CHAPTER 19 - INSIDE THE LEGO HOUSE

1.9K 247 17
                                    


JAVIER


Aku tidak berada di depan rumah Lego itu, memegang permukaan pintu yang aku temukan di balik pepohonan yang lebat. Aku berada di dalam sebuah ruangan. Ketika aku mencoba menyentuh wajahku, aku tercengang. Yah, aku memang bukan cowok gila penampilan yang hobi memerhatikan tampangku di kaca, tapi aku cukup tahu kalau aku mengenakan kacamata. Kenyataannya saat ini aku tidak mengenakannya. Dengan ukuran minus mata yang cukup tinggi, rasanya bakal aneh kalau aku tidak mengenakan kacamata dan bisa melihat sejernih ini.  Aku seperti berada di dalam tubuh seseorang, dan seseorang itu bisa kupastikan adalah pemilik sebuah rumah. Aku tidak yakin rumah mana yang kumasuki, tapi jelas ini bukan museum atau restoran. Aku masuk ke dalam tubuh seseorang, tapi aku masih sadar. Untungnya, aku masih tahu kalau aku adalah Javier, jadi otakku belum sekacau itu. 

Lucunya, walaupun aku khawatir dan bingung, aku tetap berjalan mengitari ruangan itu. Pada dasarnya ruangan itu berwarna putih sepenuhnya. Ada beberapa kain yang digunakan sebagai pemisah antara satu ruangan dengan ruangan lainnya. Aku lalu berjalan menuju pintu, tapi sebelum aku membuka pintu, aku berbalik untuk melihat keadaan di belakangku.

Secara alami, aku terkejut. Ruangan itu penuh dengan kereta dorong seperti yang ada di dalam rumah sakit, hanya saja semuanya begitu tertata. Di bagian atas ruangan, ada belasan kaca yang memisahkan ruangan ini dengan ruangan di atasnya lagi. Di setiap kereta dorong itu ada seorang pasien yang berbaring. Lalu aku berbalik lagi menuju pintu dan membuka pintu itu, lalu keluar.

Aku bertemu dengan seorang wanita yang cukup tinggi dengan rambut sebahu. Wanita itu menyerahkan berkas yang sangat banyak ke atas tanganku, lalu segera pergi begitu saja. Tapi aku memanggilnya. Aku memanggil wanita itu.

"Filly, apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" tanyaku.

Wanita itu berpaling padaku dengan anggunnya. Aku menduga kalau dia adalah orang dari kalangan atas, dilihat dari cara dia bergerak dan melakukan sesuatu. Dia mendekat padaku dan memegang tanganku, lalu mengajakku duduk di ruang tamu. Setelah memberiku segelas teh, dia berbicara padaku.

"Aku tahu kamu punya proyek besar yang harus diselesaikan, dan proyek itu menyangkut hidup dan matimu. Tapi kamu tahu sendiri, sainganmu bukanlah orang yang mudah dikalahkan. Aku sudah mencoba menantangnya di pengadilan, dengan semua bukti yang konkrit dan berkas lengkap, aku bahkan mendapatkan rekaman kejadiannya, dan yang aku dapat hanyalah celaan karena gagal membela diriku sendiri dan juga klienku. Kamu ingat kan terakhir kali aku masuk pengadilan dan beradu mulut dengannya, aku nyaris ditinggalkan dalam keadaan bisu?"

Aku mengangguk-angguk, dan semakin menggengam erat tangannya. Sebagian dari diriku merasa bingung karena harus melakukan ini, tapi sebagian lagi senang karena bisa menyentuhnya.

Rasanya aku punya dua pikiran. Satu adalah pikiranku sendiri, dan yang lainnya adalah pikiran orang yang sedang kumasuki ini.

"Dia mengancamku di depan para juri. Dan untung saja aku mengalah. Karena kalau aku waktu itu tetap mengecamnya, para juri akan langsung mendepakku keluar dari ruang pengadilan dan mengambil kesimpulan bahw aku berusaha untuk mengadakan sesuatu yang tidak ada. Hakim ketua telah menegurku dua kali, aku mempertaruhkan harga diriku juga saat itu. Klienku marah karena dianggap gagal mengurus kasusnya, lalu aku dipecat. Hingga akhirnya aku kembali ke sini."

"Kamu selalu diterima kapanpun di sini, Filly."

Dia menggeleng lemah, tapi masih tersenyum.

"Aku harap begitu. Tapi projyek ini menyangkut dia.Dia adalah salah satu orang yang pasti akan dihubungi oleh pihak manapun kalau sampai proyek ini gagal. Dia akan berhadapan lagi denganku dan itu bukanlah hal yang bagus. Berurusan lagi dengannya adalah hal terakhir yang kuinginkan."

TFV Tetralogy [3] : Lego House (2014)Where stories live. Discover now