Baret dan Aceh 2004

11 3 2
                                    

Bunga persekian sudah berada di tangan, di bawah hangatnya mentari penghujung kota Banda Aceh awal April, wanita dengan bola mata coklatnya itu menatap seorang pria gagah berbaju loreng, wajahnya hitam, tapi cukup tampan bagi sebagian abdi negara di TNI AD.

Lelaki yang sudah bernotabe suaminya itu memberikan ia sekuntum bunga mawar putih cantik padanya tepat berada di tangan kanannya. Dahulu sebelum menikah, ia mengenal Pradja sebagai pria pendiam yang mungkin seharian sanggup tak berbicara padanya, namun kini pria pendiam itu telah menjelma sebagai suaminya yang siap siaga memberikan cinta.

"Cintai aku agar dunia tahu lelaki pendiam juga mempunyai hati!," Ucap Pradja pada wanita berbaju seragam hijau bernama Rantih, lalu hendak menciumi keningnya dengan manis sebelum berangkat kepada satgas yang negara tujukan padanya.

Rantih menunduk, "Tidak perlu pergi, tidak apa, kan?".

Pradja menatap Rantih serius lalu mengangkat dagu istrinya pelan, lelaki itu membenarkan baretnya, "Apa yang engkau mau jika aku tidak menjalankan perintah, kau mau aku gagal melakukan tanggung jawab?".

"Kau mau mendidik pria mu sebagai pecundang?".

"Sekalinya Tentara tetap Tentara!".

"Aku sudah pernah bilang sebelum pengajuan, apapun resikonya jika ingin menikah dengan Tentara kau harus terima, kau harus ikhlas Rantih!".

Tangan Pradja mengusap perutnya, perut yang isinya tak lain adalah anaknya yang baru berusia dua bulan. Mata sayu Rantih menatap Pradja penuh harapan, "Pulang dengan selamat ya!".

Dermaga di Aceh yang Rantih pijak ini rasanya penuh, penuh dengan segala pemikiran orang yang meninggalkan dan ditinggalkan, kapal yang sudah siap menampung Pradja dan angkatan tentara lainnya berada di tepi seakan mengucapkan selamat tinggal padanya. Rantih masih menatap mata Pradja dengan kekacauan hati, "Aku tahu kau akan setia padaku per soal hati, namun aku takut".

"Didik anakku agar menjadi anak yang baik, keras kan hatinya jika ia seorang pria dan jagalah dia jika ia seorang wanita, lalu untukmu Ran, terimakasih sudah sanggup mencintaiku," Ucap Pradja tersenyum mengusap kepala istrinya yang terbalut hijab.

"Tunggu aku dua tahun lagi!," Perintah Pradja sebelum menciumi kening istrinya, lelaki yang siap menggandeng ransel itu berjalan menuju peralihan kapal bersamaan dengan para prajurit Indonesia yang berkerumun hendak menaiki kapal. Pradja menoleh ke Rantih, tersenyum lalu melambaikan tangan pelan seraya berteriak menyusul, "Tunggu aku pulang Rantih Ransadawa!".

Entah apa yang mengguncangkan Rantih, hatinya tak siap, mungkin ini efek kehamilan yang menyebabkan tingkatan perasaan hatinya lebih sensitif, ia tersenyum menangis pada suaminya yang sudah semakin menjauh menaiki kapal, melambai padanya hingga kapal mulai bergerak melepaskan diri dari pendirian dermaga. Tangan Rantih melambai pada satu pria yang berada di tengah prajurit lainnya, lambaian suami istri itu bertemu dari jarah jauh, senyum Pradja masih melekat di matanya.
Lelaki yang sudah ia temani sejak lelaki itu belum menjadi apapun, sejak lelaki itu masih menjadi taruna hingga pelantikan maupun saat ini, ia menemaninya dan masih selalu mencintainya. Untuk dua tahun ini Rantih harus sendirian, mengurusi buah hati yang akan lahir tujuh bulan lagi, sendirian tanpa suami tanpa siapapun karena ia adalah seorang wanita yatim piatu yang tak punya siapapun.

Persekian hari menghidupkan diiringi kesendirian, bantal tanpa ada temannya, kasur yang luas tanpa ada yang menemani, mual yang tak bisa terobati, shalat yang tak ada mengimami. Sudah dua bulan Pradja pergi satgas, belum bisa mengabari, hari hari Rantih hanya dipenuhi kerisauan di samping telepon genggam rumah yang tak kunjung berdering. Ia menempatkan diri di jendela rumah yang berhadapan langsung ke pesisir pantai saat malam hari tiba. Memeluk dirinya sendiri sambil mengusap-usap perut yang kian hari makin membesar, begitu juga isi pemikirannya.

Baret dan Aceh 2004Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz