The Ex [Completed]

נכתב על ידי rafixp

770K 64.9K 2.1K

"Masih doyan flashback? Norak. Kenangan itu adanya di belakang. Kalau kangen, lirik aja lewat spion. Nggak us... עוד

It's Over
Luna is....
Double Ex
Move On
Ask.fm
(Ir)replaceable
Once Upon A Day
Chemistry
Fall For Somebody Else
Artara's 41th (1)
Artara's 41st (2)
Artara's 41st (3)
Sticky Notes
Love Will Find Its Way
There He Goes
One Step Closer
With You
Behind the Camera
Bike
Disaster
Flashlight
Here We Are
Is it too late now to say sorry?
Firework
The More I Try to Stay, The More My Heart Bleed
Strange
A Piece of Cake
Against All Odds
Rollercoaster
The End?
How Are You?
It's not The End, It's The Ex
Extra Part
From The Very First
Fuschia
Can't Help Falling in Love
Between Us

Holiday

21.3K 2K 34
נכתב על ידי rafixp

Kamar bernuansa merah biru itu tampak berantakan. Ranjang medium di bawah wallpaper bergambar bendera Inggris itu apalagi. Di balik selimut yang bergambar bendera Inggris juga, Luna masih memejamkan mata.

Usai sholat Subuh tadi, ia buru-buru kembali memejamkan mata hingga kini jam menunjukkan pukul 11.30. Hari libur begini, ia bisa menghabiskan lebih dari 12 jam untuk tidur.

"Kak Lun? Kak Luna?"

Radinka Radita atau biasa dipanggil Dinka, sepupu Juna, melongok ke dalam. Memastikan sang empunya kamar masih hidup.

Tahun ini ia baru saja lulus dari SMP Artara dan ia memilih untuk melanjutkan di SMA Artara. Cewek satu ini sangat akrab dengan Luna sejak mengenal Luna sewaktu mengikuti ekstrakurikuler Seni Musik.

Ditariknya selimut yang masih menutupi hampir kaki hingga kepala Luna.

"Apa, sih!"

Dinka menarik cewek itu hingga terjatuh ke lantai. Membuat cewek itu mengaduh kesakitan.

"Ini kriminal banget, Din!" Teriak Luna sambil memegangi pantatnya.

"Apaan? Liat, noh, udah hampir tengah hari lo masih merem aja!"

"Lagian, lo ada angin apa coba main ke rumah gue?" Tanya Luna sambil menggapai-gapai tepian ranjangnya. Ia duduk di tepi ranjang masih sambil mengaduh.

"Tadi gue jalan sama Kak Juna, Kak Diandra. Terus mereka lanjut nonton, nah, pas mereka nonton, gue mau balik, eh, ketemu Kak Kania sama Kak Sheila. Terus gue tanya, deh, kenapa lo nggak ikut."

Luna memutar bola matanya. "Yang bagian Juna-Diandra nggak penting kali," cibirnya. "Sheila sama Kania doang?"

"Rame-rame. Ada Rian, Arvin, Danis, Adrian, Rara, Lita, banyak, deh. Pokoknya alumni SMP Artara. Mayoritas, sih, anak kelas IX 1," tanggap Dinka. Ia berdiri di dekat pintu dan ber-selfie.

"Adrian, kan, IX 2? Kok, bisa ikut?"

Dinka tersenyum jahil. "Kan, gue bilang IX 1 cuma mayoritas. Tapi, kali aja mau ketemu sama gebetan secara nggak sengaja," ujarnya dilanjut dengan dehaman-dehaman yang dibuat-buat.

"Lo udah move on beneran?" Tanya Dinka ketika Luna tidak menanggapi kalimatnya.

"Menurut lo?"

Dinka berdecak. "Enak banget, sih. Udahan sama Juna, dapet Adrian!"

Luna mengernyitkan dahi. "Enak apaan? Lagian, Adrian sama gue gitu-gitu aja."

Dinka beralih ke dekat grand piano yang berada di sudut ruangan. Selfie.

"Udah ngode?"

Luna menghembuskan napas berat. "Boro-boro ngode. Dia hampir nggak pernah ngechat gue. Persis kaya Juna."

Luna menatap Dinka yang sedang sibuk mengambil fotonya. "Lo ngapain? Norak! Hapus nggak?!"

Dinka beringsut mendekat ke arahnya.

"Sumpah Juna orangnya kaku? Nggak pernah ngechat?"

Luna menggeleng. "Dia lebih suka skype-an. Kalo nggak, dateng ke rumah langsung."

Dinka melempar bantal pada Luna dengan gemas. "Itu malah sweet pea!"

"Sweet pala lo! Hampir tiap skype-an gue ditinggal main game. Hampir tiap dia ke sini main game doang sama Raka. Pokoknya, gue kalah telak sama game."

Dinka menaikkan alisnya. Sepersekian detik setelahnya, tawanya menyembur begitu saja.

"Terus, aja, terus," cibir Luna sambil beranjak ke depan cermin.

"Lo ngapain, selfie segala?"

Dinka mengekori Luna sambil memperhatikan kamar cewek itu.

"Gue masuk ke tempat privacy-nya Aluna Annaura, gitu, ya. Harus banget dishare."

Luna menatap Dinka dengan sorot risih karena masih mengekorinya. Juga karena kalimat terakhirnya.

"Kok, kamar mandi lo ada pintunya?" Tanya Dinka sambil berdiri di ambang pintu kamar mandi yang berada di dekat lemari.

"Kamar mandinya barengan sama Kajah."

"Zahira?"

Luna mengangguk mengiyakan.

"Lo males banget, sih, jadi cewek! Bener kata Tante. Beda sama Raka, apalagi Kak Zahira."

Gerakan Luna terhenti. Ia menoleh menatap Dinka dengan sorot yang sulit diartikan.

"Mama bilang gitu?"

*****

Adrian melirik teman-teman SMP-nya. Mereka kini berada di Starbucks, tempat nongkrong terakhir setelah menonton, jalan-jalan, dan main ke SMP Artara.

Ia mendesah kecewa. Dari sekian banyak anak kelas IX 1, ternyata Luna tidak hadir.

"Kayanya gue cabut du--" kalimatnya terpotong seiring dengan masuknya dua sosok yang begitu familiar. Juna dan Diandra.

"Kenapa, Yan?"

Tanpa mengindahkan pertanyaan temannya, Adrian kembali duduk dan memperhatikan dua sosok itu. Beruntung mereka beramai-ramai sehingga keberadaan Adrian tidak akan kentara.

Adrian memperhatikan Juna lekat-lekat. Rahangnya terkatup rapat-rapat. Ada sedikit amarah ketika dilihatnya Juna tampak bersikap manis pada Diandra.

Bukan. Bukan masalah Diandra. Tapi bagaimana cowok itu tetap baik-baik saja setelah membuang Luna begitu saja. Adrian berdecak. Cowok seperti Juna memang tidak pantas untuk Luna. Adrian sendiri merasa begitu naif dengan percaya bahwa Luna akan terus baik-baik saja bersama Juna. Nyatanya?

Adrian mengalihkan pandangannya, seketika itu juga, matanya bertemu dengan Arvin. Dan ternyata, cowok itu juga mengamati Juna. Sebersit pikiran itu muncul. Apakah Arvin mengamati Juna dengan sudut pandang yang sama sepertinya?

Pelan, Adrian menarik ponsel di sakunya. Ia mengetikkan pesan pada Luna.

*****

Adrian mengetukkan telunjuknya pada kemudi. Hampir 15 menit ia menunggu di depan rumah Luna. Padahal, Adrian saja sudah terlambat 10 menit.

Kemarin, ia mengirim pesan pada Luna untuk menghabiskan hari terakhir liburan bersamanya. Feeling-nya mengatakan bahwa cewek itu sedang tidak baik-baik saja.

Tiba-tiba sosok yang ditunggu-tunggu itu muncul dan dengan terburu-buru masuk ke dalam mobilnya.

"Sorry, lama."

Adrian memperhatikan cewek itu. Rambutnya diikat setengah dan ia mengenakan kacamata hitam. Ditambah lagi dengan snapback biru tua yang senada dengan wedges yang ia kenakan.

"Ini style gue," ujar Luna sambil membenarkan letak kacamatanya.

Bohong.

Adrian tahu, cewek itu sedang tidak baik-baik saja. Mecoba mengalihkan perhatian dari matanya.

"Lo kaya tambang Zara tau," cibir Adrian mencoba mengalihkan pembicaraan mereka.

Luna menaikkan sebelah alisnya, kemudian ia tertawa pelan. "Ya, nggaklah!" Sangkalnya. "Underwear gue Victoria's Secret, kok."

Adrian menarik snapback cewek itu hingga menutupi sebagian wajahnya. Membuat cewek itu mendengus kesal. Otak Luna harus sesekali dibersihkan.

"Lagian, lo ngapain, sih? Ngajak jalan, kok, sore-sore gini."

Adrian menjalankan mobilnya. Ia tidak menjawab apa-apa sebelum akhirnya cewek di sebelahnya ini mencubit pinggangnya dan memelintirnya keras-keras.

"Apaan, nih?! Dipelintir lagi!" Keluhnya sambil mencoba melepaskan tangan Luna. "Gue mau nyulik lo sampe maleman. Lagian, emang tadi pagi lo udah bangun? Sangsi gue," lanjutnya.

Luna hanya terkekeh pelan. Matanya menatap sekitar, menikmati pemandangan macet di hari terakhir liburan ini. Liburan yang sangat tidak berkesan.

Pasalnya, keluarganya sedang tidak baik-baik saja. Ia tidak tahu, tepatnya kapan Mama menjadi hemat berbicara. Biasanya, Mama akan menariknya hingga ia terbangun. Biasanya lagi, mereka sekeluarga akan berlibur ke suatu tempat. Kali ini, nihil.

Mobil itu semakin jauh. Luna melirik jam di ponselnya.

"Maghrib dulu," sarannya.

Adrian mengangguk pelan sambil memelankan mobilnya, mencari Mushola terdekat di tempat yang cukup sepi ini.

Keduanya khusyuk berdoa. Dan tanpa mereka sadari, mereka mendoakan hal yang sama.

*****

"Banyak orang bilang gue nggak mirip sama Mama," gumam Luna.

Kini, mereka berdua sedang duduk-duduk di kap mobil. Ternyata, Adrian membawanya ke salah satu bukit di mana mereka bisa melihat bintang dengan leluasa.

"Bagus, dong. Lo mirip bokap lo, berarti lo anak kandung--"

"Bukan gitu, Yan. Coba lo jadi Papa gue. Beberapa bulan lalu, lo hampir cerai karena lo hamilin orang lain," potong Luna cepat. "Mungkin nggak istri lo hamil? Mungkin nggak lo buat anak sementara anak har--, anak dari selingkuhan lo aja belum lahir?"

Adrian bergeming. Ia tampak berpikir sebentar. "Mungkin aja."

Luna terkekeh pelan. "Kalo lo jadi bagian dari keluarga gue.... Pernah nggak, lo mikir kalo anak haram itu gue?"

Adrian menatap Luna terkejut. Cewek itu tidak menangis. Ia hanya terkekeh hambar seolah kalimatnya tadi bukan apa-apa.

"Ya, nggaklah! Nyokap lo hamil, semua orang tau itu," tanggap Adrian.

"Apa menurut lo semua orang itu nggak bohongin gue?"

Adrian menelan ludah ketika Luna menatapnya lekat-lekat. Dibalik kacamata hitam itu, pasti mata itu sudah berkaca-kaca.

"Gue pernah denger, Papa Mama berantem karena gue," lanjut Luna ketika Adrian tidak merespon. "Mama bilang 'anakmu', bukan Luna."

"Dari tiga anak, gue yang paling disayang sama Papa. Mama memang netral. Tapi, kenapa Papa harus lebih sayang sama gue?"

"Mama nggak pernah mempermasalahkan peringkat gue di sekolah, yang jelas beda jauh sama Kak Raka apalagi Kak Zahira. Kenapa dia nggak kecewa? Gue, kan, juga anaknya."

Adrian tidak tahu harus menanggapi apa. Ia melepas kacamata hitam cewek itu dan mengajaknya rebahan di kap mobil sehingga mata mereka langsung bertemu langit malam.

"Langit itu gelap, tapi ada titik-titik bintang," gumam Adrian. "Jangan selalu melihat bagian yang gelap meskipun dominan. Justru yang sedikit itu, kadang bagian indah. Bagian yang harus lo percaya."

Luna melirik Adrian. Ia tertawa menatap cowok itu dari samping. Baru kali ini ia mendengar kalimat panjang dari mulut cowok itu.

"Gue suka bintang, kok," tanggap Luna. "Sirius."

Adrian menoleh. "Lo ngerti bintang?"

"Gue bilang suka, bukan ngerti."

"Kenapa Sirius?"

Luna tersenyum sebentar. Tangannya sibuk menghubungkan rasi bintang.

"Karena dia yang paling terang."

Adrian mengernyitkan dahi. Ia tidak menanggapi. Menikmati pemandangan cewek itu tersenyum tulus begitu menyejukkan. Meskipun sembab di mata cewek itu masih kentara.

"Gue nggak perlu ngerti ilmu perbintangan buat menikmati keindahannya. Mending kaya gini. Gue nggak ngerti apa-apa dan meyakini bintang itu keajaiban."

Adrian mengangguk-angguk dan tersenyum. Cewek di sebelahnya ini tampaknya sudah lebih baik dari sebelumnya.

"Terus, gimana lo tau yang lo lihat Sirius? Gimana lo bisa yakin kalo yang paling terang malem ini Sirius?" Tanya Adrian.

"Gue nggak perlu jadi Sirius beneran buat bersinar. Dan lo," Luna menghela napasnya ragu-ragu. "Lo nggak perlu jadi Sirius beneran buat jadi Sirius gue."

Adrian terhenyak. Perasaan bahagia sekaligus bersalah itu muncul menohoknya bersamaan. Ini sudah jauh, mundur hanya akan menimbulkan masalah lain. Diserahkannya kacamata hitam Luna kembali.

"Kalo mau nangis, nangis aja," ujar Adrian. "Yang kaya gitu jangan lo pikirin lagi."

Luna mengenakan kacamata hitamnya lagi. Persis setelah kacamata itu terpasang rapi, Adrian bisa melihat sebulir air mengalir ke samping dan memantulkan cahaya bulan. Ia hanya mengatupkan rahangnya mendengar sesekali gadis itu terisak. Memilukan.

Adrian menatap Luna sekali lagi sebelum memejamkan mata. Rasa bersalah itu menggerogoti. Ingin mundur, tapi sudah begini. Masalahnya, hati Luna yang ia pertaruhkan. Karena hatinya sendiri.... Telah terlalu lama berkorban.

*****

Last post sebelum UTS. Makasih buat yg baca. Hope you guys enjoy it!
Check mulmed ya, pantes nggak jadi Adrian? :3

המשך קריאה

You'll Also Like

27.4K 3K 25
[⁰⁰³] "Gue takut tidur sendirian, Jeno! Dia selalu datang!" ©2023
997K 59.2K 46
"Hei." Sapaku, entah aku merasa aneh menyapa wanita kali ini, aku tidak terbiasa memulainya. Scarla terdiam berbalik dan menoleh menunjuk dirinya. "I...
158K 8.6K 42
Berawal dari ketidaksengajaan Dara yang melihat akun kakak kelas ganteng bernama Alzeno, dia menjadi terfokus pada misinya yang tiba-tiba melintas da...
3.9M 518K 57
Kinanti Wijaya atau orang-orang sering memanggilnya Kiwi merupakan mantan 3rd runner-up Miss Universe perwakilan dari Indonesia, semenjak menorehkan...