Part 7

67.3K 1.1K 79
                                    

Yang mau baca lengkapnya bisa download ebook nya di sini
https://play.google.com/store/books/details?id=yo7UDQAAQBAJ
Jika mau menunggu cerita ini akan terus saya lanjutkan, namun waktunya tidak tentu. Happy read ^^

_______________________________________

"Abang mau kerja? Bukankah ini sabtu, dan biasanya
Abang libur „kan?" tanya Nila heran ketika wanita itu baru saja memasuki ruang makan, dan mendapati Bagas sudah rapih dengan kemeja casual-nya. Dia hendak duduk, namun terpeleset dan hampir saja terjatuh. Beruntung dia berpegangan pada meja, dan walalupun tidak, Bagas sudah memegang lengannya erat.
"Hati-hatilah, memangnya kamu anak sekolah dasar yang sering terjatuh."
"Stiletto ini nampaknya sudah usang, dasarnya sudah terasa licin." Katanya sembari duduk, lalu meraih selembar roti.
"Kalau begitu, ganti."
"Gak bisa, Nila gak punya lagi warna yang senada dengan baju Nila hari ini kecuali ini."
"Cari celaka saja, memakai high heels yang sudah jelek, hanya untuk sebuah penampilan!"
"Abang kerja? Bukannya sabtu biasa libur?" tanya Nila mengalihkan pembicaraan. Dari kemarin Bagas selalu bawel mengenai penampilan.
Bagas nampak salah tingkah, dengan beberapa kali berdeham. "Ada sedikit pekerjaan yang harus aku lakukan."
Nila mengangguk-angguk mengerti. "Tapi harusnya Abang lebih bisa membagi waktu untuk Setya. Kasihan dia, bahkan di hari libur gak bisa main sama Ayahnya."
"Kamu sendiri? Apa yang kamu lakukan? Bekerja hampir tujuh hari dalam seminggu!"
Nila diam, untuk sesaat dia hanya memandangi roti di atas piringnya.
"Tapikan Abang sendiri yang bilang, Setya bukan Anak Nila, jadi Nila gak perlu dekat-dekat sama dia." Suaranya tercekat. Dan untuk mengalihkan perhatiannya, Nila menangkup roti sebelum menggigitnya.
Bagas merasakan kepedihan yang sama.
"Kan sudah Abang bilang, Abang salah waktu itu. Karena kamu Istriku, secara teknis Setya adalah Anakmu."
"Tapi itu dia masalahnya, Bang. Dengan hubungan kita yang bahkan tak bisa disebut Suami-Istri, Setya kembali tidak menjadi Anak Nila."
Bagas menghela napasnya. "Bilang saja, kamu yang gak mau ngakuin Setya sebagai Anakmu. Agar suatu saat jika kamu menikah dengan lelaki lain, kamu bebas dari beban seorang
Ibu!"
Nila mengangkat kepalanya, menatap Bagas dengan mata berkaca-kaca. Namun dia sudah memerintahkan dirinya untuk tidak menangis, tidak lagi.
"Abang pandai memutarbalikkan fakta! Dulu Abang sendiri yang meminta Nila menjauh dari Setya! Abang gak tau betapa sulitnya itu. Tapi Nila sadar, itu memang perlu. Paling ngga, kalau Abang menceraikan Nila nanti, Nila gak terlalu merasa kehilangan Setya!"
"Kamu begitu ingin aku ceraikan. Kenapa? Apa karena lelaki baru dalam hidupmu itu?"
Mata Nila menyipit, menatap Bagas lebih tajam lagi.
"Siapa yang tahan dengan rumah tangga seperti ini, Bang? Nila mempunyai status sebagai Istri seseorang, tapi tak pernah benar-benar merasakan menjadi seorang Istri. Itu semua karena Abang yang memungkirinya! Jadi tolong, jangan menyalahkan Nila, karena sudah cukup Nila terluka karena Abang!" Nila bangkit. Dan segera beranjak pergi. Menyembunyikan tangisannya hanya untuk dirinya sendiri.
Lama Bagas terdiam, dalam benak yang terus memutar kata-kata Nila. Ya, wanita itu memang sudah cukup banyak terluka karena dirinya. Mungkin dia memang pengecut egois yang selalu salah memilih jalan untuk dia tempuh.
Seperti hari ini. Untuk apa dia berpakaian rapih dengan alasan ada pekerjaan hanya untuk mengantar Nila ke hotel?
Atau kemarin, dia rela memutar jalan yang sangat jauh dan terlambat bekerja juga untuk mengantar wanita itu. Bukankah dia bisa berterus terang? Jika dia tidak suka saat Nila pergi dan pulang sendiri, memberikan alasan untuk siapapun lelaki yang Nila bilang ingin dekat dengannya, mengantarnya pulang. Dia memang pengecut.
Rasanya cukup sudah semua omong kosong ini. Mungkin ini waktunya melepas Nila, atau merengkuh wanita itu ke dalam pelukannya. Namun, untuk menempuh jalan keduanya, pasti ada yang tetap terluka.
***
"Eh, hey, hati-hatilah, Danila!" ujar Andrew ketika Nila terpeleset. Beruntung wanita itu masih bisa mengimbangi tubuhnya, membuatnya tak perlu malu dengan jatuh di lobi hotel yang ramai.
"Ini sudah kedua kalinya aku terpeleset!"
"Nampaknya ada yang salah dengan stiletto mu?"
Nila tersenyum. Andrew tak seperti Bagas yang menyebut semua sepatu ber-hak-nya sebagai high heels. "Ya... ini memang stiletto lama. Sepertinya dasarnya sudah licin."
"Harusnya kamu tak memakainya, Danila, itu berbahaya."
"Tapi hanya stiletto ini yang pas dengan pakaianku."
Andrew menggelengkan kepalanya. "Kamu harus berhatihati. Oh ya, aku harus keluar, jadi tolong handle semua masalah yang ada di sini."
"Siap boss." Kata Nila jenaka dengan tangan membentuk gerakan hormat, membuat Andrew tertawa, dan hormonhormon dalam tubuhnya kembali bekerja.
Ah... cinta, percaya atau tidak pada kata itu, tetap saja semua ini terasa menganggu. Terlebih jika orang yang menarik perhatiannya tak bisa dia sentuh.
Andrew mengelus rambut Nila, membuat senyum di wajah wanita itu memudar, digantikan dengan raut khawatir. Ini lobi, siapapun bisa melihat mereka!
Nila mundur selangkah. "Hati-hatilah di jalan, Boss!" katanya, mungkin secara halus mengusir lelaki itu. Andrew hanya tersenyum, lalu melangkah pergi, membuat Nila menghembuskan napas lega, yang tanpa sadar dari tadi dia menahannya.
***
Bagas sudah beberapa jam duduk di lobi hotel tempat kerja Nila, tapi belum sekalipun melihat wanita itu. Karyawati yang kemarin dipintanya memanggilkan Nila, terus menatapnya dengan curiga. Wanita itu tahu Nila telah menikah, namun tak tahu jika lelaki yang sedang ditatapinya dengan penuh kecurigaan itu adalah suami Nila. Dan pemikiran itu membuat senyum tipis tersungging di bibir Bagas.
Sekali lagi, sebenarnya untuk apa dia ada di sini, jika nanti mulut sinis tak mau mengakui jika dia tak bisa berdiam diri di rumah dan memikirkan Nila, Nila, dan Nila? Entahlah, rasanya dia semakin mendekati kegilaan.
Dan Bagas baru saja melihatnya. Melihat lelaki bule, atasan Nila yang juga Bagas yakini lelaki yang sempat diinginkan Nila dekat dengannya, ketika seorang karyawan terpogoh-pogoh berlari menghampiri lelaki bule itu.
"Mr. Andrew, Mbak Nila!" mendengar nama istrinya, Bagas menajamkan telinga. "Mbak Nila terpeleset dan jatuh. Kepalanya terbentur dan dia pingsan!"
Bagas melihat lelaki Bule itu berlari mengikuti karyawan yang tadi memberikan informasi itu. Tak ada yang bisa Bagas pikirkan selain ikut berlari.
Mereka menunggu lift, ketegangan membuat Andrew bahkan tak menyadari kehadiran Bagas yang juga sama kha watirnya dengan lelaki itu. Sampai lift terbuka, dan memperlihatkan Nila yang sedang dibopong oleh dua orang karyawan. Tak ada yang nampak luka dan mengeluarkan darah, namun justru itu yang membuat khawatir.
"Danila?!" Andrew hendak mengambil alih tubuh Nila dari salah satu karyawan, tapi Bagas mendahuluinya.
"Biar aku yang membawanya kerumah sakit!" kata Bagas membopong tubuh istrinya seorang diri.
"Kamu? Sejak kapan kamu ada di situ?" tanya Andrew heran, tapi Bagas tak berniat menjawabnya. Dia segera berjalan cepat, menuju pelataran parkir, menuju mobilnya.
Tanpa nampak kesulitan, Bagas mengambil kunci mobil, membuka pintu dan merebahkan Danila di jok penumpang dengan merendahkan sandarannya sehingga Nila dapat berbaring. Lalu menutup pintu mobil setelah memasangkan seatbelt.
"Aku harus ikut!" kata Andrew yang bahkan Bagas tak sadar telah mengikutinya sampai disini.
"Tidak perlu, sudah ada aku yang akan menjaganya." Bagas membuka pintu, namun Andrew menahannya.
"Tidak bisa! Kecelakaan ini terjadi ketika Danila sedang bekerja, jika terjadi sesuatu, kami yang harus bertanggungjawab."
"Memang seharusnya begitu!" Bagas menyingkirkan tangan Andrew dan membuka pintu. Andrew sendiri tak peduli dengan sikap sinis lelaki itu, dan membuka pintu belakang untuk turut serta dalam mobil itu.
***
Nila menyerngit, bulu matanya bergetar sebelum matanya terbuka perlahan. Rasa sakit terasa memberatkan kepala bagian belakang sampai tengkuknya. Belum lagi bokong dan pinggulnya yang juga terasa sakit. Dan sebenarnya di mana dia?
Dia menoleh, melihat Bagas dan Andrew yang sedang bicara dengan seorang Dokter muda dengan wajah serius. Ah, Unit Gawat Darurat.
Ya, dia baru ingat. Anak itu datang lagi. Anak menteri yang memanggilnya tante. Sengaja dia menumpahkan jus dan meminta Nila yang membersihkannya. Namun sial, Nila justru menginjak genangan jus itu dan terpeleset karena sepatu usangnya. Yah, benar-benar hari yang sial, bukan?
Nila bangkit, pandangannya sedikit berputar sebelum benarbenar fokus.
"Nila!"
"Danila!"
"Kamu baik-baik saja?"
Bergantian Nila menatap Bagas dan Andrew yang kini sudah berdiri dengan tubuh sedikit membungkuk di sisi pembaringannya. Tercengang, karena kedua orang itu menanyakan hal yang sama dengan waktu yang bersamaan juga. Seperti sebuah paduan suara.
"Kamu mengenalku, Danila?" tanya Andrew lagi.
"Kamu tau ini berapa?" susul Bagas sambil mengacungkan dua jarinya.
Nila tertawa, tapi langsung meringis mendapati nyeri di kepala bagian belakangnya.
"Kenapa membawaku kerumah sakit segala? Aku baik-baik saja. Hanya jatuh karena sepatu usang itu!"
"Sudah aku bilang jangan memakai sepatu itu!" hardik Bagas agak keras, membuat beberapa orang di sana menoleh ke arah mereka.
"Ya, aku juga sudah bilang begitu!" kali ini Andrew yang melotot.
Mengingat adu tinju saat terakhir kali mereka bertemu, Nila tak yakin mereka bisa sekompak ini.
"Tapi aku baik-baik saja. Harusnya gak perlu membawaku kerumah sakit."
"Apalagi yang bisa kami pikirkan melihatmu pingsan seperti itu?" Andrew berdiri tegak, melipat tangannya di depan dada.
"Ya, benar! Beruntung kata Dokter kamu baik-baik saja.
Tak ada geger otak dan semacamnya." Bagas menangkup wajah Nila dengan kedua tangannya, lantas mengelus pipi Nila dengan ibu jarinya, membuat Andrew mengalihkan pandangan, saat rasa nyeri asing menggelitik hatinya.
"Aku sangat khawatir, Nila."
Nila tersenyum, merasa kehangatan menjalar dalam dirinya.
"Maaf kalau Nila buat Abang khawatir, tapi Nila baik-baik aja. Dan Nila mau kembali ke hotel, banyak kerjaan Nila yang belum selesai."
"Tidak perlu, Danila, kamu bisa pulang dan istirahat di rumah." Andrew masih tak mau melihat ke arah Nila, dan Nila sepenuhnya menyadari itu, sehingga dia melepaskan tangan Bagas dari wajahnya.
"Tapi..."
"Boss-mu sudah bilang begitu, Nila, itu berarti kamu harus pulang."
"Tapi..."
"Sungguh, Danila, kamu pulang saja, dan buang stiletto itu." Andrew tersenyum, menatapnya.
"Aku akan mengurus pembayaran dulu. Istirahat lah di rumah."
"Terimakasih, Andrew," Andrew hanya tersenyum, sebelum dia pergi. Meninggalkan Nila hanya berdua dengan Bagas.
Nila menggelung rambutnya, lalu mengikatnya asal.
"Kepalamu sungguh tidak apa-apa, Nila?"
"Masih sakit, namun nampaknya baik-baik saja."
"Akan aku tuntut bocah ingusan itu."
"Gak masalah, Bang, dia hanya Anak remaja yang butuh perhatian. Ayo kita pulang." Nila turun dari ranjang, dan Bagas dengan cepat meraih lengan wanita itu untuk dilingkarkan pada gandengannya, membuat Nila tercengang untuk beberapa saat.
"Kenapa? Ayo jalan!"
Nila mengangguk kaku, seraya mengikuti langkah pelan Bagas. Apakah dia sedang bermimpi? Atau sebenarnya dia masih dalam kondisi pingsan karena benturan itu? Apapun itu, Nila berharap dia tak akan pernah bangun dan menemukan dirinya kecewa.
Dia menatap lengannya yang melingkari lengan Bagas. Mempererat pegangannya, seolah takut Bagas akan lenyap begitu saja. Dan hatinya terasa sesak oleh kebahagiaan, hingga tanpa sadar dia menitikan air mata haru.
Bagas menoleh ketika mendengar isakan Nila.
"Kenapa, Nila? Kamu sakit? Apa kita perlu kembali ke dalam untuk memeriksamu lagi?"
Nila menggelang. "Maaf, Bang, Nila gak bermaksud untuk menangis. Nila hanya... Nila hanya merasa... senang? Entahlah. Nila merasa..." Nila benci ketika dia kehilangan kata-kata. Tapi dia hanya takut. Takut jika salah bicara sedikit saja, semua bayangan ini akan langsung lenyap dalam sekejap mata.
Bagas melepaskan gandengannya, dan Nila merutuki diri. Harusnya Nila memang tak berkata apa-apa. Dan lihatlah, sekarang Bagas kembali menjauh.
Namun kenyataannya lain. Bagas malah meraih wajahnya, menghapus airmata dipipinya, sebelum mengecup keningnya. Lembut dan lama. Membuat dada Nila semakin sesak dengan kebahagiaan yang meledak-ledak. Ini pasti mimpi... ya, pasti. Namun kehangatan bibir Bagas terasa nyata, bahkan setelah bibir itu menjauh dari keningnya.
"Ayo kita pulang." Hanya dalam mimpi seperti ini, Bagas seolah tersenyum penuh cinta dan merangkulnya, membimbingnya menuju mobil. Lelaki itu bahkan membukakan dan memakaikan seatbelt padanya. Perilaku yang begitu manis, dan rasanya Nila sudah tak sanggup menampung rasa senang itu dalam hatinya.
"Oh ya, kenapa Abang bisa ada di sini? Apa Andrew menelpon Abang?" Nila memiringkan kepalanya.
"Tapi gak mungkin, dia kan gak punya nomer Abang." Tanya Nila setelah lama mereka membisu di dalam mobil yang tengah berjalan.
"Hm... Ehm!" Bagas meneguk ludahnya, karena tenggorokannya tiba-tiba saja kering. "Pekerjaan yang Abang bilang, itu dikerjakan di hotelmu."
"Benarkah? Kebetulan sekali kalau begitu." Nila bersandar pada joknya.
"Nila?"
"Hm?" Nila menoleh, namun Bagas tetap fokus pada jalan di depannya. Dan lelaki itu hanya diam dalam waktu yang cukup lama. Merasa ragu dengan apa yang ingin diucapkannya.
"Tidak," katanya pada akhirnya.
"Abang senang, kamu baik-baik saja."
Nila terkekeh. "Itu terlalu berlebihan. Nila cuma terjatuh. Bang."
"Tapi kamu bisa aja geger otak! Atau terluka lebih dari ini!"
Nila mengembangkan senyumnya. Di matanya kini Bagas menjadi sosok yang berbeda.
"Makasih, udah khawatirin Nila, Bang."
***
"Sebenanya Nila gak apa-apa, Bang. Nila bisa jalan sendiri tanpa perlu berpegangan sama Abang." Kata Nila ketika Bagas bersikeras Nila harus menggandeng tangannya ketika mereka sudah sampai rumah dan Nila harus berjalan ke kamar.
"Ini hanya untuk memastikan kamu gak jatuh dan membenturkan kepalamu lagi." Bagas membimbing Nila untuk duduk bersandar pada tempat tidurnya.
"Tapikan Nila udah gak pakai sepatu itu. Oh ya, ngomongngomong, kemana sepatu Nila yah, Bang?" tanyanya penasaran. Tadi dia memakai sandal kurung yang bertuliskan lebel rumah sakit di atasnya.
"Sudah Abang buang!"
Nila memberengut. "Kenapa dibuang? Sayang sekali..."
"Kamu bilang sayang pada sepatu yang membuatmu celaka?!" hardik Bagas tak percaya.
"Sekarang kamu istrirahat. Tapi ganti bajumu dulu!" Bagas sudah meraih kancing teratas kemeja satin yang Nila kenakan, saat tiba-tiba membeku.
Nila juga tercengang, dan untuk beberapa saat mereka terdiam dengan posisi seperti itu. Sampai Bagas melepaskan tangannya dan berdiri tegak dengan salah tingkah.
"Maafkan aku, aku tak bermaksud..."
Nila menunduk dan tersenyum kecewa. Itu bukan suatu kesahalan yang Bagas harus meminta maaf.
"Gak apa-apa, Bang."
"Kamu ganti baju, Abang keluar dulu."
"Iya..." Ternyata bagaimanapun dekatnya mereka, batasan itu selalu ada. Batasan yang seharusnya telah mereka hapus sejak Bagas mengucapkan ijab kabul. Lagi pula, apa yang sedang diharapkan Nila? Bukankah ini juga sudah suatu kemajuan yang pesat dalam hubungan mereka?
Setelah Nila berganti baju dan berbaring, Bagas kembali masuk, membawa serta Setya bersamanya. Itu cukup untuk membuat senyuman Nila kembali mengembang dengan lebar.
"Sayang, lihat Ibu lagi sakit tuh. Kamu mau sama Ibu gak?" tanya Bagas konyol. Mana mungkin Setya menjawabnya?
"Setya.... ke sini sayang..." Nila merentangkan tangannya, namun Setya tidak diberikan pada gendongannya. Bagas menaruh Setya berbaring di sisi Nila, dengan dia sendiri berbaring di sisi Setya.
Mereka berbincang, bercanda, dan diam-diam Nila menyadari, jika ini untuk pertama kalinya mereka seperti satu keluarga yang sesungguhnya. Sampai akhirnya dia sendiri terlelap.
***
Nila terbangun dan semua sudah nampak gelap. Sudah malam rupanya, dan lampu kamar belum dinyalahkan. Bahkan dia belum menutup gorden jendela. Dia hendak bangkit, saat menyadari ada orang lain di atas tempat tidurnya. Setya dan Bagas. Rupanya mereka juga terlelap bersamanya.
Nila tak jadi bangkit. Dia justru kembali berbaring, kali ini miring ke arah dua lelaki yang telah menjadi pemilik hatinya.
Setelah puas memandang Setya, dia mengalihkan pandangannya ke Bagas dan merasa lelaki itu seribu kali lebih tampan saat sedang terlelap. Dia mengangkat tangan, mengelus rambut Bagas dengan jemari lentiknya.
Apapun yang merasuki Bagas hari ini, Nila berharap sesuatu itu tak akan pernah keluar dari sana dan membiarkan Bagas dalam sosok penuh kasih sayang seperti ini. Bisakah?
Bagas bergerak gelisah sebelum membuka matanya, membuat jemari Nila membeku. Dalam ruangan remang yang hanya mendapat cahaya dari lampu jalan jauh di luar sana, mata mereka bertemu dan terkunci dalam satu tatapan mendalam. Seolah mereka berbicara tanpa kata, dan mengerti apa isi hati masing-masing.
Bagas meraih tangan Nila yang masih menggantung di rambutnya, menautkan jemari mereka sebelum mengecup punggung tangan Nila, membuat Nila tersenyum malu-malu.
Dan mereka kembali saling menatap penuh makna.
Entah siapa yang mengambil gerakan terlebih dahulu. Kepala mereka semakin mendekat dengan gerakan lambat yang menyiksa. Mereka sama-sama tahu apa yang mereka inginkan. Malam pertama yang harusnya lama telah mereka lalui.
Nyaris saja. Nyaris saja bibir mereka bersentuhan, ketika Setya yang terbaring di tengah-tengah mereka, menangis dengan keras.

Malam Pertama Untuk Nila (E-book Di Google Play Store)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang