Kupu-Kupu Itu

643 55 15
                                    

Angin segar berhembus. Menyapu dedaunan kering. Melambaikan pepohonan di pinggir jalan raya. Aku menyilangkan kedua tangan. Berusaha mengusap pundak yang agak menggigil. Sekarang musim gugur. Matahari yang cerah nampak tidak serasi dengan udara di sekitar.

Perlahan, aku seret sepeda biru muda ini. Entah kenapa suasana sekarang membuatku tidak selera untuk mengendarainya. Masih melangkah, perhatianku ditarik oleh sebatang pohon maple di tengah taman kota. Dedaunan dengan warna merah menyala itu begitu mencolok.

Satu kata yang pantas diutarakan.

Indahnya.

Setelah pemandangan itu hilang dari jarak pandang, aku beralih. Dan jauh tepat di hadapan, telah terlihat bangunan yang tidak asing. Sekolahku tercinta! Aku tersenyum. Mencoba membuat ekspresi yang menggambarkan siap untuk menghadapi hari ini.

Oh iya, sebelumnya perkenalkan. Namaku Lila. Cewek berumur 16 tahun. Sekarang tahun kedua SMA. Aku berasal dari keluarga ... err ... bisa dikatakan cukup ... kaya? Sebagai anak tunggal, tak jarang aku dimanja dengan iming-iming dibelikan barang mewah. Namun semenjak SMP, aku mulai belajar hidup sederhana. Kesadaran itu juga tidak lepas dari peran sahabatku, Rina.

Langkah demi langkah terus kulakukan. Lorong sekolah kulewati dengan santai. Di pinggir terlihat banyak murid SMA mengobrol satu sama lain. Beberapanya menyendiri dengan melakukan aktifitas seperti membaca buku, berkutat dengan ponsel, dan lain-lain. Ha! Aku baru mengingat sesuatu. Pagi ini aku disuruh mengambil beberapa buku di ruang guru. Akan aku lakukan setelah menaruh tas berat ini ke ruang kelas tentunya. Karena hari ini adalah hari senin, hari dengan jam pelajaran terbanyak.

Tak terasa, ruangan kelas 2-A mulai dekat. Namun sebelum sempat memasukinya, aku mendengar suara obrolan. Dengan jenis bunyi yang sangat familiar.

"Wah! Cantik sekali. Ini benar-benar barang langka. Aku tidak pernah melihatnya di pasar. Itu punyamu?"

"Tentu saja, kan!"

Aha, aku sangat kenal dengan suara si pemberi jawaban. Itu Rina. Sahabatku sejak SMP. Dan benar saja, setelah masuk aku dapati ia dikerumuni 3 anak perempuan. Rina sedang memegang sebuah kupu-kupu berwarna biru muda. Indah sekali. Tetapi itu bukan kupu-kupu sungguhan, melainkan sebuah ... jepit rambut? Jika dilihat sekilas sepertinya begitu.

Dia menarik tali kecil di daerah ekor jepit rambut serupa kupu-kupu tersebut. Bersamaan dengan itu, kedua sayapnya bergerak ke atas ke bawah. Wow ... apakah benda itu bisa benar-benar terbang, ya?

Aku menyapa mereka berempat dengan ucapan selamat pagi, dan dibalas dengan perkataan serupa. Ah, aku lagi-lagi baru sadar kalau sebentar lagi bel pertanda masuk dibunyikan. Dengan segera aku keluar kelas dan pergi ke ruang guru.

***

Bunyi decitan spidol serasa memekakkan telinga. Meskipun aku sudah maklum dengan kebiasaan bapak guru matematika kami yang terlalu over menulis di papan tulis, tetapi tetap saja masih mengganggu. Pelajaran Matematika, saat-saat yang kurang kusukai selama berada di SMA. Bukan karena pelajarannya, melainkan cara penyampaian si guru. Jujur. Terasa mem-bo-san-kan. Hampir selama pelajaran berlangsung aku sandarkan kepala di tangan kiri. Kadang diiringi uapan lebar.

Hari semakin siang. Dan akhirnya, bunyi bel pertanda istirahat berbunyi. Sang guru menyampaikan salam perpisahan dengan nada lesu seperti biasa, kemudian berjalan cepat keluar kelas.

"Lila. Mau makan bareng di kantin?"

"Ah. Anu ... aku ada urusan di ruang guru. Kau duluan saja. Hahaha ...," balasku sambil tersenyum. Ia bergumam sejenak.

"Oh, begitu. Baiklah, aku duluan ya~"

Selagi merapikan buku matematika, kupandangi punggung Rina hingga hilang setelah melewati pintu keluar. Entah kenapa hari ini aku lebih sering masuk ke ruang guru. Sebelum jam pelajaran pertama, di tengah pelajaran pertama juga dipanggil, dan sekarang saat jam istirahat. Topik yang dibahas seputar tentang data mengenai keluargaku, pelajaran di sekolah, sampai tentang Karya Tulis Ilmiah. Tch, bikin pusing saja.

Kupu-Kupu ItuWhere stories live. Discover now