"Lihatlah...kau lebih cantik ketika tersenyum. Ah tidak... Kau selalu cantik, baobei. Teruslah tersenyum karena aku menyukainya."

Jika itu dulu, pasti si gadis akan memutar bola matanya dan mengatakan jika lelaki itu hanya bisa menggombal pada setiap wanita yang ditemuinya. Dan si lelaki yang tak terima tentu akan mengelak hingga keduanya akan beradu mulut hingga lelah. Tapi kini kenangan itu hanya sebuah kepedihan yang terpendam dalam memorinya. Kini dia hanya akan tersenyum jika kekasihnya itu menggodanya dengan kata-kata atau syair-syair penuh pemujaan terhadapnya.

"Zhe-ya...kau mengatakan padaku untuk berdamai dengan masa lalu. Aku berusaha hingga bisa menjadi seperti ini. Tapi melihat mu seperti ini...ingin sekali aku mencabik-cabik dan meremukkan tulang mereka dengan sadis hingga tak membiarkan mereka mati dengan mudah. Aku ingin membuat mereka merasakan hal yang lebih buruk dari kematian. Apakah kau akan memaafkan aku jika aku melakukannya?"

Zhehan Zhang, atau Zihan, atau lebih dikenal dengan Zenith... Atau siapapun panggilan yang disematkan untuknya menggeleng pelan. Tangan lembutnya mengusap perlahan paras tampan kekasihnya yang kini memejamkan matanya yang selalu memandang tajam pada orang lain, namun selalu memandang penuh kelembutan dan cinta padanya. Tangan lainnya menggenggam balik tangan sang kekasih. Mengisyaratkan agar tidak kembali mengotori tangan itu dengan darah.

Zhehan tentu saja dendam pada orang-orang yang menyakitinya hingga seperti ini. Yang membuat kehidupannya berantakan hingga nyaris putus asa. Hanya Simon-kekasihnya-lah yang membuatnya masih tetap waras untuk tidak mengiris nadinya sendiri karena lelah dengan dunia ini.

"Aku sungguh tak bisa berjanji Zhe-ya... Jika aku menemukan mereka, aku tidak berjanji bisa menahannya. Aku ingin benar-benar ingin menjadi malaikat maut yang menjemput mereka dengan kejam. Aku bukan orang suci, tanganku berlumuran darah. Tapi setidaknya aku masih memiliki hati untuk tidak melibatkan orang tidak bersalah demi kepentingan ku."

Zhehan mengangguk. Tentu dia tahu bagaimana watak dari kekasihnya itu. Simon memang terkenal dengan tangan besi dalam menangani semua urusan pekerjaannya. Namun dibalik semua sifat kejam yang lelaki itu tunjukkan, Zhehan tahu jika Simon masihlah manusia yang memiliki hati nurani. Sekalipun tangannya dipenuhi oleh darah, namun semuanya adalah darah para pengkhianat dan sampah masyarakat yang sebenarnya patut dibasmi.

"Aku bukan hakim tapi aku merasa berhak menghakiminya."

Zhehan kembali mengangguk. Dia memang tak membenarkan tindakan Simon, tapi dia juga tak menyalahkan. Dia paham apa alasan Simon melakukan itu semua. Dia selalu memahami kekasihnya itu lebih dari siapapun begitupun sebaliknya.

"Karena hukum di dunia ini sudah mati, Zhe-ya. Maka aku akan turun sendiri untuk menghukum mereka."

Zhehan merasa baru saja memejamkan matanya ketika mendengar suara gaduh tak lazim dari luar kamarnya

К сожалению, это изображение не соответствует нашим правилам. Чтобы продолжить публикацию, пожалуйста, удалите изображение или загрузите другое.


Zhehan merasa baru saja memejamkan matanya ketika mendengar suara gaduh tak lazim dari luar kamarnya. Tempat dimana Simon biasa berbaring pun terasa dingin, menandakan si empu belum menyentuhnya sama sekali. Dia menekan tombol di samping nakas, namun tak ada respon. Padahal biasanya kepala pelayan atau siapapun yang mendengarnya akan segera merespon panggilan itu. Dan Zhehan seketika merasa ada yang tidak beres.

The Reason Why (JunZhe)Место, где живут истории. Откройте их для себя