjadi apapun sama Zila. Sementara gue? Nggak bisa berpikir positif."

Elang mengusap-usap punggung Yuda. Lelaki itu sangat pintar menebak ekspresi dan perasaan seseorang.

"Lo nggak marah gue suka sama Zila?" tanya Yuda menatap Elang penuh. Lelaki itu menggeleng seraya tersenyum tipis. "Nggak, Yud. Lo berhak suka sama Zila. Itu hak lo, gue gak berhak ngatur."

"Kalau misal gue yang jadi jodoh Zila, gimana?" canda Yuda.

"Nggak apa-apa. Berarti gue bukan yang terbaik untuk Zila. Jodoh itu di tangan Tuhan, jadi kita gak usah khawatir kalau nggak dapat pasangan hidup."

"Kok lo pasrah banget gitu, sih?" Padahal, Yuda ingin memanas-manasi Elang. Tetapi lelaki itu dengan bijak menjawab candaannya.

"Gue gak pasrah, kok. Jujur gua juga ingin mendapatkan Zila. Bertahun-tahun gue mencari cinta pertama gue, sempat juga waktu itu salah orang. Tapi Tuhan kembali meluruskannya," kata Elang dengan nada halus. Yuda benar-benar kagum dengan manusia dingin dihadapannya. Baru kali ini lho, Elang berbicara panjang lebar kepadanya. Yuda akui Zila tidak salah memilih dan menaruh hati pada lelaki itu.

Elang melirik Yuda. "Kita bersaing sehat, gimana?" tanya Elang seraya menaik turunkan alisnya.

Yuda menatap sinis Elang. "Yaelah, udah sering itu mah dan elo yang menang, anjir."

Elang terkekeh kecil.

"Yud, gue sayang banget sama Zila. Gue cinta sama Zila, g-gue..., takut terjadi apa-apa sama dia," Elang mulai memejamkan mata seraya curhat, dan Yuda setia mendengarkan. "Sorry kalo curhatan gue bikin lo sakit hati, tapi gue serius, Yud. Gue bahkan rela mengorbankan jantung yang gue punya untuk Zila. Jadi saat di akhirat nanti gue akan tenang melihat senyum bahagia Zila di dunia ini."

"Hussh. Lo ngomong apaan sih, Le? Mulai dah gaje nya. Malahan kalo Zila tahu yang donorin jantung nya adalah seseorang yang dia cintai, senyuman gak akan pernah terbit di bibirnya. Percaya sama gue," ujar Yuda menenangkan.

Elang kembali menormalkan ekspresinya. Lelaki itu sebenarnya sangat takut, namun ia pandai menutupi kesedihannya. Dia tak seperti laki-laki lain yang kala kekasihnya di ambang hidup dan mati, akan ke club, minum minuman haram, marah-marah tidak jelas. Elang bukan tipe cowok yang seperti itu. Aura nya selalu sejuk, oleh sebab itu dalam keadaan genting pun ia bersikap seperti tidak terjadi apa-apa.

"Lo benar. Gue harus selalu berpikir positif, pasti ada yang mendonorkan jantung untuk Zila," ujar Elang seraya tersenyum samar.

Yuda menatap Elang lama. Ia juga ikut tersenyum dan mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Kak Elang!"

"ELANG!

Teriakan demi teriakan hampir merusak gendang telinga Elang dan Yuda. Terlihat, Ichal, Noval, Galih, Rani dan Ghina sedang berlari menghampiri mereka.

"Kalian?" Elang berdiri, begitu pun Yuda. Ichal dan Noval langsung memeluk tubuh sahabatnya dengan erat membuat Elang terkejut.

"Gue kira lo mau ninggalin kita, Lang. Sorry yaa gue baru angkat telpon dari Tante Ratih tadi," ujar Noval yang hampir menangis. Begitu pun Ichal, cowok menyebalkan itu juha ikut menelusuri semua tubuh Elang.

"Gue yakin lo bakal cepet sembuh, bro," ucap Ichal bijak.

"Makasih," ucap Elang tulus. Ia beralih menatap Rani dan Ghina.

"Kak Elang." Rani menghampiri Elang. "Kenapa?"

"I-itu, Zifa udah sadar. Dia mau ketemu sama Kak Elang katanya," kata Rani.

Elang diam, ia menatap Galih yang tiba-tiba membuang muka. Elang tersenyum lalu mengangguk. "Oke. Gue pesan bubur dulu buat Zifa. Kalian duluan aja ke kamar Zifa, nanti gue nyusul."

Noval dan Ichal mengangguk, mereka merangkul Galih untuk pergi ke kamar inap Zifa. Begitu pun Rani dan Ghina, mereka kembali melangkahkan kakinya untuk menemui sahabat mereka.

"Lo mau beli bubur?" tanya Yuda saat Elang membeli 1 porsi bubur.

"Hmm." Elang mengangguk. "Gue mau jenguk Zifa dulu, lo mau ikut gak?"

"Zifa? Yang cewek deket sama lo itu kan?" tebak Yuda yang dibalas helaan napas oleh Elang.

"Justru itu, Yud. Gue awalnya salah paham kalau Zifa itu adalah Lala, teman kecil gue. Tapi semakin kesini gue ngerasa ada yang ganjal aja. Dan ternyata dugaan gue salah. Lo tahu? Gue merasa bejat banget udah ngedeketin dan baperin dia sampai ngedate bareng tapi akhirnya gue milih Zila. Gue pengin jelasin semuanya ke dia, Yud. Kalau selama ini, gue salah... Dan gue hanya mencintai Zila."

Yuda mencerna setiap kalimat yang dilontarkan Elang. Dia ingat saat si kembar Zila dan Zifa berdebat di rooftop gedung tua saat kemarin. Ternyata seperti ini kronologinya. Menganggukkan kepala, Yuda paham.

"Yaudah, semoga berhasil dah." Hanya itu yang Yuda ucapkan.

"Ayo, mau ikut gak?" ajak Elang seraya membawa nampan berisikan bubur dan teh manis hangat.

Yuda menggeleng. "Duluan aja, nanti gue nyusul."

"Oke."

Setelah Elang pergi, Yuda menatap punggung Elang lama. Lelaki itu menggigit bibir bawahnya pelan, berusaha untuk tidak menangis. Entah kenapa perasaannya tidak tenang. Tiba tiba terdengar dering ponsel, ternyata Mama nya yang menelepon. Yuda menangkat telepon itu.

"Yuda, kamu masih di rumah sakit untuk menjenguk Zila? Ini Mama sama Papa lagi otw, kamu jangan kemana-mana. Mama juga bawa bubur kacang hijau sama sehelai roti buat kamu makan. Awas loh ya, jangan beli apa-apa di kantin. Takut gak sehat."

Yuda memejamkan mata mendengar ocehan Mama nya. Entah kenapa ia merasa bahwa mungkin ini terakhir kalinya ia mendengar Mama nya mengoceh. "Ma."

"Iya sayang?" Bukan Mama nya yang menyahut tapi Papa nya.

"Pa, Ma. Yuda minta maaf sama kalian kalau Yuda punya banyak salah, ya. Tolong maafin Yuda."

"Loh, kesurupan reog rumah sakit kayaknya dia, Ma. Tiba-tiba minta maaf ke kita," kata Papa nya di seberang sana yang dibalas kekehan kecil oleh Mama Yuda.

"Maafin Yuda ya, Ma, Pa?"

"Iya sayang. Kita pasti maafin kok, kamu kan anak satu-satunya Mama sama Papa. Ya kali nggak dimaafin."

Yuda tersenyum. "Jikalau nanti Yuda membuat Mama sama Papa menangis, Mama sama Papa janji ya jangan marah sama Zila. Yuda hanya ingin melakukan yang terbaik." Detik berikutnya dia sadar, mengapa kalimat itu yang terlontar dari bibirnya?

"Apa hubungannya sama Zila toh, nduk? Hadeh, kamu ini makin ngaco aja di rumah sakit. Nanti cepat-cepat pulang deh, supaya dedemit pada gak nempel."

"Janji dulu, Ma, Pa. Jangan menangis dan marah saat tiba di rumah sakit nanti, ya?"

Lagi lagi, kalimat itu yang keluar. Yuda tidak bohong, ia pun bingung mengapa bibirnya terus melontarkan kalimat yang aneh?

"Iyaa iyaa. Gaje banget anak kita ya, Ma?"

Air mata Yuda menetes. Suaranya mulai serak. "Y-yaudah, Yuda pamit."

"Pamit mau kemana?" tanya Mama nya.

"M—maksudnya, Yuda tutup dulu, ya."

"Ohh okee. Mama sama Papa mau mampir bentar ke rumah Pak Ihan, saudara kita yang rumahnya deket rumah sakit. Jaga diri kamu baik-baik, sayang!"

Tut.

Sambungan terputus. Yuda menepuk-nepuk dadanya yang terasa sesak.

"Ya Allah, kenapa sesak banget? Kenapa gue ngomong nya aneh kayak gini?" Lelaki itu memejamkan matanya. "Maafin Yuda, Ma, Pa," lirihnya begitu dalam.

Netra mata Yuda melihat anak kecil yang ia temani mengamen tadi hendak menyebrang jalan, dan bola mata cowok itu membola kala melihat bus dari arah timur melaju dengan sangat kencang. Jantung Yuda berdebar kencang, kakinya langsung berlari untuk menyelamatkan anak kecil tersebut. Bodohnya, Yuda malah mendorong anak kecil tersebut, sementara dirinya—

TIN TIN!

Yuda memejamkan mata saat bus tersebut menabrak dirinya, hingga tubuh nya sedikit terpental dan berguling-guling di jalanan.

Pandangan Yuda terasa kabur, darah segar mengalir dari segala penjuru. Kepalanya merasa sangat sakit. Tubuhnya bahkan seperti lumpuh, tak bisa digerakkan sama sekali.

"Ya Allah, apakah ini akhir dari semuanya?"

Orang orang yang berada di sekitar langsung berlari mengerumuni tubuh Yuda yang tergeletak. Tanpa menunggu lebih lama lagi, orang orang sekitar langsung membopong Yuda dan masuk ke rumah sakit lewat pintu kantin rumah sakit. Beberapa orang ada yang berteriak memanggil suster dengan panggilan bahwa ada korban kecelakaan tabrak lari.

Kesadaran Yuda ingin menghilang, namun sebelum itu, tangannya yang berlumuran darah menyentuh tangan seorang pria paruh baya—salah satu orang yang menyelamatkannya, dan membisikkan sesuatu dengan terbata-bata. Pria baruh baya itu membulatkan matanya, hendak menolak namun Yuda menggelengkan kepalanya dengan lemas. Alhasil, pria paruh baya itu pun menyetujuinya.

Ya, ia akan mendonorkan jantung nya untuk Zila. Ikhlas, Yuda sangat ikhlas melakukan ini semua. Yuda mungkin hanya pemeran pendamping, yang akan mendampingi pemeran utama menemui jodohnya. Ya, mungkin seperti itu. Menyaksikan sendiri bagimana kuatnya cinta antara Elang dan Zila, membuatnya sadar. Mundur adalah jalan yang paling tepat. Tak apa jika harus mengorbankan nyawanya, yang terpenting Yuda bisa melihat senyum Zila lagi...,

Di akhirat nanti.

"Lo benar. Gue harus selalu berpikir positif, pasti ada yang mendonorkan jantung untuk Zila."

"Gue akan mewujudkan pikiran positif lo, Lang. Gue janji. Ini adalah janji seorang Cakrayuda Ali Dirgantara." Itulah kalimat terakhir yang ia ucapkan dalam hati, sebelum kesadarannya benar benar menghilang.

Selamat tinggal, Yuda. Terima kasih telah mengisi hari-hari sang pemeran utama dengan penuh kekonyolan dan rasa cinta yang tersimpan dengan sangat rapat.

To be continued...

Yudaaaa 😭😭😭 ikhlas yukk udh jalan alurnya kayak ginii 😭

Jangan salahin aku kalo up nya lama, soalnya belakangan ini kalian udh nggak rajin vote&komen, jadi aku juga nggak rajin up, hehe^^

Kurang lebih LAZIFA tamatnya di part 60, jadi 5 part lagi gengs. Ayo dongg semangat vote dan komennyaaa... Ibaratnya kalo kalian gak disemangatin ayang, lemes ga? Sama kok aku juga. Kalo gak disemangatin readers jadi ga semangatt :(

Yuk vote comment ya silent readers, jangan komen next2 ajaa yaa wkwkw.

See u next chapter, papay! 💗

Continua a leggere

Ti piacerà anche

810 187 53
Menceritakan tentang 9 gadis yang berprestasi dan memiliki ketenaran. Namun, prestasi dan ketenaran yang mereka punya tidak menjadikan mereka angkuh...
5.1K 190 14
[Follow Sebelum membaca] Update sesuai mood [Happy reading] CERITA HASIL PEMIKIRAN SENDIRI!! PLAGIAT HARAP MENJAUH ⚠️⚠️ Menceritakan tentang Carla, g...
110K 5.6K 57
FOLLOW SEBELUM BACA!! REVISI✔️ Jadi bagaimana aku bisa pulang jika rumahku saja sudah dibuat hancur berantakan oleh orang-orang di dalamnya. Rumah ya...
219K 3.9K 13
Membaca lengkap di aplikasi 'Dreame'. "Kamu mau tahu kan kenapa saya ga pernah mencari ibu pengganti untuk anak saya? Karena... Saya tahu, untuk menc...